Share

138

Author: Ramdani Abdul
last update Last Updated: 2022-01-21 14:41:34

Ustaz Ahmad dan Ilham segera mendekat ke arah orang tua mereka masing-masing. Baik Kiai maupun Mbah Atim masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Di tengah kepanikan, Ustaz Ahmad melihat sosok Rojali dari jarak agak jauh tengah memunggunginya.

“Rojali!” panggil Ustaz Ahmad sembari melambaikan tangan. “Bantu saya, cepat! Kiai pingsan.”

Di sisi lain, Ilham memapah Mbah Atim keluar dari rumah warga. Ia mendudukan pria tua itu di bawah pohon. Saat menoleh ke rumah samping, pria itu melihat jika dinding bangunannya ikut berlubang.

“Pak.” Ilham menepuk bahu Mbah Atim beberapa kali. Setelah memeriksa kondisi sang bapak, ia segera memindai sekeliling, kemudian menemukan sosok Rojali tengah berada di sebuah tanah lapang. Ketika menoleh ke arah Ustaz Ahmad, Ilham bisa melihat dan mendengar kalau pria itu terus-menerus memanggil nama Rojali.

Ilham paham akan situasi yang terjadi. Untuk itu, ia kembali memapah Mbah Atim, lalu mendeka

Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Kafan Hitam   139

    Engkos dan komplotan Kalong Hideung berhenti saat menemukan seseorang yang tengah berdiri di depan reruntuhan sebuah rumah. Ia kemudian memberi kode pada anggota yang lain untuk mengepung pria itu. “Rojali,” gumam Engkos sembari memberi aba-aba untuk menyerang. Dengan perbedaan jumlah yang sangat kentara, ustaz muda itu tidak mungkin bisa selamat maupun meloloskan diri, pikirnya. Para anggota Kalong Hideung mendekat dengan gerakan senyap. Ketika jarak sudah menipis, tiba-tiba saja mereka dibuat kebingungan saat sosok pria itu menghilang dari pandangan. “Tong wani-wani ngahalangan kaula (Jangan berani menghalangi saya),” ucap Raden Arya melalui sosok Rojali. Mendengar ucapan tersebut, sontak saja Engkos dan anggota Kalong Hideung yang lain terkejut. Pandangan mereka segera menyisir sekeliling. Komplotan itu dibuat terperanjat saat menemukan Rojali sudah berada di di belakang mereka. “Rojali,” geram Engkos meski sosok di depannya masih

    Last Updated : 2022-01-21
  • Kafan Hitam   140

    Aep menarik napas panjang sebelum melompat ke sungai. Pria itu berenang untuk sampai di tempat seberang. Ia bergegas naik meski sekujur tubuhnya terasa sakit dan kedinginan. Untuk kedua kalinya, raganya harus basah oleh air sungai.Aep menoleh ke arah seberang, tepatnya pada Asep yang tengah memapah Ujang. Walau ia belum mengetahui misteri di balik semua peristiwa yang terjadi, ia tak punya pilihan lain selain menurut pada perkataan Ujang dan Asep.Dengan kondisi tubuh yang sudah dilanda kelelahan, Aep berlari sepanjang perkebunan bersama senter kecil yang tengah ia pegang. Syukurlah benda ini tidak mati saat dirinya terjun ke sungai. Pria itu mendapati jejak roda gerobak di sepanjang lokasi yang dilaluinya. Kemungkinan besar Euis dan yang lain terus berjalan sesuai dengan perintahnya. Melihat kondisi yang ada, Aep menduga jika mereka tidak mungkin bisa bergerak dengan cepat.Aep berhenti sesaat untuk menstabilkan napas. Saat menyisir keadaan, hanya ada kegelapa

