Cecep memutuskan untuk ikut berbaring. Tubuhnya yang besar membuat Arif dan Deden tersudut hingga ke sudut saung. Keduanya sebal, tetapi tak dapat komentar. Memang begini nasib berteman dengan orang gendut.
Selama beberapa menit, suasana menjadi hening, yang terdengar hanya suara katak di pematang sawah, dan serangga yang melompat dari satu tangkai padi ke tangkai lain. Meski keadaan di dalam saung tampak tenang, tetapi pada kenyataannya kondisi di luar sudah dipenuhi pocong-pocong dan juga kabut tebal.
Meski mata tertutup, nyatanya Cecep tak bisa terlelap. Ia tahu kalau dua sahabatnya pun merasa demikian. Lagi pula siapa yang bisa tidur nyenyak saat berita kalau diri kita akan ditumbalkan?
Cecep perlahan membuka mata. Pria itu sebenarnya tak nyaman dengan posisinya sekarang. Hanya saja, ia sadar diri. Kalau sampai ia bergerak sedikit saja, pasti Arif dan Deden akan terganggu. Terakhir kali saja, Cecep melihat bila keduanya tersudut ke sisi ruangan.
C
Mahmud, salah satu warga Cigeutih yang memilih tinggal di rumah dibanding mengungsi. Saat ini, ia bersama dua anak dan istri berada di ruang tengah dengan bercahayakan lampu minyak karena listrik mendadak mati.Mahmud sesekali mengintip keluar. Setiap kali ia lakukan, kabut kian menghalangi pandangannya untuk mengetahui keadaan sekitar. “Kalian tidur saja,” ucapnya sembari menyeka keringat di dahi.Dibanding ikut berbaring dengan yang lain, Mahmud lebih memilih duduk di kursi kayu dekat jendela, dengan harapan ia bisa mengawasi keadaan luar dengan lebih leluasa. Sebatang rokok ikut menemani aksi terjaganya malam ini.Jujur saja, meski Mahmud tak ikut mengungsi seperti warga lain dengan alasan tak percaya, tetapi sebenarnya ia meyakini bila yang dikatakan Aep dan Pak Harun itu benar, terlebih saat mereka menunjukkan surat dari pesantren. Hanya saja, di siatuasi terburuknya, dibanding mati di sawah atau kebun orang, ia pikir akan lebih baik jika mati d
“Silaing butuh bantuan kaula?” ujar sosok itu dengan kedua tangan terlipat ke belakang.Rojali tercenung di tempat, tak bergerak. Ia amati sosok pria di depannya lekat-lekat. Aneh, pikirnya. Kunci pusaka itu tak lagi bersamanya, tetapi sosok itu masih bersuara di pikirannya dan kini malah menemuinya.“Apa yang kamu inginkan dari saya?” tanya Rojali seraya mulai memasang kuda-kuda. Bersamaan dengan hal itu, ia mendengar suara teriakan yang saling bersahutan dan juga ucapan permintaan tolong entah dari mana.“Waktunya sudah dekat,” jawab sosok itu.Rojali berusaha mencerna ucapan barusan. Dugaannya bermuara pada ritual kujang pusaka yang sedang terjadi di Ciboeh. Tak ingin berlama-lama dengan sosok itu, Rojali mengambil keputusan untuk berlari ke arah kubah. Sayang, saat kakinya baru saja melangkah, sosok berpakaian kerajaan itu tiba-tiba berada di depannya.“Saya tidak punya—” Kalimat Ro
Kereta kencana bergerak maju ke arah persawahan. Kondisi di kanan dan kiri menampilkan keadaan warga yang tak sadarkan diri di beberapa petak sawah, atap saung, pinggiran sungai, jembatan kayu, bahkan ada warga yang tersangkut di tumpukan batu, juga bayi yang menangis di pinggir sungai. Beberapa pocong juga tampak melompat-lompat di sekitar warga.Tak ada perubahan ekspresi dari Rojali. Pandangannya masih kosong meski sudah melihat pemandangan mengerikan. Kalau dengan keadaan normal, ia pasti tak berhenti mengucap istigfar.Kereta berbelok arah begitu sampai di akhir persawahan, lantas melaju ke arah perkampungan kembali. Untuk kedua kalinya, Rojali mendapati pemandangan mengerikan di persawahan. Meski begitu, ia tak dapat melakukan apa pun.Saat kendaraan sampai di jembatan penghubung Cimenyan dan Cigeutih, Rojali kembali melihat Ki Jalu dan Badru yang lagi-lagi gelisah, menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak hanya sam
