Halo, Dear. Bagaimana kabarnya? Semoga sehat selalu dan dilimpahkan kebahagiaan selalu yaa Bab malam ini agak santai dulu, ya, Dear.. Sebelum kita masuk konfliknya, hehe. Terima kasih banyak sudah membaca sejauh ini, I Love You... Salam sayang, Els Arrow
Mobil Darren melaju kencang di jalanan kota, menelusuri jalanan aspal yang membentang luas. Darren menatap lurus ke depan, pikirannya berkecamuk. Hingga tiba-tiba ponselnya berdering. Darren mengerutkan kening, menatap layar ponselnya. Nomor yang tertera di layar adalah nomor telepon rumah kakeknya, benaknya langsung berputar sekaligus penasaran ada apa kiranya."Halo, Tuan Muda," suara seorang wanita terdengar di seberang sana. "Saya perawat Kakek Brata. Kakek Brata sesak napas lagi, Tuan Muda. Kondisinya semakin memburuk. Kami tadi sudah panggilkan Dokter, tapi sebaiknya Tuan Muda harus segera ke sini."Darren terdiam, pikirannya kalut. Ia harus ke mansion kakeknya dulu atau ke rumah sakit menemui Nadia? Keduanya sama-sama penting. Nadia sedang hamil dan membutuhkannya, sedangkan kakeknya juga dalam kondisi parah."Ya, aku sedang dalam perjalanan. Aku akan segera ke mansion," ucap Darren, suaranya terdengar panik. "Bagaimana kondisi Kakek sekarang?""Kondisi
Mentari sore mulai meredup, menandakan waktu beranjak senja. Darren dan Nadia duduk berdampingan di samping ranjang Kakek Brata, menunggu dokter yang sedang memeriksa kondisi sang kakek untuk ketiga kalinya sebelum pulang. Suasana di kamar itu terasa hening, hanya diiringi suara napas Kakek Brata yang tersengal-sengal."Kakek sendiri yang bilang mau menggendong cicit, jadi kakek harus sehat lagi," bisik Nadia.Sepasang manik beningnya terus meneteskan air mata. Ia memeluk tangan kakeknya erat-erat, mencoba untuk memberikan kekuatan. "Kita menginap di sini, ya, Kak," ucap Nadia sambil mendongak menatap suaminya. "Aku ingin menemani Kakek."Darren menoleh, menatap Nadia dengan penuh kasih sayang. "Iya, Sayang. Kita akan menginap di sini.""Terima kasih, Kak," ucap Nadia, mencoba untuk tersenyum. "Aku mau menjaga Kakek."Darren mengangguk, helaan napasnya terasa berat melihat kondisi kakeknya dari pagi sampai sore tidak menunjukkan tanda-tanda baik. .Sayangnya, Brata
Hujan mengguyur kota dengan deras, seakan ikut merasakan beratnya beban yang dipikul Darren. Ia menatap Nadia, istrinya, yang tertidur lelap di samping ranjang rumah sakit. Wajah Nadia pucat, keringat dingin menempel di pelipisnya, Darren menghela napas panjang. Ia sudah menghubungi semua anggota keluarga, termasuk Rudi dan Rahayu, om dan tantenya yang selalu bersikap dingin dan suka mencari masalah dengan mereka. Namun, kali ini, ia tak peduli dengan sikap mereka. Ia butuh dukungan, butuh bantuan, dan ia berharap, walau sekecil apapun, mereka bisa melupakan dendam lama dan meringankan bebannya. Tangannya mengeluarkan ponsel, mencari nomor Jacob dan menghubunginya. "Jacob, tolong urus semua pekerjaan kantor hari ini. Aku tidak bisa masuk," ucap Darren melalui telepon. Suaranya berat, tertekan oleh rasa khawatir yang menggerogoti hatinya. "Aku benar-benar nggak bisa menghandle apapun, aku serahkan semuanya padamu." "Baik, Pak. Apa ada yang perlu saya sampaikan kepada para klie
Darren mengikuti Om Rudi dan Tante Rahayu keluar dari kamar rawat Kakek Brata. Langkahnya tenang, tetapi matanya tajam, memancarkan aura dingin yang membuat Om Rudi dan Tante Rahayu sedikit ciut."Om Rudi, Tante Rahayu, sebentar lagi rapat tahunan perusahaan kan?" tanya Darren, suaranya pelan dan tegas.Om Rudi dan Tante Rahayu saling bertukar pandang, raut wajah mereka berubah tegang. "Ya, memangnya kenapa?" jawab Om Rudi, berusaha bersikap tenang."Om tahu 'kan, perusahaan Om sedang dalam kondisi kritis. Dan Om juga tahu, semua aib perusahaan Atmajaya akan terbuka di publik. Semua kecurangan yang Om lakukan selama ini akan terbongkar," ucap Darren, tatapannya menusuk."Apa maksudmu, Darren?" tanya Tante Rahayu, suaranya sedikit gemetar."Om dan Tante sudah terlalu lama berpura-pura. Semua orang tahu, perusahaan Atmajaya sedang terlilit hutang, dan omsetnya terus menurun. Om sudah melakukan berbagai macam kecurangan untuk menutupi kerugian, tapi semua itu akan terbongkar di rapat tah
Darren melangkah masuk ke ruang rawat Nadia dengan senyum lebar. Hari ini hari operasi pelepasan pen Nadia, dan ia sangat lega karena akhirnya istrinya akan terbebas dari rasa sakit dan ketidaknyamanan yang selama ini diderita."Sayang, kamu sudah siap?" tanya Darren, matanya berbinar penuh kebahagiaan.Namun, senyumnya menghilang ketika ia melihat wajah Nadia yang pucat, matanya menatap tak menentu. Nadia terlihat ketakutan dan tegang."Nadia, kenapa kamu terlihat pucat seperti itu? Apakah kamu tidak enak badan?" tanya Darren, suaranya penuh kekhawatiran.Nadia menggeleng pelan, matanya menghindari tatapan Darren. Ia merasa takut untuk bertemu dengan Darren. Pesan-pesan misterius yang ia terima membuatnya merasa sulit percaya pada suaminya.Darren mendekat ke arah Nadia, ingin memegang tangan istrinya. Tapi, Nadia malah memundurkan kursi rodanya, membuat Darren makin bingung."Nadia, kenapa kamu menghindar?
