Minggu-minggu berlalu begitu cepat. Nadia sudah beberapa kali kontrol ke dokter untuk memeriksa kondisi tulang pahanya setelah operasi pelepasan pen. Dokter mengatakan bahwa tulang pahanya sudah pulih dengan baik dan dia sudah bisa beraktivitas seperti biasa."Kak, aku sudah bisa jalan normal lagi, lho!" seru Nadia, matanya berbinar gembira.Darren tersenyum, matanya memancarkan kebahagiaan. "Aku senang mendengarnya, Sayang," jawabnya. "Kamu sudah bisa kembali ke butik."Nadia mengangguk, matanya berbinar-binar. "Aku sudah tidak sabar untuk kembali bekerja," katanya. "Aku ingin membantu kamu mengembangkan butik."Darren mencium kening Nadia dengan lembut. "Aku tahu kamu bisa, Nad," kata Darren. "Kamu akan jadi desainer yang berbakat."Nadia kembali bekerja di butik milik Darren. Dia sangat antusias dalam berbagai hal, mulai dari mendesain baju, memilih bahan, hingga melayani pelanggan. Kehadiran Nadia di butik membuat suasana di sana semakin hidup dan ceria."Kak, aku punya
Hari-hari berlalu begitu cepat, berganti minggu dan bulan. Kehidupan Darren dan Nadia dipenuhi dengan kebahagiaan. Mereka menikmati setiap momen bersama, membangun bisnis bersama, dan merencanakan masa depan mereka. Suatu pagi, Nadia terbangun dengan perasaan yang berbeda. Perutnya terasa sedikit mual, dan dia merasa lebih sensitif terhadap bau. Dia langsung menuju kamar mandi dan mengambil test pack yang sudah dia beli beberapa hari sebelumnya. Dengan tangan gemetar, Nadia melakukan tes. Dia menahan napas, jantungnya berdebar kencang. Beberapa saat kemudian, hasil tes muncul. Dua garis merah terang muncul di layar test pack. Nadia terdiam, matanya berkaca-kaca. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya. Dia tak percaya, dia hamil. Dia akan menjadi seorang ibu. Wanita cantik itu langsung berlari keluar dari kamar mandi dan menuju kamar tidur. Darren masih tertidur pulas di ranjang. Nadia duduk di tepi ranjang, matanya menatap Darren dengan penuh kasih sayang. "Kak," bisik Nadi
"Pasti Raka suka sama hadiah yang ku bawa," gumam Nadia, wanita cantik berusia 22 tahun pemilik iris coklat itu tengah membawa kue di tangan kanannya dan sebuah paper bag berwarna biru di tangan kirinya.Kaki jenjangnya berhenti di depan apartemen Raka, ia hendak memberikan kejutan karena hari ini ulang tahun sang calon suami.Nadia menempelkan kartu akses khusus, ia mendapatkannya dari Raka. Bola matanya mengedar saat baru saja membuka pintu unit. Senyumnya semakin lebar saat mendapati kamar ini sepi."Aku akan bersembunyi di lemari."Lemari berukuran besar itu muat oleh tubuhnya, dari sini ia bisa mengawasi situasi di luar lewat celah kecil."Semoga Raka nggak lama, aku takut kuenya leleh," bisik Nadia.Tidak seberapa lama kemudian ia mendengar suara pintu terbuka, senyum di bibirnya semakin merekah saat menduga pasti itu kekasihnya.Namun, keningnya tiba-tiba mengerut saat mendengar sayup-sayup suara wanita. "Aah ... kakiku lemas, Sayang."Deg! Nadia terhenyak kaget.'Aku tidak as
