Share

132

Penulis: Ramdani Abdul
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-19 15:10:42

“Ujang?” gumam Aep dengan raut ketidakpercayaan.

Aep mendadak mundur hingga pantatnya mencium tanah dengan keras. Rasa sakitnya tak sebanding dengan keterkejutan yang tengah ia rasakan.

Ka mana wae kamu, Jang?” tanya Aep seraya berdiri. Pandangannya segera menyisir sekeliling. “Saya baru saja dikejar Rojali.”

“Saya yang kejar kamu, Ep,” jawab Ujang setelah matanya mengawasi sekeliling.

Aep mundur selangkah, lantas memaksakan senyum. “Moal mungkin itu kamu atuh, Jang. Lagi pula untuk apa kamu melakukan itu? Saya yakin kalau ini ulah si Rojali.”

“Harusnya kamu sudah tahu dengan siapa kamu bicara saat ini, Ep,” sahut Ujang.

Aep menggeleng kuat saat mendengar jawaban Ujang barusan. Seiring dengan pandangannya yang masih memindai sekeliling, jantungnya kian berdegup kencang. Pria itu berusaha agar pikirannya tak bermuara pada satu hal.

&ldqu

Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Kafan Hitam   133

    Rojali menoleh ke tempat yang baru saja ia lewati. Lukman sama sekali tak menyusulnya, dan itu menjadi pertanda bahwa kubah gaib ini masih bekerja. Hal ini cukup aneh karena dirinya sama sekali tak melakukan apa pun untuk bisa menerobos pelindung musuh. Rojali menyisir keadaan sekeliling. Pemuda itu baru ingat bila sosok serupa dirinya itu mengatakan akan membantunya. Tentu ia percaya jika semua terjadi atas kuasa Allah, bukan dari makhluk lain. Kemampuan untuk bisa keluar-masuk kubah ini dengan bebas akan digunakan olehnya untuk bisa menolong orang-orang yang bernasib sama dengan Reza dan Pak Dede. Rojali kembali berlari sepanjang jalan. Penampakan pocong yang melompat di sekitarnya tak lagi menjadi ancaman atau sumber ketakutan. Makhluk-makhluk itu nyatanya menjauh dengan sendirinya. “Itu ... Kang Mahmud,” ucap Rojali saat melihat pria itu menelungkup tak sadarkan diri. Saat berada dalam jarak dekat, ia melihat genangan darah. Rojali memindai sekeli

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-19
  • Kafan Hitam   134

    Asep keluar dari persembunyian setelah merasa kondisi aman. Meski begitu, ia sama sekali tak menurunkan kewaspadaan. Agar tak menimbulkan kecurigaan, pria itu terpaksa merangkak untuk mendekati objek yang dituju. “Ep, Ep,” panggil Asep sembari menepuk pipi Aep beberapa kali. “Ini saya ... Asep.” Asep mengawasi sekeliling, kemudian menepuk kembali pipi sahabatnya dengan agak keras. Ia menoleh ke arah sungai di mana dua pria berbusana hitam berada. Aep mengerjap beberapa kali. Saat membuka mata, kepalanya terasa pening seakan dihantam batu besar. Objek yang ia lihat masih berupa tampilan blur. Namun, ia masih bisa mendengar suara yang dikenalnya dengan jelas. “Ep, bangun,” ujar Asep dengan pandangan masih tertuju pada dua orang di sekitar sungai. “Sep,” lirih Aep yang kemudian disusul batuk yang mengeluarkan darah. Asep membantu Aep untuk mendudukkan tubuh. Kondisi sahabatnya benar-benar babak belur. “Ep,” gumamnya cemas, “kamu tidak apa

