Mataku terasa amat berat. Aroma menyengat yang masuk ke hidung ini membuatku mencoba untuk membuka kelopak mata. Samar-samar aku melihat sosok yang seperti kukenal wajah dan juga baunya.
"Ya Allah, Kang Jaya, kalau mau nagih ke rumah aja, masa di jalan begini?" tanyaku masih setengah sadar. Pria yang tadinya menoleh ke samping, kini melihat ke arahku dengan wajah terkejut. "Alhamdulillah akhirnya sadar juga. Siapa yang mau nagih, Mbak. Ini loh, Mbak Neneng pingsan di jalan. Makanya saya bawa ke sini karena saya kenal. Kalau sampai ada apa-apa dengan Mbak Neneng, tagihan dua ratus rebu saya bisa lewat dong!" Jawab Kang Jaya sambil menyeringai. Alasan lucu yang sungguh masuk akal menurutku. Tidak mungkin pria medit seperti Kang Jaya mau melepas para emak-emak yang berutang padanya. Sampai ke lubang hidung dinosaurus pun pasti dia kejar. "Mbak, ye... malah bengong. Nih, kata dokter, perut Mbak kosong. Bulan Ramadhan masih empat puluh hari lagi, Mbak. Kenapa udah puasa sekarang? Lagian kalau ibu hamil, boleh kok gak puasa kalau memang gak bisa.""Saya bukannya puasa, Kang, tapi emang belom sarapan," jawabku jujur. Tak sanggup sudah aku pura-pura jaim dengan keadaan menyulitkan seperti ini. Ditambah perut sudah semakin keroncongan dan baru aku sadar, tangan ini pun sudah tertancap jarum infus. "Oh, pantes aja. Ini makan dulu, Mbak. Saya minta nomor telepon suami Mbak Neneng, biar saya kabari. Kayaknya Mbak Neneng harus dirawat di sini satu hari karena tekanan darahnya rendah sekali." Kang Jaya menyodorkan nampan berisi sepiring nasi, semangkuk sop, perkedel, dan juga buah pisang. Mataku langsung berbinar menatap masakan yang ada di depan mata. "Ini buat saya? Gratis?" tanyaku lagi. "Iya, gratis, Mbak. Pasien ya pasti dapat makan di sini. Mana nomor teleponnya Pak Rizal?" "Itu, ambil aja di tas kecil saya itu. Isinya hanya HP saja," kataku sambil menoleh pada meja yang ada di samping brangkar. Pria itu mengambil benda pipih jadul yang aku simpan di dalam tas. Lalu ia memberikan padaku untuk melihat nomor Bang Rizal. "Mbak gak hapal nomor HP suami?" tanya Kang Jaya. "Nggak, males!" Jawabku santai karena memang tidak pernah menghapal nomor Bang Rizal yang suka gonta-ganti. Kusebutkan satu per satu nomor Bang Rizal. "Nelepon pake HP Mbak Neneng aja." "Saya gak ada pulsa. Gak ada duit, pingsan di jalan. Bahagia banget hidup saya hari ini, Kang," kataku sambil menahan air mata yang hampir tumpah. Kang Jaya berdecap. Kulihat ja menekan nomor Bang Rizal pada ponselnya. "Mbak makan aja, katanya belum makan dari pagi." Kang Jaya mengingatkan. Aku mengangguk. Sambil mengusap air mata yang perlahan merembes ke pipi, aku menyendok kuah sop ke dalam mulut. Kuaduk perlahan dan ternyata ini adalah sop daging. Kurang lebih sama saja rasanya dengan sop iga. Air mata pun semakin tidak bisa dihentikan. Tuhan mengabulkan keinginanku, tetapi harus di rumah sakit dahulu. "Mbak, saya speaker ya," kata Kang Jaya padaku. "Iya." Aku menjawab tanpa menoleh ke arahnya karena sedang asik menikmati makanan sedap yang jarang sekali aku nikmati. "Halo, assalamu'alaikum, benar ini nomor Pak Rizal?""Wa'alaykumusaalam, ini siapa ya?""Saya Jaya, tukang daster.""Tukang Daster? Mau apa? Mau nagih utang istri saya? Urusannya bukan sama saya, Mas. Tagih ke istri saya aja. Dasternya yang pake istri saya, Mas, bukan saya. Ya istri saya yang bayar. Udah ya, saya si.... " aku mendelik terkejut mendengar percakapan Bang Rizal dengan Kang Jaya. "Mbak Neneng di rumah sakit, Pak Rizal. Pingsan di jalan karena kelaparan kata dokter. Ini ketemu saya di jalan, jadi saya bawa ke klinik. Ini klinik harus bayar. Saya udah kasih uang DP lima ratus ribu.""Oh, pingsan, tapi saya lagi gak ada uang, Mas. Sampean tukang kredit kan? Gini aja deh, bayarin dulu urusan rumah sakit istri saya, nanti di bayarnya cicil. Minta aja ke Neneng. Jadinya setelah lunas cicilan daster, istri saya lanjut nyicil bayar tagihan rumah sakit.""Astaghfirullah, kacau sekali suami Mbak Neneng ini. Gini ya, Pak. Kalau rumah sakit ini saya yang bayar, istri Bapak buat saya aja gimana?""Memangnya Kang Jaya mau sama saya? Tunggu saya janda dulu kalau gitu," kataku dengan polosnya. Kang Jaya terbahak sambil menggelengkan kepala. "Ya Allah, kenapa saya harus bertemu suami istri yang sungguh gak jelas," ujarnya pelan, tetapi masih dapat kudengar dengan jelas. "Ya sudah, Mbak, saya keliling dulu. Nanti alamat rumah sakit ini saya kirim ke Pak Rizal. Tagihannya saya masukin ke catatan utang ya. Udah habis modal saya buat bayar klinik." Aku tersenyum miris. Miris mendapati suami yang sama sekali tidak khawatir dengandengan keadaanku dan juga bayinya. Justru lelaki bau matahari dan apek ini yang menolongku. "Makasih Kang, paling nanti sore suami saya ke sini." Kulihat Kang Jaya mengangguk. Lalu pria itu keluar dari kamar perawatan sederhana. Mungkin hanya ada satu kamar perawatan saja yang terisi lima bed, karena klinik yang sederhana ini sepertinya hanya menerima pasien dengan kondisi yang tidak berat. Tidak ada yang bisa aku lakukan di tempat seperti ini. Perut yang k
