"Loh, Neneng ikut kemari, tumben!" Mbak Novi menyambutku dengan senyuman yang aku tahu sekali, senyuman itu palsu. Entah apa yang ia tidak suka dariku, yang jelas auranya begitu menyeramkan bila aku datang berkunjung.
"Iya, Mbak, katanya kangen mama. Jadi sekalian bareng saya. Kelar sarapan, saya berangkat kerja, Neneng mungkin masih di sini dulu." Jawaban Bang Rizal membuat Mbak Neneng mengangguk. Kami pun masuk ke dalam rumah mertuaku yang cukup luas. Rumah dalam keadaan rapi, serta harum pembersih lantai. Ubin kotak-kotak putih itu begitu mengkilap dan kesat. Ini pertanda Mbak Novi benar-benar menyapu dan mengepelnya. Aku saja bisa bercermin di ubin karena terlalu licin dan mengkilapnya."Mama mana?" tanya Bang Rizal pada Mbak Novi. "Ada di kamar, baru aja saya mandikan." Wanita itu menjawab sambil lalu. Aku dan Bang Rizal masuk ke kamar mama. Sebelumnya sudah kuniatkan dalam hati untuk berani meminta uang bonus Bang Rizal sebagian. Usaha dulu saja, kalau tidak dapat, aku bisa bilang apa. Gak mungkin aku mendoakan mertuaku lekas ketemuan sama Malaikat Maut'kan? "Ma," panggil Bang Rizal lembut. Ibu mertuaku sedang duduk bersandar di kepala ranjang. Ia menoleh menatap kami berdua. "Loh, kamu kenapa kemari? Masih pagi loh, Neng. Udah keluyuran aja!" Ibu mertuaku mengeluarkan kalimat yang begitu menggoda. Kupingku panas, hati ini pun panas, tetapi aku tahan agar pantatku tidak ikutan panas, sehingga mampu mengeluarkan suara dan bunyi panas dari sana. Sabar, Neng. Udah tua, iya-in saja. "Ish, Mama masih pagi kenapa sewot? Ini menantu mau lihat mertua masa gak boleh? Masa dibilang keluyuran. Neneng ikut saya karena sekalian jalan. Saya mau numpang sarapan di sini, makanya Neneng mau ikutan, Ma," jawab Bang Rizal membelaku. Suamiku ini terkadang ke sana, terkadang ke sini. Untunglah pagi ini otaknya tidak koslet, sehingga bisa membela istrinya. "Pasti ada maunya, ya'kan?" tebak mertuaku sambil menyeringai. "Iya, Ma, mau sarapan. Mama udah sarapan?" tanya Bang Rizal mencoba mengalihkan pembicaraan. "Belum, Novi lagi sibuk. Nanti saja setelah Novi selesai beberes. ""Biar saya ambilkan dan suapin Mama ya?" kataku akhirnya. "Nggak usah, nanti biar Novi saja. Rizal, kalau kamu mau sarapan, sarapan saja duluan, Mama mau bicara pada Neneng. Udah lama kayaknya kami nggak ngobrol." Ibu mertuaku meminta Bang Rizal keluar kamar. Hatiku tiba-tiba saja tidak tenang. Jantung ini pun berdetak cepat karena merasa akan ada hal tidak mengenakan yang akan aku terima sebentar lagi. "Sini!" Ibu mertuaku meminta aku untuk duduk di ujung kakinya. Aku pun menurut. Tangan ini otomatis terulur untuk memijat kedua kaki ibu mertua yang sudah tidak bisa berjalan lagi. "Gak usah, Mama semalam baru dipijat Novi. Mama cuma ingin ngobrol sama kamu aja.""Oh, iya, Ma. Alhamdulillah Mama punya ponakan yang serba bisa," pujiku tulus, tetapi tidak dengan mertuaku yang raut wajahnya terus saja masam. "Tadi Rizal WA Mama, katanya kamu mau minta uang bonus yang sudah diberikan Rizal pada Mama, iya? Kamu gak iklas suami kamu menjemput surganya dengan memuliakan ibunya? Wanita yang sudah melahirkannya." Aku membuka mulut untuk menyanggah, tetapi mertuaku meletakkan jari telunjuk di bibirnya sebagai tanda bahwa aku harus diam dan gak boleh protes. Sungguh suamiku benar-benar