Semua orang di rumah tidak bisa tidur nyenyak sepanjang malam, karena Novi masih belum juga ditemukan. Rizal bahkan berjaga di ruang tamu tanpa mengunci pintu rumah karena berharap istrinya itu pulang dengan tiba-tiba. Hingga suara adzan subuh berhasil membuat Rizal yang sejak semalam menahan kantuk, akhirnya tertidur juga."Rizal, Rizal! Mama mau pipis!" Teriak Bu Murni dari dalam kamarnya yang tertutup. Wanita tua itu sudah tidak tahan ingin segera buang air kecil, tetapi putranya tidak juga menghampirinya. Jika ada Novi, maka sebelum subuh, wanita itu sudah memaksanya untuk pipis."Rizal! Bangun! Mama mau pipis nih!" Teriak wanita itu lagi, tetapi Rizal sangat pulas. Begitu juga halnya dengan Dio yang karena begadang, ia tidak bisa mendengar suara apapun karena terlalu mengantuk."Rizal, Dio! Bangun!" suara wanita tua itu melengking, berharap ada yang datang. Namun, tenaganya percuma, karena lima menit sudah ia membangunkan semua orang yang ada di rumahnya, tidak ada satu pun yang
"Alhamdulillah akhirnya dari mereka satu per satu Allah balas dengan begitu mengerikan. Ya ampun, hampir dimakan singa di hutan. Berarti yang dikatakan Sari kemarin tentang Mbak Novi benar."Neneng terus bergumam hingga siaran itu pun habis. Ia hanya tersenyum senang karena Allah mengabulkan doanya minta agar ia bisa melihat balasan setimpal untuk Rizal dan selingkuhannya.Sementara itu, Rizal sedang berada di bank, dalam antrean kustomer service, saat ponselnya berdering.Ia melihat nama Dio ada di layar, tetapi karena tidak ingin diganggu, Rizal mengabaikannya. Dering itu tidak berhenti, hingga membuat semua mata kustomer bank yang lain menatap Rizal dengan sebal dan juga bingung."Mungkin bisa diangkat teleponnya, Pak, biar tidak menganggu yang lain. Bisa juga dinon aktifkan suaranya saja," tegur salah satu petugas keamanan bank yang ada di dalam ruangan. Rizal pun mengaktifkan mode senyap. Satu jam lima belas menit lamanya menunggu, akhirnya tiba giliran pria itu. Dengan hati be
"Aduh, ngibulnya juara pisan! Mana mungkin ini mobil Kang Jaya, orang Kang Jaya ke mana-mana jalan kaki. Paling naik angkot. Udahlah, Kang, mau Kang Jaya kaya, mau Kang Jaya miskin, saya juga belum tentu naksir," ujar Neneng diikuti gelak tawa keduanya. Jaya tidak menyahuti lagi komentar Neneng. Ia membiarkan pelanggan tetap dasternya itu menikmati pemandangan ibu kota Jakarta saat malam hari."Kita mau ke mana sih, Kang?" tanya Neneng lagi saat mereka tiba di lampu merah. "Ke mal, katanya Mbak Neneng udah hampir dua tahun gak masuk mal," jawab Jaya santai. Jaya kembali menekan sedikit gas agar mobil kembali melaju setelah lampu hijau menyala. "Kang Jaya baik banget. Oh, iya, ini uangnya, Kang." Neneng memberikan pembelian daster para tetangga sebesar lima ratus delapan puluh ribu yang ia lipat dan masukkan ke dalam plastik flip kecil."Taruh sini saja, Mbak!" Jaya menunjuk dashboard mobil. Neneng pun menurut. Ia meletakkan plastik kecil itu di sana. Tidak mungkin Kang Jaya yang pu
Pov Rizal. "Om, di mana?""Om sudah di jalan menuju rumah sakit. Kamu tunggu di sana. Jangan ke mana-mana.""Baik, Om, cepat ya!"Aku kembali menyalakan mesin motor menuju rumah sakit. Aku baru saja dari rumah Bude Hartini dan meminjam sejumlah uang untuk Novi. Syukurlah bude memberikanku pinjaman satu juta rupiah. Semoga saja biaya pengobatan Novi tidak terlalu besar dan di-cover semua oleh BPJS. Sepanjang jalan menuju rumah sakit, aku merapalkan doa ratusan kali agar kondis Novi tidak terlalu buruk. Berada di hutan dalam keadaan menyedihkan, membayangkannya saja aku tidak berani. Aku singgah sebentar di sebuah minimaeker sejuta umat untuk membeli air dan juga roti. Jika aku harus jajan di rumah sakit, maka uangku tidak akan cukup. Dua botol air mineral dan satu bungkus roti sobek aku beli sebagai bekal ke rumah sakit. Aku juga membeli apel yang sudah di-pack sebanyak 3 buah. Tiga puluh ribu dua ratus rupiah saja belanjaku. Jika aku beli di kantin rumah sakit, bisa-bisa aku harus
