Share

Pergi dari Rumah

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Nadia, membuat wajah gadis itu terbuang ke samping. Namun, setitik air matapun tidak luruh dari netranya. Sakit hatinya lebih besar dari pada tamparan panas yang dilayangkan ibu tirinya.

"Jaga bicaramu, Nadia! Anakku sudah menikah, suaminya kaya raya dan pengertian. Tidak mungkin anakku selingkuh," desis Mella.

Nadia menatap dua bola mata yang melotot ke arahnya, sesekali ia akan melirik ke arah sang ayah yang tampak tidak peduli.

Sungguh! Sakit hatinya kian bertambah lantaran Toni yang memilih acuh. Padahal ia putri kandungnya dan Tania bukan, seharusnya ia lah yang dibela.

"Aku tidak mau mendengar omong kosong lagi, Nadia. Sudah cukup drama dan fitnah yang kau buat." Mella menjeda ucapannya sejenak, berusaha menormalkan deru napasnya. "Atau jangan-jangan ... ini semua hanya bualanmu? Kau punya kekasih lain dan ingin menikah dengannya, makanya kau memfitnah Raka dan anakku?!"

Nadia menggeleng. "Untuk apa aku melakukannya, Bu. Aku bukan tukang fitnah seperti Tania."

Kedua netra Mella semakin membelalak, kakinya menendang tubuh Nadia hingga gadis itu tergeletak di lantai.

"Dasar tukang fitnah. Pantas saja ibumu meninggal, ternyata dia tidak kuat punya anak sepertimu!" ketus wanita paruh baya itu.

Nadia yang semula kuat akhirnya meluruhkan air mata saat ibunya turut disebut. Siapapun boleh menghinanya, asal jangan mendiang ibunya.

Gadis itu mendongak, menatap penuh mohon ke arah ayahnya seakan meminta bantuan.

Namun, jawaban Toni malah berkata, "jangan buat kekacauan, Nadia. Tiga hari lagi kau akan menikah dengan Raka, jadi jangan mengatakan yang macam-macam. Takut hal itu benar-benar terjadi."

Nadia tersenyum kecut saat tidak ada satupun yang mempercayainya. Gadis itu perlahan bangkit, kemudian berbalik badan membawa langkah menuju kamar.

Air mata kembali luruh, meratapi sang ayah yang malah lebih percaya orang lain dibanding putrinya sendiri.

"Kata orang, ayah adalah cinta pertama putrinya. Tapi bagiku tidak, ayahku memberiku luka. Dan sekarang aku juga terluka karena pria yang kucintai. Apa aku memang tidak pantas dicintai?" gumam Nadia saat baru saja memasuki kamar.

Tubuhnya terduduk lemas di lantai, punggungnya bersandar di pintu dengan pandangan kosong ke depan.

'Aku tidak mau menikah dengan Raka,' batinnya.

Pikirannya terus berkecamuk, bagaimana caranya kabur? Sementara di sini ramai orang.

Lantas, bagaimana caranya membalas dendam? Ia sadar kalau tidak terlalu kuat jika harus sendirian.

Di tengah lamunannya, Nadia mendengar ponselnya berdering. Sebuah pesan masuk dari kakak iparnya langsung membuat matanya melotot.

'Aku masih punya Kak Darren. Dia orang baik, dia harus tahu kelakuan istrinya,' batin Nadia.

Dengan cepat ia bangkit dan segera menghapus air mata. Tuhan tidak pernah tidur, buktinya Tuhan memberikan petunjuk saat dirinya merasa sudah pupus harapan.

Nadia mengemasi baju dan beberapa barang penting ke dalam tas ransel, malam ini ia akan kabur dari rumah guna menemui kakak iparnya.

'Semoga Kak Darren mau percaya,' batinnya, penuh harap.

Jarum jam terus bergulir, tepat di jam sebelas malam Nadia menyelinap dari jendela kamarnya. Gadis itu memakai jaket tebal, masker, topi dan kacamata serba hitam untuk menutupi dirinya.

Kakinya berlari kecil menyusuri jalanan yang cukup lenggang, beruntung ia masih mendapatkan taksi jam segini. Nadia langsung menyebutkan alamat yang dituju dan taksi membawanya melesat jauh dari rumah terkutuk itu.

Berjam-jam menempuh perjalanan panjang, taksi sudah berhenti di depan gedung apartemen mewah yang ada di pusat kota. Nadia langsung turun dan masuk, ia menyerahkan kartu identitas sebagai tanda pengenal dan lantas duduk di lobi.

