"Apa, Zal? Operasi? Uang dari mana? Eh, tapi Novi ada BPJS loh. Pasti ditanggung rumah sakit semua," kata mamaku sembari aku mengganti pakaiannya yang basah kena ompol. Untunglah mama tidak jadi buang air karena sembelit. "Ma, gak di-cover semua sama BPJS, Ma, tetap kudu pegang uang tiga puluh sampai empat puluh juta. Ma ..." Aku duduk di samping mama. "Kenapa? Jangan bilang kamu mau gadai surat rumah ini. Iya kalau kamu bisa ganti, kalau tidak, kita mau tinggal di mana? Nggak, surat rumah harus tetap disimpan." Mama terang menolak. Aku pun sebenarnya tidak mau punya niat seperti itu, tetapi aku tidak tahu mau pinjam ke mana lagi. Jika saja aku masih kerja, aku mungkin masih bisa pinjam ke koperasi karyawan pabrik, tetapi sekarang sudah tidak bisa lagi."Coba pinjam sama teman kamu. Jaminannya motor kamu itu. Beli motor mahal banget sampai puluhan juta. Kamu itu mubazir!" "Ma, motornya dirampok." Mama mendelik terkejut dengan mulut setengah terbuka."A-apa maksud kamu, Zal? Motor k
PoV Neneng"Ada apa, Mbak? Siapa yang menelepon?" tanya Kang Jaya yang baru saja masuk ke dalam mobil. Kami berhenti sebentar di pom bensin karena ia kebelet buang air kecil."Tebak siapa?" tanyaku balik. Tentu saja Kang Jaya mengangkat bahunya tidak tahu. Ponsel miliknya aku kembalikan, lalu ia mengecek kontak yang meneleponnya."Bang Rizal menelepon? Mau apa? Apa mau bayar utang biar Mbak Neneng bisa ikut sama dia?" tanya Kang Jaya curiga. Tentu saja aku terbahak mendengar komentar Kang Jaya. "Mending amat bayar utang, Bang Rizal mau utang lagi, Kang. Kalau dari suaranya, dia beneran butuh. Oh iya, istri muda yang tua itu hilang. Terus ditemukan di hutan, hampir dimakan singa. Kalau kata saya, Bang Rizal butuh biaya untuk itu," terangku panjang lebar pada Kang Jaya."Waduh, emang singa doyan daging alot?" katanya lagi padaku."Mana saya tahu, orang saya gak pernah masakin buat singa, ha ha ha ..." Kami berdua pun tertawa geli. Seumur-umur nyicil di daster di Kang Jaya, baru kali in
"Pak Ari salah paham, Pak. Ini kejadiannya tidak seperti yang Bapak lihat. Ini Kang Jaya lagi sakit dan ...""Memangnya kamu siapanya sampai begitu peduli pada Jaya? Kalian bukan suami istri dan kamu, Neng, bukankah di KTP kamu statusnya menikah. Berarti kamu dan Jaya di sini melakukan hal terlarang. Saya akan panggil Pak RT!" Aku mendesah sebal. Selalu saja Pak Ari sering salah sangka padanya. Pria setengah baya itu sudah berlari keluar untuk memanggil Pak RT. Aku menatap Kang Jaya yang masih menggigil di atas ranjang. Segera kuambil selimut, lalu menyelimutinya. "Kalau bayar suster dari rumah sakit, pasti bayarannya mahal," ledekku agar suasana diantara kami tidak canggung."Hmm ... bilang aja minta dibayar," komentar Kang Jaya dengan mata terpejam. Ia santai sekali dengan ancaman yang dilontarkan Pak Arif padanya. Pemuda itu tetap memejamkan mata, seolah-olah tidak terjadi apa-apa barusan."Kang, gimana kalau Pak RT kemari dan menikahkan kita? Seperti cerita-cerita di novel itu,"
