Uden mengangguk. Ia mengerahkan kekuatan saat menarik gerobak di tengah jembatan. Aep memperhatikan dari sisi jembatan agar bisa bertindak cepat bila terjadi sesuatu.
Hingga Uden mencapai tengah jembatan tak ada masalah yang terjadi. Anak laki-laki itu berusaha tenang meski wajahnya tampak tegang. Di seberang jembatan, Euis menyenteri papan kayu sebagai cahaya tambahan dari obor yang terpasang di sisi gerobak. Ia ingin memastikan pergerakan anak kecil itu dengan saksama.
Di saat itulah kejutan yang akan memeriahkan malam datang. Bersamaan dengan angin kencang yang tiba-tiba berembus, kumpulan pocong mendadak muncul di sekitar sungai dengan tawa memekakkan.
Di antara orang-orang itu, Uden-lah yang pertama kali menyadari. Ia seketika membatu di tengah jembatan, lalu menangis tanpa suara dengan kedua tangan menutup wajah.
“Uden, cepat jalan!” teriak Euis, “kunaon kamu ... astagfirullah Teh Nunung.” Euis mendadak dikejutkan dengan tubuh Nun
Gumaman Aep nyatanya didengar oleh Euis. Tanpa bisa dicegah, gadis itu menoleh lagi ke belakang. Saat menemukan seseorang tengah berdiri di ujung seberang, ia buru-buru mengalihkan pandangan lagi ke depan.“Aya naon, Teh?” bisik Uden. Wajahnya ikut tegang saat melihat ekspresi Euis. “Pocong lagi?”“Diam,” bisik Aep dengan suara gemetar, “dan jangan menoleh ke belakang.”Hening seketika menerkam. Meski jarak mulai merenggang, Aep masih mengintip arah belakang melalui ekor mata. Sosok itu kini sudah menjejakkan kaki di jembatan. Di tengah situasi menegangkan, pikiran Aep terus bekerja cepat untuk memikirkan jalan keluar.“Jalan,” ucap Aep. Tarikan napasnya mendadak lebih cepat dua kali lipat.Seolah paham dengan keadaan, Euis dan Uden tak protes soal perintah barusan. Mereka mendorong gerobak dengan tangan gemetar. Meski penasaran, keduanya berusaha untuk tak menoleh ke belakang, me
“Ilham?” ujar Rojali penuh ketidakpercayaan.Rojali mematung di tempat untuk sementara waktu. Matanya memindai pria di depannya dari atas hingga bawah. Beberapa kali netranya mengerjap paksa, seolah ingin membuktikan bahwa sosok yang berada di depannya bukanlah seseorang yang terlibat perkelahian dengannya barusan.Napas Rojali mulai memburu. Tangannya dengan cepat terkepal, memberi sinyal pada rahang dan urat leher untuk menegang. Kilat kemarahan tampak di manik matanya.“Apa maksudnya ini, Ilham?” tanya Rojali dengan emosi yang berusaha ia tekan.Ilham mengembus napas panjang. “Saya hanya diminta untuk menjalankan tugas.”“Tugas?” Wajah Rojali mulai memerah. Kulitnya yang putih membuat hal itu terlihat sangat kontras. “Dari siapa?”Ilham menjeda sejenak. “Tugas untuk membawa kamu menjauh dari desa. Maaf, saya harus menghentikan kamu walau dengan kekerasan sekalipun, Rojali.
Iring-iringan mobil milik pesantren tengah menuju kawasan Ciboeh. Ustaz Ahmad dan Lukman tampak duduk di kendaraan yang berada paling depan. Sang putra kiai sudah mewanti-wanti agar para santri tidak lepas dari zikir untuk menghindari siasat musuh yang akan menghalangi mereka.Saat ini, mobil baru saja memasuki perkebunan. Di saat bersamaan, kegelapan seketika menghantam. Satu-satunya sumber cahaya hanyalah lampu mobil yang bergerak seiring kendaraan menggerus jarak.“Tenangkan diri kamu, Man,” ucap Ustaz Ahmad saat melihat wajah tertekan Lukman.Lukman mengembus napas panjang. Pandangannya teralih pada kepalan tangan yang berada di atas paha. “Saya benar-benar marah sama diri saya sendiri, Ustaz.”Ustaz Ahmad menoleh sesaat, lalu kembali fokus pada jalanan. “Hal yang terpenting saat ini adalah kamu mengakui kesalahan kamu, Man.”“Untuk kedua kalinya saya mengecewakan Kiai, Ustaz.” Lukman tertunduk de
