Pagi ini Darren hendak memesan makanan, tetapi urung saat telinganya mendengar bunyi bel pintu. Dia segera melihat siapa yang datang dan ternyata adik iparnya.
"Mau ngapain kamu?" tanyanya yang tidak ada ramah-ramahnya sama sekali.Nadia sedikit mundur, gadis itu takut melihat penampilan acak-acakan serta nada tinggi kakak iparnya.'Mungkin benar Kak Darren sedang ada masalah, pantas saja dari kemarin sikapnya aneh,' batin Nadia."Aku mau mengirim sarapan Kak. Nasi goreng seafood," ucapnya sambil menyodorkan kotak makan.Darren mengangguk dan lantas meraih kotak makan itu, sejurus kemudian ia berbalik badan dan langsung menutup pintu tanpa mengatakan apapun. Bahkan raut mukanya sangat datar.Nadia hanya bisa mengelus dada, tetapi ia tidak mau ambil pusing dan memilih kembali ke unitnya untuk siap-siap bekerja.Sementara di dalam kamarnya, Darren tidak langsung membuka kotak makan. Dia memilih menghubungi asisten prib"Pinjam uang kamu dulu aja, Tan. Nanti Ibu ganti kalau sudah ada," kata Mella.Tania menggeleng. "Enak saja. Ini nafkah dari Mas Darren, Bu. Bukan untuk membayar jasa WO.""Halah, tadi 'kan kamu juga yang ngajakin shopping sampai kita kalap kayak gini. Sekarang uang ibu tinggal sepuluh juta dan harus buat bayar jasa WO. Daripada ayahmu makin marah-marah dan semuanya tambah runyam, mending kamu pinjemin dulu uangnya." Mella terus mendesak.Tania menghentakkan kaki ke lantai karena saking kesalnya. Baru tadi pagi ia bahagia setelah ditransfer oleh Darren, kini malah suruh membayar jasa WO. "Ayo, Tania. Kamu bantu ibu, jangan jadi anak durhaka kayak si Nadia itu," ucap Mella yang terus nanti mencecar putrinya yang tidak juga bergerak."Ibu, kok, malah banding-bandingin aku sama si anak nggak tahu diri itu sih?!" Tania yang merasa tidak terima pun tanpa sadar menaikkan nada bicaranya. Mella mengacak rambutnya dengan frustasi saat p
"Aku mau kerja lagi, Kak," ucap Nadia setelah menghabiskan makan siangnya."Ya, silakan. Aku juga mau balik ke kantor," sahut Darren. "Nanti pulangnya naik taksi saja, jangan bareng Renaldy lagi."Gadis itu mengangguk singkat, tanpa menjawab apa-apa lagi, dia langsung melangkah ke dalam butik dan melanjutkan pekerjaannya. Sementara Darren juga kembali ke parkiran restoran dan segera naik ke dalam mobilnya. Bibirnya mengulas senyum tipis, setidaknya dia sudah menggagalkan acara pendekatan Renaldy."Anda terlihat bahagia, Pak," ucap Jacob. Darren terkekeh singkat, asisten pribadinya itu memang menunggu di dekat gerobak mie ayam sejak tadi. Niatnya adalah untuk memastikan keselamatan Darren, tanpa sadar mencuri dengar percakapan atasannya itu dengan Nadia."Dia adik iparku, sekarang menjadi tanggung jawabku. Selama dia belum bisa menjaga dirinya sendiri, maka akulah yang harus memastikan keselamatannya," sahut Darren.Jac
Mella menuju kamar putrinya dan langsung menceritakan apa yang diperbuat Toni, hal itu tak ayal membuat Tania kesal dan kecewa."Kok Ayah gitu, sih? Nggak ingat apa kita yang selalu bantuin ayah, padahal Nadia sudah buat malu. Seharusnya anak itu dicoret saja dari daftar ahli waris, dia nggak pantas mendapatkan itu semua!" pekik Tania dengan kedua tangan terkepal erat. "Tapi mau bagaimana lagi? Ayahmu sudah membuat keputusan seperti itu. Selama masih ada Nadia, maka kita tidak akan bisa menjadi satu-satunya penguasa harta ayahmu."Tania tidak langsung menjawab, netranya membelalak dengan seringnya senyum yang terlihat mengerikan. "Kalau misalkan Nadia sudah nggak ada, apa kita akan menjadi ahli waris satu-satunya?" tanya Tania yang langsung diangguki oleh Mella."Kalau begitu, kita harus menyingkirkan Nadia, Bu," bisik wanita hamil itu."Menyingkirkan bagaimana maksudnya? Anak itu 'kan memang sudah menyingkir dari keluarga kita
