Dari arah berbeda, Mbah Atim dan Mbah Jaja berjalan mendekat ke arah Ujang sungai. Kedua pria itu menstabilkan napas beberapa saat, menatap pria di atas batu dengan penuh selidik. Kumpulan pocong berkafan hitam itu menjauh meski tetap mengawasi tiga orang yang berada di sungai dengan ekspresi marah.
“Jang,” panggil Mbah Atim.
“Mbah Atim.” Ujang terperanjat. Saat akan lari, ia malah terjebur ke sungai.
“Tong wani-wani kabur maneh! (Tong berani-berani kabur kamu!)” pekik Mbah Jaja yang langsung membekuk Ujang saat pria itu muncul dari air.
Dada Ujang ditekan kencang ke arah batu dengan siku, sedang kedua tangannya dikunci kuat oleh Mbah Jaja. Pria itu mengernyit menahan perih.
“Ritual maneh gagal, Juned!” teriak Mbah Jaja dengan pandangan memelotot.
Mbah Atim menggeleng beberapa kali. Kedua alisnya bertaut bahkan nyaris menjadi satu garis. Ia sudah menjalankan ritual sesuai deng
Rojali tengah duduk di bibir kasur sembari menatap potret seseorang. Sudah seminggu setelah kepergian Lilis, tetapi rona wajah pemuda itu masih belum bisa kembali bercahaya. Kepergian sang calon istri benar-benar menjadi pukulan telak baginya. Rojali bahkan sempat sakit selama beberapa hari. Rojali memasukkan kembali foto Lilis ke dalam laci. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam saat pintu kamarnya diketuk dari luar. “Masuk,” ucapnya. Lukman memasuki ruangan dengan senyum hangat. “Jali, Kiai memanggil kamu.” Rojali mengangguk, lantas beranjak dari kasur. Selepas berada di depan pintu ruangan Kiai, pemuda itu mengembus napas panjang. “Ka-kamu baik-baik saja, Jali?” tanya Lukman dengan raut khawatir. Ia masih melihat rona kesedihan di wajah sang sahabat. Rojali tersenyum tipis, kemudian mengangguk. Setelah Lukman pergi, ia mulai mengetuk pintu. Begitu Kiai memberi izin, pemuda itu segera memasuki ruangan. Rojali duduk bersila di d
“Kita terlambat, Juned,” ucap Mbah Jaja.“Serbuk ini sudah menyebar ke seisi desa, Kang,” sahut Mbah Atim dengan pandangan mengitari sekitar.Kedua pria tua itu seketika duduk bersila, kemudian mulai komat-kamit mengucap mantra. Tubuh mereka kini dikelilingi cahaya kemerahan.Melihat hal itu, Ki Jalu tak bisa berbuat banyak. Tenaganya benar-benar terkuras setelah menyelesaikan rangkaian ritual pemanggilan barusan. Ia ikut duduk bersila untuk memulihkan diri. Dengan adanya serbuk yang menyebar ke seluruh desa, maka para warga yang tersebar di berbagai sudut akan mendatangi tempat kujang itu berada.Di tempat lain, komplotan warga yang dipimpin Pak Juju berhenti ketika melihat serbuk merah yang turun dari langit.“Naon ieu?” tanya Pak Juju seraya menelisik sekeliling. Warga yang bersamanya ikut melakukan hal serupa. “Sebaiknya ....”Ucapan Pak Juju terhenti ketika kesadarannya mendadak l
Perkataan Ilham didengar oleh Ki Jalu yang tengah berlutut. Matanya dengan cepat membeliak heran. Namun, ia tidak bisa melakukan apa pun saat ini.“Kita harus segera lari dari sini, Juned,” kata Mbah Jaja dengan tangan gemetar.“Dengan kekuatan kita sekarang, kita tidak mungkin bisa mengalahkan sosok itu,” sahut Mbah Atim, “lebih baik kita segera bergabung dengan Kiai Rohmat.”Ilham kian dibuat gemetar ketika mendengar percakapan tersebut. Masih basah dalam ingatan bahwa dirinya, sang bapak dan juga gurunya itu dibuat terpelanting hanya dengan satu dorongan tangan.Ilham tiba-tiba merasakan dadanya sesak hingga membuatnya harus berlutut. Hal serupa juga terjadi pada Mbah Atim dan Mbah Jaja, tak terkecuali Ki Jalu yang masih berlutut tepat di belakang Raden Arya.“Tong wani-wani ngahalangan kaula (Jangan berani-berani menghalangi saya),” ujar Raden Arya dengan mata berkilat merah.Mbah
“Bapak saya baik-baik saja. Beliau yang justru meminta kami untuk mencari kamu,” jawab Ustaz Ahmad.Rojali mengembus napas panjang, kemudian mengangguk. Ia bisa sedikit tenang sekarang.“Sebaiknya kita bertindak cepat. Tujuan kita adalah gerbang desa. Dari sana kita akan pergi ke kecamatan dengan menggunakan mobil,” ujar Ustaz Ahmad.Rojali memutar tubuh ketika Ustaz Ahmad memberi kode untuk segera pergi. Namun, baru saja beberapa langkah berlari, terdengar suara benda jatuh bersahutan. Ketika Rojali menoleh, ia justru mendapati Ustaz Ahmad dan Ilham sudah tergeletak pingsan di tanah.“Jadi itu alasan di balik omongan kiai tua itu,” ujar Badru yang berdiri di antara tubuh Ustaz Ahmad dan Ilham. Senyum bengisnya terangkai dengan sempurna.Rojali sontak menutup wajah, kemudian merenggangkan jarak. “Badru,” ucapnya geram.Badru terkekeh, lalu mengeluarkan serban milik Kiai dari balik punggungnya.
