"Oh, jadi sudah menikah. Saya salut atas kejujuran Mbak Novi. Baiklah, terima kasih atas informasinya. Ngomong-ngomong, Saya bisa sendiri di rumah sakit ini, Mbak Novi pulang saja. Pasti ibu mertua sayang kita dan suami kita lebih butuh Mbak Novi." Aku berujar sambil menahan pedih di hati. Mbak Novi benar-benar muka tembok dengan datang ke rumah sakit dan mengaku istri kedua Bang Rizal."Iya, saya juga mau pulang. Mana mungkin saya mau lama-lama di sini. Saya ke sini cuma mau urus BPJS kamu dari pabrik. Sepertinya ada yang gak dicover sebesar lima ratus ribu. Saya gak bawa uang dan gak mungkin juga istri kedua bayarin obat istri pertama kan? Jadi tebus sendiri saja. Satu lagi, jangan minta uang pada suami berondong saya dan juga mertua saya." Wanita itu tersenyum sinis, lalu memberikan sebuah kartu dan juga satu lembar uang lima puluh ribu yang dilipat sesuai besar kartu."Ini titipan Bang Rizal. Saya permisi." Mbak Novi pun pergi meninggalkanku. Napas sesak yang sejak tadi kutahan, k
Malam hari. Wanita yang sangat tidak aku inginkan, malah nongol kembali di ruang perawatanku. "Mbak Novi jangan bercanda! Saya sedang sakit, Mbak. Kenapa harus datang lagi ke sini? Bayi saya baru saja dikubur dan Mbak Novi bilang bahwa Bang Rizal adalah suami Mbak Novi juga? Naksir boleh, Mbak, bego jangan! Bang Rizal sudah punya istri. Mbak adalah kakak sepupunya dan Mbak gak boleh jadi pelakor!" Aku berusaha menekan emosi yang saat ini berkumpul di dada. Mbak Novi bisa saja berbohong, apalagi tidak disertakan bukti. Aku tidak boleh percaya begitu saja. "Terserah kamu mau percaya atau tidak. Yang jelas, aku juga lagi hamil anak Rizal dan mulai detik ini. Semua uang Rizal buat aku karena aku yang hamil, sedangkan kamu keguguran'kan? " "Saya gak akan percaya jika tidak ada bukti. Selagi bukan Bang Rizal yang bicara, saya tidak akan percaya. Jadi sekarang tolong pergi! Jangan pernah muncul lagi di rumah saya! " Mbak Novi berjengkit kaget begitu mendengar suara lengkingan milikku.
"Bang Rizal gak bisa menggadaikan surat rumah orang tua saya. Itu hak saya! Ya Allah, kenapa suami saya setega ini pada saya? Saya baru saja keguguran dan... ""Aduh, itu bukan urusan saya ya. Silakan tanya sendirian pada Rizal. Kamu keguguran juga karena salah kamu sendiri. Makanya na lain lagi hamil, jangan pecicilan! "Mbak Novi memutus sepihak panggilanku. Kedua kakiku sudah tidak bisa menopang tubuh ini. Aku terduduk lemas di kursi balai dengan air mata yang sudah mengalir deras tanpa permisi. Kang Jaya mengambil ponselnya dari tanganku. "Samperin aja Pak Haji-nya, Mbak. Gak usah nangis! Minta baik-baik, siapa tahu dikasih, " ucap Kang Jaya memberikan ide. Aku hanya menunduk sambil meratapi nasib. "Jangan sedih dan stres, karena pasti ada yang senang kalau Mbak Neneng stres," katanya lagi memberikan masukan. "Kalau nggak dikasih?" tanyaku balik. Harapan aku dapat kunci rumah kembali hanya satu persen, sehingga aku tidak yakin untuk pergi ke rumah Pak Haji. "Ya, Mbak Neneng p
Byur!Cangkir berisi kopi, aku lemparkan ke wajahnya. Sebenarnya aku masih belum puas, tetapi melihatnya gelagapan dengan pipinya yang panas dan juga tumpahan air kopi, cukup membuatku sedikit lega. Napasku masih naik turun menahan emosi. Jika saja Bang Rizal tidak botak, sudah pasti kujambak rambutnya."Neng, apa-apaan kamu? Kamu gila!""Ya, aku gila, Bang! Aku gila karena kamu sudah menggadaikan surat rumah orang tuaku. Harta peninggalan mereka satu-satunya, lalu kamu beli motor dan senang-senang. Aku baru keguguran dan suamiku malah bersenang-senang di luar. Kamu yang lebih gila dari aku! Coba saja kamu tanya sama puluhan orang yang ada di sini, mencuri surat rumah orang, lalu menggadaikannya dengan tipu muslihat. Kamu yang gila, kamu yang gak waras! Ceraikan aku! Ceraikan!" Aku berteriak-teriak di depan wajahnya .Sudah tidak aku pedulikan tatapan puluhan pasang mata yang telah menjadikan aku dan Bang Rizal pusat perhatian ."Pulang kamu, bikin keributan saja! Pulang!" Bang Rizal