Malam ini Darren memberikan selembar kertas berisi formulir pendaftaran kelas bela diri kepada Nadia, pria itu menunggu di sofa selama adik iparnya tersebut mengisi data diri. "Kapan aku mulai masuk kelas, Kak?" tanya Nadia setelah selesai mengisi formulir tersebut. "Besok sudah bisa." Darren tidak menoleh ke arah gadis itu, tatapan matanya terpaku pada layar ponsel. "Pelatihnya perempuan 'kan?"Hanya anggukan yang didapati Nadia, tetapi dia berusaha maklum. Mungkin saja kakak iparnya itu tengah sibuk.Nadia mengambil ponsel dan berselancar di akun media sosial yang baru dibuatnya. Ruang tamu itu terasa hening hingga beberapa menit."Lebih baik kau ganti ponsel saja, Nad."Ucapan Darren tidak hanya memecah keheningan, tetapi juga membuat Nadia terkejut. "Kenapa harus ganti ponsel? Ponselku ini masih bagus dan bisa digunakan, kok, Kak.""Sudahlah, nggak usah banyak tanya. Besok aku belikan ponsel bar
Darren mengetuk pintu unit apartemen Nadia, tidak lama kemudian gadis itu keluar dengan wajah tegang dan tubuh gemetar. "Kak," panggilnya dengan suara lirih. "Kamu yang minta dibawain makanan sama Renaldy?" Nada bicara Darren terdengar sangat dingin dan membuat Nadia semakin kikuk."Tidak, Kak." Gadis itu menggelengkan kepala. "Aku juga nggak tahu pak Renaldy tiba-tiba kirim pesan kalau beliau ada di lobi dan memintaku menemuinya.""Ya sudah kalau begitu. Kamu makan saja makanannya. Setelah ini langsung istirahat dan jangan begadang, besok aku antar ke butik," kata Darren seraya berbalik badan dan berlalu pergi dari hadapan Nadia. Membuat Gadis itu terpaku dengan mata melotot. Kakak iparnya itu berubah lagi, Padahal dia sudah siap mendengar semprotan amarah.Nadia tidak mau ambil pusing dan segera menutup pintu kembali, sementara Darren pun langsung merebahkan tubuhnya saat tiba di kamarnya."Aku hanya ingin melindung
Tiga hari berlalu, Darren kini pulang ke kota tempat istrinya tinggal. Sebelum itu, dia sudah memerintahkan Jacob untuk menjaga Nadia, dia tidak mau Renaldy semakin berani mendekati Nadia mentang-mentang tidak ada dirinya."Kamu mau ke mana Mas?" tanya Tania saat melihat suaminya hendak masuk ke dalam. "Kamu baru saja sampai, ini aku baru buatkan kopi.""Aku ada janji bertemu dengan klien. Nggak jauh, kok, rumahnya.""Memangnya kamu nggak capek?" Tania meletakkan secangkir kopi itu di atas meja, dia membawa langkah mendekati Darren."Nggak, Tan. Tadi aku bawa sopir, nggak menyetir sendiri."Wanita hamil itu mengangguk. "Baiklah kalau begitu, tapi pulangnya jangan malam-malam, ya. Aku sudah kangen sama kamu, Mas."Darren membiarkan Tania memeluk tubuhnya, meskipun rasanya ingin sekali membanting istrinya itu. "Kamu masuk ke dalam saja, angin sore nggak bagus buat ibu hamil.""C1um dulu, dong," rengek Tania sambi