keterlaluan, bisa-bisanya ia mengadu pada mamanya. "Uangnya sudah dibelikan pampers dan ada sisa untuk ke dokter siang ini. Jadi, buat kamu gak ada," ujar ibu mertuaku dengan tatapan tajam. "Saya juga mau ke dokter, Ma. Memeriksakan kandungan, tapi uangnya gak ada," kataku jujur. "Memangnya kamu gak punya BPJS? Kenapa harus periksa ke dokter, kenapa nggak ke dukun beranak atau bidan saja? Jadi lebih murah." Aku terdiam. Mertuaku keras. Begitu juga Bang Rizal. Tidak akan mudah menggoyahkan apa yang sudah mereka katakan dan putuskan. Lalu kenapa Mama tidak ke rumah sakit yang menerima pasien BPJS? Kenapa harus ke rumah sakit swasta yang mahal? tanyaku dalam hati. Mana nekat bibir ini mengucapkan kalimat sarkas seperti itu secara langsung. "Ada, Ma, tapi kata bidan puskesmas, saya harus USG ke klinik bersalin. Di puskesmas tempat saya periksa, gak ada mesin USG. Saya juga mau beli perlengkapan bayi," jawabku masih dengan penuh kelembutan. "Uangnya udah habis. Mama mau tidur, kamu kalau mau makan, makan aja di depan." Sia-sia aku datang ke rumah mertua, karena alasan mertua yang sangat tidak masuk akal, membuatku semakin kesal saja. "Ya sudah, saya pamit, Ma." Aku pun bangun dari duduk, lalu berjalan dengan gontai untuk membuka pintu kamar ibu mertuaku. Kaki ini pun langsung melangkah menuju dapur. Perut sudah keroncongan minta diisi. Membayangkan sop iga membuat bayi dalam perutku bersorak hore. "Iya, saya janji, Mbak. Nanti pas gajian ya." Aku mengerutkan kening. Apa yang dijanjikan Mas Rizal pada Mbak Novi? Aku terus menguping dengan jantung berdebar. "Kamu mah gitu, janji terus.""Semalam saya udah kasih banyak loh, masa kurang sih?""Pokoknya saya mau yang itu!""Hhm... iya deh, nanti saya pulang kerja, saya belikan deh." Aku pun keluar dari tempat persembunyian. "Bang Rizal dan Mbak Novi sedang bicara apa ya? Bang Rizal mau belikan apa untuk Mbak Novi? Jangan bilang kalau kalian selingkuh di belakang saya?""Kamu sakit, Neng?" Mbak Novi menatapku remeh. Ia meraih piring kosong kotor dari atas meja makan. "Wajar dong saya tanya gitu, Mbak. Memangnya Bang Rizal mau belikan apa?" tanyaku lagi masih dengan suara tidak terima. "Neng, kamu ini aneh sekali. Saya tuh gak sengaja senggol HP Mbak Novi, terus pecah. Jadi saya harus ganti dan Mbak Novi maunya HP yang sama kayak punya dia. Ya saya belum ada duit. Kemarin saya baru setor buat pampers mama kan." Bang Rizal menjelaskan dengan ekspresi wajah meyakinkanku. Masuk di akal juga karena memang sejak kemarin aku tidak melihat update status Mbak Novi. Biasanya, apapun dan kapanpun itu, wanita berumur tiga puluh delapan tahun itu selalu posting. "Tuh, dengerin. Malah nuduh selingkuh, dosa kamu sama Mbak dan suami kamu!" Mbak Novi berjalan begitu saja melewatiku. Kakinya melangkah menuju kamar ibu mertua. Aku pun akhirnya berjalan ke dapur, hendak mengambil nasi dan juga sop iga. Namun, aku tidak menemukan apapun di dapur selain nasi yang masi
