Nadia berjalan cepat tanpa menoleh ke belakang, padahal ia tidak tahu mau pergi ke mana. Ia ingin menyewa kos, meskipun belum tahu seluk beluk daerah sini.
Hingga netranya tertuju pada banner yang menginformasikan tentang kos putri, bibirnya tersenyum lebar dan langsung mengikuti arah panah yang ditunjukkan banner tersebut. Langkah kakinya menuju gang kecil, tetapi senyum lebar di bibirnya langsung sirna saat mendapati segerombolan pemuda mabuk menghadang jalan. Nyalinya menciut, Nadia langsung berbalik hendak pergi, tetapi kehadirannya sudah diketahui oleh pemuda-pemuda itu dan dirinya pun dikejar. "Mau ke mana, cantik? Kenapa nggak jadi lewat?" tanya salah satu pemuda sambil mencengkram lengan Nadia. Gadis itu berusaha melepaskan cengkeraman, tetapi tenaganya kalah. "Lebih baik kamu bersenang-senang dulu sama kami, jangan langsung pergi," bisik pemuda itu, aroma alkohol menyeruak dan langsung menusuk hidung. "Lepaskan saya," kata Nadia yang langsung membuat pemuda itu tergelak. Beberapa pemuda datang dan langsung mengerumuni Nadia, bahkan ada yang mengelus rambutnya. Nadia sudah menangis karena takut, ia terus meronta tetapi tubuhnya sudah dipegangi oleh enam pemuda itu. Kenapa nasibnya sial sekali? Niat ingin menghindari calon suaminya, malah terjebak begini. "Jangan mendekat! Atau atau aku akan teriak." Nadia memelototkan mata saat satu satu pemuda mendekatkan wajah hendak menyiumnya. Gertakan itu tidak membuat pemuda-pemuda tersebut takut, yang ada mereka malah tergelak dan semakin berani mencolek tubuh Nadia. Tubuh mungilnya kian meronta saat satu pemuda memeluknya dari belakang, hingga sebuah suara bariton terdengar berteriak. "Hei ...!" Seluruh pemuda menoleh, demikian juga dengan Nadia yang langsung mendapati Darren berdiri tidak jauh darinya. Darren melemparkan balok kayu dengan kencang, membuat satu pemuda limbung. Ia mendekat dan langsung menerjang pemuda yang mencengkram tangan Nadia, dengan cepat ia menarik adik iparnya saat gadis itu sudah terbebas. Nadia memeluk tubuhnya sendiri dengan gemetar, air matanya mengucur deras menyaksikan Darren menghajar pemuda-pemuda mabuk itu, beruntung Darren terlatih bela diri dan berakhir menang. "Ayo," ucap Darren sambil meraih tas ransel Nadia. Namun, gadis itu tetap tidak bergeming. "Kau mau di sini saja dan menunggu pemuda-pemuda itu bangun? Lalu mereka kembali melecehkanmu lagi, iya?" Nadia gelagapan, kepalanya menggeleng sambil membawa tangan mengusap air mata. "Tidak, Kak. A-Aku ... ingin melanjutkan ke kos saja. Ada di depan sana, kok," sahutnya dengan suara lirih. Darren berdecih lirih sambil membuang muka. "Aku tidak bisa menjamin keselamatanmu kalau kau masih kukuh mau ke kos itu. Kalau kau kembali dilecehkan, aku tidak bisa datang membantu." Nadia menunduk dengan perasaan bimbang. Tidak mungkin ia tinggal di apartemen kakak iparnya, mau disakiti seperti apapun ia tidak akan membalas Tania dengan cara murahan. "Kau mau diam di sini saja dan menunggu mereka bangun, lalu kembali melecehkanmu?!" sentak pria itu yang sontak membuat tubuh Nadia terlonjak kaget. Ia akhirnya pasrah dan mengikuti Darren yang sudah jauh di depannya dengan sedikit berlari, hingga akhirnya mereka sampai di apartemen dan Darren langsung mengajak adik iparnya menuju unit milikmya. "Kamu tidur di kamar sana," ucap Darren sambil menunjuk ke kamar yang ada di sebelah kamar mandi. "Kamar yang sebelah sana adalah kamarku, kamu tidak boleh masuk ke sana apapun yang terjadi," lanjutnya lagi sambil menunjuk satu kamar besar di samping ruang tamu. "Iya, Kak. Terima kasih," jawab Nadia yang langsung diangguki oleh Darren. Pria itu menyerahkan ransel hitam milik Nadia, kemudian ia beranjak ke kamarnya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Nadia tidak mau ambil pusing, diizinkan menumpang saja sudah sangat bersyukur. "Masih ada waktu buat tidur, besok aku