Azan subuh berkumandang, tapi entah kenapa mata ini sulit untuk dibuka. Bisikan-bisikan setan mendayu-dayu, membuatku semakin sulit membuka mata. Setan pasti bersorak, berhasil menggoda salah satu umat manusia, yaitu aku. Semakin aku coba untuk membuka mata, semakin lengket mata ini. Aku menangis, mengapa mataku tidak bisa dibuka? Aku berteriak sekuat tenaga, tapi kenapa tidak ada yang datang kesini membantuku? "Arya, Adiva," jeritku sekuat tenaga.Tidak ada tanda-tanda mereka datang kesini, aku hanya bisa pasrah."Ibu kenapa?" tanya Adiva mengagetkanku. Mataku perlahan aku paksa untuk membuka. Kepalaku terasa berputar terus. Aku memegang kepalaku."Ibu kenapa? Adiva mengagetkan Ibu ya? Dari tadi Ibu kok belum keluar dari kamar. Adiva penasaran, makanya Adiva kesini. Biasanya pagi-pagi Ibu sudah bangun" Adiva menjelaskan."Ibu nggak apa-apa. Tolong ambilkan obat vertigo Ibu ya?" pintaku dengan suara pelan."Iya, Bu," kata Adiva sambil membuka laci tempat obatku berada. Kemudian meny
Aku terbangun dari tidur, kulihat jam di dinding menunjukkan pukul satu siang. Berarti aku tertidur cukup lama. Kuambil ponsel di sebelahku, ada beberapa panggilan dan pesan. Ku buka satu-persatu pesan yang ada.[Assalamualaikum, calon istriku.][Sibuk ya, kok nggak sempat balas pesanku?][Dimana Sayang?]Pesan beruntun dari Ray. Terkirim jam sepuluh pagi.[Waalaikumsalam. Maaf baru sempat buka ponsel.]Centang satu, berarti ponselnya tidak aktif. Mungkin masih sibuk. Aku pun membaca pesan yang lain, ternyata dari Lisa, yang belum lama dikirimnya.[Bu, Bu Dinda sudah melahirkan, perempuan. Prematur, sekarang bayinya masih di inkubator.][Berarti belum cukup umur ya bayinya.][Iya, Bu. Operasi cesar, karena tekanan darah Bu Dinda tinggi, takutnya nanti malah membahayakan Ibu dan Anak.][Oh, begitu, ya? Memangnya Bu Dinda punya penyakit tekanan darah tinggi ya?][Kayaknya enggak, Bu. Mungkin Bu Dinda stress banyak pikiran. Apalagi sejak tinggal bersama Pak Andrian, kemana-mana selalu di
"Nggak usah banyak ngoceh, ayo makan," sahut Ray sambil menyendokkan nasi dan memaksaku membuka mulut.Mau tidak mau aku membuka mulut dan mulai mengunyah makanan."Perasaan tadi Arya beli sop daging. Kok sekarang lain?" tanyaku."Aku tadi membawa makanan kesini, rencananya mau makan sama kamu dan anak-anak. Ternyata malah kamu sakit.""Kok Lea nggak diajak? Kasihan Lea di rumah sendirian.""Enggak. Menginap di rumah Mama."Mendengar Ray menyebut Mama, dadaku berdetak dengan kencang. Teringat ketika mamanya Ray menghinaku, meremehkanku, membandingkan aku dengan Frida. Ternyata Ray memperhatikan aku, mungkin ia melihat perubahan ekspresi wajahku. Kemudian Ray memegang tanganku. "Kamu nggak usah mikirin ucapan Mama, itu semua urusanku."Aku hanya mengangguk. "Om, ini obatnya," kata Arya yang masuk ke kamarku sambil membawa air minum satu botol."Terima kasih ya, Arya?" kata Ray."Seharusnya Arya yang berterima kasih pada Om Ray. Ibu tuh orangnya ngeyel, kalau tadi pagi mau berobat ke
"Assalamu'alaikum." Terdengar seseorang mengucapkan salam."Biar Bapak yang buka pintu." Bapak berjalan keluar dari kamarku."Apa Hani bercerita dengan Ibu? Cerita apa saja, mungkin kegiatan Hani disana," tanya Mas Hanif."Enggak ada, dia hanya bilang mau ketemu dengan Nadya." Ibu menjelaskan."Jadi kalau berkumpul dengan Bapak dan Ibu, bicara apa dia?" cecar Mas Hanif.Belum sempat Ibu menjawab, tiba-tiba Bapak masuk ke ruang keluarga."Hanum, ada yang nyariin," kata Bapak, yang dibelakangnya ada Ray. Aku langsung tersipu melihat kedatangan Ray."Kalau kamu tungguin, Ray, pasti Hanum cepat sembuh. Sakitnya ini hanya butuh perhatian saja," ledek Mas Hanif.Bapak dan Ibu hanya senyum-senyum saja."Makanya, Mas, saya sudah mengajak Hanum segera menikah. Tapi kayaknya dia masih bimbang, belum mantap." Ray menanggapi ucapan Mas Hanif."Kalau niat baik itu harus disegerakan." Bapak ikut berbicara."Nah, apalagi yang ditunggu? Kapan rencananya? Anak-anak sudah setuju kan?" cecar Mas Hanif.
