“Bapak saya baik-baik saja. Beliau yang justru meminta kami untuk mencari kamu,” jawab Ustaz Ahmad.
Rojali mengembus napas panjang, kemudian mengangguk. Ia bisa sedikit tenang sekarang.
“Sebaiknya kita bertindak cepat. Tujuan kita adalah gerbang desa. Dari sana kita akan pergi ke kecamatan dengan menggunakan mobil,” ujar Ustaz Ahmad.
Rojali memutar tubuh ketika Ustaz Ahmad memberi kode untuk segera pergi. Namun, baru saja beberapa langkah berlari, terdengar suara benda jatuh bersahutan. Ketika Rojali menoleh, ia justru mendapati Ustaz Ahmad dan Ilham sudah tergeletak pingsan di tanah.
“Jadi itu alasan di balik omongan kiai tua itu,” ujar Badru yang berdiri di antara tubuh Ustaz Ahmad dan Ilham. Senyum bengisnya terangkai dengan sempurna.
Rojali sontak menutup wajah, kemudian merenggangkan jarak. “Badru,” ucapnya geram.
Badru terkekeh, lalu mengeluarkan serban milik Kiai dari balik punggungnya.<
Sepuluh menit setelah kepergian Aep, Euis masih berdiri di depan gubuk dengan raut cemas. Beberapa kali gadis itu mondar-mandir di depan pintu, meremas baju sembari menatap halaman gelap di depannya. Amarahnya perlahan reda dan berganti menjadi kekhawatiran.“Astagfirullah.” Euis mengelus dada, mengembus napas panjang.“Kamu masuk saja ke dalam, Is,” ujar Romlah yang muncul dari balik pintu. “Ini sudah malam. Lagi pula ... kamu harus istirahat.”Eusi kembali menghela napas panjang. Pikirannya benar-benar penuh dengan beragam pertanyaan. Tentang kondisi bapaknya, Rojali, penduduk desa, juga Aep yang baru saja pergi. Akan tetapi, saat mengingat suatu hal, ia tiba-tiba berbalik dengan raut penuh amarah.“Apa benar Kang Ujang itu anggota Kalong Hideung?” tanya Euis tiba-tiba.Romlah mundur beberapa langkah. Pandangannya teralih ke arah lain. “Kita ... bicarakan di dalam, Is.”“Apa
Napas Aep sudah terputus-putus ketika kakinya terus dipaksakan bergerak menuju Ciboeh. Tubuhnya menggigil dan serasa remuk di saat bersamaan. Beberapa menit lalu pria itu berenang di sungai, kemudian menaiki daratan dengan keadaan kedinginan. Kotak yang diberikan Romlah padanya dipegang dengan sangat kuat dan sebisa mungkin tak tersentuh air.“Saya ... harus ... cepat sampai,” ujar Aep dengan wajah yang sudah pucat. Tenaganya benar-benar terkuras malam ini. Berlari meninggalkan desa, dipukuli sahabat sendiri, sampai harus kembali ke desa untuk menyerahkan kotak itu, membutuhkan energi yang tak sedikit. Mungkin jika ia tertidur, baru beberapa hari kemudian akan sadar.Aep memungut sebuah kayu panjang untuk membantunya berjalan. Langkahnya mulai terseok-seok. Tidak ada waktu baginya untuk sekadar beristirahat. Ia benar-benar harus kembali ke desa secepat mungkin.Aep tak merasakan lagi ketakutan seperti pertama kali melewati perkebunan karet ini, pun d
