Tania mengunci dirinya di kamar dan tidak keluar sampai pagi, dia sangat takut Darren melihat video itu dan mengenali bentuk tubuhnya.
Tok! Tok! Tok! "Tan, buka pintunya. Ini aku." Kedua mata cantik itu langsung membelalak lebar saat mendengar suara Darren di depan pintu. Jam masih menunjukkan pukul empat, sejak tadi dia tidak mendengar suara apa-apa. "Duh, Mas Darren tahu-tahu ada di depan, mana aku belum siap-siap," gumamnya panik. "Semoga dia nggak sadar sama mata panda ku." Wanita itu membuka pintu dengan perlahan, senyumnya merekah guna menutupi kegelisahan hatinya. "Kamu baru bangun?" tanya Darren yang langsung diangguki oleh Tania. "Ayo masuk, Mas." Darren sekuat mungkin menahan agar tangannya tidak menampar Tania, meskipun j1j1k sekali rasanya saat mengingat kelakuan istrinya dengan Raka. "Tan, kamu sudah lihat 'kan tentang video yang beredar di media sosial itu. Aku nggak nyangka Raka bisa kayak gitu, untung Nadia pergi dan nggak jadi nikah," ujar Darren seraya mendudukkan dirinya di kasur. Pria itu terus memperhatikan istrinya, terlihat jelas raut ketakutan dan urat-urat wajah yang menegang. "Bayangkan kalau Nadia tetap menikah, dia cuma mendapat bekas dari wanita lain. Ah, ini sebenarnya keberuntungan buat Nadia." "Tapi tetap saja dia sudah bikin rugi ibu sama ayah. Biaya yang dikeluarkan 'kan nggak kecil, Mas," sahut Tania tanpa menoleh ke arah sang suami. Dia takut Darren memergoki kebohongan di dalam matanya. "Uang bisa dicari, Tan. Biaya pesta ini tidak lebih mahal dari harga diri dan masa depan Nadia," sahut Darren dengan seringai senyum miring di ujung bibirnya, dia puas saat Tania mulai terpancing dengan pembahasan ini. "Tapi, Mas—" "Lagi pula sekali selingkuh maka Raka akan selamanya selingkuh. Selingkuh itu suatu penyakit yang nggak ada obatnya, kecuali orangnya mati. Bisa saja kemarin dia selingkuh sama wanita yang di video itu, tapi besok sudah selingkuh sama yang lain, dan besoknya lagi sudah beda lagi wanitanya," kata Darren panjang lebar. Tania tidak menyahut, meskipun perasaannya sedikit terusik dengan ucapan Darren. "Apalagi Raka kaya raya, dia punya banyak uang dan bisa mendapatkan wanita manapun yang dia mau. Coba bayangkan kalau Nadia terlanjur menikah, diselingkuhi pacar saja sudah sakit hati apalagi diselingkuhi suami." Darren kembali melanjutkan ucapannya sekaligus menyindir sang istri. "Sudah lah, Mas, nggak usah dibahas-bahas lagi. Itu bukan urusan kita," kata Tania yang langsung merebahkan dirinya di kasur. "Aku masih ngantuk, mau tidur lagi." Pria itu tidak menyahut, dia masih duduk menunggu istrinya benar-benar terlelap. Setelah memastikan Tania benar-benar nyenyak di dalam buaian mimpi, Darren beranjak menuju nakas dan mengambil ponsel canggih milik wanita itu. Darren menggunakan keahliannya yang bisa memulihkan beberapa data yang telah terhapus di ponsel, tidak perlu waktu lama ia mendapati banyak pesan dan foto mesra antara Tania dengan Raka. 'Tania benar-benar keterlaluan. Ternyata dia sudah satu tahun bermain gila sama Raka. Aku nggak terima dikhianati seperti ini,' batinnya kesal. Dengan napas memburu, Darren memindahkan semua data itu ke ponselnya. Dia belum memikirkan rencana apa yang akan dijalankan nanti, yang penting dia sudah mengantongi semua barang bukti. 