"Aduh, istri Abang udah lama nunggu ya?" sapanya begitu manis tanpa rasa bersalah sama sekali. Langkahnya nampak ringan melayang seakan tanpa beban; menghampiriku di tempat tidur. "Ya lama, orang saya nunggu dari kemarin." Wajahku cemberut. Kudengar suara tawa pendeknya. Aku tahu, Bang Rizal pasti menertawakan wajah jelekku. "Kemarin Abang repot banget, Neng. Ya udah, ayo, kita pulang." Ia berdiri sambil menarik pelan lengan ini untuk ikut berdiri juga sama sepertinya. Aku yang tidak mau berdebat akhirnya mengikuti langkah Bang Rizal keluar dari kamar perawatan. "Dijemput, Mbak?" sapa perawat yang kemarin berjaga merawatku. Aku menoleh, mengangguk, kemudian melemparkan senyum. "Iya, ini suami saya udah jemput," jawabku masih dengan senyuman. Di tangan ini sudah ada bungkusan yang berisi obat dari dokter. Namun, ada satu resep yang harus ditebus di apotek luar. "Sus, biaya istri saya udah lunas kan ya?" tanya Bang Rizal tiba-tiba. "Sudah, Pak, dilunasin tukang daster keliling,"
"Suami pulang kerja itu disambut dengan senyum, bukan malah cemberut!" Bang Rizal duduk di kursi tamu untuk membuka kaus kakinya. "Lagi sakit gigi, mau senyum gimana?" balasku pergi meninggalkan Bang Rizal, menuju dapur. Terpaksa aku berbohong karena ia baru saja sampai dari luar. Jika suamiku itu sudah mandi, barulah aku nanti bertanya kenapa berbohong soal uang bonus. "Abang sudah makan, Neng. Buatkan teh saja!" Serunya dari dalam kamar. "Iya, ini lagi dibuat tehnya." Aku mengaduk teh dengan menahan kesal. Setelah selesai, cangkir teh aku taruh di atas meja depan. Biasanya, setelah mandi, Bang Rizal akan duduk di depan TV. "Neng, baju yang hijau mana ini!" Teriak suamiku dari dalam kamar. Aku bergegas menghampiri untuk membantunya mencari baju yang ia maksud. "Kalau udah disetrika, langsung simpen di lemari, Neng. Jangan ditumpuk aja di keranjang. Kalau mau dipake jadi susah. Gak ketemu. Baju hijau itu mana?" cecarnya tanpa jeda. Aku tidak menyahut, tangan ini fokus mengangkat
"Mbak Neneng, kredit!""Duh, libur kek nagih, sehari aja. Ini mana rajin pisan tiap hari keliling," gumamku sesaat setelah menyahuti teriakan Kang Kaya. Kuambil uang lima ribu rupiah dari dalam laci lemari untuk membayar cicilan pada Kang Jaya. Entah berapa total utangku, tak sanggup rasanya menghitungnya. "Mbak Neneng, kredit! Lama bener bukain pintunya. Kagak perlu dandan kalau mau ketemu saya mah. Apa adanya aja!""Dih, rajin amat saya dandan buat Kang Jaya. Mending kreditan saya didiskon," jawabku sambil membuka pintu rumah."Astaghfirullah, baunya, Kang. Mandi pake sabun apa mandi pake aer comberan sih? Uek! Uek!" kulemparkan begitu saja uang lima ribuan tadi dan langsung masuk kembali ke dalam rumah. Bau badan Kang Jaya tak sanggup aku hirup, persis bau pesing di terminal. Bisa-bisa aku muntah koin kalau terus duduk di dekat pria itu. "Kang, besok kalau mau nagih kemari, kudu mandi dulu. Kalau nggak, saya gak mau bayar!" Suara tawa Kang Jaya terdengar sampai ke dalam. "Emangn
"Apa? Saya disuruh pergi? Emangnya ini rumah siapa? Ini rumah orang tua saya, Bang. Makanya kalau ngoceh itu juga pakai otak, biar mulut gak dikuasai setan." Aku pergi berlalu meninggalkan Bang Rizal yang terdiam. Terserah dia mau marah, mau minggat sekali pun, aku masa bodoh. Walau dalam keadaan marah, aku tetap membuatkan teh untuknya, lalu aku taruh di meja ruang tamu. Tak lupa kupanaskan kuah soto bening untuk dia makan. Selesai Bang Rizal mandi dan berganti pakaian, pria itu ternyata tidak keluar kamar lagi. Aku menunggu sampai satu jam lamanya, hingga kuah soto yang tadi hangat, sudah dingin kembali. Aku pun bangun dari duduk, lalu berjalan menuju kamar. Sebenarnya aku tidak ingin berbaikan, hanya saja sebagai istri, aku merasa perkataanku tadi sedikit berlebihan pada Bang Rizal. Belum pernah aku seperti itu. CklekPintu kamar terbuka lebih dahulu, sebel sempat aku membukanya. "Bang, ada apa ini?" tanyaku terkejut saat melihat Bang Rizal berdiri sambil memegang koper. "Aw!