Pagi ini Darren tiba di rumah sakit dan langsung menemui dokter kandungan ternama di kota itu, dia langsung menceritakan keinginannya untuk melakukan tes DNA. "Untuk mencocokkan DNA bisa saja, Pak. Tapi, kita harus menunggu usianya minimal empat belas minggu. Untuk usia lebih amannya lagi, yaitu di antara empat bulan sampai lima bulan. Kami menyebutnya tes paternitas prenatal, dan itu resiko kegugurannya jauh lebih besar daripada tes DNA non-invasif, yang biasa digunakan untuk menentukan apakah ada resiko kelainan genetik pada janin," jelas dokter perempuan itu dengan ramah.Darren mangut-mangut setuju. "Jadi, saya harus ke sini dua bulan lagi?""Benar, Pak. Kami juga harus melihat kesiapan tubuh ibu untuk dilakukan tas ini.""Saya minta tolong jangan sampai istri saya tahu hal ini, bilang saja tes DNA untuk melihat resiko kelainan genetik. Saya tidak mau dia mikir macam-macam," kata Darren.Dokter itu tidak langsung menjawab, terdengar
"Tan." Darren berdehem sejenak untuk menormalkan kegugupannya. "Bukan Nadia adikmu, tapi Nadia asistennya Jacob.""Sejak kapan Jacob punya asisten?" tanya Tania sambil mengerutkan kening."Baru-baru ini. Sejak aku tahu kamu hamil, aku memintanya untuk mencari asisten, karena aku pasti akan sering pulang dan kasihan kalau Jacob kerja sendirian. Dia butuh asisten biar ada yang membantu, tapi asistennya ini masih minim pengalaman kerja dan butuh pengawasan lebih. Makanya aku meminta Jacob untuk mengikuti Nadia," jelas Darren."Oh, begitu ... aku kira kamu tahu keberadaan adikku, Mas. Kalau tahu 'kan kita bisa langsung menjemputnya," kata. Tania yang hanya membuat Darren mengulas senyum tipis. Pria itu lega saat istrinya percaya dengan alasannya, mulai hari ini dia berjanji tidak akan menyebut nama Nadia di rumah itu. Hari ini Tania bisa mengerti, tetapi dia tidak bisa menjamin bahwa di lain hari istrinya itu tidak akan curiga dengannya."Oh
Hari-hari berlalu begitu cepat, berganti minggu dan bulan. Kehidupan Darren dan Nadia dipenuhi dengan kebahagiaan. Mereka menikmati setiap momen bersama, membangun bisnis bersama, dan merencanakan masa depan mereka. Suatu pagi, Nadia terbangun dengan perasaan yang berbeda. Perutnya terasa sedikit mual, dan dia merasa lebih sensitif terhadap bau. Dia langsung menuju kamar mandi dan mengambil test pack yang sudah dia beli beberapa hari sebelumnya. Dengan tangan gemetar, Nadia melakukan tes. Dia menahan napas, jantungnya berdebar kencang. Beberapa saat kemudian, hasil tes muncul. Dua garis merah terang muncul di layar test pack. Nadia terdiam, matanya berkaca-kaca. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya. Dia tak percaya, dia hamil. Dia akan menjadi seorang ibu. Wanita cantik itu langsung berlari keluar dari kamar mandi dan menuju kamar tidur. Darren masih tertidur pulas di ranjang. Nadia duduk di tepi ranjang, matanya menatap Darren dengan penuh kasih sayang. "Kak," bisik Nadi
Minggu-minggu berlalu begitu cepat. Nadia sudah beberapa kali kontrol ke dokter untuk memeriksa kondisi tulang pahanya setelah operasi pelepasan pen. Dokter mengatakan bahwa tulang pahanya sudah pulih dengan baik dan dia sudah bisa beraktivitas seperti biasa."Kak, aku sudah bisa jalan normal lagi, lho!" seru Nadia, matanya berbinar gembira.Darren tersenyum, matanya memancarkan kebahagiaan. "Aku senang mendengarnya, Sayang," jawabnya. "Kamu sudah bisa kembali ke butik."Nadia mengangguk, matanya berbinar-binar. "Aku sudah tidak sabar untuk kembali bekerja," katanya. "Aku ingin membantu kamu mengembangkan butik."Darren mencium kening Nadia dengan lembut. "Aku tahu kamu bisa, Nad," kata Darren. "Kamu akan jadi desainer yang berbakat."Nadia kembali bekerja di butik milik Darren. Dia sangat antusias dalam berbagai hal, mulai dari mendesain baju, memilih bahan, hingga melayani pelanggan. Kehadiran Nadia di butik membuat suasana di sana semakin hidup dan ceria."Kak, aku punya