'Beruntung ada perjanjian pisah harta, jadi asetku tetap aman.' Pria itu menghela napas lega, setidaknya Tania tidak akan mendapatkan bagian dari kerja kerasnya selama ini. • Matahari semakin naik, sebuah mobil mewah terparkir di halaman kediaman Toni. Sepasang paruh baya turun bersamaan dan langsung masuk ke dalam rumah. Toni mempersilakan orang tua Raka untuk duduk di sofa, cukup lama ruangan berukuran 3x4 itu diisi keheningan. "Pak Toni, kami minta maaf atas nama Raka karena beredarnya video syur di media sosial itu. Kami merasa gagal mendidik Raka, sehingga tidak tahu pergaulannya di luar," ucap Anton. Toni mengangguk lirih sambil menjawab, "saya kaget melihat video itu, Pak. Tidak menyangka kalau Raka bisa melakukan hal yang tidak pantas." "Kami sudah meminta beberapa ahli untuk mengecek apakah video itu asli atau tidak, dan menelusuri akun siapa yang pertama kali menyebarkannya. Semoga semua segera mencapai titik terang, Pak." Anton menoleh ke arah istrinya, Anita, yang sedari tadi menunduk sambil mengunci bibir rapat-rapat. "Saya juga menyampaikan suatu permintaan maaf lagi. Eum ... Pak, sepertinya pernikahan anak kita harus ditunda dulu. Karena ... karena Raka kabur dari rumah sejak semalam," ucap Anton dengan suara lirih dan bergetar. Ucapan itu membuat Toni dan Mella terhenyak kaget, keduanya saling pandang dengan wajah tegang. "Kami sudah meminta beberapa anak buah untuk mencari Raka, tapi sampai saat ini belum mendapatkan kabar apa-apa. Tapi kami berjanji akan menanggung semua kerugian yang telah Bapak dan Ibu keluarkan." Anton kembali menjelaskan, disusul anggukan oleh Anita. Mella menahan senyum di bibirnya, semua bebannya seolah sirna saat mendengar salon besannya itu mau memberikan ganti rugi. Ah, memang hanya uang yang dia pikirkan. Tanpa peduli kabar Nadia saat ini. "Kami juga harus menyampaikan kabar yang menyedihkan, Pak Anton. Nadia juga pergi dari kemarin malam, dan belum kembali sampai hari ini. Polisi belum memberi kabar, saudara dan tetangga yang kami mintai tolong juga belum memberi kepastian," jelas Toni. "Nadia pergi?" Anita mulai angkat bicara. Wanita paruh baya itu sangat menyayangi Nadia dan sudah menganggap selayaknya anak sendiri, jelas aja dia khawatir. Bahkan degup jantungnya kian berbaju kencang, melebihi deg-degan saat mendapati putranya pergi. "Benar, Bu. Kami tidak tahu ke mana Nadia pergi, nomor teleponnya juga nggak aktif," timpal Mella yang gini berpura-pura memasang wajah melas. "Ya Tuhan ...," gumam Anita. "Pa, minta orang-orang mu untuk mencari Nadia juga. Kasihan sekali dia sendirian di luar sana." Anton mengangguk dan lekas menelepon anak buahnya, selanjutnya pria paruh baya itu izin pamit pulang setelah memberikan dua buah amplop tebal kepada Toni dan Mella. Toni mengantar calon besannya itu sampai ke depan, sementara Mella langsung membawa dua amplop tersebut ke kamar dan sibuk membukanya. Matanya berbinar terang melihat beberapa gepok uang merah yang masih baru itu. "Aroma uang baru memang sangat menenangkan," ujarnya sambil menghirup dalam gepokan uang-uang tersebut. Masalah tentang Nadia seakan sirna, kepalanya sudah tidak pusing lagi seperti semalam. Kini, dia tidak peduli ke mana perginya anak tirinya itu. Yang penting dia sudah mendapatkan ganti rugi atas biaya pesta. Sementara di teras, Darren tengah duduk santai sambil menyesap kopi. Pria tampan dalam balutan kaos oblong dan celana selutut itu tersenyum miring melihat kepergian mobil Anton. 'Putramu baik-baik saja, Pak Anton. Dia hanya aku pinjam sebentar, takut membuat kekacauan lagi kalau dibiarkan begitu saja,' batinnya tergelak saat teringat anak buahnya yang menculik Raka semalam. Darren melakukan itu untuk berjaga-jaga agar Raka tidak menemui Nadia di luar kota. Mau bagaimanapun Raka juga punya banyak koneksi, bisa saja dia melacak keberadaan Nadia karena memang adik iparnya itu belum mengganti ponsel. "Aku tidak mau ambil resiko. Setelah aku kembali ke luar kota, aku pasti akan mengembalikannya padamu, Pak Anton," gumamnya."Kurang ajar banget Raka, untung putriku nggak jadi nikah sama dia. Aku mau pernikahannya dibatalkan saja!" ketus