Di sebuah rumah mewah dengan interior minimalis, Darren duduk di meja makan, menikmati sarapannya dengan tenang. Nadia, istrinya, baru saja datang dari dapur membawa segelas susu hangat."Nad, Raka baru telepon. Katanya ... Bu Mella meninggal, dia bunuh diri kayak Tania. Tapi jenazahnya udah diurus sama Raka. Dimakamkan di pemakaman yang sama kayak Tania," jelas Darren yang membuat Nadia terhenyak kaget."Ya Tuhan ... Ibu ...." Nadia membekap mulut setelah menaruh susu ke atas meja. "Kasihan sekali."Meskipun Mella adalah ibu tiri yang selalu menyiksa dan menyakitinya dulu, tetapi hatinya iba juga mendapati Mella berakhir tragis mengakhiri hidupnya seperti yang dilakukan Tania.Darren hanya mengangguk singkat, matanya masih tertuju pada ponsel. Sedari tadi, ia terus berkoordinasi bersama Jacob sambil menyantap sarapan."Ya, sudahlah," jawabnya singkat, tanpa menunjukkan rasa iba sedikit pun. "Memang sudah waktunya meninggal, Nad."Nadia mengerutkan kening, merasa heran dengan s
Mentari pagi menyinari gedung pengadilan yang megah. Udara dingin mencengkeram tubuh Darren saat ia melangkah keluar dari mobil sport mewahnya. Matanya menyipit, mengamati deretan mobil yang terparkir di halaman gedung. Pandangannya terhenti pada sebuah mobil sedan hitam yang familiar."Om Rudi," gumam Darren, senyum sinis mengembang di bibirnya. "Ternyata dia sudah datang."Ia berjalan mendekat, langkahnya pasti dan penuh percaya diri. Rudi yang baru saja keluar dari mobil, tampak terkejut melihat Darren. Wajahnya pucat pasi, keringat dingin menetes di pelipisnya. Rahayu, istrinya, yang berada di sampingnya, terlihat geram."Berani-beraninya kau datang ke sini, hah ..! Masih punya muka juga kau?!" seru Rahayu, suaranya bergetar menahan amarah. Ia ingin langsung menerjang Darren, tetapi Rudi dengan sigap menahannya."Ma, tenanglah. Jangan buat masalah makin rumit," bisik Rudi, suaranya terdengar lirih.Darren hanya tersenyum sinis, menatap Rudi dengan tatapan tajam. "Ke
"Maaf, Yang Mulia," suara tegas seorang pria berjas hitam memecah keheningan courtroom. "Saya, kuasa hukum terdakwa, ingin mengajukan sanggahan."Rudi, yang duduk di bangku terdakwa, tampak lega. Ia menatap kuasa hukumnya dengan penuh harap."Yang Mulia," kuasa hukum melanjutkan, "kami ingin menegaskan bahwa semua tindakan tersebut tidak dilakukan dengan tidak sengaja. Klien kami berada dalam kondisi emosional yang tidak stabil akibat pembatalan perjodohan dengan Pak Darren.""Pak Darren, yang merupakan calon suami terdakwa, secara sepihak membatalkan perjodohan tanpa alasan yang jelas," kuasa hukum menunjuk Darren dengan jari telunjuknya. "Hal ini menyebabkan klien kami mengalami kekecewaan dan sakit hati yang mendalam. Akibatnya, akal sehat klien kami menjadi gelap dan klien kami melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji.""Yang Mulia," kuasa hukum menatap Hakim dengan tajam. "Kami menduga bahwa Pak Darren memanfaatkan situasi ini untuk menjatuhkan klien kami. Pak Darren yang m