Rojali mendadak merasakan raganya sangat lemas. Kakinya bahkan tak bisa menahan bobot tubuh hingga dirinya terjatuh. Untuk beberapa detik kemudian, waktunya dihabiskan dengan mengumpulkan tenaga.“Mana si penghianat Ilham?” tanya Rojali saat tubuhnya berhasil bangkit. Napasnya terengah seperti habis maraton. Dengan segera matanya memindai sekeliling. Kedua tangan pemuda itu terkepal kuat. Dadanya menjadi sesak saat mengingat kepercayaannya kembali disia-siakan. Meski berat, pada akhirnya ia memilih beristigfar.Setelah tenang, Rojali mengambil kain penutup wajahnya yang tergeletak tak jauh darinya. Dibanding mencari keberadaan Ilham, pemuda itu lebih memilih memprioritaskan tujuannya semula, yakni menyelamatkan Kiai dan menghentikan ritual ini.Untuk itu, Rojali bergerak ke arah kubah merah itu berada. Terakhir kali ia mencoba masuk, ia justru mendapat serangan seperti sengatan listrik. Saat langkahnya kian dekat, Rojali sama sekali tak lagi mendenga
“Ujang?” gumam Aep dengan raut ketidakpercayaan.Aep mendadak mundur hingga pantatnya mencium tanah dengan keras. Rasa sakitnya tak sebanding dengan keterkejutan yang tengah ia rasakan.“Ka mana wae kamu, Jang?” tanya Aep seraya berdiri. Pandangannya segera menyisir sekeliling. “Saya baru saja dikejar Rojali.”“Saya yang kejar kamu, Ep,” jawab Ujang setelah matanya mengawasi sekeliling.Aep mundur selangkah, lantas memaksakan senyum. “Moal mungkin itu kamu atuh, Jang. Lagi pula untuk apa kamu melakukan itu? Saya yakin kalau ini ulah si Rojali.”“Harusnya kamu sudah tahu dengan siapa kamu bicara saat ini, Ep,” sahut Ujang.Aep menggeleng kuat saat mendengar jawaban Ujang barusan. Seiring dengan pandangannya yang masih memindai sekeliling, jantungnya kian berdegup kencang. Pria itu berusaha agar pikirannya tak bermuara pada satu hal.&ldqu
Rojali menoleh ke tempat yang baru saja ia lewati. Lukman sama sekali tak menyusulnya, dan itu menjadi pertanda bahwa kubah gaib ini masih bekerja. Hal ini cukup aneh karena dirinya sama sekali tak melakukan apa pun untuk bisa menerobos pelindung musuh. Rojali menyisir keadaan sekeliling. Pemuda itu baru ingat bila sosok serupa dirinya itu mengatakan akan membantunya. Tentu ia percaya jika semua terjadi atas kuasa Allah, bukan dari makhluk lain. Kemampuan untuk bisa keluar-masuk kubah ini dengan bebas akan digunakan olehnya untuk bisa menolong orang-orang yang bernasib sama dengan Reza dan Pak Dede. Rojali kembali berlari sepanjang jalan. Penampakan pocong yang melompat di sekitarnya tak lagi menjadi ancaman atau sumber ketakutan. Makhluk-makhluk itu nyatanya menjauh dengan sendirinya. “Itu ... Kang Mahmud,” ucap Rojali saat melihat pria itu menelungkup tak sadarkan diri. Saat berada dalam jarak dekat, ia melihat genangan darah. Rojali memindai sekeli
Asep keluar dari persembunyian setelah merasa kondisi aman. Meski begitu, ia sama sekali tak menurunkan kewaspadaan. Agar tak menimbulkan kecurigaan, pria itu terpaksa merangkak untuk mendekati objek yang dituju. “Ep, Ep,” panggil Asep sembari menepuk pipi Aep beberapa kali. “Ini saya ... Asep.” Asep mengawasi sekeliling, kemudian menepuk kembali pipi sahabatnya dengan agak keras. Ia menoleh ke arah sungai di mana dua pria berbusana hitam berada. Aep mengerjap beberapa kali. Saat membuka mata, kepalanya terasa pening seakan dihantam batu besar. Objek yang ia lihat masih berupa tampilan blur. Namun, ia masih bisa mendengar suara yang dikenalnya dengan jelas. “Ep, bangun,” ujar Asep dengan pandangan masih tertuju pada dua orang di sekitar sungai. “Sep,” lirih Aep yang kemudian disusul batuk yang mengeluarkan darah. Asep membantu Aep untuk mendudukkan tubuh. Kondisi sahabatnya benar-benar babak belur. “Ep,” gumamnya cemas, “kamu tidak apa
Aep tertegun seketika. Ia melihat keseriusan di wajah Asep. Tak ada juga kebohongan di sana. Meski begitu, tetap saja ia tidak terima dikhianati.“Ep,” panggil Asep dengan suara lemah.Aep berbalik menunggungi Asep.“Kalau saja Ujang serius dengan ucapannya tadi, sudah pasti Ujang tidak segan-segan membunuh kamu,” jelas Asep, “tapi nyatanya kamu masih hidup, Ep.”Asep mundur beberapa langkah, mengamati punggung Aep yang tampak bergetar. Semua hal ini mungkin berat untuk langsung diterima oleh Aep, pikirnya.“Kita harus tolong Ujang, Ep,” ujar Asep, “kita harus bantu dia agar bisa menggagalkan ritual ini.”Aep menenggelamkan wajah. Kedua tangannya terkepal kuat. “Saya ... tidak peduli lagi, Sep. Lagi pula untuk apa saya harus nolong Ujang? Dia itu penjahat. Dia ... yang sudah bunuh Mbah Atim. Dia juga yang sudah bunuh Ki Udin.”“Ep,” ucap Asep tak