Toni saat baru saja masuk kamar.Ucapannya tidak mendapat sahutan dari sang istri, Mella masih asik mencium uang-uang barunya."Kamu dengar aku ngomong nggak, sih?!" sentaknya yang mulai kesal.Pikirannya sangat lelah sejak kemarin, dari masalah Nadia dan sekarang ditambah masalah Raka. "Ya, Mas, aku dengar. Sudah ... nggak usah dipikirin lagi, yang penting sekarang kita dapat ganti rugi," sahut Mella.Toni menggeram emosi dan membawa langkah lebar menuju ranjang, tangannya menghempaskan gepokan uang-uang itu dengan kasar. Mella hanya mampu menatap nanar ke lantai, dia hendak mengambil, tetapi Toni menarik lengannya."Jangan mikirin uang terus, Mel. Nadia itu pergi sejak kemarin dan sekarang belum ketemu, kamu nggak khawatir sama keadaannya?!" Pria paruh baya itu berteriak tepat di depan wajah istrinya.Hal itu jelas saja membuat Mella semakin membenci Nadia. 'Anak itu a
Tania berjalan dengan langkah gontai menuju teras, Darren yang melihat itu pun hanya bisa tersenyum tipis. "Sudah siap?" tanyanya yang langsung diangguki oleh sang istri.Keduanya berjalan menuju mobil, jalanan tampak lenggang dan tidak butuh waktu lama mereka sudah sampai di rumah sakit. Darren keluar lebih dulu sementara Tania menyusul di belakang. Pria itu mendaftarkan istrinya dan beruntung hari ini tidak terlalu banyak antrian, sehingga Tania bisa langsung masuk. Dokter langsung meminta Tania berbaring untuk diperiksa USG, wanita paruh baya dalam balutan jas putih itu tersenyum manis sambil mengajak Tania berbincang mengenai jadwal haid terakhir."Baik, Pak, dari pemeriksaan kami istri Anda hamil empat minggu. Kandungannya bagus dan berkembang sesuai usianya, tidak ada masalah dan semuanya baik. Kami akan meresepkan vitamin untuk ibunya, ya, Pak," jelas sang dokter."Empat minggu, Dok?" tanya Darren."Benar, Pak.
"Aku balik hari ini, Tan," kata Darren saat baru saja memasuki kamar. "Loh, kok, cepat banget? Kamu baru sampai tadi pagi, loh, Mas." Tania langsung bangkit dari ranjang dan mendekat ke arah suaminya. "Nggak mau besok atau lusa saja?""Temanku telepon, ada pekerjaan penting katanya dan perusahaan membutuhkanku. Aku janji tiga hari lagi akan pulang, Tan," jawab Darren, berusaha merangkai alasan semasuk akal mungkin.Tania menunduk lesu, dia ingin ditemani dan dimanja oleh suaminya. Namun, Darren malah mau pergi lagi."Aku sudah kirim uang ke rekening kamu, bisa kamu gunakan untuk belanja biar nggak sedih lagi. Nanti aku kabarin kalau sudah sampai apartemen," kata Darren yang langsung membuat Tania mendongak dengan mata bersinar. Pria itu langsung mengalihkan pandangan, dia paling tahu bagaimana membuat suasana hati istrinya kembali baik. Tania memang mata duitan, apapun masalahnya akan langsung beres asal ada uang banyak di dal
Pagi ini Darren hendak memesan makanan, tetapi urung saat telinganya mendengar bunyi bel pintu. Dia segera melihat siapa yang datang dan ternyata adik iparnya. "Mau ngapain kamu?" tanyanya yang tidak ada ramah-ramahnya sama sekali. Nadia sedikit mundur, gadis itu takut melihat penampilan acak-acakan serta nada tinggi kakak iparnya.'Mungkin benar Kak Darren sedang ada masalah, pantas saja dari kemarin sikapnya aneh,' batin Nadia."Aku mau mengirim sarapan Kak. Nasi goreng seafood," ucapnya sambil menyodorkan kotak makan. Darren mengangguk dan lantas meraih kotak makan itu, sejurus kemudian ia berbalik badan dan langsung menutup pintu tanpa mengatakan apapun. Bahkan raut mukanya sangat datar.Nadia hanya bisa mengelus dada, tetapi ia tidak mau ambil pusing dan memilih kembali ke unitnya untuk siap-siap bekerja. Sementara di dalam kamarnya, Darren tidak langsung membuka kotak makan. Dia memilih menghubungi asisten prib