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Nadia, membuat wajah gadis itu terbuang ke samping. Namun, setitik air matapun tidak luruh dari netranya. Sakit hatinya lebih besar dari pada tamparan panas yang dilayangkan ibu tirinya."Jaga bicaramu, Nadia! Anakku sudah menikah, suaminya kaya raya dan pengertian. Tidak mungkin anakku selingkuh," desis Mella.Nadia menatap dua bola mata yang melotot ke arahnya, sesekali ia akan melirik ke arah sang ayah yang tampak tidak peduli.Sungguh! Sakit hatinya kian bertambah lantaran Toni yang memilih acuh. Padahal ia putri kandungnya dan Tania bukan, seharusnya ia lah yang dibela."Aku tidak mau mendengar omong kosong lagi, Nadia. Sudah cukup drama dan fitnah yang kau buat." Mella menjeda ucapannya sejenak, berusaha menormalkan deru napasnya. "Atau jangan-jangan ... ini semua hanya bualanmu? Kau punya kekasih lain dan ingin menikah dengannya, makanya kau memfitnah Raka dan anakku?!"Nadia menggeleng. "Untuk apa aku melakukannya, Bu. Aku bukan tukang fi
Nadia berjalan cepat tanpa menoleh ke belakang, padahal ia tidak tahu mau pergi ke mana. Ia ingin menyewa kos, meskipun belum tahu seluk beluk daerah sini.Hingga netranya tertuju pada banner yang menginformasikan tentang kos putri, bibirnya tersenyum lebar dan langsung mengikuti arah panah yang ditunjukkan banner tersebut.Langkah kakinya menuju gang kecil, tetapi senyum lebar di bibirnya langsung sirna saat mendapati segerombolan pemuda mabuk menghadang jalan. Nyalinya menciut, Nadia langsung berbalik hendak pergi, tetapi kehadirannya sudah diketahui oleh pemuda-pemuda itu dan dirinya pun dikejar."Mau ke mana, cantik? Kenapa nggak jadi lewat?" tanya salah satu pemuda sambil mencengkram lengan Nadia.Gadis itu berusaha melepaskan cengkeraman, tetapi tenaganya kalah."Lebih baik kamu bersenang-senang dulu sama kami, jangan langsung pergi," bisik pemuda itu, aroma alkohol menyeruak dan langsung menusuk hidung."Lepaskan saya," kata Nadia yang langsung membuat pemuda itu tergelak.Bebe
"Nad, kayaknya kita perlu menjalin kesepakatan," kata Darren saat melihat Nadia baru saja selesai mencuci piring."Kesepakatan apa, Kak?""Kita 'kan sama-sama dikhianati, bagaimana kalau kita bekerja sama untuk balas dendam?"Hening! Nadia tidak langsung menyahut, raut wajahnya tampak kebingungan."Ya ... aku tahu balas dendam itu nggak baik, dan semua perbuatan pasti ada karmanya. Tapi mereka sudah jahat sama kita, Nad. Kalau kita diam saja, itu sama saja kita mempersilakan mereka untuk semakin menjajah hati kita. Kita harus punya prinsip Kalau tidak ada siapapun yang bisa mempermainkan kita, apalagi sampai selingkuh seperti itu," jelas Darren.Nadia sebenarnya juga ingin melakukan hal yang sama. Dia benci sekali kepada Raka, Tania dan juga ibu tirinya. "Tapi bagaimana caranya, Kak?""Aku sudah memikirkan caranya semalam," jawab Darren. "Sekarang kamu kirimkan video itu ke nomorku."Nadia mengangguk dan lekas mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Darren, pria itu mengulas senyum l
Tania mengunci dirinya di kamar dan tidak keluar sampai pagi, dia sangat takut Darren melihat video itu dan mengenali bentuk tubuhnya.Tok! Tok! Tok!"Tan, buka pintunya. Ini aku." Kedua mata cantik itu langsung membelalak lebar saat mendengar suara Darren di depan pintu. Jam masih menunjukkan pukul empat, sejak tadi dia tidak mendengar suara apa-apa."Duh, Mas Darren tahu-tahu ada di depan, mana aku belum siap-siap," gumamnya panik. "Semoga dia nggak sadar sama mata panda ku."Wanita itu membuka pintu dengan perlahan, senyumnya merekah guna menutupi kegelisahan hatinya."Kamu baru bangun?" tanya Darren yang langsung diangguki oleh Tania. "Ayo masuk, Mas."Darren sekuat mungkin menahan agar tangannya tidak menampar Tania, meskipun j1j1k sekali rasanya saat mengingat kelakuan istrinya dengan Raka."Tan, kamu sudah lihat 'kan tentang video yang beredar di media sosial itu. Aku nggak nyangka Raka bisa kayak gitu, untung Nadia pergi dan nggak jadi nikah," ujar Darren seraya mendudukkan
