"Kamu sakit, Neng?" Mbak Novi menatapku remeh. Ia meraih piring kosong kotor dari atas meja makan.
"Wajar dong saya tanya gitu, Mbak. Memangnya Bang Rizal mau belikan apa?" tanyaku lagi masih dengan suara tidak terima. "Neng, kamu ini aneh sekali. Saya tuh gak sengaja senggol HP Mbak Novi, terus pecah. Jadi saya harus ganti dan Mbak Novi maunya HP yang sama kayak punya dia. Ya saya belum ada duit. Kemarin saya baru setor buat pampers mama kan." Bang Rizal menjelaskan dengan ekspresi wajah meyakinkanku. Masuk di akal juga karena memang sejak kemarin aku tidak melihat update status Mbak Novi. Biasanya, apapun dan kapanpun itu, wanita berumur tiga puluh delapan tahun itu selalu posting. "Tuh, dengerin. Malah nuduh selingkuh, dosa kamu sama Mbak dan suami kamu!" Mbak Novi berjalan begitu saja melewatiku. Kakinya melangkah menuju kamar ibu mertua. Aku pun akhirnya berjalan ke dapur, hendak mengambil nasi dan juga sop iga. Namun, aku tidak menemukan apapun di dapur selain nasi yang masih ada di magic com. "Makanya jangan suka suudzon sama suami. Saya berangkat ya, Neng. Nanti kamu naik angkot aja pulangnya. Kalau naik ojek online ongkosnya mahal.""Bang, bukanya Abang bilang Mbak Novi masak sop iga, tapi kenapa di dapur gak ada apa-apa. Mana sop iganya?" "Udah habis, Neng. Mbak Novi mah dua kali masak. Pagi dan sore. Ada semangkuk lagi untuk mama. Kan kamu dadakan ke sininya, jadi Mbak Novi gak bikin lebih. Ya sudah, Abang berangkat ya." Aku tertegun tanpa bisa berkata-kata lagi. Bayangan menikmati semangkuk sup iga hangat dengan nasi putih yang sama hangatnya, mampu membuat air liurku keluar dari sudut bibir. Namun, kini keinginan itu harus aku hempaskan ke dasar jurang karena makanan itu sudah habis. Haruskah aku percaya? Rasanya tidak mungkin makanan enak seperti itu cepat sekali habisnya. Tentu aku tidak mau percaya begitu saja. Semua laci lemari kitchen set mama, aku buka satu per satu. Memperhatikannya dengan seksama, siapa tahu Mbak Novi menyembunyikan makanan itu dariku. Sayang sekali, sepertinya aku terlalu mencurigai sepupu suamiku itu karena memang tidak ada makanan apapun di dalam lemari. Hanya ada bahan makanan seperti mi instan, gula, teh, dan kerupuk mentah, dan beberapa bumbu dapur. "Ada apa? Kamu cari apa?" tiba-tiba Mbak Novi menegurku saat pintu kulkas baru saja kututup. Tentu saja aku menoleh kaget, khawatir Mbak Novi mencurigaiku."Saya ke sini ingin mencicipi sup iga buatan Mbak, tapi kata Bang Rizal sudah habis. Saya kirain, saya bisa membuat makanan yang lain, tetapi telur gak ada," jawabku sedikit berbohong. Sengaja kuusap perut membuncit ini agar Mbak Novi mengerti keinginanku yang tengah hamil ini. "Sudah habis. Kenapa gak beli di warung sayuran matang aja, seperti di warteg gitu? Oh, iya, kamu mau yang gratis ya. Gak belanja, gak masak, tahu-tahu makan." "Saya lagi ingin makan masakan Mbak Novi. Mungkin bawaan bayi, tapi kalau sudah habis, ya gak papa. Saya mau pulang aja." Aku mengulurkan tangan untuk berjabat. Mbak Novi menyambut uluran tanganku dengan setengah hati. Kenapa aku bilang setengah