POV Rizal"Loh, kenapa mukanya, Mas?" tanya Novi yang terheran melihat wajahku merah. Tidak langsung menjawab, aku memilih menghempaskan bokongku di sofa."Saya ambilkan air dulu!" Wanita dewasa itu begitu cekatan melayaniku. Ia tidak pernah mengeluh apalagi meminta yang tidak-tidak. Novi juga sangat mahir memuaskanku di ranjang, sehingga benar-benar hati dan tubuh ini terkunci padanya.Novi menghampiriku sambil membawa nampan berisi cangkir teh dan piring kecil berisi kue. "Ini, Mas, minum dulu!" Novi tidak sungkan membukakan kaos kaki ini dan langsung membawanya ke dapur. Lalu istri keduaku itu kembali lagi duduk di sampingku, sambil memijat keningku."Lagi banyak pekerjaan di pabrik?" tanyanya perhatian."Neneng ke pabrik dan membuat keributan. Pipi saya merah karena dapat oleh-oleh dari Neneng. Keluar-keluar dari rumah sakit, tenaga Neneng meningkat, begitu juga dengan keberaniannya," terangku sambil menatap Novi. Rahang Novi nampak mengeras. "Mau apa?" tanyanya."Neneng marah p
"Apa salah saya, Bu? Kenapa jadi saya yang dipecat?" cecarku tidak terima. Bu Dina tersenyum amat tipis, lalu ia membalikkan laptopnya mengarah padaku. Tulisan di layar laptop pun nampak diperbesar sehingga aku tidak perlu mendekat untuk dapat membaca tulisan di sana. Point tujuh yang ada di sana menuliskan bahwa setiap anggota karyawan tetap dihimbau untuk tidak menciptakan suasana panas di lingkungan kerja. Point delapan menuliskan bahwa setiap karyawan lelaki ataupun perempuan yang telah sah memiliki pasangan, dihimbau untuk tetap memegang prinsip pada pasangannya. Tidak berselingkuh apalagi poligami. Jika hal tersebut diketahui oleh ....Aku menghela napas. Kejadian Neneng kemarin adalah penyebab hari ini aku dipecat. "Bagaimana? Jika sudah begini, maka salah siapa? Jangan salahkan istri karena istri gak pernah salah. Begitu kan, Pak Rizal. Silakan ke bagian keuangan untuk ambil pesangon yang mungkin bagi Pak Rizal sedikit. Saya masih ada pekerjaan lain. Pintu keluar ada di belak
POV NenengDerit pagar yang terbuka membuatku menoleh. Rupanya Kang Jaya yang pulang sambil menenteng karung daster yang terlihat ringan. Aku tersenyum dari kejauhan, begitu juga Kang Jaya. "Laris ya, Kang?" tanyaku menyapa."Iya, alhamdulillah. Baru kali ini saya keliling bawa pakaian tiga puluh stel sama kerudungan 10 biji dan tersisa 2 saja bajunya, Mbak. Kerudung habis. Pelanggan saya juga hari ini pada setor cicilan. Paling kecil lima ribu. Alhamdulillah berkah membantu istri orang," jawab Kang Jaya. Ia terbahak di akhir kalimatnya. Aku pun ikut tertawa juga. Mungkin juga karena kebaikan Kang Jaya padaku, maka Tuhan memberikan kemudahan. Lalu, bagaimana dengan orang yang selalu memberikan kesulitan pada orang lain, apakah ia akan mendapatkan ganjaran yang sama?"Mbak udah enakan? Kapan harus kontrol jahitan?" aku tersentak dari lamunan. Kang Jaya duduk di teras rumahnya sambil mengibaskan topi yang ia pakai di depan wajahnya. Aroma keringatnya begitu menyengat sehingga aku harus
Hal yang pertama aku lakukan dengan uang delapan juta di tanganku adalah membayar cicilan daster pada Kang Jaya. Aku mengira dia jatuh hati benar padaku, sehingga tidak mau menerima utang yang kubayarkan, tetapi harapan dan prediksiku salah. Kang Jaya dengan semringah menerima uang satu juta yang aku berikan padanya. Entah utang daster, utang klinik, dan utang lainnya aku sampai lupa. Untunglah Kang Jaya menerima tanpa menghitung secara terperinci. Setelah melepas kepergian Kang Jaya, aku pun pergi ke bidan ke rumah sakit tempat aku dioperasi kemarin. Dengan menggunakan kartu BPJS yang ada padaku, aku memeriksakan kondisi jahitan dan juga memeriksakan kesehatan tubuhku.Kata dokter semuanya baik dan aku diberi vitamin penambah darah. Tidak gratis karena tidak di-cover BPJS, tetapi tidak apa karena saat ini aku ada uang. Selesai dengan rumah sakit, aku pun pergi ke rumah Pak Haji Yandi. "Assalamualaikum, permisi." Aku menunggu sebentar, tetapi tidak ada jawaban dari dalam rumah."Ass