Jessica tampak kaget dan gugup. Surya menatap tajam pada Jessica."Surya, kasih tahu istrimu. Jangan gunakan Lea sebagai alasan untuk mengganggu hubungan kami. Aku sudah tidak ada sangkut pautnya dengan Jessica. Jessica itu masa lalu yang sudah aku hapus dalam hatiku. Ini, Hanum, dialah masa depanku.""Jadi kamu…." kata Surya pada Jessica."Mas, aku bisa jelaskan yang sebenarnya," kilah Jessica."Apa yang perlu dijelaskan?" berang Surya."Ray itu hanya ingin mengacaukan hubungan kita. Dia iri,tidak senang melihat kita bahagia."Mas Ray hanya tertawa."Iri dengan pengkhianat? Tidak ada dalam kamusku. Jessica, Surya, kalau mau berantem jangan disini. Kasihan Lita, ia belum tahu apa-apa."Mas Ray menggandeng tanganku dan kami pun melangkah pergi menjauhi mereka. Aku merasa puas dengan ucapan Mas Ray. Setidaknya sudah ada satu pesaing yang dapat diatasi.Kami pun naik mobil dan Mas Ray mengantarkanku pulang."Mas, bagaimana orang tua Mas Ray? Apakah mereka menyetujuinya, untuk melamarku m
"Boleh nggak kalau aku cemburu?" tanyaku pada Mas Ray."Boleh saja, asal tidak berlebihan.""Jujur saja sih, aku cemburu melihat dokter Vanya yang cantik dan genit. Yang bersedia mengantarkan makanan untuk seseorang yang spesial baginya. Dan apa Mas Ray tahu, kalau dokter Vanya pernah bilang, sebelum ada janur kuning melengkung, masih milik bersama.""Kenapa ia bilang begitu?""Waktu Opik ngasih tahu kalau Mas Ray itu sudah punya calon istri. Berarti memang ia akan tetap berusaha untuk mendapatkan Mas Ray."Mas Ray tertawa."Kenapa kok malah tertawa?""Aku suka melihat kamu cemburu seperti itu. Berarti kamu benar-benar cinta sama aku. Udah yuk, pulang. Kelamaan disini, nggak enak sama penjualnya." Mas Ray pun membayar es kelapa muda yang kami minum.Akhirnya Mas Ray mengantarku pulang. Kami menikmati perjalanan sambil bercerita tentang masa depan dan impian kami. Sampai di rumah, kulihat ada dua orang perempuan sedang mengobrol di teras depan rumahku."Perlu aku temani?" tanya Mas Ray
[Sayang, apa tujuan Mbak Hani tadi?] Sebuah pesan dari Mas Ray. Kami berdua memang lebih suka berkirim pesan daripada saling menelpon. Entah mengapa, mungkin kalau berkirim pesan bisa mengarang jawaban dulu, hihi.[Meminta maaf.][Kamu memaafkan?][Iya.][Kamu harus memaafkannya. Gara-gara kelakuannya, kita bisa bertemu. Ya kan?]Aku hanya senyum-senyum membaca pesan dari Mas Ray sambil rebahan. Layaknya orang yang sednag jatuh cinta, ngalah-ngalahin ABg. Semoga hidup kami nanti selalu bahagia.Tok….tok… Pintu kamarku diketuk."Bu, boleh Arya masuk?" tanya Arya."Iya, masuklah," kataku sambil beranjak dari rebahan. Arya membuka pintu kamar, kemudian duduk di sebelahku."Ada apa?" tanyaku."Ada Ayah di depan," sahut Arya.Aku kaget mendengar ucapan Arya."Sama siapa?" tanyaku lagi."Sendirian.""Ya sudah, temani Ayah.""Tadi sudah, sekarang Ayah mau bertemu dengan Ibu.""Untuk apa?" Aku mengernyitkan dahi."Nggak tahu.""Ya sudah, sebentar lagi Ibu ke depan. Temani Ayah dulu." Arya m
"Pik, aku mau nanya. Katanya kamu pernah melihat Mbak Hani berobat kesini. Bisa nggak cari informasi berobat apa?" pintaku pada Opik.Opik terdiam, kemudian menarik nafas panjang."Hanum, nggak boleh lah menyebarkan informasi tentang pasien dan penyakitnya. Memangnya kenapa, sih?""Kemarin Mbak Hani datang ke rumahku, bicara panjang lebar. Intinya Minta maaf. Beberapa kali aku dengar ia bilang mumpung masih ada umur. Terus kayaknya Mbak Hani badannya agak kurus. Tapi kurus kayak punya penyakit. Dia bilang ada alasan tersendiri kenapa ia pulang kesini. Belum waktunya aku tahu apa alasannya itu. Aku takutnya Mbak Hani punya penyakit parah dan…." Aku nggak sanggup meneruskan kata-kataku. Mataku berkaca-kaca. Opik mengelus tanganku."Akan aku coba untuk mencarinya. Tapi aku nggak janji ya?" Opik menenangkanku.Aku mengangguk. "Walaupun Mbah Hani sudah membuatku hancur, tapi ia tetap kakakku. Dalam hal ini yang salah bukan Mbak Hani saja, tapi Mas Fahmi juga. Kalau aku terus membencinya,