Badru mendapati raut kecemasan dan ketegangan yang bersemayam di wajah Ki Jalu. Meski tak tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi, pria setengah abad itu memilih bersiaga penuh, berjaga-jaga bila sesuatu yang buruk akan terjadi. Kendati demikian, bibirnya terasa gatal untuk bertanya. “Aya naon, Pak?” tanya Badru. Pandangannya kemudian berubah mengikuti arah pandang Ki Jalu yang tengah mendongak ke langit. Ki Jalu mengembus napas panjang. “Bapak ngarasa kalau ada yang sedang mengawasi kita. Bapak sudah mengerahkan semua kemampuan Bapak, tapi ... Bapak sama sekali teu bisa menemukan siapa-siapa.” Wajah Badru ikut dihantam kebingungan, terlebih saat orang tua tunggalnya berkali-kali melirik langit seperti tengah mencari sesuatu atau justru seseorang. Tak biasanya ia melihat sang bapak segelisah ini. “Apa mungkin aya orang yang menerobos masuk, Pak?” Badru kembali bertanya. Pandangannya kembali memindai sekililing. Wasp
Euis ikut dibuat kaget. Fokus pada kondisi Nunung membuatnya lupa pada anak kecil tadi. “Uden,” panggilnya, “Uden.”Wajah Aep mendadak pucat. Sepanjang penglihatannya, anak kecil itu tak dijumpai di mana pun. Euis sudah mulai menangis sembari berteriak, merasa lalai karena tak memperhatikan Uden.“Teh, Mang,” ucap Uden yang muncul tiba-tiba dari samping mereka. Anak kecil itu memegang dua buah daun talas yang diubah fungsinya menjadi gelas untuk menampung air.“Kamu dari mana atuh, Den?” tanya Euis yang langsung menghambur ke arah Uden.“Saya ... ambil air, Teh.” Uden menunduk, takut dimarahi karena tak izin lebih dahulu.Euis mengembus napas lega. Ia melirik sinis Aep yang sepertinya ingin memarahi Uden.“Biar saya saja yang ambil air,” ujar Aep saat sadar tatapan Euis padanya. “Kalian tunggu di sini.”Aep berjalan ke arah tempat
Uden mengangguk. Ia mengerahkan kekuatan saat menarik gerobak di tengah jembatan. Aep memperhatikan dari sisi jembatan agar bisa bertindak cepat bila terjadi sesuatu. Hingga Uden mencapai tengah jembatan tak ada masalah yang terjadi. Anak laki-laki itu berusaha tenang meski wajahnya tampak tegang. Di seberang jembatan, Euis menyenteri papan kayu sebagai cahaya tambahan dari obor yang terpasang di sisi gerobak. Ia ingin memastikan pergerakan anak kecil itu dengan saksama. Di saat itulah kejutan yang akan memeriahkan malam datang. Bersamaan dengan angin kencang yang tiba-tiba berembus, kumpulan pocong mendadak muncul di sekitar sungai dengan tawa memekakkan. Di antara orang-orang itu, Uden-lah yang pertama kali menyadari. Ia seketika membatu di tengah jembatan, lalu menangis tanpa suara dengan kedua tangan menutup wajah. “Uden, cepat jalan!” teriak Euis, “kunaon kamu ... astagfirullah Teh Nunung.” Euis mendadak dikejutkan dengan tubuh Nun
