Dokter Vanya yang melihatku hanya bisa melongo saja. Sepertinya dia tidak suka melihat Ray pergi denganku."Maaf ya dokter Vanya, saya pergi dulu." Aku dan Ray beranjak dari duduk."Opik, kami pergi dulu, ya?" pamit Ray pada Opik."Oke. Ray, jangan lupa anterin Hanum pulang ke rumahnya. Jangan ke rumahmu. Haha."Aku dan Opik pun cipika-cipiki."Aku kok nggak diajak cipika-cipiki," goda Ray."Ganjen," sahut Opik."Kami duluan ya, dokter Vanya," pamitku pada dokter Vanya. Kulihat ekspresi wajahnya menjadi agak berbeda dengan ketika ia masuk tadi. Masa bodoh, Ray memilihku, bukan memilihmu."Kemana kita?" tanyaku."Makan siang yuk?""Sebentar ya, aku menemui seseorang dulu. Tadi masih di UGD.""Oh, pasien bernama Ningrum ya?" tanya Ray. "Iya." Ningrum adalah nama ibunya Fahmi."Sudah masuk ke ruangan. Kebetulan aku tadi melihat dibawa ke ruang VIP. Mau kesana?"Aku mengangguk. Berjalan bersama dengan Ray membuatku menjadi pusat perhatian. Beberapa pegawai rumah sakit, terutama yang pere
Setelah Bapak dan Ibu berkumpul, ada Mbak Hani juga, Mas Ray mengatakan maksud kedatangannya."Bapak, Ibu, seperti yang sudah Bapak dan Ibu ketahui, saya bermaksud meminta izin untuk menikah dengan Hanum. Saya mohon doa restunya," kata Mas Ray."Apa kamu sudah mantap dengan Hanum?" tanya Bapak."Iya, Pak.""Bapak yakin kalian sudah tahu bagaimana masa lalu masing-masing. Jadi nanti tidak perlu saling mengungkit. Yang kemarin-kemarin itu sebagai pembelajaran yang mahal harganya. Jangan sampai terulang lagi. Tidak ada yang namanya anakku atau anakmu. Tapi anak kita. Mereka sudah remaja, tentu saja masih perlu diawasi bersama, bukan berarti dikekang. Jangan pernah membeda-bedakan.""Iya, Pak.""Ajak orang tuamu kemari ya? Kita bisa membicarakannya.""Jadi Bapak memberi restu?" tanya Mas Ray agak ragu."Kalian sudah dewasa, sudah pernah berumah tangga. Bapak yakin kalian pasti sudah memikirkan masak-masak. Kalau memang sudah saling mantap hatinya, ya silahkan. Kami sebagai orang tua hanya
Menjelang tidur, aku masih kepikiran dengan ucapan Arya. Begitu perhatiannya pada Mas Fahmi, sampai bisa berkomentar seperti itu. Memang benar, wajah Mas Fahmi terlihat lebih tua dari usianya. Banyak kerutan di wajahnya. Pandangannya seperti kosong karena selalu menerawang jauh. Kadang tidak fokus dengan lawan bicaranya. Aku yakin beban pikiran Mas Fahmi sangat berat. Tentu saja sekarang saatnya ia menuai apa yang selama ini ia tabur.Seharusnya aku sangat bahagia melihat Mas Fahmi terpuruk seperti itu. Tapi tetap saja, hati kecilku merasa sedih melihatnya. Semoga saja ia benar-benar berubah dan menjalani hidup dengan baik. Klunting, sebuah pesan masuk ke ponselku.[Udah tidur Sayang?] Aku tersenyum membaca pesan dari Mas Ray.[Sudah.][Tidur kok bisa balas pesan.][Hehe.][Mas baru pulang dari klinik.]Mas Ray memang praktek di tiga tempat. Pagi di rumah sakit pemerintah, siangnya di rumah sakit swasta dan malamnya di klinik. Seorang dokter memiliki izin praktek di tiga tempat. Ma
Jessica tampak kaget dan gugup. Surya menatap tajam pada Jessica."Surya, kasih tahu istrimu. Jangan gunakan Lea sebagai alasan untuk mengganggu hubungan kami. Aku sudah tidak ada sangkut pautnya dengan Jessica. Jessica itu masa lalu yang sudah aku hapus dalam hatiku. Ini, Hanum, dialah masa depanku.""Jadi kamu…." kata Surya pada Jessica."Mas, aku bisa jelaskan yang sebenarnya," kilah Jessica."Apa yang perlu dijelaskan?" berang Surya."Ray itu hanya ingin mengacaukan hubungan kita. Dia iri,tidak senang melihat kita bahagia."Mas Ray hanya tertawa."Iri dengan pengkhianat? Tidak ada dalam kamusku. Jessica, Surya, kalau mau berantem jangan disini. Kasihan Lita, ia belum tahu apa-apa."Mas Ray menggandeng tanganku dan kami pun melangkah pergi menjauhi mereka. Aku merasa puas dengan ucapan Mas Ray. Setidaknya sudah ada satu pesaing yang dapat diatasi.Kami pun naik mobil dan Mas Ray mengantarkanku pulang."Mas, bagaimana orang tua Mas Ray? Apakah mereka menyetujuinya, untuk melamarku m