    Last Updated : 2022-01-21
  • Kafan Hitam   141

    Badru tersentak kaget saat melihat tubuh seseorang melewatinya dengan cepat. Tak lama setelahnya, terdengar suara nyaring dari belakang. Pria paruh baya itu memilih memutar arah untuk mengecek sumber suara barusan. Matanya sontak membulat saat menemukan Engkos tergolek tak berdaya di bawah pohon. “Kos, siapa yang melakukan ini?” tanyanya geram.Engkos berusaha untuk duduk, tetapi gagal karena seluruh tubuhnya terasa patah. Di sisi lain, dadanya seperti terbakar. “Ro-Rojali,” ucapnya terbata.Badru menoleh ke arah perkampungan Cimenyan. Kepalan tangannya menguat, tetapi bibirnya justru menyunggingkan senyuman. Saat ia hendak bertanya kembali, Engkos sudah kehilangan kesadaran.Badru kembali berlari ke arah Cimenyan setelah memastikan jika Engkos masih dalam keadaan hidup. Memasuki perkampungan lebih dalam, pria paruh baya itu menjumpai beberapa anggota Kalong Hideung dalam kondisi yang sama seperti Engkos. “Rojali,” geramnya de

    Last Updated : 2022-01-21
  • Kafan Hitam   06 - Kafan Hitam (Part 1)

    Tahun 1988 “Tong wani-wani (jangan berani-berani) kabur!” ujar pria yang mengalungkan pisau di leher Ujang. Ujang tersenyum tipis saat mendengar perkataan tersebut. Dengan gerakan cepat, ia menyikut perut lawan dengan kuat, lalu mendaratkan tendangan ke dada musuh hingga menyebabkan pria tadi terjatuh. Merasa memiliki kesempatan, Ujang bersiap menerobos hutan. Dari jaraknya sekarang, ia bisa kembali ke Legok Kiara dalam setengah jam. Namun, sebelum kakinya berhasil meninggalkan lokasi, sebuah tendangan di punggung berhasil membuat tubuhnya terpental hingga kepalanya menabrak dahan pohon. Ujang mengaduh beberapa saat, dan langusng berdiri setelahnya. Saat akan berbalik, sebuah tangan sudah berada di belakang kepalanya. Ujang berontak dan untungnya berhasil melepas cengkeraman. Ketika raganya memutar arah, ia sudah mendapati seseorang berada di depannya. Ujang berusaha menyerang, tetapi lawan cukup

    Last Updated : 2022-01-22
  • Kafan Hitam   06 - Kafan Hitam (Part 2)

    Dari arah berbeda, Mbah Atim dan Mbah Jaja berjalan mendekat ke arah Ujang sungai. Kedua pria itu menstabilkan napas beberapa saat, menatap pria di atas batu dengan penuh selidik. Kumpulan pocong berkafan hitam itu menjauh meski tetap mengawasi tiga orang yang berada di sungai dengan ekspresi marah.“Jang,” panggil Mbah Atim.“Mbah Atim.” Ujang terperanjat. Saat akan lari, ia malah terjebur ke sungai.“Tong wani-wani kabur maneh! (Tong berani-berani kabur kamu!)” pekik Mbah Jaja yang langsung membekuk Ujang saat pria itu muncul dari air.Dada Ujang ditekan kencang ke arah batu dengan siku, sedang kedua tangannya dikunci kuat oleh Mbah Jaja. Pria itu mengernyit menahan perih.“Ritual maneh gagal, Juned!” teriak Mbah Jaja dengan pandangan memelotot.Mbah Atim menggeleng beberapa kali. Kedua alisnya bertaut bahkan nyaris menjadi satu garis. Ia sudah menjalankan ritual sesuai deng

    Last Updated : 2022-01-22
  • Kafan Hitam   06 - Kafan hitam (Part 3)

    Rojali tengah duduk di bibir kasur sembari menatap potret seseorang. Sudah seminggu setelah kepergian Lilis, tetapi rona wajah pemuda itu masih belum bisa kembali bercahaya. Kepergian sang calon istri benar-benar menjadi pukulan telak baginya. Rojali bahkan sempat sakit selama beberapa hari. Rojali memasukkan kembali foto Lilis ke dalam laci. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam saat pintu kamarnya diketuk dari luar. “Masuk,” ucapnya. Lukman memasuki ruangan dengan senyum hangat. “Jali, Kiai memanggil kamu.” Rojali mengangguk, lantas beranjak dari kasur. Selepas berada di depan pintu ruangan Kiai, pemuda itu mengembus napas panjang. “Ka-kamu baik-baik saja, Jali?” tanya Lukman dengan raut khawatir. Ia masih melihat rona kesedihan di wajah sang sahabat. Rojali tersenyum tipis, kemudian mengangguk. Setelah Lukman pergi, ia mulai mengetuk pintu. Begitu Kiai memberi izin, pemuda itu segera memasuki ruangan. Rojali duduk bersila di d