"Semoga Kak Darren nggak marah aku datang jam segini," gumamnya sambil melirik jam tangan.

Ia lekas mengirim pesan singkat ke nomor Darren, selanjutnya ia memilih merebahkan punggung di sandaran sofa.

"Kayaknya Kak Darren sudah tidur. Aku tunggu besok saja, lah."

Namun, baru saja memejamkan mata, suara langkah kaki membuat Nadia kembali tersadar. Detik berikutnya mata cantik itu terbelalak sempurna saat mendapati Kakak iparnya berjalan ke arahnya.

"Ngapain kamu ke sini sendirian? Ini sudah dini hari, loh. Ayah dan Ibu tahu?" tanya Darren sambil menatap heran gadis di hadapannya itu.

Nadia langsung berdiri, ia menatap kikuk Darren yang sudah dalam balutan baju tidur.

"Maaf kedatanganku mengganggu Kak Darren. Aku ... kabur," bisik Nadia yang jelas saja membuat Darren terhenyak.

"Gila kamu?! Kamu itu mau nikah, Nad. Besok aku juga akan pulang "

Gadis itu menggeleng. Tanpa basa-basi lagi ia langsung menceritakan masalah yang dialaminya, mulai dari memergoki Raka dan Tania di apartemen, hingga ia yang dimarahi Mella dan akhirnya kabur ke sini.

Darren tidak mampu menjawab, hanya beberapa kali merespon dengan gelengan.

Tiga puluh menit Nadia menceritakan semuanya diiringi derai air mata. Namun, Darren seolah tidak percaya.

"Aku punya bukti perselingkuhan mereka kalau Kakak nggak percaya," kata Nadia sambil mengeluarkan ponsel dari dalam ransel.

Ia menunjukkan rekaman adegan saat di kamar apartemen Raka. Video berdurasi panjang itu membuat wajah Darren memerah dan deru napas naik sekian kali lipat.

"Aku tidak minta perlindungan Kakak, jadi Kakak tidak perlu merasa terbebani dengan kedatanganku. Aku hanya ingin menunjukkan rekaman itu, agar Kakak tahu bagaimana kelakuan Kak Tania di luar sana," ujar Nadia.

Darren masih tidak bergeming, pikirannya masih berusaha mencerna hal ini.

Ingin menolak, tetapi bukti sudah berbicara. Sakit sekali rasanya dikhianati oleh sang istri, apalagi selama ini ia mati-matian bekerja demi mencukupi kebutuhan Tania. Namun, Tania malah tega bermain gila dengan pria lain.

"Aku pergi dulu, Kak." Nadia memasukkan kembali ponsel ke dalam ranselnya. "Tolong jangan katakan kepada Ayah dan Ibu kalau aku ke sini. Setelah ini aku mau ganti nomor telepon, biar nggak ada yang bisa mencariku."

Nadia menghela napas kasar melihat Darren yang masih diam saja. Kasihan sekali kakak iparnya itu, ia tahu betapa hancurnya saat dikhianati oleh orang tersayang.

Harga diri tercoreng, merasa seperti tidak pantas hingga pasangan harus mencari kepuasan dari orang lain. Padahal ia dan Darren sudah menjaga kesetiaan itu, tetapi semua tidak ada harganya.

"Maaf sudah membuat Kakak syok, tapi aku merasa bersalah kalau tidak memberitahukan ini. Sekali lagi terima kasih, ya, sudah mendengarkanku. Aku pergi dulu," ucap Nadia dengan kepala tertunduk.

"Tunggu, Nad."

Tubuh mungil itu terpaku, kepalanya sedikit menengok ke belakang, tampak Darren menatapnya dengan mata basah dan memerah.

"Kamu mau cari tempat tinggal di mana jam segini? Lebih baik menginap dulu di apartemenku. Ada dua kamar, kok. Kamu nggak usah khawatir," kata Darren yang langsung disahut gelengan kepala oleh Nadia.

"Terima kasih, Kak. Tapi nggak usah. Aku nggak mau ada fitnah nanti."

Nadia melenggang pergi dari hadapan Darren tanpa menunggu jawaban pria itu, meninggalkan Darren yang masih menatap datar punggung mungilnya.

"Kasihan sekali dia, pasti pikirannya kalut. Aku harus mengikuti, tidak mungkin aku membiarkan Nadia pergi sendiri," gumam Darren dan lekas menyusul langkah Nadia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status