Sepuluh menit setelah kepergian Aep, Euis masih berdiri di depan gubuk dengan raut cemas. Beberapa kali gadis itu mondar-mandir di depan pintu, meremas baju sembari menatap halaman gelap di depannya. Amarahnya perlahan reda dan berganti menjadi kekhawatiran.“Astagfirullah.” Euis mengelus dada, mengembus napas panjang.“Kamu masuk saja ke dalam, Is,” ujar Romlah yang muncul dari balik pintu. “Ini sudah malam. Lagi pula ... kamu harus istirahat.”Eusi kembali menghela napas panjang. Pikirannya benar-benar penuh dengan beragam pertanyaan. Tentang kondisi bapaknya, Rojali, penduduk desa, juga Aep yang baru saja pergi. Akan tetapi, saat mengingat suatu hal, ia tiba-tiba berbalik dengan raut penuh amarah.“Apa benar Kang Ujang itu anggota Kalong Hideung?” tanya Euis tiba-tiba.Romlah mundur beberapa langkah. Pandangannya teralih ke arah lain. “Kita ... bicarakan di dalam, Is.”“Apa
Napas Aep sudah terputus-putus ketika kakinya terus dipaksakan bergerak menuju Ciboeh. Tubuhnya menggigil dan serasa remuk di saat bersamaan. Beberapa menit lalu pria itu berenang di sungai, kemudian menaiki daratan dengan keadaan kedinginan. Kotak yang diberikan Romlah padanya dipegang dengan sangat kuat dan sebisa mungkin tak tersentuh air.“Saya ... harus ... cepat sampai,” ujar Aep dengan wajah yang sudah pucat. Tenaganya benar-benar terkuras malam ini. Berlari meninggalkan desa, dipukuli sahabat sendiri, sampai harus kembali ke desa untuk menyerahkan kotak itu, membutuhkan energi yang tak sedikit. Mungkin jika ia tertidur, baru beberapa hari kemudian akan sadar.Aep memungut sebuah kayu panjang untuk membantunya berjalan. Langkahnya mulai terseok-seok. Tidak ada waktu baginya untuk sekadar beristirahat. Ia benar-benar harus kembali ke desa secepat mungkin.Aep tak merasakan lagi ketakutan seperti pertama kali melewati perkebunan karet ini, pun d
Kereta kencana berhenti di depan reruntuhan rumah Rojali. Raden Arya segera keluar, kemudian disusul oleh Rojali. Ki Jalu dan Badru sampai beberapa detik kemudian, lantas berlutut kembali meski dipenuhi tanda tanya.Raden Arya menggumamkan sesuatu, dan tak lama kemudian muncul sebuah tiang cahaya yang seukuran dengan rumah Rojali. Ki Jalu dan Badru terperangah ketika melihat hal itu. Akan tetapi, tak ada yang bisa mereka lakukan selain berlutut dan memelotot penuh kekaguman.Raden Arya kemudian mendekat ke arah tiang cahaya, kemudian lenyap seperti menembus benda itu. Tak lama setelahnya, Rojali yang sudah ada dalam pengaruh, mengikuti jejak sosok itu, dan hal serupa juga terjadi padanya.Ketika Raden Arya dan Rojali memasuki tiang cahaya, tiba-tiba muncul tangga dengan jalan memutar. Keduanya berjalan dengan langkah pasti. Sementara itu, Badru segera bangkit, lalu mendekat ke arah tiang cahaya. Namun, aksinya langsung dihalangi para prajurit. Ia terpaksa mundur
Rojali menarik kujang pusaka dengan satu tarikan. Amarah yang sudah menguasai dirinya membuat kujang itu langsung tunduk. Rojali bergerak dengan sangat cepat ke arah Badru. Langkahnya terasa ringan.Badru segera berbalik ketika mendengar teriakan Rojali. Namun, ia tak menyangka jika Rojali sudah ada di dekatnya bersama kujang pusaka. Badru merasakan ketakutan di sekujur tubuh, tetapi ia dengan cepat menahan serangan Rojali dengan kujang miliknya.Akan tetapi, kujang miliknya tidak sebanding dengan kujang emas itu. Badru terlempar karena benturan serangan tersebut. Tubuhnya sempat menabrak pohon, berguling-guling hingga harus rebah di tanah. Ia merasakan dorongan yang amat kuat dari sana.“Kiai,” ujar Rojali seraya mendekat.“Ka-kamu harus pergi, Rojali,” sahut Kiai, “jangan sampai mereka mendapat kujang itu.”“Tapi ....” Rojali tiba-tiba ditarik mundur oleh kujangnya, menjauh dari Kiai. Kujang i