Gumaman Aep nyatanya didengar oleh Euis. Tanpa bisa dicegah, gadis itu menoleh lagi ke belakang. Saat menemukan seseorang tengah berdiri di ujung seberang, ia buru-buru mengalihkan pandangan lagi ke depan.“Aya naon, Teh?” bisik Uden. Wajahnya ikut tegang saat melihat ekspresi Euis. “Pocong lagi?”“Diam,” bisik Aep dengan suara gemetar, “dan jangan menoleh ke belakang.”Hening seketika menerkam. Meski jarak mulai merenggang, Aep masih mengintip arah belakang melalui ekor mata. Sosok itu kini sudah menjejakkan kaki di jembatan. Di tengah situasi menegangkan, pikiran Aep terus bekerja cepat untuk memikirkan jalan keluar.“Jalan,” ucap Aep. Tarikan napasnya mendadak lebih cepat dua kali lipat.Seolah paham dengan keadaan, Euis dan Uden tak protes soal perintah barusan. Mereka mendorong gerobak dengan tangan gemetar. Meski penasaran, keduanya berusaha untuk tak menoleh ke belakang, me
“Ilham?” ujar Rojali penuh ketidakpercayaan.Rojali mematung di tempat untuk sementara waktu. Matanya memindai pria di depannya dari atas hingga bawah. Beberapa kali netranya mengerjap paksa, seolah ingin membuktikan bahwa sosok yang berada di depannya bukanlah seseorang yang terlibat perkelahian dengannya barusan.Napas Rojali mulai memburu. Tangannya dengan cepat terkepal, memberi sinyal pada rahang dan urat leher untuk menegang. Kilat kemarahan tampak di manik matanya.“Apa maksudnya ini, Ilham?” tanya Rojali dengan emosi yang berusaha ia tekan.Ilham mengembus napas panjang. “Saya hanya diminta untuk menjalankan tugas.”“Tugas?” Wajah Rojali mulai memerah. Kulitnya yang putih membuat hal itu terlihat sangat kontras. “Dari siapa?”Ilham menjeda sejenak. “Tugas untuk membawa kamu menjauh dari desa. Maaf, saya harus menghentikan kamu walau dengan kekerasan sekalipun, Rojali.
“Ini satu-satunya cara, Kang. Kita tidak punya pilihan lain.”Mbah Jaja akhirnya setuju setelah agak lama berpikir. “Aing bakal pasang pagar gaib lebih dulu.”Sebuah kubah segera melingkupi seluruh gubuk. Di pandangan orang biasa, bangunan itu akan tampak seperti halaman kosong.Mbah Atim dan Mbah Jaja dengan cepat duduk bersila di depan dan belakang orang gila itu. Mulut mereka mulai berkomat-kamit membaca mantra. Butuh kekuatan dan konsentrasi tinggi untuk bisa menggunakan ajian pengubah raga.Tubuh orang gila itu secara tiba-tiba bergetar beberapa kali. Mulutnya terbuka dengan kondisi bola mata memelotot seperti hendak meloncat. Raganya kemudian berguling-guling di lantai, dan tidak lama setelahnya, fisik pria edan itu persis menyerupai Mbah Atim.“Semoga saja si Jalu tidak sadar,” ujar Mbah Atim yang berdiri dengan wajah pucat. Keringat mulai membanjiri keningnya. Tenaganya benar-benar terkuras habis
1990Sehari sebelum kejadian penemuan jenazah tanpa kepalaCiboeh sangat panas siang ini. Debu-debu berterbangan ketika kaki melangkah dan roda kendaraan menggerus jalan. Beberapa warga tampak menyiram air ke halaman untuk mengusir panas. Meski begitu, tawa anak-anak terdengar bersahutan ketika mereka tengah mengerumuni seorang pria berpakaian kumal.“Nugelo (orang gila)! Nugelo!” Anak-anak kompak meneriaki seorang pria yang tengah berjongkok di tengah mereka.Orang gila itu melirik ke kanan dan ke kiri. Sesekali tangannya menepis ranting yang disodorkan anak-anak padanya. Bibirnya bergerak seperti menggumamkan sesuatu.Seorang anak laki-laki tiba-tiba saja melempar ranting ke sembarang arah ketika melihat Rojali dan Reza tengah berjalan ke arah mereka.“Ada Ustaz Rojali,” ujar Uden, “ayo kabur sebelum kita dihukum.”“H
