Kring! KringAku tersentak saat ponselku tiba-tiba berdering. Lekas aku bangun untuk melihat siapa yang menelepon. Merasa tidak mengenal nomor baru tersebut, aku pun mengabaikan dan melanjutkan kembali melipat daster yang baru saja di acak-acak tetangga. Beli nggak, malah dicobain semua, plus pake foto Selfi. Biar apa coba? Biar kelihatan keren, seolah-olah beli daster banyak? Aku terus saja menggerutu kesal sambil melipat pakaian itu, kemudian menyusunnya kembali ke dalam rak."Mbak, kamu gak belanja? Besok kita sahur loh," ujar Kang Jaya yang sudah berdiri di depanku dengan wajah yang masih tidak sehat. Tiga hari sudah berlalu dan dia masih juga nampak lemah."Pengen sih, nanti sore aja beli minimarket Frozen, Kang. Ayam, daging, bumbu pun ada. Kakang mau saya masakin apa?" tanyaku sambil tersenyum."Semur daging dan tahu goreng untuk sahur. Mbak bisa bikinnya?""Bisa dong, nanti saya buatkan ya. Setelah ini selesai, saya pergi belanja. Obat Kang Jaya sudah diminum?" pemuda itu meng
Gara-gara pernyataan sekaligus pertanyaan Kang Jaya kemarin, sudah dua malam ini aku tidak bisa tidur. Jangankan tidur, lagi beres-beres daster aja aku kepikiran ucapan Kang Jaya. Pemuda itu tulus, tapi bukannya ia punya penyakit, bagaimana kalau aku gak bisa membuatnya sembuh? Atau malah bikin dia jadi kembali lagi ke jalan yang bengkok?TingtongBel ruang sidang berbunyi. Kepala ini sedikit mendongak untuk melihat nomor antrean perkara yang sudah bisa masuk ke dalam ruangan. Aku pun berdiri dan dengan percaya diri, serta penuh keyakinan, masuk ke dalam ruang sidang."Dengan Mbak Neneng? Apa Mbak Neneng sendiri?" tanya petugas panitera yang duduk di sebelah hakim."Iya, Yang Mulia. Saya sendiri. Semoga tergugat gak perlu datang, agar bisa lancar urusan perceraian ini dengan cepat, Yang Mulia," jawabku dengan santun dan penuh hormat. Semalam aku sudah diajarkan oleh Kang Jaya, bahwa saat bicara di depan hakim dan pejabat ruang sidang lainnya, aku harus berkata-kata dengan lugas, tanpa
POV JayaHari ini aku kembali berkeliling menjajakan daster, karena ini adalah puasa pertama, rasa hausnya beda. Lelahnya juga sangat terasa. Apa mungkin karena aku baru saja sembuh? Tubuh rasanya loyo dan tidak bertenaga. Untuk apa semua yang aku lakukan ini? Padahal ada banyak warisan yang menunggu untuk aku sentuh. Apa nungkin agar aku bisa segera melupakan Ken? Tiba-tiba saja wajah tampan Ken berubah menjadi wajah Mbak Neneng. Istri orang yang punya masalah gak kelar-kelar. Satu hal yang aku heran, kenapa hati dan tangan ini begitu ringan membantunya disaat ia sedang kesulitan? Tidak mungkin aku naksir kan? Aku menoleh ke belakang untuk melihat jam dinding yang ada di mushola tempat aku solat Zuhur, sekaligus beristirahat. Sudah jam dua siang dan rasanya kaki ini sudah tak sanggup untuk berkeliling lagi. Mengingat Mbak Neneng yang hari ini menjalani sidang pertama, sebaiknya aku telepon saja. "Halo, Mbak Neneng di mana?""Halo, Sayang." Aku mendelik kaget mendengar kata sayan
"Halo, Jaya, saya mau minta tolong, bisa pinjamkan saya uang lima belas juta untuk membawa istri saya keluar dari rumah sakit?""Istrinya yang mana, Pak?""Istri muda saya.""Oh, yang istri muda tapi udah ubanan? Mohon maaf Pak Rizal, saya bukan mesin pencetak uang yang uangnya selalu ada terus setiap hari. Lagian, saya gak bisa bantu orang yang udah zolim sama istri. Saya gak bisa bantu. Uang saya udah buat Mbak Neneng seorang."Dengan gemas, Neneng mencubit pinggangku karena saat ini kami tengah membereskan lipatan daster."Jadi kalian berselingkuh? Sepertinya saya harus ke kantor polisi untuk melaporkan perselingkuhan kalian dan sepertinya kalian ini juga kumbul kebo ya? Oke, kita akan berurusan dengan polisi saja.""Ha ha ha ... ke polisi itu kalau cuma modal laporan saja gak akan digubris. Apa Pak Rizal punya uang? Daripada sibuk laporin saya ke polisi, keluarin uang untuk polisi, lebih baik uangnya untuk bawa keluar istri muda yang tua itu, Pak. Khawatir kalau kelamaan di ruang