hati? Karena wajahnya terus saja cemberut. Apa aku harus emosi menanggapi ujaran Mbak Novi yang jelas sekali menyindirku? Tidak, perut ini sudah kelaparan sehingga aku tidak punya tenaga untuk membuat keributan. "Lain kali saja kalau pas saya masak, nanti saya suruh Rizal mampir ke sini untuk ambil." Mbak Novi keluar dari pintu samping. "Makasih Mbak, saya pulang dulu ya. Saya mau pamit mama dulu!" Setuju dengan suara sedikit keras. "Gak usah pamit, mama tidur. Kamu malah ganggu mama nanti." Ucapan menyakitkan lagi-lagi Aku terima jika aku berkunjung ke rumah mertuaku ini. Aku keluar dari rumah dalam keadaan perut lapar dan juga tidak memegang uang. Ponsel untuk memesan ojek online-pun tidak ada paket internetnya. Dompet tertinggal di rumah, sehingga aku gak punya uang sepeser pun. Ingin kembali ke rumah mertuaku, meminjam uang pada Mbak Novi, rasanya gak mungkin dan pasti tidak akan mereka berikan. Lima belas menit berlalu dan aku masih melangkah pulang dengan tubuh penuh keringat. Jarak rumahku mungkin masih sekitar dua kilometer lagi dari tempat aku berjalan saat ini. Perut pun rasanya sudah kencang dan sedikit sakit. "Loh, Mbak Neneng," tegur pria yang sedang memanggul karung cukup besar di pundaknya. Pria itu adalah Kang Jaya, pedagang daster keliling. "Mau ke mana? Habis lari ya? Mukanya pucet sama keringetan gitu?" Kang Jaya menatapku dengan heran. "Ini, saya...." napasku mendadak sesak karena kelelahan berjalan. Setelah itu aku pun tidak sadarkan diri.Mataku terasa amat berat. Aroma menyengat yang masuk ke hidung ini membuatku mencoba untuk membuka kelopak mata. Samar-samar aku melihat sosok yang seperti kukenal wajah dan juga baunya. "Ya Allah, Kang Jaya, kalau mau nagih ke rumah aja, masa di jalan begini?" tanyaku masih setengah sadar. Pria yang tadinya menoleh ke samping, kini melihat ke arahku dengan wajah terkejut. "Alhamdulillah akhirnya sadar juga. Siapa yang mau nagih, Mbak. Ini loh, Mbak Neneng pingsan di jalan. Makanya saya bawa ke sini karena saya kenal. Kalau sampai ada apa-apa dengan Mbak Neneng, tagihan dua ratus rebu saya bisa lewat dong!" Jawab Kang Jaya sambil menyeringai. Alasan lucu yang sungguh masuk akal menurutku. Tidak mungkin pria medit seperti Kang Jaya mau melepas para emak-emak yang berutang padanya. Sampai ke lubang hidung dinosaurus pun pasti dia kejar. "Mbak, ye... malah bengong. Nih, kata dokter, perut Mbak kosong. Bulan Ramadhan masih empat puluh hari lagi, Mbak. Kenapa udah puasa sekarang? Lagian
"Memangnya Kang Jaya mau sama saya? Tunggu saya janda dulu kalau gitu," kataku dengan polosnya. Kang Jaya terbahak sambil menggelengkan kepala. "Ya Allah, kenapa saya harus bertemu suami istri yang sungguh gak jelas," ujarnya pelan, tetapi masih dapat kudengar dengan jelas. "Ya sudah, Mbak, saya keliling dulu. Nanti alamat rumah sakit ini saya kirim ke Pak Rizal. Tagihannya saya masukin ke catatan utang ya. Udah habis modal saya buat bayar klinik." Aku tersenyum miris. Miris mendapati suami yang sama sekali tidak khawatir dengandengan keadaanku dan juga bayinya. Justru lelaki bau matahari dan apek ini yang menolongku. "Makasih Kang, paling nanti sore suami saya ke sini." Kulihat Kang Jaya mengangguk. Lalu pria itu keluar dari kamar perawatan sederhana. Mungkin hanya ada satu kamar perawatan saja yang terisi lima bed, karena klinik yang sederhana ini sepertinya hanya menerima pasien dengan kondisi yang tidak berat. Tidak ada yang bisa aku lakukan di tempat seperti ini. Perut yang k