"Kurang ajar banget Raka, untung putriku nggak jadi nikah sama dia. Aku mau pernikahannya dibatalkan saja!" ketus Toni saat baru saja masuk kamar.Ucapannya tidak mendapat sahutan dari sang istri, Mella masih asik mencium uang-uang barunya."Kamu dengar aku ngomong nggak, sih?!" sentaknya yang mulai kesal.Pikirannya sangat lelah sejak kemarin, dari masalah Nadia dan sekarang ditambah masalah Raka. "Ya, Mas, aku dengar. Sudah ... nggak usah dipikirin lagi, yang penting sekarang kita dapat ganti rugi," sahut Mella.Toni menggeram emosi dan membawa langkah lebar menuju ranjang, tangannya menghempaskan gepokan uang-uang itu dengan kasar. Mella hanya mampu menatap nanar ke lantai, dia hendak mengambil, tetapi Toni menarik lengannya."Jangan mikirin uang terus, Mel. Nadia itu pergi sejak kemarin dan sekarang belum ketemu, kamu nggak khawatir sama keadaannya?!" Pria paruh baya itu berteriak tepat di depan wajah istrinya.Hal itu jelas saja membuat Mella semakin membenci Nadia. 'Anak itu a
Hari-hari berlalu begitu cepat, berganti minggu dan bulan. Kehidupan Darren dan Nadia dipenuhi dengan kebahagiaan. Mereka menikmati setiap momen bersama, membangun bisnis bersama, dan merencanakan masa depan mereka. Suatu pagi, Nadia terbangun dengan perasaan yang berbeda. Perutnya terasa sedikit mual, dan dia merasa lebih sensitif terhadap bau. Dia langsung menuju kamar mandi dan mengambil test pack yang sudah dia beli beberapa hari sebelumnya. Dengan tangan gemetar, Nadia melakukan tes. Dia menahan napas, jantungnya berdebar kencang. Beberapa saat kemudian, hasil tes muncul. Dua garis merah terang muncul di layar test pack. Nadia terdiam, matanya berkaca-kaca. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya. Dia tak percaya, dia hamil. Dia akan menjadi seorang ibu. Wanita cantik itu langsung berlari keluar dari kamar mandi dan menuju kamar tidur. Darren masih tertidur pulas di ranjang. Nadia duduk di tepi ranjang, matanya menatap Darren dengan penuh kasih sayang. "Kak," bisik Nadi
Minggu-minggu berlalu begitu cepat. Nadia sudah beberapa kali kontrol ke dokter untuk memeriksa kondisi tulang pahanya setelah operasi pelepasan pen. Dokter mengatakan bahwa tulang pahanya sudah pulih dengan baik dan dia sudah bisa beraktivitas seperti biasa."Kak, aku sudah bisa jalan normal lagi, lho!" seru Nadia, matanya berbinar gembira.Darren tersenyum, matanya memancarkan kebahagiaan. "Aku senang mendengarnya, Sayang," jawabnya. "Kamu sudah bisa kembali ke butik."Nadia mengangguk, matanya berbinar-binar. "Aku sudah tidak sabar untuk kembali bekerja," katanya. "Aku ingin membantu kamu mengembangkan butik."Darren mencium kening Nadia dengan lembut. "Aku tahu kamu bisa, Nad," kata Darren. "Kamu akan jadi desainer yang berbakat."Nadia kembali bekerja di butik milik Darren. Dia sangat antusias dalam berbagai hal, mulai dari mendesain baju, memilih bahan, hingga melayani pelanggan. Kehadiran Nadia di butik membuat suasana di sana semakin hidup dan ceria."Kak, aku punya