"Maaf, ya ampun, saya mencari Pak Rizal dan adik ini. Mohon maaf, ini sepertinya janin Bu Novi harus diangkat," seorang dokter dan perawat, tiba-tiba saja menyela percakapan antara Dio dan Bang Rizal. Aku dan Kang Jaya pun ikut terkejut juga. Apalagi kabar yang dibawa oleh beliau bagaikan hujan uang di depanku. "Ya Allah, bayi saya, Dok?" tanya Rizal tidak percaya. Hati ini bagaikan dicubit saat melihat ekspresi kecewa, sedih, yang diperlihatkan oleh Rizal. Mengapa ia bisa begitu peduli pada bayi Mbak Novi, sedangkan saat bayiku ....""Mbak, ayo, pergi! Nama saya muncul di layar!" Kang Jaya langsung menarikku untuk segera pergi dari Rizal. Padahal aku ingin mendengar kabar gembira itu lebih lanjut. "Yang namanya bayi tetap tidak berdosa, Mbak. Yang salah itu orang tua. Sudah dengar tadi istri tua Bang Rizal harus diangkat janinnya. Berarti sudah satu sama mereka berdua mendapatkan karmanya. Kita tidak boleh dendam. Cukup balas dengan cantik." Kang Jaya mengedipkan matanya, tepat di
Kring! KringAku tersentak saat ponselku tiba-tiba berdering. Lekas aku bangun untuk melihat siapa yang menelepon. Merasa tidak mengenal nomor baru tersebut, aku pun mengabaikan dan melanjutkan kembali melipat daster yang baru saja di acak-acak tetangga. Beli nggak, malah dicobain semua, plus pake foto Selfi. Biar apa coba? Biar kelihatan keren, seolah-olah beli daster banyak? Aku terus saja menggerutu kesal sambil melipat pakaian itu, kemudian menyusunnya kembali ke dalam rak."Mbak, kamu gak belanja? Besok kita sahur loh," ujar Kang Jaya yang sudah berdiri di depanku dengan wajah yang masih tidak sehat. Tiga hari sudah berlalu dan dia masih juga nampak lemah."Pengen sih, nanti sore aja beli minimarket Frozen, Kang. Ayam, daging, bumbu pun ada. Kakang mau saya masakin apa?" tanyaku sambil tersenyum."Semur daging dan tahu goreng untuk sahur. Mbak bisa bikinnya?""Bisa dong, nanti saya buatkan ya. Setelah ini selesai, saya pergi belanja. Obat Kang Jaya sudah diminum?" pemuda itu meng
Gara-gara pernyataan sekaligus pertanyaan Kang Jaya kemarin, sudah dua malam ini aku tidak bisa tidur. Jangankan tidur, lagi beres-beres daster aja aku kepikiran ucapan Kang Jaya. Pemuda itu tulus, tapi bukannya ia punya penyakit, bagaimana kalau aku gak bisa membuatnya sembuh? Atau malah bikin dia jadi kembali lagi ke jalan yang bengkok?TingtongBel ruang sidang berbunyi. Kepala ini sedikit mendongak untuk melihat nomor antrean perkara yang sudah bisa masuk ke dalam ruangan. Aku pun berdiri dan dengan percaya diri, serta penuh keyakinan, masuk ke dalam ruang sidang."Dengan Mbak Neneng? Apa Mbak Neneng sendiri?" tanya petugas panitera yang duduk di sebelah hakim."Iya, Yang Mulia. Saya sendiri. Semoga tergugat gak perlu datang, agar bisa lancar urusan perceraian ini dengan cepat, Yang Mulia," jawabku dengan santun dan penuh hormat. Semalam aku sudah diajarkan oleh Kang Jaya, bahwa saat bicara di depan hakim dan pejabat ruang sidang lainnya, aku harus berkata-kata dengan lugas, tanpa
POV JayaHari ini aku kembali berkeliling menjajakan daster, karena ini adalah puasa pertama, rasa hausnya beda. Lelahnya juga sangat terasa. Apa mungkin karena aku baru saja sembuh? Tubuh rasanya loyo dan tidak bertenaga. Untuk apa semua yang aku lakukan ini? Padahal ada banyak warisan yang menunggu untuk aku sentuh. Apa nungkin agar aku bisa segera melupakan Ken? Tiba-tiba saja wajah tampan Ken berubah menjadi wajah Mbak Neneng. Istri orang yang punya masalah gak kelar-kelar. Satu hal yang aku heran, kenapa hati dan tangan ini begitu ringan membantunya disaat ia sedang kesulitan? Tidak mungkin aku naksir kan? Aku menoleh ke belakang untuk melihat jam dinding yang ada di mushola tempat aku solat Zuhur, sekaligus beristirahat. Sudah jam dua siang dan rasanya kaki ini sudah tak sanggup untuk berkeliling lagi. Mengingat Mbak Neneng yang hari ini menjalani sidang pertama, sebaiknya aku telepon saja. "Halo, Mbak Neneng di mana?""Halo, Sayang." Aku mendelik kaget mendengar kata sayan