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-20
  • Kafan Hitam   135

    Aep tertegun seketika. Ia melihat keseriusan di wajah Asep. Tak ada juga kebohongan di sana. Meski begitu, tetap saja ia tidak terima dikhianati.“Ep,” panggil Asep dengan suara lemah.Aep berbalik menunggungi Asep.“Kalau saja Ujang serius dengan ucapannya tadi, sudah pasti Ujang tidak segan-segan membunuh kamu,” jelas Asep, “tapi nyatanya kamu masih hidup, Ep.”Asep mundur beberapa langkah, mengamati punggung Aep yang tampak bergetar. Semua hal ini mungkin berat untuk langsung diterima oleh Aep, pikirnya.“Kita harus tolong Ujang, Ep,” ujar Asep, “kita harus bantu dia agar bisa menggagalkan ritual ini.”Aep menenggelamkan wajah. Kedua tangannya terkepal kuat. “Saya ... tidak peduli lagi, Sep. Lagi pula untuk apa saya harus nolong Ujang? Dia itu penjahat. Dia ... yang sudah bunuh Mbah Atim. Dia juga yang sudah bunuh Ki Udin.”“Ep,” ucap Asep tak

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-20
  • Kafan Hitam   136

    Kiai, Mbah Atim dan Mbah Jaja dari tempat berbeda menyadari bila kubah gaib menghilang. Anggota Kalong Hideung yang menyerang mereka pun mundur dan berlari ke arah desa.“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Kiai seraya menyimpan kembali serbannya. Pandangannya menyisir sekeliling, kemudian terhenti saat menyadari sesuatu. “Rojali.”Raut wajah Kiai berubah cemas. Ia yang tersudut sampai di persawahan buru-buru bergerak ke arah desa, berjalan melalui jalan setapak. Aksinya juga diikuti oleh Mbah Jaja dan Mbah Atim di lokasi berbeda.Di luar desa, Lukman ikut menyadari kalau penghalang gaib menghilang saat tangannya lolos ketika menyentuh batas di mana tubuhnya terpental. Merasa ini adalah kesempatan, ia segera meminta para santri yang tersisa untuk berkumpul.“Kita akan masuk ke desa dan menyelamatkan warga yang terluka. Untuk warga yang masih bisa bergerak, suruh mereka untuk segera keluar dari desa secepatnya,” perintah

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-20
  • Kafan Hitam   137

    Badru baru saja tiba di tengah jembatan. Pandangannya segera menyisir sekeliling saat tak melihat keberadaan Ki Jalu di sana. Wajahnya kian meraut cemas sekaligus ketakutan di waktu bersamaan.Tak lama setelah kedatangannya, anggota Kalong Hideung yang lain ikut berkumpul di jembatan. Mereka menyadari jika kubah gaib itu sudah menghilang.“Cari Ki Jalu!” perintah Badru tanpa menoleh sedikit pun pada anggotanya.Secara serempak, lima orang itu segera mencari keberadaan Ki Jalu. Penyisiran mereka terhenti ketika Engkos berhasil menemukan kakek tua itu di bawah pohon.“Kang,” panggil Engkos.Badru segera mendekat. Saat mendapati sang bapak terbaring di tanah, ia segera membawa tubuh Ki Jalu ke dalam pangkuannya. “Saha nu geus ngalakukeun ieu (Siapa yang sudah melakukan ini), Pak?” tanya dengan ray geramKi Jalu berusaha untuk duduk. Pandangannya segera memindai anggota Kalong Hideung yang ad

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-20
  • Kafan Hitam   138

    Ustaz Ahmad dan Ilham segera mendekat ke arah orang tua mereka masing-masing. Baik Kiai maupun Mbah Atim masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Di tengah kepanikan, Ustaz Ahmad melihat sosok Rojali dari jarak agak jauh tengah memunggunginya.“Rojali!” panggil Ustaz Ahmad sembari melambaikan tangan. “Bantu saya, cepat! Kiai pingsan.”Di sisi lain, Ilham memapah Mbah Atim keluar dari rumah warga. Ia mendudukan pria tua itu di bawah pohon. Saat menoleh ke rumah samping, pria itu melihat jika dinding bangunannya ikut berlubang.“Pak.” Ilham menepuk bahu Mbah Atim beberapa kali. Setelah memeriksa kondisi sang bapak, ia segera memindai sekeliling, kemudian menemukan sosok Rojali tengah berada di sebuah tanah lapang. Ketika menoleh ke arah Ustaz Ahmad, Ilham bisa melihat dan mendengar kalau pria itu terus-menerus memanggil nama Rojali.Ilham paham akan situasi yang terjadi. Untuk itu, ia kembali memapah Mbah Atim, lalu mendeka