harus bangun pagi untuk mencari pekerjaan," gumamnya sambil menguap. Gadis itu langsung membaringkan tubuhnya di ranjang, tidak perlu waktu lama alam bawah sadarnya sudah terbuai dalam mimpi. Hingga pagi menjelang, Nadia bangun dan segera mandi untuk mengusir rasa kantuk. Gadis itu beranjak ke dapur dan berniat memasak, tetapi sayangnya hanya ada nasi sisa semalam. Dengan cekatan ia membuat nasi goreng untuk sarapannya dengan Darren. Bau harum aroma masakan menguar, membuat Darren terbangun dan keluar kamar. Pria itu mengucek mata saat mendapati adik iparnya sibuk menumis nasi, detik berikutnya ia membawa langkah mendekat ke dapur. "Kamu masak?" tanyanya dengan suara serak. Nadia yang terkejut pun sontak menoleh. "Maaf, Kak. Aku menggunakan dapur Kakak tanpa izin." Pria itu berdehem singkat, tangannya bergerak mengambil botol air kemasan dan langsung menenggaknya. Tidak lama kemudian dua nasi goreng pedas tersaji, Darren hanya diam menatap masakan adik iparnya dengan pandangan datar. "Aku tidak tahu apakah masakan ini sesuai dengan selera Kakak. Ini sebagai ucapan terima kasih karena Kakak sudah menolongku semalam," ucap Nadia. Darren mengangguk singkat, tangannya mulai menyendok nasi dan memasukkan ke dalam mulut. Enak. Satu kata yang pas untuk mendeskripsikan rasa sarapannya pagi ini. Namun, rasa nikmat itu mendadak terganggu saat ucapan Nadia membuat perasaannya tidak enak. "Aku akan pergi cari kos, Kak. Tenang saja, bukan kos yang semalam. Aku juga mau cari kerja agar bisa bertahan hidup. Huh ... sekarang aku tidak bisa bergantung kepada siapa-siapa. Kalau aku tidak berusaha bangkit, aku akan semakin terpuruk. Jadi, aku mohon Kakak mengizinkanku," jelas gadis itu. Darren tidak langsung menjawab, otaknya berputar memikirkan kata yang pas. Ia masih asyik minum, padahal di dalam kepalanya tengah berperang. "Tidak ada orang lain yang ku percaya selain Kakak, bahkan ayah sudah mengecewakanku. Aku mohon Kakak benar-benar menjaga rahasiaku," kata Nadia yang membuat Darren langsung menatap ke arahnya. "Sama sepertimu, aku juga sudah tidak percaya siapapun. Mau istri atau mertuaku, mereka sama saja. Jadi, kita ini sama, Nad. Hanya kamu yang masih bisa ku percaya," sahut Darren. Nadia masih menyimpan suaranya saat belum paham arah pembicaraan sang kakak ipar. "Kamu tinggal di sini aja, aku ada satu unit nganggur," lanjut pria itu lagi. Nadia sontak menggeleng. "Maaf, bukan maksudnya menolak. Tapi aku lebih baik cari kos saja." "Aku bisa memantau mu, Nad. Kau juga akan aman, tidak seperti semalam. Untuk sewanya cukup bayar separuh saja, jadi jangan memikirkan nominal besar. Kalau masalah pekerjaan ... temanku yang pemilik butik tidak jauh dari sini katanya sedang butuh staf, aku ada nomor teleponnya kalau kamu mau tanya-tanya. Gajinya besar, karena itu butik terkenal. Temanku juga baik, dia ramah dan bukan tipe bos galak," jelas Darren panjang lebar. Nadia masih tidak bergeming. Sebenarnya ini penawaran bagus, tetapi bagaimana kalau Tania tahu? "Tania nggak akan tahu selama kamu nggak bilang siapa-siapa," kata Darren yang seolah paham kebimbangan adik iparnya. "Bagaimana? Mumpung unitku itu masih kosong, belum aku sewakan ke orang lain." "Baiklah, Kak. Aku mau," jawab Nadia. "Terima kasih, ya." Pria itu mengangguk dan kembali menenggak air mineral dari dalam botol, hatinya lega saat Nadia tidak menolak. Ia sengaja memberi biaya sewa agar Nadia tidak merasa dibantu cuma-cuma, ia juga berlagak membantu mencari pekerjaan padahal itu butik miliknya yang diurus oleh teman baiknya. Butik yang seharusnya menjadi hadiah pernikahan untuk Tania yang ketiga tahun, tetapi ia mengurungkan niat saat tahu Tania berselingkuh. Darren terpaksa berbohong, kalau tidak begini Nadia akan nekat pergi. 