Dua hari setelah kepergian Kiai, Rojali berkunjung ke Ciboeh bersama Lukman dan Ustaz Ahmad. Pemuda itu sudah mendengar kondisi desa dari keduanya yang porak poranda akibat ritual. Akan tetapi, ia berhasil dibuat terkejut ketika melihat keadaan Ciboeh secara langsung.Saat melewati gerbang desa, ia melihat gapura hancur sebagian. Lebih dekat ke arah utara, banyak rumah roboh dan hancur seperti baru diterjang badai. Kondisi lebih mengerikan tersaji ketika mobil melewati Kampung Cimenyan. Beberapa rumah tampak rata dengan tanah. Tak heran jika berita yang ditayangkan di televisi dan radio menunjukkan bahwa desa ini diserang bencana alam.Mobil menepi di depan reruntuhan kediaman Rojali. Pemuda bermata sipit itu turun bersama Ustaz Ahmad dan Lukman. Ketiganya menatap tanah kosong di mana beberapa puing bangunan masih berada di sana.“Kang Rojali,” ujar Euis yang muncul dari arah samping rumah, “apa itu benar Kang Rojali?” Rojal
Ustaz Ahmad benar-benar merasa gelisah sepanjang waktu. Pikirannya tertuju pada kondisi sang bapak yang masih berada di rumah sakit. Ia hanya duduk memandang perapian di depan, sama sekali belum menyentuh air atau makanan.“Ustaz,” panggil Lukman yang duduk di sampingnya, “sebaiknya Ustaz mengisi tenaga lebih dahulu. Setelahnya, Ustaz bisa berisitirahat.”Ustaz Ahmad mengembus napas panjang, mengangguk pelan. Ia menghabiskan makanan dengan cepat, lalu berbaring di bangku panjang yang berada tak jauh dari tempat dirinya dan Lukman duduk.Sepinya keadaan Cimayit, berbanding terbalik dengan situasi yang ada di pesantren. Tangis kesedihan begitu mendominasi para santri dan tamu yang hadir. Meninggalnya Kiai Rohmat dengan cepat tersebar. Sayang, di saat seperti ini, sang putra justru berada jauh dan belum tahu mengenai kondisi sang bapak.Para pelayat tengah mengerumuni jenazah Kiai Rohmat. Bacaan surat Yasin saling bersahutan dari mulu
Rojali, Ustaz Ahmad, Ilham dan Lukman tiba di Lancah Darah saat siang menjelang. Mobil menepi di tempat terakhir kali mereka memarkirkan kendaraan.“Sebaiknya kita berangkat sekarang,” ujar Ilham dengan pandangan menelisik sekeliling, “jika tidak bergegas, mungkin saja kita akan tiba malam hari.”Setelah memastikan kendaraan aman, keempat pria itu memulai perjalanan memasuki hutan Lancah Darah. Pemandangan indah yang ditawarkan kawasan ini tidak akan berlangsung lama ketika matahari tenggelam.Seperti apa yang dikatakan orang-orang, Lancah Darah menjadi tempat yang “haram” untuk dikunjungi orang. Tak hanya kisah mistis yang melekat, tetapi tentang sekelompok orang yang susah disentuh, termasuk aparat sekalipun.Rombongan beristirahat di pinggiran sungai untuk melaksanakan salat, juga untuk menyantap bekal. Mereka sudah mencapai setengah perlajanan saat langit mulai bersolek lembayung. Kumpulan burung-burung terban