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-21
  • Kafan Hitam   139

    Engkos dan komplotan Kalong Hideung berhenti saat menemukan seseorang yang tengah berdiri di depan reruntuhan sebuah rumah. Ia kemudian memberi kode pada anggota yang lain untuk mengepung pria itu. “Rojali,” gumam Engkos sembari memberi aba-aba untuk menyerang. Dengan perbedaan jumlah yang sangat kentara, ustaz muda itu tidak mungkin bisa selamat maupun meloloskan diri, pikirnya. Para anggota Kalong Hideung mendekat dengan gerakan senyap. Ketika jarak sudah menipis, tiba-tiba saja mereka dibuat kebingungan saat sosok pria itu menghilang dari pandangan. “Tong wani-wani ngahalangan kaula (Jangan berani menghalangi saya),” ucap Raden Arya melalui sosok Rojali. Mendengar ucapan tersebut, sontak saja Engkos dan anggota Kalong Hideung yang lain terkejut. Pandangan mereka segera menyisir sekeliling. Komplotan itu dibuat terperanjat saat menemukan Rojali sudah berada di di belakang mereka. “Rojali,” geram Engkos meski sosok di depannya masih

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-21
  • Kafan Hitam   140

    Aep menarik napas panjang sebelum melompat ke sungai. Pria itu berenang untuk sampai di tempat seberang. Ia bergegas naik meski sekujur tubuhnya terasa sakit dan kedinginan. Untuk kedua kalinya, raganya harus basah oleh air sungai.Aep menoleh ke arah seberang, tepatnya pada Asep yang tengah memapah Ujang. Walau ia belum mengetahui misteri di balik semua peristiwa yang terjadi, ia tak punya pilihan lain selain menurut pada perkataan Ujang dan Asep.Dengan kondisi tubuh yang sudah dilanda kelelahan, Aep berlari sepanjang perkebunan bersama senter kecil yang tengah ia pegang. Syukurlah benda ini tidak mati saat dirinya terjun ke sungai. Pria itu mendapati jejak roda gerobak di sepanjang lokasi yang dilaluinya. Kemungkinan besar Euis dan yang lain terus berjalan sesuai dengan perintahnya. Melihat kondisi yang ada, Aep menduga jika mereka tidak mungkin bisa bergerak dengan cepat.Aep berhenti sesaat untuk menstabilkan napas. Saat menyisir keadaan, hanya ada kegelapa

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-21

Bab terbaru

  • Kafan Hitam   09 - Kafan Hitam (Ending)

    “Ini satu-satunya cara, Kang. Kita tidak punya pilihan lain.”Mbah Jaja akhirnya setuju setelah agak lama berpikir. “Aing bakal pasang pagar gaib lebih dulu.”Sebuah kubah segera melingkupi seluruh gubuk. Di pandangan orang biasa, bangunan itu akan tampak seperti halaman kosong.Mbah Atim dan Mbah Jaja dengan cepat duduk bersila di depan dan belakang orang gila itu. Mulut mereka mulai berkomat-kamit membaca mantra. Butuh kekuatan dan konsentrasi tinggi untuk bisa menggunakan ajian pengubah raga.Tubuh orang gila itu secara tiba-tiba bergetar beberapa kali. Mulutnya terbuka dengan kondisi bola mata memelotot seperti hendak meloncat. Raganya kemudian berguling-guling di lantai, dan tidak lama setelahnya, fisik pria edan itu persis menyerupai Mbah Atim.“Semoga saja si Jalu tidak sadar,” ujar Mbah Atim yang berdiri dengan wajah pucat. Keringat mulai membanjiri keningnya. Tenaganya benar-benar terkuras habis

  • Kafan Hitam   09 - Kafan Hitam (Part 1)

    1990Sehari sebelum kejadian penemuan jenazah tanpa kepalaCiboeh sangat panas siang ini. Debu-debu berterbangan ketika kaki melangkah dan roda kendaraan menggerus jalan. Beberapa warga tampak menyiram air ke halaman untuk mengusir panas. Meski begitu, tawa anak-anak terdengar bersahutan ketika mereka tengah mengerumuni seorang pria berpakaian kumal.“Nugelo (orang gila)! Nugelo!” Anak-anak kompak meneriaki seorang pria yang tengah berjongkok di tengah mereka.Orang gila itu melirik ke kanan dan ke kiri. Sesekali tangannya menepis ranting yang disodorkan anak-anak padanya. Bibirnya bergerak seperti menggumamkan sesuatu.Seorang anak laki-laki tiba-tiba saja melempar ranting ke sembarang arah ketika melihat Rojali dan Reza tengah berjalan ke arah mereka.“Ada Ustaz Rojali,” ujar Uden, “ayo kabur sebelum kita dihukum.”“H