"Aduh, istri Abang udah lama nunggu ya?" sapanya begitu manis tanpa rasa bersalah sama sekali. Langkahnya nampak ringan melayang seakan tanpa beban; menghampiriku di tempat tidur. "Ya lama, orang saya nunggu dari kemarin." Wajahku cemberut. Kudengar suara tawa pendeknya. Aku tahu, Bang Rizal pasti menertawakan wajah jelekku. "Kemarin Abang repot banget, Neng. Ya udah, ayo, kita pulang." Ia berdiri sambil menarik pelan lengan ini untuk ikut berdiri juga sama sepertinya. Aku yang tidak mau berdebat akhirnya mengikuti langkah Bang Rizal keluar dari kamar perawatan. "Dijemput, Mbak?" sapa perawat yang kemarin berjaga merawatku. Aku menoleh, mengangguk, kemudian melemparkan senyum. "Iya, ini suami saya udah jemput," jawabku masih dengan senyuman. Di tangan ini sudah ada bungkusan yang berisi obat dari dokter. Namun, ada satu resep yang harus ditebus di apotek luar. "Sus, biaya istri saya udah lunas kan ya?" tanya Bang Rizal tiba-tiba. "Sudah, Pak, dilunasin tukang daster keliling,"
"Suami pulang kerja itu disambut dengan senyum, bukan malah cemberut!" Bang Rizal duduk di kursi tamu untuk membuka kaus kakinya. "Lagi sakit gigi, mau senyum gimana?" balasku pergi meninggalkan Bang Rizal, menuju dapur. Terpaksa aku berbohong karena ia baru saja sampai dari luar. Jika suamiku itu sudah mandi, barulah aku nanti bertanya kenapa berbohong soal uang bonus. "Abang sudah makan, Neng. Buatkan teh saja!" Serunya dari dalam kamar. "Iya, ini lagi dibuat tehnya." Aku mengaduk teh dengan menahan kesal. Setelah selesai, cangkir teh aku taruh di atas meja depan. Biasanya, setelah mandi, Bang Rizal akan duduk di depan TV. "Neng, baju yang hijau mana ini!" Teriak suamiku dari dalam kamar. Aku bergegas menghampiri untuk membantunya mencari baju yang ia maksud. "Kalau udah disetrika, langsung simpen di lemari, Neng. Jangan ditumpuk aja di keranjang. Kalau mau dipake jadi susah. Gak ketemu. Baju hijau itu mana?" cecarnya tanpa jeda. Aku tidak menyahut, tangan ini fokus mengangkat
"Mbak Neneng, kredit!""Duh, libur kek nagih, sehari aja. Ini mana rajin pisan tiap hari keliling," gumamku sesaat setelah menyahuti teriakan Kang Kaya. Kuambil uang lima ribu rupiah dari dalam laci lemari untuk membayar cicilan pada Kang Jaya. Entah berapa total utangku, tak sanggup rasanya menghitungnya. "Mbak Neneng, kredit! Lama bener bukain pintunya. Kagak perlu dandan kalau mau ketemu saya mah. Apa adanya aja!""Dih, rajin amat saya dandan buat Kang Jaya. Mending kreditan saya didiskon," jawabku sambil membuka pintu rumah."Astaghfirullah, baunya, Kang. Mandi pake sabun apa mandi pake aer comberan sih? Uek! Uek!" kulemparkan begitu saja uang lima ribuan tadi dan langsung masuk kembali ke dalam rumah. Bau badan Kang Jaya tak sanggup aku hirup, persis bau pesing di terminal. Bisa-bisa aku muntah koin kalau terus duduk di dekat pria itu. "Kang, besok kalau mau nagih kemari, kudu mandi dulu. Kalau nggak, saya gak mau bayar!" Suara tawa Kang Jaya terdengar sampai ke dalam. "Emangn