"Aduh, perut saya!" Aku memekik saat merasakan sakit yang luar biasa pada perut buncit ini. Kedua kaki pun tidak berdaya untuk berdiri, hingga aku pun terkulai lemas, hampir saja jatuh di lantai ubin lobi mal yang dingin. "Waduh, Mbak Neneng, itu ada darahnya!" Pekik lelaki yang tidak lain adalah Kang Jaya. Setelah itu aku merasa semua gelap dan aku pun tak sadarkan diri. ***"Halo, Bu Asep, tahu nomor telepon suaminya Mbak Neneng gak?""Loh, ada apa Jaya?""Mbak Neneng pingsan dan sekarang lagi di rumah sakit.""Waduh, di rumah sakit mana, biar saya yang telepon Rizal.""Rumah sakit Harapan Ibu."Aku berusaha membuka mata, walau berat. Aroma disinfektan yang menusuk hidungku membuat perut ini semakin terasa bergolak. Suara lelaki yang sedang bercakap-cakap juga memaksaku untuk membuka mata. Sosok pria yang sedang memunggungiku saat ini sepertinya aku kenali. "Kang Jaya."Pria itu berbalik, menoleh ke arahku. "Alhamdulillah, Mbak Neneng sadar. Haduh, kenapa kalau ketemu saya di j
"Oh, jadi sudah menikah. Saya salut atas kejujuran Mbak Novi. Baiklah, terima kasih atas informasinya. Ngomong-ngomong, Saya bisa sendiri di rumah sakit ini, Mbak Novi pulang saja. Pasti ibu mertua sayang kita dan suami kita lebih butuh Mbak Novi." Aku berujar sambil menahan pedih di hati. Mbak Novi benar-benar muka tembok dengan datang ke rumah sakit dan mengaku istri kedua Bang Rizal."Iya, saya juga mau pulang. Mana mungkin saya mau lama-lama di sini. Saya ke sini cuma mau urus BPJS kamu dari pabrik. Sepertinya ada yang gak dicover sebesar lima ratus ribu. Saya gak bawa uang dan gak mungkin juga istri kedua bayarin obat istri pertama kan? Jadi tebus sendiri saja. Satu lagi, jangan minta uang pada suami berondong saya dan juga mertua saya." Wanita itu tersenyum sinis, lalu memberikan sebuah kartu dan juga satu lembar uang lima puluh ribu yang dilipat sesuai besar kartu."Ini titipan Bang Rizal. Saya permisi." Mbak Novi pun pergi meninggalkanku. Napas sesak yang sejak tadi kutahan, k
Malam hari. Wanita yang sangat tidak aku inginkan, malah nongol kembali di ruang perawatanku. "Mbak Novi jangan bercanda! Saya sedang sakit, Mbak. Kenapa harus datang lagi ke sini? Bayi saya baru saja dikubur dan Mbak Novi bilang bahwa Bang Rizal adalah suami Mbak Novi juga? Naksir boleh, Mbak, bego jangan! Bang Rizal sudah punya istri. Mbak adalah kakak sepupunya dan Mbak gak boleh jadi pelakor!" Aku berusaha menekan emosi yang saat ini berkumpul di dada. Mbak Novi bisa saja berbohong, apalagi tidak disertakan bukti. Aku tidak boleh percaya begitu saja. "Terserah kamu mau percaya atau tidak. Yang jelas, aku juga lagi hamil anak Rizal dan mulai detik ini. Semua uang Rizal buat aku karena aku yang hamil, sedangkan kamu keguguran'kan? " "Saya gak akan percaya jika tidak ada bukti. Selagi bukan Bang Rizal yang bicara, saya tidak akan percaya. Jadi sekarang tolong pergi! Jangan pernah muncul lagi di rumah saya! " Mbak Novi berjengkit kaget begitu mendengar suara lengkingan milikku.