  • Kafan Hitam   166

    Dua hari setelah kepergian Kiai, Rojali berkunjung ke Ciboeh bersama Lukman dan Ustaz Ahmad. Pemuda itu sudah mendengar kondisi desa dari keduanya yang porak poranda akibat ritual. Akan tetapi, ia berhasil dibuat terkejut ketika melihat keadaan Ciboeh secara langsung.Saat melewati gerbang desa, ia melihat gapura hancur sebagian. Lebih dekat ke arah utara, banyak rumah roboh dan hancur seperti baru diterjang badai. Kondisi lebih mengerikan tersaji ketika mobil melewati Kampung Cimenyan. Beberapa rumah tampak rata dengan tanah. Tak heran jika berita yang ditayangkan di televisi dan radio menunjukkan bahwa desa ini diserang bencana alam.Mobil menepi di depan reruntuhan kediaman Rojali. Pemuda bermata sipit itu turun bersama Ustaz Ahmad dan Lukman. Ketiganya menatap tanah kosong di mana beberapa puing bangunan masih berada di sana.“Kang Rojali,” ujar Euis yang muncul dari arah samping rumah, “apa itu benar Kang Rojali?” Rojal

  • Kafan Hitam   165

    Ustaz Ahmad benar-benar merasa gelisah sepanjang waktu. Pikirannya tertuju pada kondisi sang bapak yang masih berada di rumah sakit. Ia hanya duduk memandang perapian di depan, sama sekali belum menyentuh air atau makanan.“Ustaz,” panggil Lukman yang duduk di sampingnya, “sebaiknya Ustaz mengisi tenaga lebih dahulu. Setelahnya, Ustaz bisa berisitirahat.”Ustaz Ahmad mengembus napas panjang, mengangguk pelan. Ia menghabiskan makanan dengan cepat, lalu berbaring di bangku panjang yang berada tak jauh dari tempat dirinya dan Lukman duduk.Sepinya keadaan Cimayit, berbanding terbalik dengan situasi yang ada di pesantren. Tangis kesedihan begitu mendominasi para santri dan tamu yang hadir. Meninggalnya Kiai Rohmat dengan cepat tersebar. Sayang, di saat seperti ini, sang putra justru berada jauh dan belum tahu mengenai kondisi sang bapak.Para pelayat tengah mengerumuni jenazah Kiai Rohmat. Bacaan surat Yasin saling bersahutan dari mulu

  • Kafan Hitam   164

    Rojali, Ustaz Ahmad, Ilham dan Lukman tiba di Lancah Darah saat siang menjelang. Mobil menepi di tempat terakhir kali mereka memarkirkan kendaraan.“Sebaiknya kita berangkat sekarang,” ujar Ilham dengan pandangan menelisik sekeliling, “jika tidak bergegas, mungkin saja kita akan tiba malam hari.”Setelah memastikan kendaraan aman, keempat pria itu memulai perjalanan memasuki hutan Lancah Darah. Pemandangan indah yang ditawarkan kawasan ini tidak akan berlangsung lama ketika matahari tenggelam.Seperti apa yang dikatakan orang-orang, Lancah Darah menjadi tempat yang “haram” untuk dikunjungi orang. Tak hanya kisah mistis yang melekat, tetapi tentang sekelompok orang yang susah disentuh, termasuk aparat sekalipun.Rombongan beristirahat di pinggiran sungai untuk melaksanakan salat, juga untuk menyantap bekal. Mereka sudah mencapai setengah perlajanan saat langit mulai bersolek lembayung. Kumpulan burung-burung terban

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 8)