Ciboeh, 1989Selesai salat subuh berjemaah, para tetua desa yang dipimpin Pak Dede memasuki kantor desa. Mereka duduk melingkar beralas tikar tanpa camilan atau air segelas pun. Dilihat dari wajah dan gestur mereka, tampak ada hal penting yang harus segera mereka diskusikan.Hujan mendadak mengguyur deras. Angin tampak menerobos di sela-sela lubang pintu dan jendela, membawa udara dingin. “Jangan sampai ada yang masuk ke kantor, Man,” ucap Pak Dede pada Eman yang berjaga di pintu.“Siap, Pak Kades.” Eman mengacungkan jempol.Ruangan hanya diterangi lampu kecil sehingga cahaya hanya menyinari tengah ruangan, sedang gelap memeluk keadaaan sekelililing. “Kalian sudah memastikan kalau Rojali tidak ada di desa?” tanya Pak Dede sembari mengamati satu per satu orang yang hadir.“Sudah, Pak Dede,” jawab Pak Yayat, “Ustaz Rojali mengabari kalau selama dua hari
Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memamerkan bulatan sempurna bercahaya keperakan. Di sisi sungai, Mbah Atim dan Mbah Jaja tampak berdiri menunggu kedatangan Ujang. Sudah lewat beberapa menit dari waktu perjanjian.“Awas saja kalau si Ujang mengkhianati kita, Juned,” ucap Mbah Jaja penuh amarah, “aing tidak segan bunuh istri, mertua dan anaknya sekaligus.”“Kita tunggu sebentar lagi, Kang,” sahut Mbah Atim menenangkan. Pandangannya tertuju pada seberang sungai, di mana pekatnya hutan hanya bisa menampilkan kegelapan. Ia mulai tak enak berdiri, pasalnya Mbah Jaja bisa saja nekat, dan saat itu terjadi ia tidak bisa melakukan banyak hal.“Sampai kapan kita harus menunggu si Ujang, Juned?” tanya Mbah Jaja sembari mengeluarkan pisau kecil, memandanginya dengan lekat-lekat. “Bisa saja dia berubah pikiran dan mengkhianati perjanjian kita.”“Saya yakin Ujang pasti datang ke si
Hujan deras yang mengguyur Ciboeh beberapa hari terakhir mengakibatkan bencana longsor. Peristiwa itu terjadi bakda subuh saat para warga sudah mulai bersiap menyambut hari. Lokasi terjadinya bencana berada di perbatasan Cigeutih dan Cimenyan. Hal itu menyebabkan beberapa rumah di dua kampung rusak karena tertimbun. Untungnya tidak ada korban jiwa.Para korban yang berhasil selamat diungsikan di rumah-rumah saudara. Warga saling bergotong royong membantu membersihkan tanah yang menghalangi jalan dan menutup akses jembatan yang menghubungkan kedua kampung.Setelah jembatan dapat kembali dibuka, Rojali berinisiatif meminta bantuan pada pesantren. Syukur dipanjatkan, Kiai mengirim bantuan dengan menerjunkan lima puluh santri ke Ciboeh. Dalam waktu sehari, lokasi sekitar bencana kembali normal meski rumah tampak ambruk.Hari berikutnya, warga masih berjibaku dengan sisa tanah longsor yang masih tertimbun di beberapa bagian sudut desa. Tanpa disangka-sangka, se
Sebuah motor tampak melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Kampung Cigeutih. Gerimis tak lama kemudian berubah menjadi hujan lebat. Reza yang berada di atas kendaraan mencibir dengan penuh sumpah serapah. Ia mempercepat laju motor hingga kendaraan bergetar beberapa kali karena menorobos jalan berbatu dan berlubang.Reza berdecak, melempar rokok sembarang. Saat menoleh pada pos ronda, ia sama sekali tidak melihat teman-temannya berkumpul. Dengan terpaksa pemuda itu harus pulang ke rumah, padahal siang tadi ia bersitegang dengan bapaknya. Malas sebenarnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.“Ah, any*ng!” maki Reza dengan badan yang sudah mulai kedinginan. Seluruh pakaiannya basah kuyup, bahkan sampai ke dalam-dalam. Karena emosi, ia sampai melewatkan kediamannya sendiri.“Tol*l!” maki Reza setelah tahu kalau dirinya melewatkan rumahnya sendiri. Ia mendadak abai dengan keadaan di depan hingga tak bisa menghindari sebuah lubang. Alhasil,