“Silaing butuh bantuan kaula?” ujar sosok itu dengan kedua tangan terlipat ke belakang.
Rojali tercenung di tempat, tak bergerak. Ia amati sosok pria di depannya lekat-lekat. Aneh, pikirnya. Kunci pusaka itu tak lagi bersamanya, tetapi sosok itu masih bersuara di pikirannya dan kini malah menemuinya.
“Apa yang kamu inginkan dari saya?” tanya Rojali seraya mulai memasang kuda-kuda. Bersamaan dengan hal itu, ia mendengar suara teriakan yang saling bersahutan dan juga ucapan permintaan tolong entah dari mana.
“Waktunya sudah dekat,” jawab sosok itu.
Rojali berusaha mencerna ucapan barusan. Dugaannya bermuara pada ritual kujang pusaka yang sedang terjadi di Ciboeh. Tak ingin berlama-lama dengan sosok itu, Rojali mengambil keputusan untuk berlari ke arah kubah. Sayang, saat kakinya baru saja melangkah, sosok berpakaian kerajaan itu tiba-tiba berada di depannya.
“Saya tidak punya—” Kalimat Ro
Kereta kencana bergerak maju ke arah persawahan. Kondisi di kanan dan kiri menampilkan keadaan warga yang tak sadarkan diri di beberapa petak sawah, atap saung, pinggiran sungai, jembatan kayu, bahkan ada warga yang tersangkut di tumpukan batu, juga bayi yang menangis di pinggir sungai. Beberapa pocong juga tampak melompat-lompat di sekitar warga.Tak ada perubahan ekspresi dari Rojali. Pandangannya masih kosong meski sudah melihat pemandangan mengerikan. Kalau dengan keadaan normal, ia pasti tak berhenti mengucap istigfar.Kereta berbelok arah begitu sampai di akhir persawahan, lantas melaju ke arah perkampungan kembali. Untuk kedua kalinya, Rojali mendapati pemandangan mengerikan di persawahan. Meski begitu, ia tak dapat melakukan apa pun.Saat kendaraan sampai di jembatan penghubung Cimenyan dan Cigeutih, Rojali kembali melihat Ki Jalu dan Badru yang lagi-lagi gelisah, menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak hanya sam
Badru mendapati raut kecemasan dan ketegangan yang bersemayam di wajah Ki Jalu. Meski tak tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi, pria setengah abad itu memilih bersiaga penuh, berjaga-jaga bila sesuatu yang buruk akan terjadi. Kendati demikian, bibirnya terasa gatal untuk bertanya. “Aya naon, Pak?” tanya Badru. Pandangannya kemudian berubah mengikuti arah pandang Ki Jalu yang tengah mendongak ke langit. Ki Jalu mengembus napas panjang. “Bapak ngarasa kalau ada yang sedang mengawasi kita. Bapak sudah mengerahkan semua kemampuan Bapak, tapi ... Bapak sama sekali teu bisa menemukan siapa-siapa.” Wajah Badru ikut dihantam kebingungan, terlebih saat orang tua tunggalnya berkali-kali melirik langit seperti tengah mencari sesuatu atau justru seseorang. Tak biasanya ia melihat sang bapak segelisah ini. “Apa mungkin aya orang yang menerobos masuk, Pak?” Badru kembali bertanya. Pandangannya kembali memindai sekililing. Wasp
Euis ikut dibuat kaget. Fokus pada kondisi Nunung membuatnya lupa pada anak kecil tadi. “Uden,” panggilnya, “Uden.”Wajah Aep mendadak pucat. Sepanjang penglihatannya, anak kecil itu tak dijumpai di mana pun. Euis sudah mulai menangis sembari berteriak, merasa lalai karena tak memperhatikan Uden.“Teh, Mang,” ucap Uden yang muncul tiba-tiba dari samping mereka. Anak kecil itu memegang dua buah daun talas yang diubah fungsinya menjadi gelas untuk menampung air.“Kamu dari mana atuh, Den?” tanya Euis yang langsung menghambur ke arah Uden.“Saya ... ambil air, Teh.” Uden menunduk, takut dimarahi karena tak izin lebih dahulu.Euis mengembus napas lega. Ia melirik sinis Aep yang sepertinya ingin memarahi Uden.“Biar saya saja yang ambil air,” ujar Aep saat sadar tatapan Euis padanya. “Kalian tunggu di sini.”Aep berjalan ke arah tempat
Uden mengangguk. Ia mengerahkan kekuatan saat menarik gerobak di tengah jembatan. Aep memperhatikan dari sisi jembatan agar bisa bertindak cepat bila terjadi sesuatu. Hingga Uden mencapai tengah jembatan tak ada masalah yang terjadi. Anak laki-laki itu berusaha tenang meski wajahnya tampak tegang. Di seberang jembatan, Euis menyenteri papan kayu sebagai cahaya tambahan dari obor yang terpasang di sisi gerobak. Ia ingin memastikan pergerakan anak kecil itu dengan saksama. Di saat itulah kejutan yang akan memeriahkan malam datang. Bersamaan dengan angin kencang yang tiba-tiba berembus, kumpulan pocong mendadak muncul di sekitar sungai dengan tawa memekakkan. Di antara orang-orang itu, Uden-lah yang pertama kali menyadari. Ia seketika membatu di tengah jembatan, lalu menangis tanpa suara dengan kedua tangan menutup wajah. “Uden, cepat jalan!” teriak Euis, “kunaon kamu ... astagfirullah Teh Nunung.” Euis mendadak dikejutkan dengan tubuh Nun
