Share

Chapter 6

"Kurang ajar banget Raka, untung putriku nggak jadi nikah sama dia. Aku mau pernikahannya dibatalkan saja!" ketus Toni saat baru saja masuk kamar.

Ucapannya tidak mendapat sahutan dari sang istri, Mella masih asik mencium uang-uang barunya.

"Kamu dengar aku ngomong nggak, sih?!" sentaknya yang mulai kesal.

Pikirannya sangat lelah sejak kemarin, dari masalah Nadia dan sekarang ditambah masalah Raka.

"Ya, Mas, aku dengar. Sudah ... nggak usah dipikirin lagi, yang penting sekarang kita dapat ganti rugi," sahut Mella.

Toni menggeram emosi dan membawa langkah lebar menuju ranjang, tangannya menghempaskan gepokan uang-uang itu dengan kasar. Mella hanya mampu menatap nanar ke lantai, dia hendak mengambil, tetapi Toni menarik lengannya.

"Jangan mikirin uang terus, Mel. Nadia itu pergi sejak kemarin dan sekarang belum ketemu, kamu nggak khawatir sama keadaannya?!" Pria paruh baya itu berteriak tepat di depan wajah istrinya.

Hal itu jelas saja membuat Mella semakin membenci Nadia. 'Anak itu ada atau tidak tetap saja membuatku kesal. Semoga dia nggak selamat di luar sana,' batinnya.

"Aku khawatir, Mas. Tapi 'kan sudah ada polisi yang mencari, kita tinggal tunggu kabarnya saja. Kalau kamu marah-marah, nanti yang ada tensimu semakin naik. Aku nggak mau kamu jatuh sakit. Lagi pula sekarang tugas kita membereskan barang-barang yang akan digunakan pesta, kita kembalikan semuanya ke tempat sewa," jelas Mella, dia memang sangat pintar mencari alasan.

Toni hanya menghela napas lirih, rasanya dia sudah tidak ada tenaga. "Aku rindu putriku."

"Iya aku tahu, Mas. Tapi sekarang kita harus membereskan semua barang di rumah ini dan meminta maaf kepada semua orang yang sudah direpotkan. Baru nanti kita bantu polisi untuk mencari Nadia. Kalau kita cari sekarang, dan meninggalkan rumah dalam keadaan berantakan, pikiran akan semakin kalut," ujar Mella.

Dia turut mendudukkan diri di samping suaminya, tangannya mengelus lembut lengan kekar itu. Sejurus kemudian Toni mangut-mangut seraya kembali menghela napas kasar.

"Ya, kamu benar. Aku akan telepon wedding organizer-nya."

Wanita paruh baya itu menyeringai tipis, dia lekas beranjak mengambil uang-uangnya yang terhambur di lantai.

'Biar saja Nadia nggak balik, biar semua warisan jatuh ke tanganku dan Tania,' batinnya.

Di sisi lain, Tania menghampiri suaminya yang duduk di teras sambil membawa sepiring brownies coklat. Wanita itu duduk di samping Darren sambil memandang lurus ke depan.

"Kasihan sekali, ya, Pak Anton dan Bu Anita, pasti mereka bingung memikirkan anaknya. Ditambah malu karena pesta pernikahan ini gagal," katanya.

"Kenapa harus malu? Kalau gagal menikah seperti ini seharusnya bersyukur, artinya Tuhan menyelamatkan Nadia dari orang yang salah. Malah kalau sampai mereka menikah itu berbahaya, mau jadi apa adikmu menikah sama tukang selingkuh," balas Darren tanpa menoleh sedikitpun ke arah sang istri.

"Tapi tetap saja menjadi gunjingan orang-orang, Mas. Yang jadi korban, ya, orang tua kita," ujar Tania.

Darren diam dan tidak minat menimpali, istrinya itu memang tidak pernah membela Nadia. Sejak dulu dia tahu kalau Tania selalu memusuhi dan mengambil barang-barang milik adik tirinya, bahkan sering mengadu domba antara Nadia dan sang ayah.

"Raka itu masih muda, dia tampan dan punya pekerjaan mapan. Semoga dia segera mendapatkan pengganti Nadia, kasihan sekali cowok itu. Dia sampai pergi dari rumah karena nggak kuat menanggung malu atas kelakuan Nadia yang minggat." Tania kembali membuka suara yang sontak membuat Darren menoleh dengan pandangan remeh.

"Ngapain kamu belain Raka? Padahal belum tentu Raka pergi dari rumah dengan alasan itu, bisa saja dia pergi menemui selingkuhannya dan mereka kawin lari," sahut Darren.

Pria itu menaikkan sebelah alisnya, menatap Tania yang mulai menunjukkan raut kebingungan.