Pov Penulis"Mbak, coba lihat yang saat ini tengah mengangkat piring kotor tamu," bisik Jaya pada Neneng yang tengah menikmati puding. Neneng mengikuti arah pandang Jaya, lalu seketika itu juga mulutnya terbuka dengan mata berbinar tidak percaya. "Bang Rizal," gumam Neneng pelan, lalu menoleh pada Jaya."Iya dan saya rasa, dia gak tahu istri tuanya yang muda ini sangat cantik malam ini." Neneng kembali tersipu malu. Sudah sekian kalinya Jaya memujinya, tidak seperti biasanya. "Mau bikin drama yang bisa bikin dia panas?" tanya Jaya pada Neneng."Drama apa?" tanya Neneng bingung. "Nanti saya beritahu. Ayo, cepat habiskan pudingnya!" Jaya sudah berdiri dengan gagahnya."Kang, gading di meja prasmanan enak banget loh. Saya boleh bawa pulang gak? Di mobil tadi saya bawa wadah makan anti tumpah, he he he ... biar besok sahur, saya gak masak lagi. Tinggal panaskan saja." Pertanyaan Neneng membuat Jaya tertawa pelan"Jangan, nanti pulang dari sini kita mampir ke rumah makan aja. Beli soto
"Gimana, Mas? Dapat gak pinjamannya?" tanya Novi penasaran. Rizal menggelengkan kepala dengan pasrah."Nggak, Haji Yandi lagi gak ada uang. Iya juga sih, kita baru aja gadai surat rumah dua ratus lima puluh. Pasti Pak Haji gak mau nerima lagi. Apalagi besar nominalnya. Coba nanti saya gadai ke teman saya deh. Semoga aja ada rejekinya. Kamu yang sabar di sini dulu ya. Anggap aja istirahat. Kalau kamu udah di rumah, pasti kamu capek banget." Novi mengangguk setuju. "Semoga cepat dapat orang yang mau nerima gadaian rumah mama ya, Mas. Aamiin." "Ya sudah, kamu istirahat gih, saya habis dari luar ini. Mau mandi dulu." Rizal pun berjalan masuk ke kamar mandi. Ia tidak mau menceritakan perihal tadi ia bertemu Neneng yang berubah sangat cantik dan anggun di pesta pernikahan. Jika ia ceritakan, bisa dipastikan istrinya itu akan marah, kesal, dan kembali julid. Selesai mandi, Rizal mendapati istrinya sudah terlelap. Ia pun mengambil ponsel untuk mengirimkan pesan pada beberapa teman yang ia
"Kalian ngapain ikut keluar? Masuk sana! Jay, ajak Neneng tour house kita." Oma Anggit menghampiri ketiganya. Rizal hanya bisa terdiam dan tidak mampu berkata-kata. Semua ini terlalu mengejutkan baginya. Ia sudah sangat malu saat ketahuan menjadi pelayan catring pernikahan, kini ditambah ia harus mendapatkan kenyataan bahwa ini adalah rumah keluarga Jaya. Ya, hanya sebatas itu yang ia tahu."Kamu yang namanya Rizal?" tanya Oma Anggit dengan suara tegas."I-iya, Nyonya. Saya Rizal. MendapatkaN info dari Harun, katanya di sini sedang memerlukan petugas keamanan," jawab Rizal masih sambil menunduk hormat."Oh, baik, apa kamu punya pengalaman sebelumnya sebagai petugas keamanan?""Tidak, Nyonya. Saya biasa bekerja di pabrik.""Ada kemampuan bela diri?""Ada, Nyonya, sedikit.""Bisa berenang?" "Bisa, Nyonya." Oma Anggit tersenyum. Wanita tua elit itu belum tahu saja kalau yang sedang ia wawancara adalah suami Neneng yang sebentar lagi akan menjadi jandanya. Jika saja Oma Anggot tahu, past
"Kamu bisa mulai kerja dari sekarang," ucap Oma Anggit pada Rizal. Tentu saja pria itu senang bukan main, karena selain semakin cepat ia dapat uang untuk kebutuhan sehari-hari. Ia juga bisa memperhatikan gerak-gerik Neneng dan Rizal. Kenapa tidak dari sekarang saja ia mengaku bahwa ia adalah suami Neneng dan Neneng tidak akan ia ceraikan? Ya karena ia masih butuh uang dan pekerjaan. Harga diri lelaki dilihat dari apa yang ia kerjakan untuk hidupnya bukan?Rizal terus bermonolog sampai akhirnya sang Pemilik rumah kembali masuk. Pintu rumah mewah itu pun terdengar dikunci. Rizal menghampiri pria setengah baya yang bernama Yahya. Ia memperkenalkan diri, sembari mengorek informasi terkait pemilik rumah."Saya kaget, Pak, rumahnya gede banget ya," puji Rizal berpura-pura."Iya, emang kaya banget, Mas. Mana cucunya cuma satu, Den Jaya. Masih single, tapi di dalam tadi ada calonnya." Rizal mengangguk paham. Berarti perkataa Jaya bukan omong kosong karena penjaga rumah mereka sampai tahu ."I