"Apa? Saya disuruh pergi? Emangnya ini rumah siapa? Ini rumah orang tua saya, Bang. Makanya kalau ngoceh itu juga pakai otak, biar mulut gak dikuasai setan." Aku pergi berlalu meninggalkan Bang Rizal yang terdiam. Terserah dia mau marah, mau minggat sekali pun, aku masa bodoh. Walau dalam keadaan marah, aku tetap membuatkan teh untuknya, lalu aku taruh di meja ruang tamu. Tak lupa kupanaskan kuah soto bening untuk dia makan. Selesai Bang Rizal mandi dan berganti pakaian, pria itu ternyata tidak keluar kamar lagi. Aku menunggu sampai satu jam lamanya, hingga kuah soto yang tadi hangat, sudah dingin kembali. Aku pun bangun dari duduk, lalu berjalan menuju kamar. Sebenarnya aku tidak ingin berbaikan, hanya saja sebagai istri, aku merasa perkataanku tadi sedikit berlebihan pada Bang Rizal. Belum pernah aku seperti itu. CklekPintu kamar terbuka lebih dahulu, sebel sempat aku membukanya. "Bang, ada apa ini?" tanyaku terkejut saat melihat Bang Rizal berdiri sambil memegang koper. "Aw!
"Aduh, perut saya!" Aku memekik saat merasakan sakit yang luar biasa pada perut buncit ini. Kedua kaki pun tidak berdaya untuk berdiri, hingga aku pun terkulai lemas, hampir saja jatuh di lantai ubin lobi mal yang dingin. "Waduh, Mbak Neneng, itu ada darahnya!" Pekik lelaki yang tidak lain adalah Kang Jaya. Setelah itu aku merasa semua gelap dan aku pun tak sadarkan diri. ***"Halo, Bu Asep, tahu nomor telepon suaminya Mbak Neneng gak?""Loh, ada apa Jaya?""Mbak Neneng pingsan dan sekarang lagi di rumah sakit.""Waduh, di rumah sakit mana, biar saya yang telepon Rizal.""Rumah sakit Harapan Ibu."Aku berusaha membuka mata, walau berat. Aroma disinfektan yang menusuk hidungku membuat perut ini semakin terasa bergolak. Suara lelaki yang sedang bercakap-cakap juga memaksaku untuk membuka mata. Sosok pria yang sedang memunggungiku saat ini sepertinya aku kenali. "Kang Jaya."Pria itu berbalik, menoleh ke arahku. "Alhamdulillah, Mbak Neneng sadar. Haduh, kenapa kalau ketemu saya di j
"Oh, jadi sudah menikah. Saya salut atas kejujuran Mbak Novi. Baiklah, terima kasih atas informasinya. Ngomong-ngomong, Saya bisa sendiri di rumah sakit ini, Mbak Novi pulang saja. Pasti ibu mertua sayang kita dan suami kita lebih butuh Mbak Novi." Aku berujar sambil menahan pedih di hati. Mbak Novi benar-benar muka tembok dengan datang ke rumah sakit dan mengaku istri kedua Bang Rizal."Iya, saya juga mau pulang. Mana mungkin saya mau lama-lama di sini. Saya ke sini cuma mau urus BPJS kamu dari pabrik. Sepertinya ada yang gak dicover sebesar lima ratus ribu. Saya gak bawa uang dan gak mungkin juga istri kedua bayarin obat istri pertama kan? Jadi tebus sendiri saja. Satu lagi, jangan minta uang pada suami berondong saya dan juga mertua saya." Wanita itu tersenyum sinis, lalu memberikan sebuah kartu dan juga satu lembar uang lima puluh ribu yang dilipat sesuai besar kartu."Ini titipan Bang Rizal. Saya permisi." Mbak Novi pun pergi meninggalkanku. Napas sesak yang sejak tadi kutahan, k