Darren mengulurkan tangannya kepada Nadia, "Sayang, ayo kita pulang."Nadia tersenyum, lantas menjawab, "iya, Kak. Aku juga sudah lelah."Mereka berdua berjalan beriringan, keluar dari courtroom. Pandangan mereka sama sekali tidak tertuju pada Alana yang terduduk di bangku terdakwa, tubuhnya gemetar hebat, air matanya mengalir deras."Kak, kasian Alana," bisik Nadia, suaranya terdengar lembut.Darren mengerutkan kening, "Sayang, jangan kasihani dia. Dia sudah melakukan kesalahan besar. Dia telah mencoba membunuhmu dan menghancurkan hidupku.""Tapi, Kak," Nadia masih merasa iba, "Dia kan anak Om Rudi dan Tante Rahayu. Masih sepupu kamu, secara nggak langsung kalian masih ada hubungan sedarah. Dia juga sudah dijatuhi hukuman, kok.""Kamu ini kebiasaan iba sama orang. Nggak semua orang harus dikasihani, Nad. Mereka dulu saja nggak kasihan sama kita," jawab Darren sambil terus mendorong kursi roda istrinya.Nadia tidak tahu, hatinya tiba-tiba iba. "Aku hanya kasian, Kak ....""Sayang," Da
Darren menggeram pelan, tangannya mengepal erat. Ia tak peduli dengan larangan perawat yang mencegahnya masuk, kakinya terus melangkah pasti menuju kamar Brata. Pintu kamar terbuka, memperlihatkan Brata yang tertidur lelap di ranjang.Darren mendekat, duduk di tepi ranjang, tangannya meraih tangan keriput Brata yang terbaring lemah. Jari-jari keriput itu terasa dingin, membuat jantung Darren berdebar kencang."Kakek," bisik Darren, suaranya bergetar. "Bangun, Kakek. Aku di sini."Namun, Brata tak bergeming. Matanya tetap terpejam, napasnya teratur, seperti orang yang tertidur nyenyak.Nadia berdiri di ambang pintu, matanya berkaca-kaca. Ia melihat Darren yang tampak begitu sedih, dan Brata yang terbaring lemah."Kak," panggil Nadia, suaranya lirih. "Kakek nggak bangun?"Darren menoleh, matanya masih tertuju pada Brata. "Ya, Kakek masih tertidur. Perawat bilang itu efek obat."Nadia mendekat, menaruh tangannya di bahu Darren. "Kak, kita menginap di sini saja, ya. Aku khawatir sama Kake
Sean menunduk, matanya fokus pada layar laptop. Jari-jarinya menari lincah di atas keyboard, merangkai kata demi kata untuk proposal restrukturisasi Atmajaya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk membuat proposal yang meyakinkan, berharap bank mau memberikan pinjaman untuk menyelamatkan perusahaan.Semalaman Sean begadang, mengolah data dan mencari solusi terbaik. Ia tahu, kesempatan ini adalah yang terakhir bagi Atmajaya.Keesokan harinya, Sean melangkah tegap memasuki ruang pertemuan bank. Ia membawa secarik harapan tipis dalam genggamannya, berharap bank mau memberikan pinjaman untuk membantu Atmajaya bangkit."Selamat pagi, Pak Sean. Silakan duduk," sapa petugas bank, seorang pria berwajah tegas bernama Pak Johan.Sean mengangguk, lalu duduk di hadapan Pak Johan. Ia menaruh proposal di atas meja, jantungnya berdebar kencang."Terima kasih atas waktu Bapak," ucap Sean. "Kami harap Bapak mau membaca proposal restrukturisasi yang kami ajukan."Pak Johan mengangguk, membuka proposal dan me
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Ruang sidang dipenuhi oleh petugas dan kuasa hukum. Darren melangkah tegap memasuki ruang sidang, matanya menyapu ruangan dengan tatapan dingin. Ia tidak mengajak Nadia kali ini.Rudi dan Rahayu duduk di bangku terdakwa, wajah mereka tampak tegang. Mereka melihat Darren yang berjalan dengan penuh percaya diri, dadanya membusung tegap. Darren menatap Rudi dengan tatapan sinis, senyum licik terukir di bibirnya."Dasar brengsek," geram Rahayu, mencengkeram tangan Rudi. "Lihat dia, sombong sekali!"Rudi hanya bisa diam, matanya menatap tajam ke arah Darren. Ada amarah dan dendam yang membara di dadanya, tapi sadar kekuatannya tak cukup untuk melawan.Darren tidak menyapa Rudi, ia langsung menuju meja pengacaranya. Ia duduk dengan tenang, menunggu sidang dimulai."Darren memang tidak punya hati!" gumam Rudi. "Aku akan melawannya sampai akhir, Ma. Kita akan terus memperjuangkan kebebasan Alana."Rahayu mengusap punggung Rudi, mencoba
