Darren mengulurkan tangannya kepada Nadia, "Sayang, ayo kita pulang."Nadia tersenyum, lantas menjawab, "iya, Kak. Aku juga sudah lelah."Mereka berdua berjalan beriringan, keluar dari courtroom. Pandangan mereka sama sekali tidak tertuju pada Alana yang terduduk di bangku terdakwa, tubuhnya gemetar hebat, air matanya mengalir deras."Kak, kasian Alana," bisik Nadia, suaranya terdengar lembut.Darren mengerutkan kening, "Sayang, jangan kasihani dia. Dia sudah melakukan kesalahan besar. Dia telah mencoba membunuhmu dan menghancurkan hidupku.""Tapi, Kak," Nadia masih merasa iba, "Dia kan anak Om Rudi dan Tante Rahayu. Masih sepupu kamu, secara nggak langsung kalian masih ada hubungan sedarah. Dia juga sudah dijatuhi hukuman, kok.""Kamu ini kebiasaan iba sama orang. Nggak semua orang harus dikasihani, Nad. Mereka dulu saja nggak kasihan sama kita," jawab Darren sambil terus mendorong kursi roda istrinya.Nadia tidak tahu, hatinya tiba-tiba iba. "Aku hanya kasian, Kak ....""Sayang," Da
Darren menggeram pelan, tangannya mengepal erat. Ia tak peduli dengan larangan perawat yang mencegahnya masuk, kakinya terus melangkah pasti menuju kamar Brata. Pintu kamar terbuka, memperlihatkan Brata yang tertidur lelap di ranjang.Darren mendekat, duduk di tepi ranjang, tangannya meraih tangan keriput Brata yang terbaring lemah. Jari-jari keriput itu terasa dingin, membuat jantung Darren berdebar kencang."Kakek," bisik Darren, suaranya bergetar. "Bangun, Kakek. Aku di sini."Namun, Brata tak bergeming. Matanya tetap terpejam, napasnya teratur, seperti orang yang tertidur nyenyak.Nadia berdiri di ambang pintu, matanya berkaca-kaca. Ia melihat Darren yang tampak begitu sedih, dan Brata yang terbaring lemah."Kak," panggil Nadia, suaranya lirih. "Kakek nggak bangun?"Darren menoleh, matanya masih tertuju pada Brata. "Ya, Kakek masih tertidur. Perawat bilang itu efek obat."Nadia mendekat, menaruh tangannya di bahu Darren. "Kak, kita menginap di sini saja, ya. Aku khawatir sama Kake
Sean menunduk, matanya fokus pada layar laptop. Jari-jarinya menari lincah di atas keyboard, merangkai kata demi kata untuk proposal restrukturisasi Atmajaya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk membuat proposal yang meyakinkan, berharap bank mau memberikan pinjaman untuk menyelamatkan perusahaan.Semalaman Sean begadang, mengolah data dan mencari solusi terbaik. Ia tahu, kesempatan ini adalah yang terakhir bagi Atmajaya.Keesokan harinya, Sean melangkah tegap memasuki ruang pertemuan bank. Ia membawa secarik harapan tipis dalam genggamannya, berharap bank mau memberikan pinjaman untuk membantu Atmajaya bangkit."Selamat pagi, Pak Sean. Silakan duduk," sapa petugas bank, seorang pria berwajah tegas bernama Pak Johan.Sean mengangguk, lalu duduk di hadapan Pak Johan. Ia menaruh proposal di atas meja, jantungnya berdebar kencang."Terima kasih atas waktu Bapak," ucap Sean. "Kami harap Bapak mau membaca proposal restrukturisasi yang kami ajukan."Pak Johan mengangguk, membuka proposal dan me
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Ruang sidang dipenuhi oleh petugas dan kuasa hukum. Darren melangkah tegap memasuki ruang sidang, matanya menyapu ruangan dengan tatapan dingin. Ia tidak mengajak Nadia kali ini.Rudi dan Rahayu duduk di bangku terdakwa, wajah mereka tampak tegang. Mereka melihat Darren yang berjalan dengan penuh percaya diri, dadanya membusung tegap. Darren menatap Rudi dengan tatapan sinis, senyum licik terukir di bibirnya."Dasar brengsek," geram Rahayu, mencengkeram tangan Rudi. "Lihat dia, sombong sekali!"Rudi hanya bisa diam, matanya menatap tajam ke arah Darren. Ada amarah dan dendam yang membara di dadanya, tapi sadar kekuatannya tak cukup untuk melawan.Darren tidak menyapa Rudi, ia langsung menuju meja pengacaranya. Ia duduk dengan tenang, menunggu sidang dimulai."Darren memang tidak punya hati!" gumam Rudi. "Aku akan melawannya sampai akhir, Ma. Kita akan terus memperjuangkan kebebasan Alana."Rahayu mengusap punggung Rudi, mencoba