"Halo, Jaya, saya mau minta tolong, bisa pinjamkan saya uang lima belas juta untuk membawa istri saya keluar dari rumah sakit?""Istrinya yang mana, Pak?""Istri muda saya.""Oh, yang istri muda tapi udah ubanan? Mohon maaf Pak Rizal, saya bukan mesin pencetak uang yang uangnya selalu ada terus setiap hari. Lagian, saya gak bisa bantu orang yang udah zolim sama istri. Saya gak bisa bantu. Uang saya udah buat Mbak Neneng seorang."Dengan gemas, Neneng mencubit pinggangku karena saat ini kami tengah membereskan lipatan daster."Jadi kalian berselingkuh? Sepertinya saya harus ke kantor polisi untuk melaporkan perselingkuhan kalian dan sepertinya kalian ini juga kumbul kebo ya? Oke, kita akan berurusan dengan polisi saja.""Ha ha ha ... ke polisi itu kalau cuma modal laporan saja gak akan digubris. Apa Pak Rizal punya uang? Daripada sibuk laporin saya ke polisi, keluarin uang untuk polisi, lebih baik uangnya untuk bawa keluar istri muda yang tua itu, Pak. Khawatir kalau kelamaan di ruang
Jaya memblokir kontak mantan yang mengucapkan selamat padanya. Bagi Jaya, ia harus memulai hidup baru bersama Neneng dan berubah untuk menjadi pribadi lebih baik dan juga suami yang bertanggung jawab. Pria itu, mantannya, mengirimkan pesan ucapan selamat dan meminta maaf tidak bisa hadir. Jaya justru meras sangat bersyukur mantannya tidak datang."Kang, saya sudah siap," ucap Neneng semangat. Ini masih jam tiga sore, tetapi mereka sudah harus segera berangkat ke bandara. Jangankan bercinta, ciuman pun belum sempat. Keduanya sibuk dengan barang bawaan masing-masing."Cantiknya istriku." Jaya mendaratkan kecupan di bibir sang Istri. Neneng tersenyum senang, sekaligus malu-malu."Nanti kita telat. Di Bali aja durasinya yang lama," kata Neneng saat Jaya sudah memeluk pinggangnya. Namun, Kaya ingin kembali menikmati bibir sang Istri yang saat ini bagaikan magnet. Ini adalah kedua kali ia mencium bibir Neneng, setelah waktu itu sempat mencuri cium secara kilat, sebelum mereka sah menjadi su
POV PenulisBu Asep meneteskan air matanya, tatkala melihat Neneng yang kini sedang duduk menunggu akad nikah selesai diucapkan Jaya. Anak teman dekatnya ini sudah ia anggap seperti anak sendiri, sehingga saat ini rasa sedih dan harunya sama seperti saat ia menikahkan putranya yang dapat istri orang Sukabumi.Mendengar isakan Bu Asep, Neneng pun menoleh terkejut. Namun, tidak lama kemudian, ia bangun dari duduknya untuk menghampiri Bu Asep."Kenapa nangis, Bu?" tanya Neneng sambil memegang tangan Bu Asep."Saya seperti sedang menikahkan anak sendiri. Ibu sama bapak kamu pasti girang banget kamu akhirnya bisa bahagia, menemukan jodoh yang tepat dan insyaAllah terbaik," ucap Bu Asep pelan sambil menghapus air matanya."Iya, Bu, tapi saya juga sangat bersyukur saya masih punya Bu Asep dan Pak Asep yang menganggap saya seperti anak sendiri. Makasih ya, Bu." Neneng memeluk Bu Asep dengan begitu hangat.Tok! Tok!"Akad nikah sudah selesai. Ayo, pengantin wanita bisa keluar!" Dengan menggand