Malam itu, udara dingin menusuk tulang. Darren dan Nadia berjalan beriringan menuju kediaman Rudi, om Darren yang terkenal kejam. Nadia melangkah dengan hati-hati, tulang pahanya masih terasa nyeri setelah operasi pelepasan pen."Kamu yakin mau ke sini?" tanya Darren, sedikit ragu."Iya, sekadar berbela sungkawa sebentar."Sesampainya di depan rumah Rudi, mereka mendengar suara teriakan yang nyaring. Suara itu berasal dari dalam rumah, terdengar seperti jeritan orang kesakitan. Nadia mengernyit, jantungnya berdebar kencang."Itu suara Om Rudi," bisik Darren.Mereka mengintip dari balik jendela. Di dalam, Rudi tampak seperti orang gila, berteriak-teriak histeris. "Mama ... Ma! Kembalilah padaku, Ma. Aku mohon jangan tinggalkan Papa ...!" teriaknya histeris, memeluk foto mendiang istrinya.Nadia merasa iba melihat Rudi yang terpuruk. "Kasian, dia kayak orang kehilangan akal," gumamnya.Darren hanya diam, matanya menatap Rudi dengan dingin. "Karma," gumamnya pelan, "Karma atas semua keja
Beberapa jam berlalu. Nadia terbangun dari tidurnya, tubuhnya masih terasa lemas akibat pengaruh obat bius. Matanya perlahan terbuka, dan pandangannya langsung tertuju pada Darren yang duduk di samping ranjang, wajahnya tampak lesu. Nadia berusaha bangkit, tetapi rasa sakit yang menusuk di perutnya membuatnya kembali terbaring."Kak ...," lirih Nadia, suaranya serak dan bergetar.Darren langsung mendekat, memegang tangan Nadia dengan lembut. "Sayang, kamu udah bangun? Kamu masih sakit?"Nadia menggeleng lemah. "Sudah nggak terlalu."Darren tidak menjawab, hanya mengelus lembut rambut istrinya. Membuat Nadia berpikir macam-macam, tak biasanya suaminya murung."Kak, apa semua baik-baik saja? Ada masalah, sampai kamu murung begitu?" tanya Nadia, sambil tangannya perlahan menekan perut meredam rasa nyeri.Darren menarik napas dalam-dalam. "Iya, Sayang. Maaf membuatmu khawatir.""Ada apa?"Darren sebenarnya belum ingin cerita, tetapi Nadia sudah terlanjur curiga. "Kakek meninggal be
Darren melangkah gontai memasuki ruangan rumah sakit tempat Nadia dirawat. Ia berharap bisa menemukan sedikit ketenangan di sini, setelah melakukan tindakan brutal terhadap Rahayu. Sayangnya, saat ia melihat wajah Nadia yang pucat dan terbaring lemah, rasa bersalah kembali menyergapnya."Sayang," lirih Darren, tangannya meraih tangan Nadia yang dingin. "Maafkan aku. Aku nggak bisa mencegah Tante Rahayu mengirimkan pesan itu, sehingga membuat pikiranmu terganggu."Namun, sebelum Darren bisa melanjutkan kata-katanya, bodyguard-nya, datang menghampiri. Wajahnya tampak muram, matanya berkaca-kaca."Tuan, ada kabar buruk," ucap Ryan, suaranya bergetar menahan tangis. "I-ini menyangkut Tuan Besar.""Apa?" tanya Darren, jantungnya berdebar kencang."Tuan Besar telah meninggal dunia, Dokter mengabarkan dua puluh menit yang lalu, dan saat ini jenazahnya masih ada di ICU karena menunggu Tuan," ucap Ryan, suaranya tercekat.Darren terpaku di tempat, matanya membelalak tak percaya. Ia tak