Di ruang tunggu rumah sakit, Nadia duduk di kursi roda, ditemani oleh perawat pribadinya sekaligus perawat yang juga bertugas di rumah sakit ini, Mbak Rina. Wajah Nadia pucat, meskipun senyum tipis terukir di bibirnya. Ia menatap ke luar jendela, mengamati langit yang mendung. "Ibu, dokternya sudah selesai," ujar Mbak Rina, lembut. "Ibu sudah boleh masuk." Nadia mengangguk pelan, matanya masih tertuju pada langit. "Baiklah, Mbak." Mereka berdua memasuki ruangan pemeriksaan. Dokter tersenyum ramah, menyapa Nadia. "Bu Nadia, bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya dokter, sambil memeriksa hasil rontgen. "Syukurlah, Dokter, saya merasa lebih baik," jawab Nadia, suaranya sedikit gemetar. "Bagus, Bu Nadia. Tulang paha Anda sudah mulai menyatu dengan baik. Operasi pelepasan pen bisa segera kita jadwalkan," ujar dokter, sambil menunjuk hasil rontgen yang diambil beberapa saat lalu. Nadia terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia merasa lega mendengar kabar baik itu, tetapi juga dihantui rasa khaw
Mobil Darren melaju kencang di jalanan kota, menelusuri jalanan aspal yang membentang luas. Darren menatap lurus ke depan, pikirannya berkecamuk. Hingga tiba-tiba ponselnya berdering. Darren mengerutkan kening, menatap layar ponselnya. Nomor yang tertera di layar adalah nomor telepon rumah kakeknya, benaknya langsung berputar sekaligus penasaran ada apa kiranya."Halo, Tuan Muda," suara seorang wanita terdengar di seberang sana. "Saya perawat Kakek Brata. Kakek Brata sesak napas lagi, Tuan Muda. Kondisinya semakin memburuk. Kami tadi sudah panggilkan Dokter, tapi sebaiknya Tuan Muda harus segera ke sini."Darren terdiam, pikirannya kalut. Ia harus ke mansion kakeknya dulu atau ke rumah sakit menemui Nadia? Keduanya sama-sama penting. Nadia sedang hamil dan membutuhkannya, sedangkan kakeknya juga dalam kondisi parah."Ya, aku sedang dalam perjalanan. Aku akan segera ke mansion," ucap Darren, suaranya terdengar panik. "Bagaimana kondisi Kakek sekarang?""Kondisi
Mentari sore mulai meredup, menandakan waktu beranjak senja. Darren dan Nadia duduk berdampingan di samping ranjang Kakek Brata, menunggu dokter yang sedang memeriksa kondisi sang kakek untuk ketiga kalinya sebelum pulang. Suasana di kamar itu terasa hening, hanya diiringi suara napas Kakek Brata yang tersengal-sengal."Kakek sendiri yang bilang mau menggendong cicit, jadi kakek harus sehat lagi," bisik Nadia.Sepasang manik beningnya terus meneteskan air mata. Ia memeluk tangan kakeknya erat-erat, mencoba untuk memberikan kekuatan. "Kita menginap di sini, ya, Kak," ucap Nadia sambil mendongak menatap suaminya. "Aku ingin menemani Kakek."Darren menoleh, menatap Nadia dengan penuh kasih sayang. "Iya, Sayang. Kita akan menginap di sini.""Terima kasih, Kak," ucap Nadia, mencoba untuk tersenyum. "Aku mau menjaga Kakek."Darren mengangguk, helaan napasnya terasa berat melihat kondisi kakeknya dari pagi sampai sore tidak menunjukkan tanda-tanda baik. .Sayangnya, Brata
Hujan mengguyur kota dengan deras, seakan ikut merasakan beratnya beban yang dipikul Darren. Ia menatap Nadia, istrinya, yang tertidur lelap di samping ranjang rumah sakit. Wajah Nadia pucat, keringat dingin menempel di pelipisnya, Darren menghela napas panjang. Ia sudah menghubungi semua anggota keluarga, termasuk Rudi dan Rahayu, om dan tantenya yang selalu bersikap dingin dan suka mencari masalah dengan mereka. Namun, kali ini, ia tak peduli dengan sikap mereka. Ia butuh dukungan, butuh bantuan, dan ia berharap, walau sekecil apapun, mereka bisa melupakan dendam lama dan meringankan bebannya. Tangannya mengeluarkan ponsel, mencari nomor Jacob dan menghubunginya. "Jacob, tolong urus semua pekerjaan kantor hari ini. Aku tidak bisa masuk," ucap Darren melalui telepon. Suaranya berat, tertekan oleh rasa khawatir yang menggerogoti hatinya. "Aku benar-benar nggak bisa menghandle apapun, aku serahkan semuanya padamu." "Baik, Pak. Apa ada yang perlu saya sampaikan kepada para klie