"Mohon maaf, saya tidak bisa menerima pelakor bekerja di tempat saya." Aku terkejut saat Oma Anggit bicara seperti itu pada Novi."Oma, ini masalah pekerjaan, saya rasa Mbak Novi gak papa diberi kesempatan karena ia memang butuh duit. Suaminya tercinta dipenjara. Mertuanya lumpuh. Dia gak punya ijazah sarjana. Jadi, tidak ada salahnya memberikan kesempatan pada Mbak Novi. Saya akan bantu Oma untuk mengawasinya. Jika satu kali saja melakukan kesalahan, maka tidak ada ampun." Aku menatap Novi dengan sinis. Wanita itu masih menunduk malu, karena aibnya sebagai pelakor diketahui oleh anak-anak toko."Saya yang menjadi bos di toko ini kan, Oma?" tanyaku lagi dengan suara keras. Sengaja memberikan sindiran untuk Novi. "Tentu saja, Sayang. Kamu yang menjadi bos di sini dan 2 toko di lantai atas. Tunjukkan pada orang-orang yang pernah merendahkanmu, bahwa ada sebab ada akibat.""Baik, Oma, terima kasih. Novi, kamu boleh keluar dan pastikan hari pertama kamu di sini, jangan bikin kesalahan, k
Satu pekan berlalu, aku baru saja selesai menggelar sidang kedua gugatan cerai yang aku layangkan. Keadaan masih sama, Kang Jaya bekerja keliling menjajakan daster sejak pagi hingga sore hari. Padahal masih bulan Ramadhan, tetapi ia tetap bersikeras berkeliling. Aku dan Oma sudah melarangnya. Bahkan Oma meminta Kang Jaya mengelola beberapa toko pakaian yang ada di mal, tetapi tidak mau juga. Entah apa alasannya yang jelas Kang Jaya bilang belum waktunya ia memegang usaha keluarganya.Usaha keluarga yang sudah berjalan dan berhasil, bisa menjadi batu loncatan untuk lebih baik. Kang Jaya benar-benar bisa sukses dengan menjual pakaian saja. Namun ia selalu saja menolak dengan berbagai alasan."Bantu Oma bujuk Jaya, Neng. Ck, anak itu susah sekali diberitahu. Padahal ada banyak toko pakaian usaha keluarga kami. Mulai dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang, bahkan di Medan pun ada. Usaha pakaian itu memang turun-temurun, harusnya Jaya mengelola toko, tapi malah ia jualan kelil
POV NenengRasa gembiranya sungguh tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Wajah terkejut Novi dengan bola matanya yang hampir lepas dari bingkainya, membuatku tidak akan melupakan momen menyenangkan seperti tadi. Ia pasti merasa sangat sial karena telah berhasil dijebak olehku. Tidak ada yang menyangka, seorang Neneng bisa mengelabui musuh secara cerdas. Semua itu, tentu tidak lepas dari campur tangan dan campur rekening Kang Jaya. Jika saja ia tidak mau mengeluarkan uang dua ratus lima puluh untuk Bang Rizal, maka bisa dipastikan mertua, Novi, Rizal yang tengah dipenjara, akan sengsara. Namun, aku jadi merasa begitu berutang Budi pada Kang Jaya dan juga omanya, karena mereka sudah begitu baik dan percaya padaku.Sekilas kulirik Kang Jaya yang tengah menyetir mobil Mercy. Pasti tidak akan ada yang menyangka kalau ia juga adalah pedagang daster keliling. "Kenapa lirik-lirik, Mbak? Ada yang mau dikatakan?" tanya Jaya sambil tersenyum."Kang, soal uang dua ratus lima puluh itu bagaima
"Halo, Ma, Bu RT mau terima surat gadai rumah Mama. Dua ratus lima puluh juta, tetapi harus kembali dalam waktu satu bulan.""Oh, syukurlah. Ya sudah, mau bagaimana lagi. Mama ikhlas asalkan urusan kamu dan Rizal selesai. Biar nanti Bu RT ke sini malam hari. Biar ada Dio yang temani Mama.""Iya, Ma, terima kasih banyak ya, Ma. Novi akan bereskan semua urusan begitu yang sudah di tangan. Semoga lancar ya, Ma. Novi doakan dari sini." Aku pun menutup panggilan. Senyum ini terus terbit membayangkan masalahku satu per satu terurai. Meskipun masih ada masalah besar berkaitan dengan suamiku, tetapi paling tidak, aku punya uang dan tenaga untuk mengurusnya. Malam pun tiba, Dio mengirimkan foto Bu RT dan Pak RT, serta tetangga kanan rumah mama sebagai saksi dan juga Dio. Mama nampak rapi duduk di kursi roda. Aku bersyukur meskipun bukan nenek kandungnya, Dio mau juga membantu mama sedikit-sedikit. Dio memanggil panggilan video. Aku melihat ada enam orang di dalam ruang tamu tampak berbincang