Kereta kencana berhenti di depan reruntuhan rumah Rojali. Raden Arya segera keluar, kemudian disusul oleh Rojali. Ki Jalu dan Badru sampai beberapa detik kemudian, lantas berlutut kembali meski dipenuhi tanda tanya.Raden Arya menggumamkan sesuatu, dan tak lama kemudian muncul sebuah tiang cahaya yang seukuran dengan rumah Rojali. Ki Jalu dan Badru terperangah ketika melihat hal itu. Akan tetapi, tak ada yang bisa mereka lakukan selain berlutut dan memelotot penuh kekaguman.Raden Arya kemudian mendekat ke arah tiang cahaya, kemudian lenyap seperti menembus benda itu. Tak lama setelahnya, Rojali yang sudah ada dalam pengaruh, mengikuti jejak sosok itu, dan hal serupa juga terjadi padanya.Ketika Raden Arya dan Rojali memasuki tiang cahaya, tiba-tiba muncul tangga dengan jalan memutar. Keduanya berjalan dengan langkah pasti. Sementara itu, Badru segera bangkit, lalu mendekat ke arah tiang cahaya. Namun, aksinya langsung dihalangi para prajurit. Ia terpaksa mundur
Rojali menarik kujang pusaka dengan satu tarikan. Amarah yang sudah menguasai dirinya membuat kujang itu langsung tunduk. Rojali bergerak dengan sangat cepat ke arah Badru. Langkahnya terasa ringan.Badru segera berbalik ketika mendengar teriakan Rojali. Namun, ia tak menyangka jika Rojali sudah ada di dekatnya bersama kujang pusaka. Badru merasakan ketakutan di sekujur tubuh, tetapi ia dengan cepat menahan serangan Rojali dengan kujang miliknya.Akan tetapi, kujang miliknya tidak sebanding dengan kujang emas itu. Badru terlempar karena benturan serangan tersebut. Tubuhnya sempat menabrak pohon, berguling-guling hingga harus rebah di tanah. Ia merasakan dorongan yang amat kuat dari sana.“Kiai,” ujar Rojali seraya mendekat.“Ka-kamu harus pergi, Rojali,” sahut Kiai, “jangan sampai mereka mendapat kujang itu.”“Tapi ....” Rojali tiba-tiba ditarik mundur oleh kujangnya, menjauh dari Kiai. Kujang i
Tahun 1988Aula kantor Desa Ciboeh sudah ramai disesaki warga. Mereka duduk melingkar di hadapan hidangan yang tersaji di piring. Asap rokok tampak beradu dengan obrolan. Sesuai dengan informasi yang diberikan pihak desa, hari ini mereka berkumpul untuk menyambut salah satu utusan pesantren dari kabupaten yang akan menetap di desa.Dari arah luar, seorang hansip berlari ke dalam aula dengan tergesa-gesa. Pria kurus berbaju hijau itu segera mendekat ke arah Pak Dede, kemudian membisikkan sesuatu.Pak Dede mengangguk singkat, lantas meminta hansip tadi untuk kembali berjaga di luar. “Kiai Rohmat dan utusan dari pesantren sudah datang,” ujarnya.Pak Dede serta orang-orang yang berada di aula dengan berduyun-duyun keluar dari aula desa. Mereka lantas berjajar di depan pintu dengan rapi. Terlihat di halaman depan kantor, sebuah mobil baru saja menepi. Tak lama setelahnya, Kiai Rohmat dan beberapa santri keluar dari kendaraan.