Mataku terasa amat berat. Aroma menyengat yang masuk ke hidung ini membuatku mencoba untuk membuka kelopak mata. Samar-samar aku melihat sosok yang seperti kukenal wajah dan juga baunya. "Ya Allah, Kang Jaya, kalau mau nagih ke rumah aja, masa di jalan begini?" tanyaku masih setengah sadar. Pria yang tadinya menoleh ke samping, kini melihat ke arahku dengan wajah terkejut. "Alhamdulillah akhirnya sadar juga. Siapa yang mau nagih, Mbak. Ini loh, Mbak Neneng pingsan di jalan. Makanya saya bawa ke sini karena saya kenal. Kalau sampai ada apa-apa dengan Mbak Neneng, tagihan dua ratus rebu saya bisa lewat dong!" Jawab Kang Jaya sambil menyeringai. Alasan lucu yang sungguh masuk akal menurutku. Tidak mungkin pria medit seperti Kang Jaya mau melepas para emak-emak yang berutang padanya. Sampai ke lubang hidung dinosaurus pun pasti dia kejar. "Mbak, ye... malah bengong. Nih, kata dokter, perut Mbak kosong. Bulan Ramadhan masih empat puluh hari lagi, Mbak. Kenapa udah puasa sekarang? Lagian
"Memangnya Kang Jaya mau sama saya? Tunggu saya janda dulu kalau gitu," kataku dengan polosnya. Kang Jaya terbahak sambil menggelengkan kepala. "Ya Allah, kenapa saya harus bertemu suami istri yang sungguh gak jelas," ujarnya pelan, tetapi masih dapat kudengar dengan jelas. "Ya sudah, Mbak, saya keliling dulu. Nanti alamat rumah sakit ini saya kirim ke Pak Rizal. Tagihannya saya masukin ke catatan utang ya. Udah habis modal saya buat bayar klinik." Aku tersenyum miris. Miris mendapati suami yang sama sekali tidak khawatir dengandengan keadaanku dan juga bayinya. Justru lelaki bau matahari dan apek ini yang menolongku. "Makasih Kang, paling nanti sore suami saya ke sini." Kulihat Kang Jaya mengangguk. Lalu pria itu keluar dari kamar perawatan sederhana. Mungkin hanya ada satu kamar perawatan saja yang terisi lima bed, karena klinik yang sederhana ini sepertinya hanya menerima pasien dengan kondisi yang tidak berat. Tidak ada yang bisa aku lakukan di tempat seperti ini. Perut yang k
"Aduh, istri Abang udah lama nunggu ya?" sapanya begitu manis tanpa rasa bersalah sama sekali. Langkahnya nampak ringan melayang seakan tanpa beban; menghampiriku di tempat tidur. "Ya lama, orang saya nunggu dari kemarin." Wajahku cemberut. Kudengar suara tawa pendeknya. Aku tahu, Bang Rizal pasti menertawakan wajah jelekku. "Kemarin Abang repot banget, Neng. Ya udah, ayo, kita pulang." Ia berdiri sambil menarik pelan lengan ini untuk ikut berdiri juga sama sepertinya. Aku yang tidak mau berdebat akhirnya mengikuti langkah Bang Rizal keluar dari kamar perawatan. "Dijemput, Mbak?" sapa perawat yang kemarin berjaga merawatku. Aku menoleh, mengangguk, kemudian melemparkan senyum. "Iya, ini suami saya udah jemput," jawabku masih dengan senyuman. Di tangan ini sudah ada bungkusan yang berisi obat dari dokter. Namun, ada satu resep yang harus ditebus di apotek luar. "Sus, biaya istri saya udah lunas kan ya?" tanya Bang Rizal tiba-tiba. "Sudah, Pak, dilunasin tukang daster keliling,"
"Suami pulang kerja itu disambut dengan senyum, bukan malah cemberut!" Bang Rizal duduk di kursi tamu untuk membuka kaus kakinya. "Lagi sakit gigi, mau senyum gimana?" balasku pergi meninggalkan Bang Rizal, menuju dapur. Terpaksa aku berbohong karena ia baru saja sampai dari luar. Jika suamiku itu sudah mandi, barulah aku nanti bertanya kenapa berbohong soal uang bonus. "Abang sudah makan, Neng. Buatkan teh saja!" Serunya dari dalam kamar. "Iya, ini lagi dibuat tehnya." Aku mengaduk teh dengan menahan kesal. Setelah selesai, cangkir teh aku taruh di atas meja depan. Biasanya, setelah mandi, Bang Rizal akan duduk di depan TV. "Neng, baju yang hijau mana ini!" Teriak suamiku dari dalam kamar. Aku bergegas menghampiri untuk membantunya mencari baju yang ia maksud. "Kalau udah disetrika, langsung simpen di lemari, Neng. Jangan ditumpuk aja di keranjang. Kalau mau dipake jadi susah. Gak ketemu. Baju hijau itu mana?" cecarnya tanpa jeda. Aku tidak menyahut, tangan ini fokus mengangkat