    Last Updated : 2022-01-22
  • Kafan Hitam   142

    “Kita terlambat, Juned,” ucap Mbah Jaja.“Serbuk ini sudah menyebar ke seisi desa, Kang,” sahut Mbah Atim dengan pandangan mengitari sekitar.Kedua pria tua itu seketika duduk bersila, kemudian mulai komat-kamit mengucap mantra. Tubuh mereka kini dikelilingi cahaya kemerahan.Melihat hal itu, Ki Jalu tak bisa berbuat banyak. Tenaganya benar-benar terkuras setelah menyelesaikan rangkaian ritual pemanggilan barusan. Ia ikut duduk bersila untuk memulihkan diri. Dengan adanya serbuk yang menyebar ke seluruh desa, maka para warga yang tersebar di berbagai sudut akan mendatangi tempat kujang itu berada.Di tempat lain, komplotan warga yang dipimpin Pak Juju berhenti ketika melihat serbuk merah yang turun dari langit.“Naon ieu?” tanya Pak Juju seraya menelisik sekeliling. Warga yang bersamanya ikut melakukan hal serupa. “Sebaiknya ....”Ucapan Pak Juju terhenti ketika kesadarannya mendadak l

    Last Updated : 2022-01-23
  • Kafan Hitam   143

    Perkataan Ilham didengar oleh Ki Jalu yang tengah berlutut. Matanya dengan cepat membeliak heran. Namun, ia tidak bisa melakukan apa pun saat ini.“Kita harus segera lari dari sini, Juned,” kata Mbah Jaja dengan tangan gemetar.“Dengan kekuatan kita sekarang, kita tidak mungkin bisa mengalahkan sosok itu,” sahut Mbah Atim, “lebih baik kita segera bergabung dengan Kiai Rohmat.”Ilham kian dibuat gemetar ketika mendengar percakapan tersebut. Masih basah dalam ingatan bahwa dirinya, sang bapak dan juga gurunya itu dibuat terpelanting hanya dengan satu dorongan tangan.Ilham tiba-tiba merasakan dadanya sesak hingga membuatnya harus berlutut. Hal serupa juga terjadi pada Mbah Atim dan Mbah Jaja, tak terkecuali Ki Jalu yang masih berlutut tepat di belakang Raden Arya.“Tong wani-wani ngahalangan kaula (Jangan berani-berani menghalangi saya),” ujar Raden Arya dengan mata berkilat merah.Mbah

    Last Updated : 2022-01-23

Latest chapter

  • Kafan Hitam   09 - Kafan Hitam (Ending)

    “Ini satu-satunya cara, Kang. Kita tidak punya pilihan lain.”Mbah Jaja akhirnya setuju setelah agak lama berpikir. “Aing bakal pasang pagar gaib lebih dulu.”Sebuah kubah segera melingkupi seluruh gubuk. Di pandangan orang biasa, bangunan itu akan tampak seperti halaman kosong.Mbah Atim dan Mbah Jaja dengan cepat duduk bersila di depan dan belakang orang gila itu. Mulut mereka mulai berkomat-kamit membaca mantra. Butuh kekuatan dan konsentrasi tinggi untuk bisa menggunakan ajian pengubah raga.Tubuh orang gila itu secara tiba-tiba bergetar beberapa kali. Mulutnya terbuka dengan kondisi bola mata memelotot seperti hendak meloncat. Raganya kemudian berguling-guling di lantai, dan tidak lama setelahnya, fisik pria edan itu persis menyerupai Mbah Atim.“Semoga saja si Jalu tidak sadar,” ujar Mbah Atim yang berdiri dengan wajah pucat. Keringat mulai membanjiri keningnya. Tenaganya benar-benar terkuras habis

  • Kafan Hitam   09 - Kafan Hitam (Part 1)