Selesai makan, aku duduk di ruang keluarga bersebelahan dengan Mas Ray. Entah kenapa, setiap dekat dengan Mas Ray, aku selalu deg-degan seperti ini ya? Norak banget sih aku."Sayang, siapa tamu yang datang tadi malam?" tanya Mas Ray."Mas Fahmi."Mas Ray langsung melihat ke arahku. "Ngapain? Menemuimu?""Iya, menemuiku.""Untuk apa?" tanya Mas Ray dengan wajah yang tidak suka atau mungkin cemburu ya?"Minta izin sama aku, supaya anak-anak nanti hari Minggu menunggui ayahnya. Ayahnya mau menikah.""Ooo, dengan Dinda?" "Iya.""Kamu diundang juga?""Iya.""Terus, mau datang?""Enggak. Biar anak-anak saja.""Kenapa nggak datang? Apakah kamu belum ikhlas melihatnya bahagia? Apakah kamu masih mencintainya?" Aku diam. Mas Ray menatap wajahku."Untuk apa aku datang? Nanti pasti akan menimbulkan banyak pertanyaan. Apalagi keluarga Dinda tidak menyukaiku. Bukan masalah belum ikhlas atau masih mencintainya, tapi aku tidak mau merusak kebahagiaan mereka.""Benarkah?" Mar Ray sepertinya meraguk
"Siap-siap menghadapi sindiran tetangga," bisik Mas Ray.Aku langsung menoleh ke arah Mas Ray, wajahnya begitu dekat dengan wajahku. Sepertinya Mas Ray tidak menyia-nyiakan kesempatan. Bibirku yang kena sasaran.Aku segera mendorong wajahnya siapa menjauh."Mau ditemani?""Nggak usah, Mas. Sudah biasa menghadapi mereka.""Aku yakin, istriku ini memang tahan banting. Apalagi di kasur.""Mulai lagi, deh," kataku.Akhirnya aku turun dari mobil dan berjalan menuju ke rumah. Semua mata di rumah Bu Ani langsung menatap ke arahku."Baru pulang, Bu," tanya Bu Tedi."Iya, Bu. Lagi ngapain, kok rame-rame." Aku berhenti di teras rumahku dan melihat ke arah teras Bu Ani "Lagi rujakan, ayo gabung." Bu Tedi menimpali. "Jam segini kok baru pulang, padahal TK pulangnya cepet. Dianterin calon suami, kemana dulu, Bu?" sindir Bu Ani. Aku mulai emosi, tapi aku tidak mau terpancing emosi."Ah, Bu Ani mau tahu saja deh sama urusan saya. Perhatian sekali sama saya, sampai segala kegiatan saya dipantau sam
"Pakde, memang Bu Ani itu sangat keterlaluan. Selalu memantau kegiatan disini. Hampir setiap saat ada di teras, yang mengepel lah, menyiram bunga, mengelus-elus tanaman, persis kayak CCTV," kata Arya menjelaskan."Punya tetangga kok kayak gitu ya?" sahut Mas Hanif."Kok Mas tahu Hanum ada di rumah Pak RT.""Tadi Mas kesini, kata Arya kamu sedang di rumah Pak RT, makanya Mas menyusul kesana. Arya, coba ibumu yang sedang menangis ini di foto terus dikirim ke Om Ray. Biar Om Ray tahu kalau calon istrinya cengeng." Mas Hanif berkata sambil cengengesan."Sudah Pakde, sudah Arya kirim.""Apaan sih kamu Arya, malu-maluin Ibu saja." Aku kesal dengan Arya dan Mas Hanif yang bersekongkol mengerjaiku. "Pakde, Ibu ini kalau sama Pakde manjanya luar biasa. Ngalah-ngalahin Adiva. Padahal sudah punya dua anak. Masa kecilnya dulu kayak apa sih?" tanya Arya.Aku dan Mas Hanif hanya tertawa."Ibumu dulu sangat tomboy, selalu ikut main Pakde dan teman-teman Pakde. Ke sawah, nyari ikan, main layangan, b
"Kok lewat sini, mau kemana kita, Mas?" tanyaku pada Mas Ray."Ke rumah sakit sebentar saja. Tadi ada panggilan.""Terus aku nunggu dimana? Opik pasti nggak masuk hari ini.""Nggak usah nunggu dimana-mana, kamu ngikutin aku saja." "Ada dokter Vanya nggak?" selidikku."Nggak tahu. Memangnya aku pawangnya."Aku tertawa mendengar ucapan Mas Ray. Sampai di rumah sakit, aku mengikuti langkah kaki Mas Ray. Ternyata ia menuju ke salah satu ruangan perawatan."Mas, aku nunggu di sini saja, ya? Nggak enak kalau ikut masuk.""Kamu nggak apa-apa disini?" tanya Mas Ray."Nggak apa-apa." Mas Ray tersenyum dan masuk ke ruangan perawatan. Aku pun mencari tempat untuk duduk. Resiko punya calon suami seorang dokter ya kayak gini. Sabar.Cukup lama Mas Ray ada di dalam ruangan, akupun menyibukkan diri dengan membuka ponsel. Saking fokusnya aku ke layar ponsel, sampai tidak menyadari ada seseorang menyapaku."Bu Hanum, nungguin siapa?" tanya Rina, asistennya Opik."Eh, nungguin Mas Ray," jawabku. Kemud