Darren melangkah tegap menuju kantornya, meninggalkan kekacauan di Atmajaya. Ia tak peduli dengan perusahaan yang kini terancam bangkrut, tak peduli dengan kekhawatiran staf-staf Atmajaya tadi, dan tak peduli dengan nasib Rudi. Ia memasuki ruangannya, sebuah ruangan mewah dengan pemandangan kota dari jendela besar. Namun, kemewahan itu tak lagi berarti apa-apa baginya. Ia duduk di kursi empuk, membuka laptop, dan mulai mengetik.Darren mengirim email kepada para investor Atmajaya, memerintahkan mereka untuk segera menarik investasi dari perusahaan milik omnya. Ia tahu, dengan kekuasaannya, para investor pasti lebih berpihak padanya.[Saya harap Anda semua sudah membaca berita terkini tentang Atmajaya. Saya sarankan Anda untuk segera menarik investasi Anda dari perusahaan ini. Atmajaya sudah tidak layak untuk Anda investasikan.] tulis Darren dalam emailnya.Ia menekan tombol "kirim" dengan penuh amarah. Ia tahu, dengan email itu, ia telah menghancurkan Atmajaya. Namun, ia tak
Nadia terbaring lemah di ranjang rumah sakit, matanya terpejam. Napasnya teratur, tubuhnya lemas setelah perawat menyuntikkan obat penenang. Air mata yang sebelumnya membasahi pipinya kini telah kering, meninggalkan jejak samar di kulit pucatnya. Marah, sedih, dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. Janin yang baru berusia dua bulan terpaksa diluruhkan, mimpi untuk menjadi seorang ibu harus ditunda.Darren duduk di kursi samping ranjang, matanya tertuju pada wajah Nadia yang tenang dalam tidurnya. Hatinya pedih melihat istrinya terbaring lemah, tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menggenggam erat tangan Nadia, berharap sentuhannya bisa sedikit meringankan beban yang sedang ditanggung istrinya. "Maaf, Sayang. Aku gak bisa ngelakuin apa-apa," bisik Darren lirih, suaranya bergetar menahan kesedihan. "Aku janji, kita bakal punya anak lagi."Darren terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Ia teringat untuk menemani Brata, sang kakek, yang dirawat di ICU karena infek
Dokter itu meletakkan selembar kertas dan pulpen di hadapan Darren. Tangannya gemetar saat meraih pulpen, matanya menerawang ke arah pintu ruang operasi tempat Nadia terbaring."Ini, Pak Darren. Formulir persetujuan untuk tindakan medis. Saya sudah jelaskan risikonya, dan saya harap Anda bisa memahami keputusan ini." Dokter itu berkata dengan nada lembut, tetapi suaranya terasa berat di telinga Darren.Darren menatap formulir itu dengan tatapan kosong. Kata-kata dokter berputar-putar di kepalanya.Risiko tinggi.Kondisi kritis.Keputusan sulit. Ia mencoba mencari kekuatan di dalam diri, mencoba mencari jalan keluar dari dilemma yang menjeratnya."Dokter, apakah ... apakah tidak ada cara lain?" tanya Darren, suaranya terasa serak dan patah.Dokter menggeleng pelan. "Maaf, Pak Darren. Ini adalah pilihan terbaik yang bisa kita ambil saat ini. Jika kita tidak bertindak segera, kondisi Ibu Nadia akan semakin memburuk. Dan ris
Darren masih terpaku di depan pintu ruang operasi, matanya menerawang ke dalam ruangan. Kekhawatirannya belum juga mereda. Nadia, istrinya, masih belum sadar dari pengaruh obat bius. Operasi pelepasan pen berjalan lancar, tapi kondisi Nadia justru memburuk setelahnya. Tekanan darahnya terus meningkat, dan keadaan kandungannya juga melemah.Tiba-tiba, seorang perawat berlari menghampirinya. Wajahnya tampak panik. "Maaf, Pak Darren. Ada kabar buruk. Kakek Brata kritis."Darren tersentak. "Apa maksudnya? Kakek Brata kenapa?""Infeksi paru-parunya semakin parah, Pak. Batuknya semakin keras dan sulit bernapas. Saat ini, Kakek Brata kejang-kejang." Perawat itu mengusap keringat di dahinya. Darren langsung berdiri tegak. "Dimana Kakek sekarang?""Di ruang ICU, Pak." Perawat itu menunjuk arah. "Saya harus kembali ke sana. Maaf, Pak."Darren terdiam sejenak. Rasa cemas dan takut bercampur aduk dalam dirinya. Nadia masih belum sadar, dan sekarang Kakeknya kritis. Ia merasaka