Gumaman Aep nyatanya didengar oleh Euis. Tanpa bisa dicegah, gadis itu menoleh lagi ke belakang. Saat menemukan seseorang tengah berdiri di ujung seberang, ia buru-buru mengalihkan pandangan lagi ke depan.“Aya naon, Teh?” bisik Uden. Wajahnya ikut tegang saat melihat ekspresi Euis. “Pocong lagi?”“Diam,” bisik Aep dengan suara gemetar, “dan jangan menoleh ke belakang.”Hening seketika menerkam. Meski jarak mulai merenggang, Aep masih mengintip arah belakang melalui ekor mata. Sosok itu kini sudah menjejakkan kaki di jembatan. Di tengah situasi menegangkan, pikiran Aep terus bekerja cepat untuk memikirkan jalan keluar.“Jalan,” ucap Aep. Tarikan napasnya mendadak lebih cepat dua kali lipat.Seolah paham dengan keadaan, Euis dan Uden tak protes soal perintah barusan. Mereka mendorong gerobak dengan tangan gemetar. Meski penasaran, keduanya berusaha untuk tak menoleh ke belakang, me
“Ilham?” ujar Rojali penuh ketidakpercayaan.Rojali mematung di tempat untuk sementara waktu. Matanya memindai pria di depannya dari atas hingga bawah. Beberapa kali netranya mengerjap paksa, seolah ingin membuktikan bahwa sosok yang berada di depannya bukanlah seseorang yang terlibat perkelahian dengannya barusan.Napas Rojali mulai memburu. Tangannya dengan cepat terkepal, memberi sinyal pada rahang dan urat leher untuk menegang. Kilat kemarahan tampak di manik matanya.“Apa maksudnya ini, Ilham?” tanya Rojali dengan emosi yang berusaha ia tekan.Ilham mengembus napas panjang. “Saya hanya diminta untuk menjalankan tugas.”“Tugas?” Wajah Rojali mulai memerah. Kulitnya yang putih membuat hal itu terlihat sangat kontras. “Dari siapa?”Ilham menjeda sejenak. “Tugas untuk membawa kamu menjauh dari desa. Maaf, saya harus menghentikan kamu walau dengan kekerasan sekalipun, Rojali.
Iring-iringan mobil milik pesantren tengah menuju kawasan Ciboeh. Ustaz Ahmad dan Lukman tampak duduk di kendaraan yang berada paling depan. Sang putra kiai sudah mewanti-wanti agar para santri tidak lepas dari zikir untuk menghindari siasat musuh yang akan menghalangi mereka.Saat ini, mobil baru saja memasuki perkebunan. Di saat bersamaan, kegelapan seketika menghantam. Satu-satunya sumber cahaya hanyalah lampu mobil yang bergerak seiring kendaraan menggerus jarak.“Tenangkan diri kamu, Man,” ucap Ustaz Ahmad saat melihat wajah tertekan Lukman.Lukman mengembus napas panjang. Pandangannya teralih pada kepalan tangan yang berada di atas paha. “Saya benar-benar marah sama diri saya sendiri, Ustaz.”Ustaz Ahmad menoleh sesaat, lalu kembali fokus pada jalanan. “Hal yang terpenting saat ini adalah kamu mengakui kesalahan kamu, Man.”“Untuk kedua kalinya saya mengecewakan Kiai, Ustaz.” Lukman tertunduk de
Rojali mendadak merasakan raganya sangat lemas. Kakinya bahkan tak bisa menahan bobot tubuh hingga dirinya terjatuh. Untuk beberapa detik kemudian, waktunya dihabiskan dengan mengumpulkan tenaga.“Mana si penghianat Ilham?” tanya Rojali saat tubuhnya berhasil bangkit. Napasnya terengah seperti habis maraton. Dengan segera matanya memindai sekeliling. Kedua tangan pemuda itu terkepal kuat. Dadanya menjadi sesak saat mengingat kepercayaannya kembali disia-siakan. Meski berat, pada akhirnya ia memilih beristigfar.Setelah tenang, Rojali mengambil kain penutup wajahnya yang tergeletak tak jauh darinya. Dibanding mencari keberadaan Ilham, pemuda itu lebih memilih memprioritaskan tujuannya semula, yakni menyelamatkan Kiai dan menghentikan ritual ini.Untuk itu, Rojali bergerak ke arah kubah merah itu berada. Terakhir kali ia mencoba masuk, ia justru mendapat serangan seperti sengatan listrik. Saat langkahnya kian dekat, Rojali sama sekali tak lagi mendenga