Malam itu, udara dingin menusuk tulang. Darren dan Nadia berjalan beriringan menuju kediaman Rudi, om Darren yang terkenal kejam. Nadia melangkah dengan hati-hati, tulang pahanya masih terasa nyeri setelah operasi pelepasan pen."Kamu yakin mau ke sini?" tanya Darren, sedikit ragu."Iya, sekadar berbela sungkawa sebentar."Sesampainya di depan rumah Rudi, mereka mendengar suara teriakan yang nyaring. Suara itu berasal dari dalam rumah, terdengar seperti jeritan orang kesakitan. Nadia mengernyit, jantungnya berdebar kencang."Itu suara Om Rudi," bisik Darren.Mereka mengintip dari balik jendela. Di dalam, Rudi tampak seperti orang gila, berteriak-teriak histeris. "Mama ... Ma! Kembalilah padaku, Ma. Aku mohon jangan tinggalkan Papa ...!" teriaknya histeris, memeluk foto mendiang istrinya.Nadia merasa iba melihat Rudi yang terpuruk. "Kasian, dia kayak orang kehilangan akal," gumamnya.Darren hanya diam, matanya menatap Rudi dengan dingin. "Karma," gumamnya pelan, "Karma atas semua keja
Beberapa jam berlalu. Nadia terbangun dari tidurnya, tubuhnya masih terasa lemas akibat pengaruh obat bius. Matanya perlahan terbuka, dan pandangannya langsung tertuju pada Darren yang duduk di samping ranjang, wajahnya tampak lesu. Nadia berusaha bangkit, tetapi rasa sakit yang menusuk di perutnya membuatnya kembali terbaring."Kak ...," lirih Nadia, suaranya serak dan bergetar.Darren langsung mendekat, memegang tangan Nadia dengan lembut. "Sayang, kamu udah bangun? Kamu masih sakit?"Nadia menggeleng lemah. "Sudah nggak terlalu."Darren tidak menjawab, hanya mengelus lembut rambut istrinya. Membuat Nadia berpikir macam-macam, tak biasanya suaminya murung."Kak, apa semua baik-baik saja? Ada masalah, sampai kamu murung begitu?" tanya Nadia, sambil tangannya perlahan menekan perut meredam rasa nyeri.Darren menarik napas dalam-dalam. "Iya, Sayang. Maaf membuatmu khawatir.""Ada apa?"Darren sebenarnya belum ingin cerita, tetapi Nadia sudah terlanjur curiga. "Kakek meninggal be
Darren melangkah gontai memasuki ruangan rumah sakit tempat Nadia dirawat. Ia berharap bisa menemukan sedikit ketenangan di sini, setelah melakukan tindakan brutal terhadap Rahayu. Sayangnya, saat ia melihat wajah Nadia yang pucat dan terbaring lemah, rasa bersalah kembali menyergapnya."Sayang," lirih Darren, tangannya meraih tangan Nadia yang dingin. "Maafkan aku. Aku nggak bisa mencegah Tante Rahayu mengirimkan pesan itu, sehingga membuat pikiranmu terganggu."Namun, sebelum Darren bisa melanjutkan kata-katanya, bodyguard-nya, datang menghampiri. Wajahnya tampak muram, matanya berkaca-kaca."Tuan, ada kabar buruk," ucap Ryan, suaranya bergetar menahan tangis. "I-ini menyangkut Tuan Besar.""Apa?" tanya Darren, jantungnya berdebar kencang."Tuan Besar telah meninggal dunia, Dokter mengabarkan dua puluh menit yang lalu, dan saat ini jenazahnya masih ada di ICU karena menunggu Tuan," ucap Ryan, suaranya tercekat.Darren terpaku di tempat, matanya membelalak tak percaya. Ia tak
Darren melangkah tegap menuju kantornya, meninggalkan kekacauan di Atmajaya. Ia tak peduli dengan perusahaan yang kini terancam bangkrut, tak peduli dengan kekhawatiran staf-staf Atmajaya tadi, dan tak peduli dengan nasib Rudi. Ia memasuki ruangannya, sebuah ruangan mewah dengan pemandangan kota dari jendela besar. Namun, kemewahan itu tak lagi berarti apa-apa baginya. Ia duduk di kursi empuk, membuka laptop, dan mulai mengetik.Darren mengirim email kepada para investor Atmajaya, memerintahkan mereka untuk segera menarik investasi dari perusahaan milik omnya. Ia tahu, dengan kekuasaannya, para investor pasti lebih berpihak padanya.[Saya harap Anda semua sudah membaca berita terkini tentang Atmajaya. Saya sarankan Anda untuk segera menarik investasi Anda dari perusahaan ini. Atmajaya sudah tidak layak untuk Anda investasikan.] tulis Darren dalam emailnya.Ia menekan tombol "kirim" dengan penuh amarah. Ia tahu, dengan email itu, ia telah menghancurkan Atmajaya. Namun, ia tak