"Boleh nggak kalau aku cemburu?" tanyaku pada Mas Ray."Boleh saja, asal tidak berlebihan.""Jujur saja sih, aku cemburu melihat dokter Vanya yang cantik dan genit. Yang bersedia mengantarkan makanan untuk seseorang yang spesial baginya. Dan apa Mas Ray tahu, kalau dokter Vanya pernah bilang, sebelum ada janur kuning melengkung, masih milik bersama.""Kenapa ia bilang begitu?""Waktu Opik ngasih tahu kalau Mas Ray itu sudah punya calon istri. Berarti memang ia akan tetap berusaha untuk mendapatkan Mas Ray."Mas Ray tertawa."Kenapa kok malah tertawa?""Aku suka melihat kamu cemburu seperti itu. Berarti kamu benar-benar cinta sama aku. Udah yuk, pulang. Kelamaan disini, nggak enak sama penjualnya." Mas Ray pun membayar es kelapa muda yang kami minum.Akhirnya Mas Ray mengantarku pulang. Kami menikmati perjalanan sambil bercerita tentang masa depan dan impian kami. Sampai di rumah, kulihat ada dua orang perempuan sedang mengobrol di teras depan rumahku."Perlu aku temani?" tanya Mas Ray
[Sayang, apa tujuan Mbak Hani tadi?] Sebuah pesan dari Mas Ray. Kami berdua memang lebih suka berkirim pesan daripada saling menelpon. Entah mengapa, mungkin kalau berkirim pesan bisa mengarang jawaban dulu, hihi.[Meminta maaf.][Kamu memaafkan?][Iya.][Kamu harus memaafkannya. Gara-gara kelakuannya, kita bisa bertemu. Ya kan?]Aku hanya senyum-senyum membaca pesan dari Mas Ray sambil rebahan. Layaknya orang yang sednag jatuh cinta, ngalah-ngalahin ABg. Semoga hidup kami nanti selalu bahagia.Tok….tok… Pintu kamarku diketuk."Bu, boleh Arya masuk?" tanya Arya."Iya, masuklah," kataku sambil beranjak dari rebahan. Arya membuka pintu kamar, kemudian duduk di sebelahku."Ada apa?" tanyaku."Ada Ayah di depan," sahut Arya.Aku kaget mendengar ucapan Arya."Sama siapa?" tanyaku lagi."Sendirian.""Ya sudah, temani Ayah.""Tadi sudah, sekarang Ayah mau bertemu dengan Ibu.""Untuk apa?" Aku mengernyitkan dahi."Nggak tahu.""Ya sudah, sebentar lagi Ibu ke depan. Temani Ayah dulu." Arya m
"Pik, aku mau nanya. Katanya kamu pernah melihat Mbak Hani berobat kesini. Bisa nggak cari informasi berobat apa?" pintaku pada Opik.Opik terdiam, kemudian menarik nafas panjang."Hanum, nggak boleh lah menyebarkan informasi tentang pasien dan penyakitnya. Memangnya kenapa, sih?""Kemarin Mbak Hani datang ke rumahku, bicara panjang lebar. Intinya Minta maaf. Beberapa kali aku dengar ia bilang mumpung masih ada umur. Terus kayaknya Mbak Hani badannya agak kurus. Tapi kurus kayak punya penyakit. Dia bilang ada alasan tersendiri kenapa ia pulang kesini. Belum waktunya aku tahu apa alasannya itu. Aku takutnya Mbak Hani punya penyakit parah dan…." Aku nggak sanggup meneruskan kata-kataku. Mataku berkaca-kaca. Opik mengelus tanganku."Akan aku coba untuk mencarinya. Tapi aku nggak janji ya?" Opik menenangkanku.Aku mengangguk. "Walaupun Mbah Hani sudah membuatku hancur, tapi ia tetap kakakku. Dalam hal ini yang salah bukan Mbak Hani saja, tapi Mas Fahmi juga. Kalau aku terus membencinya,
Selesai makan, aku duduk di ruang keluarga bersebelahan dengan Mas Ray. Entah kenapa, setiap dekat dengan Mas Ray, aku selalu deg-degan seperti ini ya? Norak banget sih aku."Sayang, siapa tamu yang datang tadi malam?" tanya Mas Ray."Mas Fahmi."Mas Ray langsung melihat ke arahku. "Ngapain? Menemuimu?""Iya, menemuiku.""Untuk apa?" tanya Mas Ray dengan wajah yang tidak suka atau mungkin cemburu ya?"Minta izin sama aku, supaya anak-anak nanti hari Minggu menunggui ayahnya. Ayahnya mau menikah.""Ooo, dengan Dinda?" "Iya.""Kamu diundang juga?""Iya.""Terus, mau datang?""Enggak. Biar anak-anak saja.""Kenapa nggak datang? Apakah kamu belum ikhlas melihatnya bahagia? Apakah kamu masih mencintainya?" Aku diam. Mas Ray menatap wajahku."Untuk apa aku datang? Nanti pasti akan menimbulkan banyak pertanyaan. Apalagi keluarga Dinda tidak menyukaiku. Bukan masalah belum ikhlas atau masih mencintainya, tapi aku tidak mau merusak kebahagiaan mereka.""Benarkah?" Mar Ray sepertinya meraguk