Di ruang tunggu rumah sakit, Nadia duduk di kursi roda, ditemani oleh perawat pribadinya sekaligus perawat yang juga bertugas di rumah sakit ini, Mbak Rina. Wajah Nadia pucat, meskipun senyum tipis terukir di bibirnya. Ia menatap ke luar jendela, mengamati langit yang mendung. "Ibu, dokternya sudah selesai," ujar Mbak Rina, lembut. "Ibu sudah boleh masuk." Nadia mengangguk pelan, matanya masih tertuju pada langit. "Baiklah, Mbak." Mereka berdua memasuki ruangan pemeriksaan. Dokter tersenyum ramah, menyapa Nadia. "Bu Nadia, bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya dokter, sambil memeriksa hasil rontgen. "Syukurlah, Dokter, saya merasa lebih baik," jawab Nadia, suaranya sedikit gemetar. "Bagus, Bu Nadia. Tulang paha Anda sudah mulai menyatu dengan baik. Operasi pelepasan pen bisa segera kita jadwalkan," ujar dokter, sambil menunjuk hasil rontgen yang diambil beberapa saat lalu. Nadia terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia merasa lega mendengar kabar baik itu, tetapi juga dihantui rasa khaw
Hari-hari berlalu begitu cepat, berganti minggu dan bulan. Kehidupan Darren dan Nadia dipenuhi dengan kebahagiaan. Mereka menikmati setiap momen bersama, membangun bisnis bersama, dan merencanakan masa depan mereka. Suatu pagi, Nadia terbangun dengan perasaan yang berbeda. Perutnya terasa sedikit mual, dan dia merasa lebih sensitif terhadap bau. Dia langsung menuju kamar mandi dan mengambil test pack yang sudah dia beli beberapa hari sebelumnya. Dengan tangan gemetar, Nadia melakukan tes. Dia menahan napas, jantungnya berdebar kencang. Beberapa saat kemudian, hasil tes muncul. Dua garis merah terang muncul di layar test pack. Nadia terdiam, matanya berkaca-kaca. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya. Dia tak percaya, dia hamil. Dia akan menjadi seorang ibu. Wanita cantik itu langsung berlari keluar dari kamar mandi dan menuju kamar tidur. Darren masih tertidur pulas di ranjang. Nadia duduk di tepi ranjang, matanya menatap Darren dengan penuh kasih sayang. "Kak," bisik Nadi
Minggu-minggu berlalu begitu cepat. Nadia sudah beberapa kali kontrol ke dokter untuk memeriksa kondisi tulang pahanya setelah operasi pelepasan pen. Dokter mengatakan bahwa tulang pahanya sudah pulih dengan baik dan dia sudah bisa beraktivitas seperti biasa."Kak, aku sudah bisa jalan normal lagi, lho!" seru Nadia, matanya berbinar gembira.Darren tersenyum, matanya memancarkan kebahagiaan. "Aku senang mendengarnya, Sayang," jawabnya. "Kamu sudah bisa kembali ke butik."Nadia mengangguk, matanya berbinar-binar. "Aku sudah tidak sabar untuk kembali bekerja," katanya. "Aku ingin membantu kamu mengembangkan butik."Darren mencium kening Nadia dengan lembut. "Aku tahu kamu bisa, Nad," kata Darren. "Kamu akan jadi desainer yang berbakat."Nadia kembali bekerja di butik milik Darren. Dia sangat antusias dalam berbagai hal, mulai dari mendesain baju, memilih bahan, hingga melayani pelanggan. Kehadiran Nadia di butik membuat suasana di sana semakin hidup dan ceria."Kak, aku punya