Jaya memblokir kontak mantan yang mengucapkan selamat padanya. Bagi Jaya, ia harus memulai hidup baru bersama Neneng dan berubah untuk menjadi pribadi lebih baik dan juga suami yang bertanggung jawab. Pria itu, mantannya, mengirimkan pesan ucapan selamat dan meminta maaf tidak bisa hadir. Jaya justru meras sangat bersyukur mantannya tidak datang."Kang, saya sudah siap," ucap Neneng semangat. Ini masih jam tiga sore, tetapi mereka sudah harus segera berangkat ke bandara. Jangankan bercinta, ciuman pun belum sempat. Keduanya sibuk dengan barang bawaan masing-masing."Cantiknya istriku." Jaya mendaratkan kecupan di bibir sang Istri. Neneng tersenyum senang, sekaligus malu-malu."Nanti kita telat. Di Bali aja durasinya yang lama," kata Neneng saat Jaya sudah memeluk pinggangnya. Namun, Kaya ingin kembali menikmati bibir sang Istri yang saat ini bagaikan magnet. Ini adalah kedua kali ia mencium bibir Neneng, setelah waktu itu sempat mencuri cium secara kilat, sebelum mereka sah menjadi su
POV PenulisBu Asep meneteskan air matanya, tatkala melihat Neneng yang kini sedang duduk menunggu akad nikah selesai diucapkan Jaya. Anak teman dekatnya ini sudah ia anggap seperti anak sendiri, sehingga saat ini rasa sedih dan harunya sama seperti saat ia menikahkan putranya yang dapat istri orang Sukabumi.Mendengar isakan Bu Asep, Neneng pun menoleh terkejut. Namun, tidak lama kemudian, ia bangun dari duduknya untuk menghampiri Bu Asep."Kenapa nangis, Bu?" tanya Neneng sambil memegang tangan Bu Asep."Saya seperti sedang menikahkan anak sendiri. Ibu sama bapak kamu pasti girang banget kamu akhirnya bisa bahagia, menemukan jodoh yang tepat dan insyaAllah terbaik," ucap Bu Asep pelan sambil menghapus air matanya."Iya, Bu, tapi saya juga sangat bersyukur saya masih punya Bu Asep dan Pak Asep yang menganggap saya seperti anak sendiri. Makasih ya, Bu." Neneng memeluk Bu Asep dengan begitu hangat.Tok! Tok!"Akad nikah sudah selesai. Ayo, pengantin wanita bisa keluar!" Dengan menggand
"Mohon maaf, saya tidak bisa menerima pelakor bekerja di tempat saya." Aku terkejut saat Oma Anggit bicara seperti itu pada Novi."Oma, ini masalah pekerjaan, saya rasa Mbak Novi gak papa diberi kesempatan karena ia memang butuh duit. Suaminya tercinta dipenjara. Mertuanya lumpuh. Dia gak punya ijazah sarjana. Jadi, tidak ada salahnya memberikan kesempatan pada Mbak Novi. Saya akan bantu Oma untuk mengawasinya. Jika satu kali saja melakukan kesalahan, maka tidak ada ampun." Aku menatap Novi dengan sinis. Wanita itu masih menunduk malu, karena aibnya sebagai pelakor diketahui oleh anak-anak toko."Saya yang menjadi bos di toko ini kan, Oma?" tanyaku lagi dengan suara keras. Sengaja memberikan sindiran untuk Novi. "Tentu saja, Sayang. Kamu yang menjadi bos di sini dan 2 toko di lantai atas. Tunjukkan pada orang-orang yang pernah merendahkanmu, bahwa ada sebab ada akibat.""Baik, Oma, terima kasih. Novi, kamu boleh keluar dan pastikan hari pertama kamu di sini, jangan bikin kesalahan, k