    1990Sehari sebelum kejadian penemuan jenazah tanpa kepalaCiboeh sangat panas siang ini. Debu-debu berterbangan ketika kaki melangkah dan roda kendaraan menggerus jalan. Beberapa warga tampak menyiram air ke halaman untuk mengusir panas. Meski begitu, tawa anak-anak terdengar bersahutan ketika mereka tengah mengerumuni seorang pria berpakaian kumal.“Nugelo (orang gila)! Nugelo!” Anak-anak kompak meneriaki seorang pria yang tengah berjongkok di tengah mereka.Orang gila itu melirik ke kanan dan ke kiri. Sesekali tangannya menepis ranting yang disodorkan anak-anak padanya. Bibirnya bergerak seperti menggumamkan sesuatu.Seorang anak laki-laki tiba-tiba saja melempar ranting ke sembarang arah ketika melihat Rojali dan Reza tengah berjalan ke arah mereka.“Ada Ustaz Rojali,” ujar Uden, “ayo kabur sebelum kita dihukum.”“H

  • Kafan Hitam   166

    Dua hari setelah kepergian Kiai, Rojali berkunjung ke Ciboeh bersama Lukman dan Ustaz Ahmad. Pemuda itu sudah mendengar kondisi desa dari keduanya yang porak poranda akibat ritual. Akan tetapi, ia berhasil dibuat terkejut ketika melihat keadaan Ciboeh secara langsung.Saat melewati gerbang desa, ia melihat gapura hancur sebagian. Lebih dekat ke arah utara, banyak rumah roboh dan hancur seperti baru diterjang badai. Kondisi lebih mengerikan tersaji ketika mobil melewati Kampung Cimenyan. Beberapa rumah tampak rata dengan tanah. Tak heran jika berita yang ditayangkan di televisi dan radio menunjukkan bahwa desa ini diserang bencana alam.Mobil menepi di depan reruntuhan kediaman Rojali. Pemuda bermata sipit itu turun bersama Ustaz Ahmad dan Lukman. Ketiganya menatap tanah kosong di mana beberapa puing bangunan masih berada di sana.“Kang Rojali,” ujar Euis yang muncul dari arah samping rumah, “apa itu benar Kang Rojali?” Rojal

  • Kafan Hitam   165

    Ustaz Ahmad benar-benar merasa gelisah sepanjang waktu. Pikirannya tertuju pada kondisi sang bapak yang masih berada di rumah sakit. Ia hanya duduk memandang perapian di depan, sama sekali belum menyentuh air atau makanan.“Ustaz,” panggil Lukman yang duduk di sampingnya, “sebaiknya Ustaz mengisi tenaga lebih dahulu. Setelahnya, Ustaz bisa berisitirahat.”Ustaz Ahmad mengembus napas panjang, mengangguk pelan. Ia menghabiskan makanan dengan cepat, lalu berbaring di bangku panjang yang berada tak jauh dari tempat dirinya dan Lukman duduk.Sepinya keadaan Cimayit, berbanding terbalik dengan situasi yang ada di pesantren. Tangis kesedihan begitu mendominasi para santri dan tamu yang hadir. Meninggalnya Kiai Rohmat dengan cepat tersebar. Sayang, di saat seperti ini, sang putra justru berada jauh dan belum tahu mengenai kondisi sang bapak.Para pelayat tengah mengerumuni jenazah Kiai Rohmat. Bacaan surat Yasin saling bersahutan dari mulu

  • Kafan Hitam   164

    Rojali, Ustaz Ahmad, Ilham dan Lukman tiba di Lancah Darah saat siang menjelang. Mobil menepi di tempat terakhir kali mereka memarkirkan kendaraan.“Sebaiknya kita berangkat sekarang,” ujar Ilham dengan pandangan menelisik sekeliling, “jika tidak bergegas, mungkin saja kita akan tiba malam hari.”Setelah memastikan kendaraan aman, keempat pria itu memulai perjalanan memasuki hutan Lancah Darah. Pemandangan indah yang ditawarkan kawasan ini tidak akan berlangsung lama ketika matahari tenggelam.Seperti apa yang dikatakan orang-orang, Lancah Darah menjadi tempat yang “haram” untuk dikunjungi orang. Tak hanya kisah mistis yang melekat, tetapi tentang sekelompok orang yang susah disentuh, termasuk aparat sekalipun.Rombongan beristirahat di pinggiran sungai untuk melaksanakan salat, juga untuk menyantap bekal. Mereka sudah mencapai setengah perlajanan saat langit mulai bersolek lembayung. Kumpulan burung-burung terban

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 8)