Malam itu, udara dingin menusuk tulang. Darren dan Nadia berjalan beriringan menuju kediaman Rudi, om Darren yang terkenal kejam. Nadia melangkah dengan hati-hati, tulang pahanya masih terasa nyeri setelah operasi pelepasan pen."Kamu yakin mau ke sini?" tanya Darren, sedikit ragu."Iya, sekadar berbela sungkawa sebentar."Sesampainya di depan rumah Rudi, mereka mendengar suara teriakan yang nyaring. Suara itu berasal dari dalam rumah, terdengar seperti jeritan orang kesakitan. Nadia mengernyit, jantungnya berdebar kencang."Itu suara Om Rudi," bisik Darren.Mereka mengintip dari balik jendela. Di dalam, Rudi tampak seperti orang gila, berteriak-teriak histeris. "Mama ... Ma! Kembalilah padaku, Ma. Aku mohon jangan tinggalkan Papa ...!" teriaknya histeris, memeluk foto mendiang istrinya.Nadia merasa iba melihat Rudi yang terpuruk. "Kasian, dia kayak orang kehilangan akal," gumamnya.Darren hanya diam, matanya menatap Rudi dengan dingin. "Karma," gumamnya pelan, "Karma atas semua keja
Beberapa jam berlalu. Nadia terbangun dari tidurnya, tubuhnya masih terasa lemas akibat pengaruh obat bius. Matanya perlahan terbuka, dan pandangannya langsung tertuju pada Darren yang duduk di samping ranjang, wajahnya tampak lesu. Nadia berusaha bangkit, tetapi rasa sakit yang menusuk di perutnya membuatnya kembali terbaring."Kak ...," lirih Nadia, suaranya serak dan bergetar.Darren langsung mendekat, memegang tangan Nadia dengan lembut. "Sayang, kamu udah bangun? Kamu masih sakit?"Nadia menggeleng lemah. "Sudah nggak terlalu."Darren tidak menjawab, hanya mengelus lembut rambut istrinya. Membuat Nadia berpikir macam-macam, tak biasanya suaminya murung."Kak, apa semua baik-baik saja? Ada masalah, sampai kamu murung begitu?" tanya Nadia, sambil tangannya perlahan menekan perut meredam rasa nyeri.Darren menarik napas dalam-dalam. "Iya, Sayang. Maaf membuatmu khawatir.""Ada apa?"Darren sebenarnya belum ingin cerita, tetapi Nadia sudah terlanjur curiga. "Kakek meninggal be
Darren melangkah gontai memasuki ruangan rumah sakit tempat Nadia dirawat. Ia berharap bisa menemukan sedikit ketenangan di sini, setelah melakukan tindakan brutal terhadap Rahayu. Sayangnya, saat ia melihat wajah Nadia yang pucat dan terbaring lemah, rasa bersalah kembali menyergapnya."Sayang," lirih Darren, tangannya meraih tangan Nadia yang dingin. "Maafkan aku. Aku nggak bisa mencegah Tante Rahayu mengirimkan pesan itu, sehingga membuat pikiranmu terganggu."Namun, sebelum Darren bisa melanjutkan kata-katanya, bodyguard-nya, datang menghampiri. Wajahnya tampak muram, matanya berkaca-kaca."Tuan, ada kabar buruk," ucap Ryan, suaranya bergetar menahan tangis. "I-ini menyangkut Tuan Besar.""Apa?" tanya Darren, jantungnya berdebar kencang."Tuan Besar telah meninggal dunia, Dokter mengabarkan dua puluh menit yang lalu, dan saat ini jenazahnya masih ada di ICU karena menunggu Tuan," ucap Ryan, suaranya tercekat.Darren terpaku di tempat, matanya membelalak tak percaya. Ia tak
Darren melangkah tegap menuju kantornya, meninggalkan kekacauan di Atmajaya. Ia tak peduli dengan perusahaan yang kini terancam bangkrut, tak peduli dengan kekhawatiran staf-staf Atmajaya tadi, dan tak peduli dengan nasib Rudi. Ia memasuki ruangannya, sebuah ruangan mewah dengan pemandangan kota dari jendela besar. Namun, kemewahan itu tak lagi berarti apa-apa baginya. Ia duduk di kursi empuk, membuka laptop, dan mulai mengetik.Darren mengirim email kepada para investor Atmajaya, memerintahkan mereka untuk segera menarik investasi dari perusahaan milik omnya. Ia tahu, dengan kekuasaannya, para investor pasti lebih berpihak padanya.[Saya harap Anda semua sudah membaca berita terkini tentang Atmajaya. Saya sarankan Anda untuk segera menarik investasi Anda dari perusahaan ini. Atmajaya sudah tidak layak untuk Anda investasikan.] tulis Darren dalam emailnya.Ia menekan tombol "kirim" dengan penuh amarah. Ia tahu, dengan email itu, ia telah menghancurkan Atmajaya. Namun, ia tak