Satu pekan berlalu, aku baru saja selesai menggelar sidang kedua gugatan cerai yang aku layangkan. Keadaan masih sama, Kang Jaya bekerja keliling menjajakan daster sejak pagi hingga sore hari. Padahal masih bulan Ramadhan, tetapi ia tetap bersikeras berkeliling. Aku dan Oma sudah melarangnya. Bahkan Oma meminta Kang Jaya mengelola beberapa toko pakaian yang ada di mal, tetapi tidak mau juga. Entah apa alasannya yang jelas Kang Jaya bilang belum waktunya ia memegang usaha keluarganya.Usaha keluarga yang sudah berjalan dan berhasil, bisa menjadi batu loncatan untuk lebih baik. Kang Jaya benar-benar bisa sukses dengan menjual pakaian saja. Namun ia selalu saja menolak dengan berbagai alasan."Bantu Oma bujuk Jaya, Neng. Ck, anak itu susah sekali diberitahu. Padahal ada banyak toko pakaian usaha keluarga kami. Mulai dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang, bahkan di Medan pun ada. Usaha pakaian itu memang turun-temurun, harusnya Jaya mengelola toko, tapi malah ia jualan kelil
POV NenengRasa gembiranya sungguh tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Wajah terkejut Novi dengan bola matanya yang hampir lepas dari bingkainya, membuatku tidak akan melupakan momen menyenangkan seperti tadi. Ia pasti merasa sangat sial karena telah berhasil dijebak olehku. Tidak ada yang menyangka, seorang Neneng bisa mengelabui musuh secara cerdas. Semua itu, tentu tidak lepas dari campur tangan dan campur rekening Kang Jaya. Jika saja ia tidak mau mengeluarkan uang dua ratus lima puluh untuk Bang Rizal, maka bisa dipastikan mertua, Novi, Rizal yang tengah dipenjara, akan sengsara. Namun, aku jadi merasa begitu berutang Budi pada Kang Jaya dan juga omanya, karena mereka sudah begitu baik dan percaya padaku.Sekilas kulirik Kang Jaya yang tengah menyetir mobil Mercy. Pasti tidak akan ada yang menyangka kalau ia juga adalah pedagang daster keliling. "Kenapa lirik-lirik, Mbak? Ada yang mau dikatakan?" tanya Jaya sambil tersenyum."Kang, soal uang dua ratus lima puluh itu bagaima
"Halo, Ma, Bu RT mau terima surat gadai rumah Mama. Dua ratus lima puluh juta, tetapi harus kembali dalam waktu satu bulan.""Oh, syukurlah. Ya sudah, mau bagaimana lagi. Mama ikhlas asalkan urusan kamu dan Rizal selesai. Biar nanti Bu RT ke sini malam hari. Biar ada Dio yang temani Mama.""Iya, Ma, terima kasih banyak ya, Ma. Novi akan bereskan semua urusan begitu yang sudah di tangan. Semoga lancar ya, Ma. Novi doakan dari sini." Aku pun menutup panggilan. Senyum ini terus terbit membayangkan masalahku satu per satu terurai. Meskipun masih ada masalah besar berkaitan dengan suamiku, tetapi paling tidak, aku punya uang dan tenaga untuk mengurusnya. Malam pun tiba, Dio mengirimkan foto Bu RT dan Pak RT, serta tetangga kanan rumah mama sebagai saksi dan juga Dio. Mama nampak rapi duduk di kursi roda. Aku bersyukur meskipun bukan nenek kandungnya, Dio mau juga membantu mama sedikit-sedikit. Dio memanggil panggilan video. Aku melihat ada enam orang di dalam ruang tamu tampak berbincang
