Pov Penulis"Mbak, coba lihat yang saat ini tengah mengangkat piring kotor tamu," bisik Jaya pada Neneng yang tengah menikmati puding. Neneng mengikuti arah pandang Jaya, lalu seketika itu juga mulutnya terbuka dengan mata berbinar tidak percaya. "Bang Rizal," gumam Neneng pelan, lalu menoleh pada Jaya."Iya dan saya rasa, dia gak tahu istri tuanya yang muda ini sangat cantik malam ini." Neneng kembali tersipu malu. Sudah sekian kalinya Jaya memujinya, tidak seperti biasanya. "Mau bikin drama yang bisa bikin dia panas?" tanya Jaya pada Neneng."Drama apa?" tanya Neneng bingung. "Nanti saya beritahu. Ayo, cepat habiskan pudingnya!" Jaya sudah berdiri dengan gagahnya."Kang, gading di meja prasmanan enak banget loh. Saya boleh bawa pulang gak? Di mobil tadi saya bawa wadah makan anti tumpah, he he he ... biar besok sahur, saya gak masak lagi. Tinggal panaskan saja." Pertanyaan Neneng membuat Jaya tertawa pelan"Jangan, nanti pulang dari sini kita mampir ke rumah makan aja. Beli soto
"Gimana, Mas? Dapat gak pinjamannya?" tanya Novi penasaran. Rizal menggelengkan kepala dengan pasrah."Nggak, Haji Yandi lagi gak ada uang. Iya juga sih, kita baru aja gadai surat rumah dua ratus lima puluh. Pasti Pak Haji gak mau nerima lagi. Apalagi besar nominalnya. Coba nanti saya gadai ke teman saya deh. Semoga aja ada rejekinya. Kamu yang sabar di sini dulu ya. Anggap aja istirahat. Kalau kamu udah di rumah, pasti kamu capek banget." Novi mengangguk setuju. "Semoga cepat dapat orang yang mau nerima gadaian rumah mama ya, Mas. Aamiin." "Ya sudah, kamu istirahat gih, saya habis dari luar ini. Mau mandi dulu." Rizal pun berjalan masuk ke kamar mandi. Ia tidak mau menceritakan perihal tadi ia bertemu Neneng yang berubah sangat cantik dan anggun di pesta pernikahan. Jika ia ceritakan, bisa dipastikan istrinya itu akan marah, kesal, dan kembali julid. Selesai mandi, Rizal mendapati istrinya sudah terlelap. Ia pun mengambil ponsel untuk mengirimkan pesan pada beberapa teman yang ia
"Kalian ngapain ikut keluar? Masuk sana! Jay, ajak Neneng tour house kita." Oma Anggit menghampiri ketiganya. Rizal hanya bisa terdiam dan tidak mampu berkata-kata. Semua ini terlalu mengejutkan baginya. Ia sudah sangat malu saat ketahuan menjadi pelayan catring pernikahan, kini ditambah ia harus mendapatkan kenyataan bahwa ini adalah rumah keluarga Jaya. Ya, hanya sebatas itu yang ia tahu."Kamu yang namanya Rizal?" tanya Oma Anggit dengan suara tegas."I-iya, Nyonya. Saya Rizal. MendapatkaN info dari Harun, katanya di sini sedang memerlukan petugas keamanan," jawab Rizal masih sambil menunduk hormat."Oh, baik, apa kamu punya pengalaman sebelumnya sebagai petugas keamanan?""Tidak, Nyonya. Saya biasa bekerja di pabrik.""Ada kemampuan bela diri?""Ada, Nyonya, sedikit.""Bisa berenang?" "Bisa, Nyonya." Oma Anggit tersenyum. Wanita tua elit itu belum tahu saja kalau yang sedang ia wawancara adalah suami Neneng yang sebentar lagi akan menjadi jandanya. Jika saja Oma Anggot tahu, past
"Kamu bisa mulai kerja dari sekarang," ucap Oma Anggit pada Rizal. Tentu saja pria itu senang bukan main, karena selain semakin cepat ia dapat uang untuk kebutuhan sehari-hari. Ia juga bisa memperhatikan gerak-gerik Neneng dan Rizal. Kenapa tidak dari sekarang saja ia mengaku bahwa ia adalah suami Neneng dan Neneng tidak akan ia ceraikan? Ya karena ia masih butuh uang dan pekerjaan. Harga diri lelaki dilihat dari apa yang ia kerjakan untuk hidupnya bukan?Rizal terus bermonolog sampai akhirnya sang Pemilik rumah kembali masuk. Pintu rumah mewah itu pun terdengar dikunci. Rizal menghampiri pria setengah baya yang bernama Yahya. Ia memperkenalkan diri, sembari mengorek informasi terkait pemilik rumah."Saya kaget, Pak, rumahnya gede banget ya," puji Rizal berpura-pura."Iya, emang kaya banget, Mas. Mana cucunya cuma satu, Den Jaya. Masih single, tapi di dalam tadi ada calonnya." Rizal mengangguk paham. Berarti perkataa Jaya bukan omong kosong karena penjaga rumah mereka sampai tahu ."I