    Ciboeh, 1989Selesai salat subuh berjemaah, para tetua desa yang dipimpin Pak Dede memasuki kantor desa. Mereka duduk melingkar beralas tikar tanpa camilan atau air segelas pun. Dilihat dari wajah dan gestur mereka, tampak ada hal penting yang harus segera mereka diskusikan.Hujan mendadak mengguyur deras. Angin tampak menerobos di sela-sela lubang pintu dan jendela, membawa udara dingin. “Jangan sampai ada yang masuk ke kantor, Man,” ucap Pak Dede pada Eman yang berjaga di pintu.“Siap, Pak Kades.” Eman mengacungkan jempol.Ruangan hanya diterangi lampu kecil sehingga cahaya hanya menyinari tengah ruangan, sedang gelap memeluk keadaaan sekelililing. “Kalian sudah memastikan kalau Rojali tidak ada di desa?” tanya Pak Dede sembari mengamati satu per satu orang yang hadir.“Sudah, Pak Dede,” jawab Pak Yayat, “Ustaz Rojali mengabari kalau selama dua hari

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 8)

    Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memamerkan bulatan sempurna bercahaya keperakan. Di sisi sungai, Mbah Atim dan Mbah Jaja tampak berdiri menunggu kedatangan Ujang. Sudah lewat beberapa menit dari waktu perjanjian.“Awas saja kalau si Ujang mengkhianati kita, Juned,” ucap Mbah Jaja penuh amarah, “aing tidak segan bunuh istri, mertua dan anaknya sekaligus.”“Kita tunggu sebentar lagi, Kang,” sahut Mbah Atim menenangkan. Pandangannya tertuju pada seberang sungai, di mana pekatnya hutan hanya bisa menampilkan kegelapan. Ia mulai tak enak berdiri, pasalnya Mbah Jaja bisa saja nekat, dan saat itu terjadi ia tidak bisa melakukan banyak hal.“Sampai kapan kita harus menunggu si Ujang, Juned?” tanya Mbah Jaja sembari mengeluarkan pisau kecil, memandanginya dengan lekat-lekat. “Bisa saja dia berubah pikiran dan mengkhianati perjanjian kita.”“Saya yakin Ujang pasti datang ke si

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 6)

    Hujan deras yang mengguyur Ciboeh beberapa hari terakhir mengakibatkan bencana longsor. Peristiwa itu terjadi bakda subuh saat para warga sudah mulai bersiap menyambut hari. Lokasi terjadinya bencana berada di perbatasan Cigeutih dan Cimenyan. Hal itu menyebabkan beberapa rumah di dua kampung rusak karena tertimbun. Untungnya tidak ada korban jiwa.Para korban yang berhasil selamat diungsikan di rumah-rumah saudara. Warga saling bergotong royong membantu membersihkan tanah yang menghalangi jalan dan menutup akses jembatan yang menghubungkan kedua kampung.Setelah jembatan dapat kembali dibuka, Rojali berinisiatif meminta bantuan pada pesantren. Syukur dipanjatkan, Kiai mengirim bantuan dengan menerjunkan lima puluh santri ke Ciboeh. Dalam waktu sehari, lokasi sekitar bencana kembali normal meski rumah tampak ambruk.Hari berikutnya, warga masih berjibaku dengan sisa tanah longsor yang masih tertimbun di beberapa bagian sudut desa. Tanpa disangka-sangka, se

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 5)

    Sebuah motor tampak melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Kampung Cigeutih. Gerimis tak lama kemudian berubah menjadi hujan lebat. Reza yang berada di atas kendaraan mencibir dengan penuh sumpah serapah. Ia mempercepat laju motor hingga kendaraan bergetar beberapa kali karena menorobos jalan berbatu dan berlubang.Reza berdecak, melempar rokok sembarang. Saat menoleh pada pos ronda, ia sama sekali tidak melihat teman-temannya berkumpul. Dengan terpaksa pemuda itu harus pulang ke rumah, padahal siang tadi ia bersitegang dengan bapaknya. Malas sebenarnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.“Ah, any*ng!” maki Reza dengan badan yang sudah mulai kedinginan. Seluruh pakaiannya basah kuyup, bahkan sampai ke dalam-dalam. Karena emosi, ia sampai melewatkan kediamannya sendiri.“Tol*l!” maki Reza setelah tahu kalau dirinya melewatkan rumahnya sendiri. Ia mendadak abai dengan keadaan di depan hingga tak bisa menghindari sebuah lubang. Alhasil,

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status