POV NoviKeadaanku benar-benar jungkir balik. Dari awalnya hidup tenang dengan pacaran diam-diam bersama Mas Rizal. Pria itu juga mencukupi semua kebutuhanku dan Dio, meskipun aku harus sedikit berkorban tenaga untuk merawat metuaku.Sejak aku resmi menikah secara agama dengan Mas Rizal, rasa tenang dan bahagia itu bisa aku hitung dengan jari, ada beberapa jam saja. Selebihnya, semua masalah datang silih-berganti. Aku bahkan hampir mati karena dirampok oleh sopir taksi online.Tapi bukan Novi namanya, kalau aku harus menyerah pada takdir, apalagi memohon pada Neneng. Bagiku, Neneng adalah musuh yang tidak perlu aku hampiri. Ia akan sangat senang jika aku memohon untuk diberikan uang. Sampai kapanpun aku akan tetap membenci wanita itu. Neneng sudah membuat Mas Rizal di tangkap. Neneng juga membuat kesialan demi kesialan menghampiri suamiku dan juga aku.Kring! Kring!Ponselku berdering. Nama mertuaku tertera di layar. Sebelum aku angkat, aku sudah dapat menebak apa yang ingin dikatakan
"Apa, Rizal ditangkap? Dio, kamu gak boleh sembarangan bicara, Nak. Om kamu itu lagi kerja. Katanya diterima kerja di rumah orang kaya," ucap Bu Murni tidak percaya. Sepulang sekolah, Dio mampir ke rumah sakit untuk menjenguk bundanya, tetapi sampai di sana bundanya tengah menangis dan mengatakan bahwa ayah sambungnya ditangkap."Beneran, Nek. Tadi saya dari rumah sakit. Ini Nenek telepon ada bunda, biar jelas. Aduh, ada-ada saja. Istri di rumah sakit gak bisa keluar karena belum bayar. Suami ditangkap, mertua lumpuh. Saya doang yang beneran di rumah ini," gerutu Dio begitu kesal. Sejak bundanya menikah dengan Rizal, selalu saja ada kesialan yang menimpa bundanya. Apa karena bundanya pelakor? Calon adik bayinya aja sampai diambil Tuhan lagi. Mungkin emang karena dosa di dunia. Ya Allah, serem."Ini, Nek!" Dio memberikan ponselnya pada Bu Murni. Remaja kelas dua SMA itu pun membuang isi pispot bekas pipis neneknya ke kamar mandi. "Halo, Novi, ada apa? Dio pulang sekolah katanya Rizal
"Apa, Mas? Calon suami Neneng orang kaya? Kok bisa?" dada Novi naik turun tidak percaya. Biji matanya hampir saja melompat saat mendengar penuturan suaminya."Ya bisa, Nov. Udah takdirnya kali," jawab Rizal tanpa semangat. Pria itu meneguk segelas air putih; lelah pikiran tentang biaya rumah sakit."Ya gak bisa, Mas. Harusnya Mas nasehati pria kaya itu. Bilang apa kek sama dia tentang Neneng. Mas paling tahu Neneng kan. Bisa aja pemuda itu diguna-guna Neneng. Mas harus bertindak. Jangan sampai Neneng menikah dengan pria kaya itu. Enak bener dia. Kita di sini blangsak, dia jadi kaya." Ocehan panjang kali lebar Novi membuat Rizal semakin sakit kepala. Bukannya ia tidak mau membujuk Jaya, tetapi Jaya sudah tahu semua cerita yang dialami oleh istrinya itu. Ditambah ia pernah berutang pada pria itu dan sampai sekarang belum dibayar. Tidak akan ada yang menyangka bahwa tukang dastrr keliling itu adalah Sultan."Mas, kenapa diam aja sih? Abang harus gerak cepat! Abang pokoknya gak boleh men