Darren masih terpaku di depan pintu ruang operasi, matanya menerawang ke dalam ruangan. Kekhawatirannya belum juga mereda. Nadia, istrinya, masih belum sadar dari pengaruh obat bius. Operasi pelepasan pen berjalan lancar, tapi kondisi Nadia justru memburuk setelahnya. Tekanan darahnya terus meningkat, dan keadaan kandungannya juga melemah.Tiba-tiba, seorang perawat berlari menghampirinya. Wajahnya tampak panik. "Maaf, Pak Darren. Ada kabar buruk. Kakek Brata kritis."Darren tersentak. "Apa maksudnya? Kakek Brata kenapa?""Infeksi paru-parunya semakin parah, Pak. Batuknya semakin keras dan sulit bernapas. Saat ini, Kakek Brata kejang-kejang." Perawat itu mengusap keringat di dahinya. Darren langsung berdiri tegak. "Dimana Kakek sekarang?""Di ruang ICU, Pak." Perawat itu menunjuk arah. "Saya harus kembali ke sana. Maaf, Pak."Darren terdiam sejenak. Rasa cemas dan takut bercampur aduk dalam dirinya. Nadia masih belum sadar, dan sekarang Kakeknya kritis. Ia merasaka
Dokter itu meletakkan selembar kertas dan pulpen di hadapan Darren. Tangannya gemetar saat meraih pulpen, matanya menerawang ke arah pintu ruang operasi tempat Nadia terbaring."Ini, Pak Darren. Formulir persetujuan untuk tindakan medis. Saya sudah jelaskan risikonya, dan saya harap Anda bisa memahami keputusan ini." Dokter itu berkata dengan nada lembut, tetapi suaranya terasa berat di telinga Darren.Darren menatap formulir itu dengan tatapan kosong. Kata-kata dokter berputar-putar di kepalanya.Risiko tinggi.Kondisi kritis.Keputusan sulit. Ia mencoba mencari kekuatan di dalam diri, mencoba mencari jalan keluar dari dilemma yang menjeratnya."Dokter, apakah ... apakah tidak ada cara lain?" tanya Darren, suaranya terasa serak dan patah.Dokter menggeleng pelan. "Maaf, Pak Darren. Ini adalah pilihan terbaik yang bisa kita ambil saat ini. Jika kita tidak bertindak segera, kondisi Ibu Nadia akan semakin memburuk. Dan ris
Nadia terbaring lemah di ranjang rumah sakit, matanya terpejam. Napasnya teratur, tubuhnya lemas setelah perawat menyuntikkan obat penenang. Air mata yang sebelumnya membasahi pipinya kini telah kering, meninggalkan jejak samar di kulit pucatnya. Marah, sedih, dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. Janin yang baru berusia dua bulan terpaksa diluruhkan, mimpi untuk menjadi seorang ibu harus ditunda.Darren duduk di kursi samping ranjang, matanya tertuju pada wajah Nadia yang tenang dalam tidurnya. Hatinya pedih melihat istrinya terbaring lemah, tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menggenggam erat tangan Nadia, berharap sentuhannya bisa sedikit meringankan beban yang sedang ditanggung istrinya. "Maaf, Sayang. Aku gak bisa ngelakuin apa-apa," bisik Darren lirih, suaranya bergetar menahan kesedihan. "Aku janji, kita bakal punya anak lagi."Darren terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Ia teringat untuk menemani Brata, sang kakek, yang dirawat di ICU karena infek