'Sekarang kau jadi tanggung jawabku, Nad,' batin Darren."Nad, kayaknya kita perlu menjalin kesepakatan," kata Darren saat melihat Nadia baru saja selesai mencuci piring."Kesepakatan apa, Kak?""Kita 'kan sama-sama dikhianati, bagaimana kalau kita bekerja sama untuk balas dendam?"Hening! Nadia tidak langsung menyahut, raut wajahnya tampak kebingungan."Ya ... aku tahu balas dendam itu nggak baik, dan semua perbuatan pasti ada karmanya. Tapi mereka sudah jahat sama kita, Nad. Kalau kita diam saja, itu sama saja kita mempersilakan mereka untuk semakin menjajah hati kita. Kita harus punya prinsip Kalau tidak ada siapapun yang bisa mempermainkan kita, apalagi sampai selingkuh seperti itu," jelas Darren.Nadia sebenarnya juga ingin melakukan hal yang sama. Dia benci sekali kepada Raka, Tania dan juga ibu tirinya. "Tapi bagaimana caranya, Kak?""Aku sudah memikirkan caranya semalam," jawab Darren. "Sekarang kamu kirimkan video itu ke nomorku."Nadia mengangguk dan lekas mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Darren, pria itu mengulas senyum l
Tania mengunci dirinya di kamar dan tidak keluar sampai pagi, dia sangat takut Darren melihat video itu dan mengenali bentuk tubuhnya.Tok! Tok! Tok!"Tan, buka pintunya. Ini aku." Kedua mata cantik itu langsung membelalak lebar saat mendengar suara Darren di depan pintu. Jam masih menunjukkan pukul empat, sejak tadi dia tidak mendengar suara apa-apa."Duh, Mas Darren tahu-tahu ada di depan, mana aku belum siap-siap," gumamnya panik. "Semoga dia nggak sadar sama mata panda ku."Wanita itu membuka pintu dengan perlahan, senyumnya merekah guna menutupi kegelisahan hatinya."Kamu baru bangun?" tanya Darren yang langsung diangguki oleh Tania. "Ayo masuk, Mas."Darren sekuat mungkin menahan agar tangannya tidak menampar Tania, meskipun j1j1k sekali rasanya saat mengingat kelakuan istrinya dengan Raka."Tan, kamu sudah lihat 'kan tentang video yang beredar di media sosial itu. Aku nggak nyangka Raka bisa kayak gitu, untung Nadia pergi dan nggak jadi nikah," ujar Darren seraya mendudukkan
"Kurang ajar banget Raka, untung putriku nggak jadi nikah sama dia. Aku mau pernikahannya dibatalkan saja!" ketus Toni saat baru saja masuk kamar.Ucapannya tidak mendapat sahutan dari sang istri, Mella masih asik mencium uang-uang barunya."Kamu dengar aku ngomong nggak, sih?!" sentaknya yang mulai kesal.Pikirannya sangat lelah sejak kemarin, dari masalah Nadia dan sekarang ditambah masalah Raka. "Ya, Mas, aku dengar. Sudah ... nggak usah dipikirin lagi, yang penting sekarang kita dapat ganti rugi," sahut Mella.Toni menggeram emosi dan membawa langkah lebar menuju ranjang, tangannya menghempaskan gepokan uang-uang itu dengan kasar. Mella hanya mampu menatap nanar ke lantai, dia hendak mengambil, tetapi Toni menarik lengannya."Jangan mikirin uang terus, Mel. Nadia itu pergi sejak kemarin dan sekarang belum ketemu, kamu nggak khawatir sama keadaannya?!" Pria paruh baya itu berteriak tepat di depan wajah istrinya.Hal itu jelas saja membuat Mella semakin membenci Nadia. 'Anak itu a
Tania berjalan dengan langkah gontai menuju teras, Darren yang melihat itu pun hanya bisa tersenyum tipis. "Sudah siap?" tanyanya yang langsung diangguki oleh sang istri.Keduanya berjalan menuju mobil, jalanan tampak lenggang dan tidak butuh waktu lama mereka sudah sampai di rumah sakit. Darren keluar lebih dulu sementara Tania menyusul di belakang. Pria itu mendaftarkan istrinya dan beruntung hari ini tidak terlalu banyak antrian, sehingga Tania bisa langsung masuk. Dokter langsung meminta Tania berbaring untuk diperiksa USG, wanita paruh baya dalam balutan jas putih itu tersenyum manis sambil mengajak Tania berbincang mengenai jadwal haid terakhir."Baik, Pak, dari pemeriksaan kami istri Anda hamil empat minggu. Kandungannya bagus dan berkembang sesuai usianya, tidak ada masalah dan semuanya baik. Kami akan meresepkan vitamin untuk ibunya, ya, Pak," jelas sang dokter."Empat minggu, Dok?" tanya Darren."Benar, Pak.