Nadia terbaring lemah di ranjang rumah sakit, matanya terpejam. Napasnya teratur, tubuhnya lemas setelah perawat menyuntikkan obat penenang. Air mata yang sebelumnya membasahi pipinya kini telah kering, meninggalkan jejak samar di kulit pucatnya. Marah, sedih, dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. Janin yang baru berusia dua bulan terpaksa diluruhkan, mimpi untuk menjadi seorang ibu harus ditunda.Darren duduk di kursi samping ranjang, matanya tertuju pada wajah Nadia yang tenang dalam tidurnya. Hatinya pedih melihat istrinya terbaring lemah, tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menggenggam erat tangan Nadia, berharap sentuhannya bisa sedikit meringankan beban yang sedang ditanggung istrinya. "Maaf, Sayang. Aku gak bisa ngelakuin apa-apa," bisik Darren lirih, suaranya bergetar menahan kesedihan. "Aku janji, kita bakal punya anak lagi."Darren terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Ia teringat untuk menemani Brata, sang kakek, yang dirawat di ICU karena infek
Dokter itu meletakkan selembar kertas dan pulpen di hadapan Darren. Tangannya gemetar saat meraih pulpen, matanya menerawang ke arah pintu ruang operasi tempat Nadia terbaring."Ini, Pak Darren. Formulir persetujuan untuk tindakan medis. Saya sudah jelaskan risikonya, dan saya harap Anda bisa memahami keputusan ini." Dokter itu berkata dengan nada lembut, tetapi suaranya terasa berat di telinga Darren.Darren menatap formulir itu dengan tatapan kosong. Kata-kata dokter berputar-putar di kepalanya.Risiko tinggi.Kondisi kritis.Keputusan sulit. Ia mencoba mencari kekuatan di dalam diri, mencoba mencari jalan keluar dari dilemma yang menjeratnya."Dokter, apakah ... apakah tidak ada cara lain?" tanya Darren, suaranya terasa serak dan patah.Dokter menggeleng pelan. "Maaf, Pak Darren. Ini adalah pilihan terbaik yang bisa kita ambil saat ini. Jika kita tidak bertindak segera, kondisi Ibu Nadia akan semakin memburuk. Dan ris
Darren masih terpaku di depan pintu ruang operasi, matanya menerawang ke dalam ruangan. Kekhawatirannya belum juga mereda. Nadia, istrinya, masih belum sadar dari pengaruh obat bius. Operasi pelepasan pen berjalan lancar, tapi kondisi Nadia justru memburuk setelahnya. Tekanan darahnya terus meningkat, dan keadaan kandungannya juga melemah.Tiba-tiba, seorang perawat berlari menghampirinya. Wajahnya tampak panik. "Maaf, Pak Darren. Ada kabar buruk. Kakek Brata kritis."Darren tersentak. "Apa maksudnya? Kakek Brata kenapa?""Infeksi paru-parunya semakin parah, Pak. Batuknya semakin keras dan sulit bernapas. Saat ini, Kakek Brata kejang-kejang." Perawat itu mengusap keringat di dahinya. Darren langsung berdiri tegak. "Dimana Kakek sekarang?""Di ruang ICU, Pak." Perawat itu menunjuk arah. "Saya harus kembali ke sana. Maaf, Pak."Darren terdiam sejenak. Rasa cemas dan takut bercampur aduk dalam dirinya. Nadia masih belum sadar, dan sekarang Kakeknya kritis. Ia merasaka