Rojali yang memahami kode tersebut kemudian memperkenalkan diri pada para warga yang hadir. Tak banyak yang ia sebutkan, hanya nama dan permohonan agar warga bisa menerimanya dengan baik.“Apa tidak salah Kiai Rohmat mengirim pemuda itu?” bisik Pak Harun di telinga Pak Yayat. Ucapannya juga terdengar oleh Pak Dede dan beberapa orang di sampingnya. Jarak yang agak jauh dari pihak pesantren memungkinnya untuk berani berkata demikian.“Hus ... tidak mungkin atuh Kiai salah pilih orang,” jawab Pak Yayat.“Apa mungkin pemuda itu mualaf?” terka Pak Iwan, “dilihat dari ciri-cirinya, dia seperti ... ya seperti yang kita lihat sekarang.”“Kita bisa tanya pemuda itu ketika Kiai Rohmat sudah tidak ada,” sambung Pak Dede, “jangan berisik dan jangan sampai bikin malu.”Begitu acara ramah tamah selesai, Rojali bangkit bersama dengan para warga. Ia akan diajak untuk melihat rumahnya
Rumah dan halaman sudah selesai dibersihkan tepat saat waktu zuhur tiba. Kiai mengajak warga dan para santri melaksanakan ibadah di masjid terdekat. Rojali diminta untuk menjadi imam salat berjemaah. Setelah selesai, mereka kembali ke halaman kediaman Rojali.Di sebuah warung yang tak jauh dari kumpulan warga, seorang gadis dengan kerudung merah tengah menyiapkan beberapa hidangan. Setelah makanan tersaji di nampan bulat berukuran cukup besar, ia kemudian keluar dari warung.“Kalian sedang apa?” tanya gadis itu. Ia cukup terkejut ketika melihat beberapa gadis yang sebaya dengannya tengah berkumpul di depan warung dengan pandangan terarah pada lokasi kerumunan warga.“Kita sedang lihat Aa kasep,” jawab seorang gadis tanpa repot-repot menoleh.“Aa Kasep siapa?” selidik Euis dengan nampan yang dipegang di tangan kiri dan secerek minuman di tangan kanan. “Kamu liat saja nanti, Is,” sahut gadis lain
Sudah hampir satu minggu Rojali tinggal di Ciboeh. Namun, warga desa ini nyatanya masih menatapnya dengan penuh selidik. Beberapa kali pemuda itu mendengar mereka membicarakannya dari belakang. Meski begitu, ia memilih bersabar dan terus berusaha agar bisa berbaur.Setelah pulang dari kebun, Rojali mampir di sebuah warung untuk membeli beberapa keperluan. Ia bertemu degan Pak Juju dan berusaha membuka obrolan. Akan tetapi, pria paruh baya itu hanya menjawab seadanya seolah tak tertarik dengan perbincangan.“Saya ingin beli sampo dan sabun,” ujar Rojali dengan segaris senyum.“Sebentar,” sahut Pak Juju sembari membuka pintu warung.Rojali duduk di kursi panjang yang menghadap ke arah jalanan kampung. Pemuda itu melihat seorang anak kecil tengah berlari di sisi jalan tanpa pengawasan orang dewasa. Merasa hal itu berbahaya, ia melangkah ke jalan untuk memastikan keadaan anak itu. Tanpa dinyana, sebuah motor melaju kencang dari arah la
“Ini satu-satunya cara, Kang. Kita tidak punya pilihan lain.”Mbah Jaja akhirnya setuju setelah agak lama berpikir. “Aing bakal pasang pagar gaib lebih dulu.”Sebuah kubah segera melingkupi seluruh gubuk. Di pandangan orang biasa, bangunan itu akan tampak seperti halaman kosong.Mbah Atim dan Mbah Jaja dengan cepat duduk bersila di depan dan belakang orang gila itu. Mulut mereka mulai berkomat-kamit membaca mantra. Butuh kekuatan dan konsentrasi tinggi untuk bisa menggunakan ajian pengubah raga.Tubuh orang gila itu secara tiba-tiba bergetar beberapa kali. Mulutnya terbuka dengan kondisi bola mata memelotot seperti hendak meloncat. Raganya kemudian berguling-guling di lantai, dan tidak lama setelahnya, fisik pria edan itu persis menyerupai Mbah Atim.“Semoga saja si Jalu tidak sadar,” ujar Mbah Atim yang berdiri dengan wajah pucat. Keringat mulai membanjiri keningnya. Tenaganya benar-benar terkuras habis