[Apa Lea tidak merepotkan menginap disitu?] Pesan dari Ray malam ini.[Enggak kok. Mereka lagi asyik ngerumpi.][Takutnya nanti malah jadi kebiasaan, kabur-kaburan.][Insyaallah, enggak. Tadi sudah aku nasehati, semoga saja ia mau mengerti.][Terima kasih, semoga Lea menurut dengan kata-katamu. Calon ibunya. Kapan kita main ke rumah Bapak?]Deg! Aku takut jika Ray bertemu dengan Mbak Hani. Takut jika Mbak Hani mencoba untuk menggodanya, seperti yang ia lakukan dengan Mas Fahmi. Kok aku jadi paranoid seperti ini, ya? Apa yang harus aku lakukan?[Kok nggak dijawab? Katanya aku disuruh menghadap Bapak dan Ibu?] Ray mengirimkan pesan lagi.[Nanti aku pikirkan waktunya.][Oke aku tunggu kabar baiknya.]Apa aku harus menceritakan tentang Mbak Hani ya? Mau tidak mau, memang Ray harus tahu. Masalah ia tergoda dengan Mbak Hani atau tidak, itu urusan nanti. Tidak mungkin aku sembunyikan terus. Biarlah waktu yang menjawab ketakutan-ketakutanku. Semoga tidak terjadi.[Ray, ada yang harus aku bica
Disinilah aku, di rumah Ray. Ditemani Mbak Siti, aku asyik makan cemilan dan berbincang-bincang. Karena ada yang harus aku bicarakan, Ray memintaku untuk datang ke rumahnya. Disini lebih leluasa untuk berbicara, tanpa gangguan. Tentu saja tidak hanya aku berdua di rumah ini. Tapi ada Mbak Siti, supaya tidak menimbulkan fitnah. Sudah setengah jam menunggu, Ray belum datang juga. Mau menelponnya, tapi takut nanti mengganggu. Dengan sabar dan setia aku menanti sang pujaan hati, ish lebaynya kumat. Hihi…"Mbak, apa mamanya Lea sering kesini?" tanyaku."Ya, lumayan sering sih. Mengajak anaknya yang kecil. Kalau Ibu Jessica kesini, Pak Ray hanya menemui sebentar. Kemudian pergi atau masuk ke kamar.""Oh, begitu ya? Suka lama nggak kalau kesini?""Ya lumayan lama.""Kalau Frida?" tanyaku lagi."Hanya beberapa kali kesini. Sikap Pak Ray sama, kalau Mbak Frida kesini, Pak Ray hanya menemui sebentar.""Omanya Lea, sering kesini juga?""Kadang-kadang sih, Bu. Saya suka pusing kalau Oma kesini.
"Sudah, kamu tenang. Biar Mbak yang bawa mobil. Ayo ke ruang sakit." Aku berkata sambil mengambil tas dan ponselku.Sepanjang perjalanan Wita hanya menangis terus. Aku pun ikut menangis. Walaupun ibunya Mas Fahmi membenciku, tapi aku tetaplah manusia biasa yang memiliki rasa kemanusiaan.Sudah ada Ayah, Mas Fahmi, Arkan dan Fariz di depan ruang UGD."Gimana kondisi Ibu?" tanya Wita pada Ayah."Belum tahu, Mbak. Masih diperiksa dokter." Fariz yang menjawab.Aku berbasa-basi pada semua yang ada disini. Ayah tersenyum padaku."Terima kasih sudah mau kesini," kata Ayah.Aku mengangguk dan tersenyum. Kulihat Mas Fahmi tampak semakin semrawut saja penampilannya. Lelaki yang dulu sangat aku cintai, yang selalu peduli dengan penampilannya. Sekarang, bahkan mencukur kumis dan cambang saja tidak sempat. "Apa kabar, Mas?" tanyaku pada Mas Fahmi."Seperti yang kamu lihat, Num. Gimana sekolahnya anak-anak?" jawab Mas Fahmi."Alhamdulillah, lancar. Bentar lagi Arya kuliah, Mas.""Iya. Maafkan aku,
Dokter Vanya yang melihatku hanya bisa melongo saja. Sepertinya dia tidak suka melihat Ray pergi denganku."Maaf ya dokter Vanya, saya pergi dulu." Aku dan Ray beranjak dari duduk."Opik, kami pergi dulu, ya?" pamit Ray pada Opik."Oke. Ray, jangan lupa anterin Hanum pulang ke rumahnya. Jangan ke rumahmu. Haha."Aku dan Opik pun cipika-cipiki."Aku kok nggak diajak cipika-cipiki," goda Ray."Ganjen," sahut Opik."Kami duluan ya, dokter Vanya," pamitku pada dokter Vanya. Kulihat ekspresi wajahnya menjadi agak berbeda dengan ketika ia masuk tadi. Masa bodoh, Ray memilihku, bukan memilihmu."Kemana kita?" tanyaku."Makan siang yuk?""Sebentar ya, aku menemui seseorang dulu. Tadi masih di UGD.""Oh, pasien bernama Ningrum ya?" tanya Ray. "Iya." Ningrum adalah nama ibunya Fahmi."Sudah masuk ke ruangan. Kebetulan aku tadi melihat dibawa ke ruang VIP. Mau kesana?"Aku mengangguk. Berjalan bersama dengan Ray membuatku menjadi pusat perhatian. Beberapa pegawai rumah sakit, terutama yang pere