"Neneng, kamu Neneng'kan?" aku terkejut melihat penampilan istriku yang sangat berbeda dari biasanya. Wajahnya terlihat lebih ceria, walau saat ini malam hari dan tidak terlalu jelas. Senyumnya sangat lebar, persis awal-awal kami menikah. "Anda salah orang, Mas. Neneng udah mati. Ini saya kuyangnya Neneng." Jawaban wanita itu tentu saja tidak menyurutkan rasa penasaranku. Aku tahu ia Neneng dan saat ini ia malah tengah berkencan dengan pedagang daster keliling. "Tunggu! Neng, kamu jangan mengada-ada! Aku tahu kamu Neneng. Sedang apa kamu di sini sama lelaki ini? Pulang, ayo, ikut aku!" Aku menarik paksa tangan Neneng, tetapi ditepis oleh Jaya. Ya, tukang daster keliling favoritnya ibu-ibu di sekitar rumahku dulu, kini bak jadi pahlawan kemalaman. "Mau apa kamu? Jangan ikut campur urusan saya!" Tantangku dengan mata mendelik. Berharap nyalinya ciut, tetapi pemuda itu malah tertawa. Seakan tengah meremehkanku."Ayo!" Sekali lagi aku menarik tangan Neneng."Gak mau!" Tanganku akhirnya
"Apa, Zal? Operasi? Uang dari mana? Eh, tapi Novi ada BPJS loh. Pasti ditanggung rumah sakit semua," kata mamaku sembari aku mengganti pakaiannya yang basah kena ompol. Untunglah mama tidak jadi buang air karena sembelit. "Ma, gak di-cover semua sama BPJS, Ma, tetap kudu pegang uang tiga puluh sampai empat puluh juta. Ma ..." Aku duduk di samping mama. "Kenapa? Jangan bilang kamu mau gadai surat rumah ini. Iya kalau kamu bisa ganti, kalau tidak, kita mau tinggal di mana? Nggak, surat rumah harus tetap disimpan." Mama terang menolak. Aku pun sebenarnya tidak mau punya niat seperti itu, tetapi aku tidak tahu mau pinjam ke mana lagi. Jika saja aku masih kerja, aku mungkin masih bisa pinjam ke koperasi karyawan pabrik, tetapi sekarang sudah tidak bisa lagi."Coba pinjam sama teman kamu. Jaminannya motor kamu itu. Beli motor mahal banget sampai puluhan juta. Kamu itu mubazir!" "Ma, motornya dirampok." Mama mendelik terkejut dengan mulut setengah terbuka."A-apa maksud kamu, Zal? Motor k
PoV Neneng"Ada apa, Mbak? Siapa yang menelepon?" tanya Kang Jaya yang baru saja masuk ke dalam mobil. Kami berhenti sebentar di pom bensin karena ia kebelet buang air kecil."Tebak siapa?" tanyaku balik. Tentu saja Kang Jaya mengangkat bahunya tidak tahu. Ponsel miliknya aku kembalikan, lalu ia mengecek kontak yang meneleponnya."Bang Rizal menelepon? Mau apa? Apa mau bayar utang biar Mbak Neneng bisa ikut sama dia?" tanya Kang Jaya curiga. Tentu saja aku terbahak mendengar komentar Kang Jaya. "Mending amat bayar utang, Bang Rizal mau utang lagi, Kang. Kalau dari suaranya, dia beneran butuh. Oh iya, istri muda yang tua itu hilang. Terus ditemukan di hutan, hampir dimakan singa. Kalau kata saya, Bang Rizal butuh biaya untuk itu," terangku panjang lebar pada Kang Jaya."Waduh, emang singa doyan daging alot?" katanya lagi padaku."Mana saya tahu, orang saya gak pernah masakin buat singa, ha ha ha ..." Kami berdua pun tertawa geli. Seumur-umur nyicil di daster di Kang Jaya, baru kali in
"Pak Ari salah paham, Pak. Ini kejadiannya tidak seperti yang Bapak lihat. Ini Kang Jaya lagi sakit dan ...""Memangnya kamu siapanya sampai begitu peduli pada Jaya? Kalian bukan suami istri dan kamu, Neng, bukankah di KTP kamu statusnya menikah. Berarti kamu dan Jaya di sini melakukan hal terlarang. Saya akan panggil Pak RT!" Aku mendesah sebal. Selalu saja Pak Ari sering salah sangka padanya. Pria setengah baya itu sudah berlari keluar untuk memanggil Pak RT. Aku menatap Kang Jaya yang masih menggigil di atas ranjang. Segera kuambil selimut, lalu menyelimutinya. "Kalau bayar suster dari rumah sakit, pasti bayarannya mahal," ledekku agar suasana diantara kami tidak canggung."Hmm ... bilang aja minta dibayar," komentar Kang Jaya dengan mata terpejam. Ia santai sekali dengan ancaman yang dilontarkan Pak Arif padanya. Pemuda itu tetap memejamkan mata, seolah-olah tidak terjadi apa-apa barusan."Kang, gimana kalau Pak RT kemari dan menikahkan kita? Seperti cerita-cerita di novel itu,"