    Ciboeh, 1989Selesai salat subuh berjemaah, para tetua desa yang dipimpin Pak Dede memasuki kantor desa. Mereka duduk melingkar beralas tikar tanpa camilan atau air segelas pun. Dilihat dari wajah dan gestur mereka, tampak ada hal penting yang harus segera mereka diskusikan.Hujan mendadak mengguyur deras. Angin tampak menerobos di sela-sela lubang pintu dan jendela, membawa udara dingin. “Jangan sampai ada yang masuk ke kantor, Man,” ucap Pak Dede pada Eman yang berjaga di pintu.“Siap, Pak Kades.” Eman mengacungkan jempol.Ruangan hanya diterangi lampu kecil sehingga cahaya hanya menyinari tengah ruangan, sedang gelap memeluk keadaaan sekelililing. “Kalian sudah memastikan kalau Rojali tidak ada di desa?” tanya Pak Dede sembari mengamati satu per satu orang yang hadir.“Sudah, Pak Dede,” jawab Pak Yayat, “Ustaz Rojali mengabari kalau selama dua hari

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 8)

    Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memamerkan bulatan sempurna bercahaya keperakan. Di sisi sungai, Mbah Atim dan Mbah Jaja tampak berdiri menunggu kedatangan Ujang. Sudah lewat beberapa menit dari waktu perjanjian.“Awas saja kalau si Ujang mengkhianati kita, Juned,” ucap Mbah Jaja penuh amarah, “aing tidak segan bunuh istri, mertua dan anaknya sekaligus.”“Kita tunggu sebentar lagi, Kang,” sahut Mbah Atim menenangkan. Pandangannya tertuju pada seberang sungai, di mana pekatnya hutan hanya bisa menampilkan kegelapan. Ia mulai tak enak berdiri, pasalnya Mbah Jaja bisa saja nekat, dan saat itu terjadi ia tidak bisa melakukan banyak hal.“Sampai kapan kita harus menunggu si Ujang, Juned?” tanya Mbah Jaja sembari mengeluarkan pisau kecil, memandanginya dengan lekat-lekat. “Bisa saja dia berubah pikiran dan mengkhianati perjanjian kita.”“Saya yakin Ujang pasti datang ke si

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 6)

    Hujan deras yang mengguyur Ciboeh beberapa hari terakhir mengakibatkan bencana longsor. Peristiwa itu terjadi bakda subuh saat para warga sudah mulai bersiap menyambut hari. Lokasi terjadinya bencana berada di perbatasan Cigeutih dan Cimenyan. Hal itu menyebabkan beberapa rumah di dua kampung rusak karena tertimbun. Untungnya tidak ada korban jiwa.Para korban yang berhasil selamat diungsikan di rumah-rumah saudara. Warga saling bergotong royong membantu membersihkan tanah yang menghalangi jalan dan menutup akses jembatan yang menghubungkan kedua kampung.Setelah jembatan dapat kembali dibuka, Rojali berinisiatif meminta bantuan pada pesantren. Syukur dipanjatkan, Kiai mengirim bantuan dengan menerjunkan lima puluh santri ke Ciboeh. Dalam waktu sehari, lokasi sekitar bencana kembali normal meski rumah tampak ambruk.Hari berikutnya, warga masih berjibaku dengan sisa tanah longsor yang masih tertimbun di beberapa bagian sudut desa. Tanpa disangka-sangka, se

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 5)

    Sebuah motor tampak melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Kampung Cigeutih. Gerimis tak lama kemudian berubah menjadi hujan lebat. Reza yang berada di atas kendaraan mencibir dengan penuh sumpah serapah. Ia mempercepat laju motor hingga kendaraan bergetar beberapa kali karena menorobos jalan berbatu dan berlubang.Reza berdecak, melempar rokok sembarang. Saat menoleh pada pos ronda, ia sama sekali tidak melihat teman-temannya berkumpul. Dengan terpaksa pemuda itu harus pulang ke rumah, padahal siang tadi ia bersitegang dengan bapaknya. Malas sebenarnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.“Ah, any*ng!” maki Reza dengan badan yang sudah mulai kedinginan. Seluruh pakaiannya basah kuyup, bahkan sampai ke dalam-dalam. Karena emosi, ia sampai melewatkan kediamannya sendiri.“Tol*l!” maki Reza setelah tahu kalau dirinya melewatkan rumahnya sendiri. Ia mendadak abai dengan keadaan di depan hingga tak bisa menghindari sebuah lubang. Alhasil,

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status