POV NoviKeadaanku benar-benar jungkir balik. Dari awalnya hidup tenang dengan pacaran diam-diam bersama Mas Rizal. Pria itu juga mencukupi semua kebutuhanku dan Dio, meskipun aku harus sedikit berkorban tenaga untuk merawat metuaku.Sejak aku resmi menikah secara agama dengan Mas Rizal, rasa tenang dan bahagia itu bisa aku hitung dengan jari, ada beberapa jam saja. Selebihnya, semua masalah datang silih-berganti. Aku bahkan hampir mati karena dirampok oleh sopir taksi online.Tapi bukan Novi namanya, kalau aku harus menyerah pada takdir, apalagi memohon pada Neneng. Bagiku, Neneng adalah musuh yang tidak perlu aku hampiri. Ia akan sangat senang jika aku memohon untuk diberikan uang. Sampai kapanpun aku akan tetap membenci wanita itu. Neneng sudah membuat Mas Rizal di tangkap. Neneng juga membuat kesialan demi kesialan menghampiri suamiku dan juga aku.Kring! Kring!Ponselku berdering. Nama mertuaku tertera di layar. Sebelum aku angkat, aku sudah dapat menebak apa yang ingin dikatakan
"Apa, Rizal ditangkap? Dio, kamu gak boleh sembarangan bicara, Nak. Om kamu itu lagi kerja. Katanya diterima kerja di rumah orang kaya," ucap Bu Murni tidak percaya. Sepulang sekolah, Dio mampir ke rumah sakit untuk menjenguk bundanya, tetapi sampai di sana bundanya tengah menangis dan mengatakan bahwa ayah sambungnya ditangkap."Beneran, Nek. Tadi saya dari rumah sakit. Ini Nenek telepon ada bunda, biar jelas. Aduh, ada-ada saja. Istri di rumah sakit gak bisa keluar karena belum bayar. Suami ditangkap, mertua lumpuh. Saya doang yang beneran di rumah ini," gerutu Dio begitu kesal. Sejak bundanya menikah dengan Rizal, selalu saja ada kesialan yang menimpa bundanya. Apa karena bundanya pelakor? Calon adik bayinya aja sampai diambil Tuhan lagi. Mungkin emang karena dosa di dunia. Ya Allah, serem."Ini, Nek!" Dio memberikan ponselnya pada Bu Murni. Remaja kelas dua SMA itu pun membuang isi pispot bekas pipis neneknya ke kamar mandi. "Halo, Novi, ada apa? Dio pulang sekolah katanya Rizal
"Apa, Mas? Calon suami Neneng orang kaya? Kok bisa?" dada Novi naik turun tidak percaya. Biji matanya hampir saja melompat saat mendengar penuturan suaminya."Ya bisa, Nov. Udah takdirnya kali," jawab Rizal tanpa semangat. Pria itu meneguk segelas air putih; lelah pikiran tentang biaya rumah sakit."Ya gak bisa, Mas. Harusnya Mas nasehati pria kaya itu. Bilang apa kek sama dia tentang Neneng. Mas paling tahu Neneng kan. Bisa aja pemuda itu diguna-guna Neneng. Mas harus bertindak. Jangan sampai Neneng menikah dengan pria kaya itu. Enak bener dia. Kita di sini blangsak, dia jadi kaya." Ocehan panjang kali lebar Novi membuat Rizal semakin sakit kepala. Bukannya ia tidak mau membujuk Jaya, tetapi Jaya sudah tahu semua cerita yang dialami oleh istrinya itu. Ditambah ia pernah berutang pada pria itu dan sampai sekarang belum dibayar. Tidak akan ada yang menyangka bahwa tukang dastrr keliling itu adalah Sultan."Mas, kenapa diam aja sih? Abang harus gerak cepat! Abang pokoknya gak boleh men