"Mbak Neneng, kredit!""Duh, libur kek nagih, sehari aja. Ini mana rajin pisan tiap hari keliling," gumamku sesaat setelah menyahuti teriakan Kang Kaya. Kuambil uang lima ribu rupiah dari dalam laci lemari untuk membayar cicilan pada Kang Jaya. Entah berapa total utangku, tak sanggup rasanya menghitungnya. "Mbak Neneng, kredit! Lama bener bukain pintunya. Kagak perlu dandan kalau mau ketemu saya mah. Apa adanya aja!""Dih, rajin amat saya dandan buat Kang Jaya. Mending kreditan saya didiskon," jawabku sambil membuka pintu rumah."Astaghfirullah, baunya, Kang. Mandi pake sabun apa mandi pake aer comberan sih? Uek! Uek!" kulemparkan begitu saja uang lima ribuan tadi dan langsung masuk kembali ke dalam rumah. Bau badan Kang Jaya tak sanggup aku hirup, persis bau pesing di terminal. Bisa-bisa aku muntah koin kalau terus duduk di dekat pria itu. "Kang, besok kalau mau nagih kemari, kudu mandi dulu. Kalau nggak, saya gak mau bayar!" Suara tawa Kang Jaya terdengar sampai ke dalam. "Emangn
"Apa? Saya disuruh pergi? Emangnya ini rumah siapa? Ini rumah orang tua saya, Bang. Makanya kalau ngoceh itu juga pakai otak, biar mulut gak dikuasai setan." Aku pergi berlalu meninggalkan Bang Rizal yang terdiam. Terserah dia mau marah, mau minggat sekali pun, aku masa bodoh. Walau dalam keadaan marah, aku tetap membuatkan teh untuknya, lalu aku taruh di meja ruang tamu. Tak lupa kupanaskan kuah soto bening untuk dia makan. Selesai Bang Rizal mandi dan berganti pakaian, pria itu ternyata tidak keluar kamar lagi. Aku menunggu sampai satu jam lamanya, hingga kuah soto yang tadi hangat, sudah dingin kembali. Aku pun bangun dari duduk, lalu berjalan menuju kamar. Sebenarnya aku tidak ingin berbaikan, hanya saja sebagai istri, aku merasa perkataanku tadi sedikit berlebihan pada Bang Rizal. Belum pernah aku seperti itu. CklekPintu kamar terbuka lebih dahulu, sebel sempat aku membukanya. "Bang, ada apa ini?" tanyaku terkejut saat melihat Bang Rizal berdiri sambil memegang koper. "Aw!
"Aduh, perut saya!" Aku memekik saat merasakan sakit yang luar biasa pada perut buncit ini. Kedua kaki pun tidak berdaya untuk berdiri, hingga aku pun terkulai lemas, hampir saja jatuh di lantai ubin lobi mal yang dingin. "Waduh, Mbak Neneng, itu ada darahnya!" Pekik lelaki yang tidak lain adalah Kang Jaya. Setelah itu aku merasa semua gelap dan aku pun tak sadarkan diri. ***"Halo, Bu Asep, tahu nomor telepon suaminya Mbak Neneng gak?""Loh, ada apa Jaya?""Mbak Neneng pingsan dan sekarang lagi di rumah sakit.""Waduh, di rumah sakit mana, biar saya yang telepon Rizal.""Rumah sakit Harapan Ibu."Aku berusaha membuka mata, walau berat. Aroma disinfektan yang menusuk hidungku membuat perut ini semakin terasa bergolak. Suara lelaki yang sedang bercakap-cakap juga memaksaku untuk membuka mata. Sosok pria yang sedang memunggungiku saat ini sepertinya aku kenali. "Kang Jaya."Pria itu berbalik, menoleh ke arahku. "Alhamdulillah, Mbak Neneng sadar. Haduh, kenapa kalau ketemu saya di j