Nadia terbaring lemah di ranjang rumah sakit, matanya terpejam. Napasnya teratur, tubuhnya lemas setelah perawat menyuntikkan obat penenang. Air mata yang sebelumnya membasahi pipinya kini telah kering, meninggalkan jejak samar di kulit pucatnya. Marah, sedih, dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. Janin yang baru berusia dua bulan terpaksa diluruhkan, mimpi untuk menjadi seorang ibu harus ditunda.Darren duduk di kursi samping ranjang, matanya tertuju pada wajah Nadia yang tenang dalam tidurnya. Hatinya pedih melihat istrinya terbaring lemah, tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menggenggam erat tangan Nadia, berharap sentuhannya bisa sedikit meringankan beban yang sedang ditanggung istrinya. "Maaf, Sayang. Aku gak bisa ngelakuin apa-apa," bisik Darren lirih, suaranya bergetar menahan kesedihan. "Aku janji, kita bakal punya anak lagi."Darren terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Ia teringat untuk menemani Brata, sang kakek, yang dirawat di ICU karena infek
Dokter itu meletakkan selembar kertas dan pulpen di hadapan Darren. Tangannya gemetar saat meraih pulpen, matanya menerawang ke arah pintu ruang operasi tempat Nadia terbaring."Ini, Pak Darren. Formulir persetujuan untuk tindakan medis. Saya sudah jelaskan risikonya, dan saya harap Anda bisa memahami keputusan ini." Dokter itu berkata dengan nada lembut, tetapi suaranya terasa berat di telinga Darren.Darren menatap formulir itu dengan tatapan kosong. Kata-kata dokter berputar-putar di kepalanya.Risiko tinggi.Kondisi kritis.Keputusan sulit. Ia mencoba mencari kekuatan di dalam diri, mencoba mencari jalan keluar dari dilemma yang menjeratnya."Dokter, apakah ... apakah tidak ada cara lain?" tanya Darren, suaranya terasa serak dan patah.Dokter menggeleng pelan. "Maaf, Pak Darren. Ini adalah pilihan terbaik yang bisa kita ambil saat ini. Jika kita tidak bertindak segera, kondisi Ibu Nadia akan semakin memburuk. Dan ris
Darren masih terpaku di depan pintu ruang operasi, matanya menerawang ke dalam ruangan. Kekhawatirannya belum juga mereda. Nadia, istrinya, masih belum sadar dari pengaruh obat bius. Operasi pelepasan pen berjalan lancar, tapi kondisi Nadia justru memburuk setelahnya. Tekanan darahnya terus meningkat, dan keadaan kandungannya juga melemah.Tiba-tiba, seorang perawat berlari menghampirinya. Wajahnya tampak panik. "Maaf, Pak Darren. Ada kabar buruk. Kakek Brata kritis."Darren tersentak. "Apa maksudnya? Kakek Brata kenapa?""Infeksi paru-parunya semakin parah, Pak. Batuknya semakin keras dan sulit bernapas. Saat ini, Kakek Brata kejang-kejang." Perawat itu mengusap keringat di dahinya. Darren langsung berdiri tegak. "Dimana Kakek sekarang?""Di ruang ICU, Pak." Perawat itu menunjuk arah. "Saya harus kembali ke sana. Maaf, Pak."Darren terdiam sejenak. Rasa cemas dan takut bercampur aduk dalam dirinya. Nadia masih belum sadar, dan sekarang Kakeknya kritis. Ia merasaka