"Pinjam uang kamu dulu aja, Tan. Nanti Ibu ganti kalau sudah ada," kata Mella.Tania menggeleng. "Enak saja. Ini nafkah dari Mas Darren, Bu. Bukan untuk membayar jasa WO.""Halah, tadi 'kan kamu juga yang ngajakin shopping sampai kita kalap kayak gini. Sekarang uang ibu tinggal sepuluh juta dan harus buat bayar jasa WO. Daripada ayahmu makin marah-marah dan semuanya tambah runyam, mending kamu pinjemin dulu uangnya." Mella terus mendesak.Tania menghentakkan kaki ke lantai karena saking kesalnya. Baru tadi pagi ia bahagia setelah ditransfer oleh Darren, kini malah suruh membayar jasa WO. "Ayo, Tania. Kamu bantu ibu, jangan jadi anak durhaka kayak si Nadia itu," ucap Mella yang terus nanti mencecar putrinya yang tidak juga bergerak."Ibu, kok, malah banding-bandingin aku sama si anak nggak tahu diri itu sih?!" Tania yang merasa tidak terima pun tanpa sadar menaikkan nada bicaranya. Mella mengacak rambutnya dengan frustasi saat p
"Aku mau kerja lagi, Kak," ucap Nadia setelah menghabiskan makan siangnya."Ya, silakan. Aku juga mau balik ke kantor," sahut Darren. "Nanti pulangnya naik taksi saja, jangan bareng Renaldy lagi."Gadis itu mengangguk singkat, tanpa menjawab apa-apa lagi, dia langsung melangkah ke dalam butik dan melanjutkan pekerjaannya. Sementara Darren juga kembali ke parkiran restoran dan segera naik ke dalam mobilnya. Bibirnya mengulas senyum tipis, setidaknya dia sudah menggagalkan acara pendekatan Renaldy."Anda terlihat bahagia, Pak," ucap Jacob. Darren terkekeh singkat, asisten pribadinya itu memang menunggu di dekat gerobak mie ayam sejak tadi. Niatnya adalah untuk memastikan keselamatan Darren, tanpa sadar mencuri dengar percakapan atasannya itu dengan Nadia."Dia adik iparku, sekarang menjadi tanggung jawabku. Selama dia belum bisa menjaga dirinya sendiri, maka akulah yang harus memastikan keselamatannya," sahut Darren.Jac
Mella menuju kamar putrinya dan langsung menceritakan apa yang diperbuat Toni, hal itu tak ayal membuat Tania kesal dan kecewa."Kok Ayah gitu, sih? Nggak ingat apa kita yang selalu bantuin ayah, padahal Nadia sudah buat malu. Seharusnya anak itu dicoret saja dari daftar ahli waris, dia nggak pantas mendapatkan itu semua!" pekik Tania dengan kedua tangan terkepal erat. "Tapi mau bagaimana lagi? Ayahmu sudah membuat keputusan seperti itu. Selama masih ada Nadia, maka kita tidak akan bisa menjadi satu-satunya penguasa harta ayahmu."Tania tidak langsung menjawab, netranya membelalak dengan seringnya senyum yang terlihat mengerikan. "Kalau misalkan Nadia sudah nggak ada, apa kita akan menjadi ahli waris satu-satunya?" tanya Tania yang langsung diangguki oleh Mella."Kalau begitu, kita harus menyingkirkan Nadia, Bu," bisik wanita hamil itu."Menyingkirkan bagaimana maksudnya? Anak itu 'kan memang sudah menyingkir dari keluarga kita
Malam ini Darren memberikan selembar kertas berisi formulir pendaftaran kelas bela diri kepada Nadia, pria itu menunggu di sofa selama adik iparnya tersebut mengisi data diri. "Kapan aku mulai masuk kelas, Kak?" tanya Nadia setelah selesai mengisi formulir tersebut. "Besok sudah bisa." Darren tidak menoleh ke arah gadis itu, tatapan matanya terpaku pada layar ponsel. "Pelatihnya perempuan 'kan?"Hanya anggukan yang didapati Nadia, tetapi dia berusaha maklum. Mungkin saja kakak iparnya itu tengah sibuk.Nadia mengambil ponsel dan berselancar di akun media sosial yang baru dibuatnya. Ruang tamu itu terasa hening hingga beberapa menit."Lebih baik kau ganti ponsel saja, Nad."Ucapan Darren tidak hanya memecah keheningan, tetapi juga membuat Nadia terkejut. "Kenapa harus ganti ponsel? Ponselku ini masih bagus dan bisa digunakan, kok, Kak.""Sudahlah, nggak usah banyak tanya. Besok aku belikan ponsel bar