"Kamu jangan nuduh yang nggak-nggak kalau nggak tahu yang sebenarnya, Mas. Kita nggak tahu apa yang dirasakan Raka di sana," kata Tania, nadanya mulai terdengar gemetar.

"Nah, itu kamu bilang kita nggak tahu 'kan? Lalu kenapa tadi kamu langsung mengambil asumsi? Padahal jelas-jelas kita di sini nggak ngerti apa-apa."

"Ka-kamu kok malah nyalahin aku, sih, Mas?! Kita jadi bertengkar karena masalah mereka."

Darren terkekeh melihat istrinya yang sudah mati kutu. "Kamu duluan yang membela Raka, Tan. Padahal jelas-jelas kamu sedang depan suamimu."

Wanita itu gelagapan mendengarnya, dalam hati dia merutuki bibirnya yang tidak dapat direm.

Mungkin karena perasaan nyaman sehingga dia tidak rela Raka disalahkan. Selama enam bulan Raka juga menyumbang untuk hidup mewahnya, hingga tanpa sadar dia membela pria lain di hadapan sang suami.

"Aku nggak bela siapa-siapa, Mas. Mereka berdua itu sudah aku anggap layaknya adik, aku sama-sama kasihan, kok, sama keduanya."

Darren hanya mengangguk seolah percaya dengan jawaban Tania, padahal di dalam hatinya tengah tergelak atas kebodohan yang telah istrinya itu lakukan.

'Aku tahu kelemahan kamu, Tan. Dipancing sedikit saja sudah cerita ke mana-mana,' batin Darren.

"Eum ... kita ke dokter, yuk, Mas. Aku mau periksa kandungan," ucap Tania yang berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Iya, kamu siap-siap dulu. Aku tunggu di sini," jawab Darren.

Tania mengangguk antusias, wajahnya benar-benar bahagia.

Wanita itu memang mendambakan anak sebagai penguat rumah tangganya. Ah, bukan. Lebih tepatnya sebagai jaminan atas warisan milik keluarga Darren.

Darren yang kini sudah sendirian di teras pun langsung meraih ponsel dan mengirim pesan kepada Nadia.

Siang ini adik iparnya itu sudah mulai bekerja di butik, dia perlu menanyakan apakah Nadia betah atau tidak. Kalau tidak maka dia bisa mencarikan tempat kerja lain.

[Aku nyaman kerja di sini Kak. Pak Renaldy baik, teman-temanku yang lain juga baik sama aku.] tulis Nadia yang tanpa sadar mengundang senyum di bibir Darren.

"Syukurlah," gumam pria itu.

Ibu jarinya kembali mengutak-atik layar ponsel, sudut bibirnya kini tertarik ke atas menyeringai penuh arti saat matanya menatap foto Raka dan Tania berpelukan di sebuah restoran.

"Bodoh! Tania nggak tahu siapa suaminya sebenarnya," gumam Darren.

Tidak perlu waktu lama, Darren mengunggah foto itu ke media sosial menggunakan akun palsu miliknya. Tentunya akun yang berbeda beri akun yang mengunggah video syur kemarin. Dia yakin siapapun tidak akan bisa membongkar pemilik akun itu adalah dirinya.

Darren kembali memasukkan ponsel dengan senyum sumringah, tangannya mengambil cangkir kopi dan menyesap cairan hitam pekat itu dalam-dalam.

'Tinggal tunggu beberapa detik, aku yakin Tania akan lebih syok dari penggalan video kemarin,' katanya dalam hati.

Tebakan Darren memang benar. Tania yang berniat mengupdate status di media sosial pun urung saat melihat sebuah foto tiba-tiba lewat di berandanya.

Bola matanya hampir keluar lantaran begitu terkejut melihat foto Raka yang tengah memeluknya, beruntung foto itu hanya menampakkan dirinya dari belakang, tetapi wajah Raka terlihat begitu jelas.

"Astaga! Foto ini ... aku sudah pernah menghapusnya, tapi kenapa bisa bocor?! Apa jangan-jangan ada seseorang yang tidak menyukai Raka dan mengambil ponselnya? Foto ini 'kan juga ada di ponselnya Raka. Oh Tuhan ... gawat kalau sampai Mas Darren mengenali tubuhku!" pekiknya dengan suara tertahan.

Tangannya menggenggam erat ponsel canggih itu sambil berpikir keras bagaimana caranya menghentikan foto-fotonya semakin banyak tersebar.

"Apa aku sewa hacker saja, ya? Atau aku chat langsung akun ini? Ah, bagaimana ini?! Nomor Raka masih nggak aktif dan aku bingung harus berbuat apa," gumam Tania yang semakin panik.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status