"Apa, Mas? Calon suami Neneng orang kaya? Kok bisa?" dada Novi naik turun tidak percaya. Biji matanya hampir saja melompat saat mendengar penuturan suaminya."Ya bisa, Nov. Udah takdirnya kali," jawab Rizal tanpa semangat. Pria itu meneguk segelas air putih; lelah pikiran tentang biaya rumah sakit."Ya gak bisa, Mas. Harusnya Mas nasehati pria kaya itu. Bilang apa kek sama dia tentang Neneng. Mas paling tahu Neneng kan. Bisa aja pemuda itu diguna-guna Neneng. Mas harus bertindak. Jangan sampai Neneng menikah dengan pria kaya itu. Enak bener dia. Kita di sini blangsak, dia jadi kaya." Ocehan panjang kali lebar Novi membuat Rizal semakin sakit kepala. Bukannya ia tidak mau membujuk Jaya, tetapi Jaya sudah tahu semua cerita yang dialami oleh istrinya itu. Ditambah ia pernah berutang pada pria itu dan sampai sekarang belum dibayar. Tidak akan ada yang menyangka bahwa tukang dastrr keliling itu adalah Sultan."Mas, kenapa diam aja sih? Abang harus gerak cepat! Abang pokoknya gak boleh men
"Apa, Rizal ditangkap? Dio, kamu gak boleh sembarangan bicara, Nak. Om kamu itu lagi kerja. Katanya diterima kerja di rumah orang kaya," ucap Bu Murni tidak percaya. Sepulang sekolah, Dio mampir ke rumah sakit untuk menjenguk bundanya, tetapi sampai di sana bundanya tengah menangis dan mengatakan bahwa ayah sambungnya ditangkap."Beneran, Nek. Tadi saya dari rumah sakit. Ini Nenek telepon ada bunda, biar jelas. Aduh, ada-ada saja. Istri di rumah sakit gak bisa keluar karena belum bayar. Suami ditangkap, mertua lumpuh. Saya doang yang beneran di rumah ini," gerutu Dio begitu kesal. Sejak bundanya menikah dengan Rizal, selalu saja ada kesialan yang menimpa bundanya. Apa karena bundanya pelakor? Calon adik bayinya aja sampai diambil Tuhan lagi. Mungkin emang karena dosa di dunia. Ya Allah, serem."Ini, Nek!" Dio memberikan ponselnya pada Bu Murni. Remaja kelas dua SMA itu pun membuang isi pispot bekas pipis neneknya ke kamar mandi. "Halo, Novi, ada apa? Dio pulang sekolah katanya Rizal
POV NoviKeadaanku benar-benar jungkir balik. Dari awalnya hidup tenang dengan pacaran diam-diam bersama Mas Rizal. Pria itu juga mencukupi semua kebutuhanku dan Dio, meskipun aku harus sedikit berkorban tenaga untuk merawat metuaku.Sejak aku resmi menikah secara agama dengan Mas Rizal, rasa tenang dan bahagia itu bisa aku hitung dengan jari, ada beberapa jam saja. Selebihnya, semua masalah datang silih-berganti. Aku bahkan hampir mati karena dirampok oleh sopir taksi online.Tapi bukan Novi namanya, kalau aku harus menyerah pada takdir, apalagi memohon pada Neneng. Bagiku, Neneng adalah musuh yang tidak perlu aku hampiri. Ia akan sangat senang jika aku memohon untuk diberikan uang. Sampai kapanpun aku akan tetap membenci wanita itu. Neneng sudah membuat Mas Rizal di tangkap. Neneng juga membuat kesialan demi kesialan menghampiri suamiku dan juga aku.Kring! Kring!Ponselku berdering. Nama mertuaku tertera di layar. Sebelum aku angkat, aku sudah dapat menebak apa yang ingin dikatakan
"Halo, Ma, Bu RT mau terima surat gadai rumah Mama. Dua ratus lima puluh juta, tetapi harus kembali dalam waktu satu bulan.""Oh, syukurlah. Ya sudah, mau bagaimana lagi. Mama ikhlas asalkan urusan kamu dan Rizal selesai. Biar nanti Bu RT ke sini malam hari. Biar ada Dio yang temani Mama.""Iya, Ma, terima kasih banyak ya, Ma. Novi akan bereskan semua urusan begitu yang sudah di tangan. Semoga lancar ya, Ma. Novi doakan dari sini." Aku pun menutup panggilan. Senyum ini terus terbit membayangkan masalahku satu per satu terurai. Meskipun masih ada masalah besar berkaitan dengan suamiku, tetapi paling tidak, aku punya uang dan tenaga untuk mengurusnya. Malam pun tiba, Dio mengirimkan foto Bu RT dan Pak RT, serta tetangga kanan rumah mama sebagai saksi dan juga Dio. Mama nampak rapi duduk di kursi roda. Aku bersyukur meskipun bukan nenek kandungnya, Dio mau juga membantu mama sedikit-sedikit. Dio memanggil panggilan video. Aku melihat ada enam orang di dalam ruang tamu tampak berbincang