1990Sehari sebelum kejadian penemuan jenazah tanpa kepalaCiboeh sangat panas siang ini. Debu-debu berterbangan ketika kaki melangkah dan roda kendaraan menggerus jalan. Beberapa warga tampak menyiram air ke halaman untuk mengusir panas. Meski begitu, tawa anak-anak terdengar bersahutan ketika mereka tengah mengerumuni seorang pria berpakaian kumal.“Nugelo (orang gila)! Nugelo!” Anak-anak kompak meneriaki seorang pria yang tengah berjongkok di tengah mereka.Orang gila itu melirik ke kanan dan ke kiri. Sesekali tangannya menepis ranting yang disodorkan anak-anak padanya. Bibirnya bergerak seperti menggumamkan sesuatu.Seorang anak laki-laki tiba-tiba saja melempar ranting ke sembarang arah ketika melihat Rojali dan Reza tengah berjalan ke arah mereka.“Ada Ustaz Rojali,” ujar Uden, “ayo kabur sebelum kita dihukum.”“H
Dua hari setelah kepergian Kiai, Rojali berkunjung ke Ciboeh bersama Lukman dan Ustaz Ahmad. Pemuda itu sudah mendengar kondisi desa dari keduanya yang porak poranda akibat ritual. Akan tetapi, ia berhasil dibuat terkejut ketika melihat keadaan Ciboeh secara langsung.Saat melewati gerbang desa, ia melihat gapura hancur sebagian. Lebih dekat ke arah utara, banyak rumah roboh dan hancur seperti baru diterjang badai. Kondisi lebih mengerikan tersaji ketika mobil melewati Kampung Cimenyan. Beberapa rumah tampak rata dengan tanah. Tak heran jika berita yang ditayangkan di televisi dan radio menunjukkan bahwa desa ini diserang bencana alam.Mobil menepi di depan reruntuhan kediaman Rojali. Pemuda bermata sipit itu turun bersama Ustaz Ahmad dan Lukman. Ketiganya menatap tanah kosong di mana beberapa puing bangunan masih berada di sana.“Kang Rojali,” ujar Euis yang muncul dari arah samping rumah, “apa itu benar Kang Rojali?” Rojal
Ustaz Ahmad benar-benar merasa gelisah sepanjang waktu. Pikirannya tertuju pada kondisi sang bapak yang masih berada di rumah sakit. Ia hanya duduk memandang perapian di depan, sama sekali belum menyentuh air atau makanan.“Ustaz,” panggil Lukman yang duduk di sampingnya, “sebaiknya Ustaz mengisi tenaga lebih dahulu. Setelahnya, Ustaz bisa berisitirahat.”Ustaz Ahmad mengembus napas panjang, mengangguk pelan. Ia menghabiskan makanan dengan cepat, lalu berbaring di bangku panjang yang berada tak jauh dari tempat dirinya dan Lukman duduk.Sepinya keadaan Cimayit, berbanding terbalik dengan situasi yang ada di pesantren. Tangis kesedihan begitu mendominasi para santri dan tamu yang hadir. Meninggalnya Kiai Rohmat dengan cepat tersebar. Sayang, di saat seperti ini, sang putra justru berada jauh dan belum tahu mengenai kondisi sang bapak.Para pelayat tengah mengerumuni jenazah Kiai Rohmat. Bacaan surat Yasin saling bersahutan dari mulu