"Aku balik hari ini, Tan," kata Darren saat baru saja memasuki kamar. "Loh, kok, cepat banget? Kamu baru sampai tadi pagi, loh, Mas." Tania langsung bangkit dari ranjang dan mendekat ke arah suaminya. "Nggak mau besok atau lusa saja?""Temanku telepon, ada pekerjaan penting katanya dan perusahaan membutuhkanku. Aku janji tiga hari lagi akan pulang, Tan," jawab Darren, berusaha merangkai alasan semasuk akal mungkin.Tania menunduk lesu, dia ingin ditemani dan dimanja oleh suaminya. Namun, Darren malah mau pergi lagi."Aku sudah kirim uang ke rekening kamu, bisa kamu gunakan untuk belanja biar nggak sedih lagi. Nanti aku kabarin kalau sudah sampai apartemen," kata Darren yang langsung membuat Tania mendongak dengan mata bersinar. Pria itu langsung mengalihkan pandangan, dia paling tahu bagaimana membuat suasana hati istrinya kembali baik. Tania memang mata duitan, apapun masalahnya akan langsung beres asal ada uang banyak di dal
Pagi ini Darren hendak memesan makanan, tetapi urung saat telinganya mendengar bunyi bel pintu. Dia segera melihat siapa yang datang dan ternyata adik iparnya. "Mau ngapain kamu?" tanyanya yang tidak ada ramah-ramahnya sama sekali. Nadia sedikit mundur, gadis itu takut melihat penampilan acak-acakan serta nada tinggi kakak iparnya.'Mungkin benar Kak Darren sedang ada masalah, pantas saja dari kemarin sikapnya aneh,' batin Nadia."Aku mau mengirim sarapan Kak. Nasi goreng seafood," ucapnya sambil menyodorkan kotak makan. Darren mengangguk dan lantas meraih kotak makan itu, sejurus kemudian ia berbalik badan dan langsung menutup pintu tanpa mengatakan apapun. Bahkan raut mukanya sangat datar.Nadia hanya bisa mengelus dada, tetapi ia tidak mau ambil pusing dan memilih kembali ke unitnya untuk siap-siap bekerja. Sementara di dalam kamarnya, Darren tidak langsung membuka kotak makan. Dia memilih menghubungi asisten prib
"Pinjam uang kamu dulu aja, Tan. Nanti Ibu ganti kalau sudah ada," kata Mella.Tania menggeleng. "Enak saja. Ini nafkah dari Mas Darren, Bu. Bukan untuk membayar jasa WO.""Halah, tadi 'kan kamu juga yang ngajakin shopping sampai kita kalap kayak gini. Sekarang uang ibu tinggal sepuluh juta dan harus buat bayar jasa WO. Daripada ayahmu makin marah-marah dan semuanya tambah runyam, mending kamu pinjemin dulu uangnya." Mella terus mendesak.Tania menghentakkan kaki ke lantai karena saking kesalnya. Baru tadi pagi ia bahagia setelah ditransfer oleh Darren, kini malah suruh membayar jasa WO. "Ayo, Tania. Kamu bantu ibu, jangan jadi anak durhaka kayak si Nadia itu," ucap Mella yang terus nanti mencecar putrinya yang tidak juga bergerak."Ibu, kok, malah banding-bandingin aku sama si anak nggak tahu diri itu sih?!" Tania yang merasa tidak terima pun tanpa sadar menaikkan nada bicaranya. Mella mengacak rambutnya dengan frustasi saat p
"Aku mau kerja lagi, Kak," ucap Nadia setelah menghabiskan makan siangnya."Ya, silakan. Aku juga mau balik ke kantor," sahut Darren. "Nanti pulangnya naik taksi saja, jangan bareng Renaldy lagi."Gadis itu mengangguk singkat, tanpa menjawab apa-apa lagi, dia langsung melangkah ke dalam butik dan melanjutkan pekerjaannya. Sementara Darren juga kembali ke parkiran restoran dan segera naik ke dalam mobilnya. Bibirnya mengulas senyum tipis, setidaknya dia sudah menggagalkan acara pendekatan Renaldy."Anda terlihat bahagia, Pak," ucap Jacob. Darren terkekeh singkat, asisten pribadinya itu memang menunggu di dekat gerobak mie ayam sejak tadi. Niatnya adalah untuk memastikan keselamatan Darren, tanpa sadar mencuri dengar percakapan atasannya itu dengan Nadia."Dia adik iparku, sekarang menjadi tanggung jawabku. Selama dia belum bisa menjaga dirinya sendiri, maka akulah yang harus memastikan keselamatannya," sahut Darren.Jac