Rojali, Ustaz Ahmad, Ilham dan Lukman tiba di Lancah Darah saat siang menjelang. Mobil menepi di tempat terakhir kali mereka memarkirkan kendaraan.“Sebaiknya kita berangkat sekarang,” ujar Ilham dengan pandangan menelisik sekeliling, “jika tidak bergegas, mungkin saja kita akan tiba malam hari.”Setelah memastikan kendaraan aman, keempat pria itu memulai perjalanan memasuki hutan Lancah Darah. Pemandangan indah yang ditawarkan kawasan ini tidak akan berlangsung lama ketika matahari tenggelam.Seperti apa yang dikatakan orang-orang, Lancah Darah menjadi tempat yang “haram” untuk dikunjungi orang. Tak hanya kisah mistis yang melekat, tetapi tentang sekelompok orang yang susah disentuh, termasuk aparat sekalipun.Rombongan beristirahat di pinggiran sungai untuk melaksanakan salat, juga untuk menyantap bekal. Mereka sudah mencapai setengah perlajanan saat langit mulai bersolek lembayung. Kumpulan burung-burung terban
Ciboeh, 1989Selesai salat subuh berjemaah, para tetua desa yang dipimpin Pak Dede memasuki kantor desa. Mereka duduk melingkar beralas tikar tanpa camilan atau air segelas pun. Dilihat dari wajah dan gestur mereka, tampak ada hal penting yang harus segera mereka diskusikan.Hujan mendadak mengguyur deras. Angin tampak menerobos di sela-sela lubang pintu dan jendela, membawa udara dingin. “Jangan sampai ada yang masuk ke kantor, Man,” ucap Pak Dede pada Eman yang berjaga di pintu.“Siap, Pak Kades.” Eman mengacungkan jempol.Ruangan hanya diterangi lampu kecil sehingga cahaya hanya menyinari tengah ruangan, sedang gelap memeluk keadaaan sekelililing. “Kalian sudah memastikan kalau Rojali tidak ada di desa?” tanya Pak Dede sembari mengamati satu per satu orang yang hadir.“Sudah, Pak Dede,” jawab Pak Yayat, “Ustaz Rojali mengabari kalau selama dua hari
Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memamerkan bulatan sempurna bercahaya keperakan. Di sisi sungai, Mbah Atim dan Mbah Jaja tampak berdiri menunggu kedatangan Ujang. Sudah lewat beberapa menit dari waktu perjanjian.“Awas saja kalau si Ujang mengkhianati kita, Juned,” ucap Mbah Jaja penuh amarah, “aing tidak segan bunuh istri, mertua dan anaknya sekaligus.”“Kita tunggu sebentar lagi, Kang,” sahut Mbah Atim menenangkan. Pandangannya tertuju pada seberang sungai, di mana pekatnya hutan hanya bisa menampilkan kegelapan. Ia mulai tak enak berdiri, pasalnya Mbah Jaja bisa saja nekat, dan saat itu terjadi ia tidak bisa melakukan banyak hal.“Sampai kapan kita harus menunggu si Ujang, Juned?” tanya Mbah Jaja sembari mengeluarkan pisau kecil, memandanginya dengan lekat-lekat. “Bisa saja dia berubah pikiran dan mengkhianati perjanjian kita.”“Saya yakin Ujang pasti datang ke si
Hujan deras yang mengguyur Ciboeh beberapa hari terakhir mengakibatkan bencana longsor. Peristiwa itu terjadi bakda subuh saat para warga sudah mulai bersiap menyambut hari. Lokasi terjadinya bencana berada di perbatasan Cigeutih dan Cimenyan. Hal itu menyebabkan beberapa rumah di dua kampung rusak karena tertimbun. Untungnya tidak ada korban jiwa.Para korban yang berhasil selamat diungsikan di rumah-rumah saudara. Warga saling bergotong royong membantu membersihkan tanah yang menghalangi jalan dan menutup akses jembatan yang menghubungkan kedua kampung.Setelah jembatan dapat kembali dibuka, Rojali berinisiatif meminta bantuan pada pesantren. Syukur dipanjatkan, Kiai mengirim bantuan dengan menerjunkan lima puluh santri ke Ciboeh. Dalam waktu sehari, lokasi sekitar bencana kembali normal meski rumah tampak ambruk.Hari berikutnya, warga masih berjibaku dengan sisa tanah longsor yang masih tertimbun di beberapa bagian sudut desa. Tanpa disangka-sangka, se
Sebuah motor tampak melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Kampung Cigeutih. Gerimis tak lama kemudian berubah menjadi hujan lebat. Reza yang berada di atas kendaraan mencibir dengan penuh sumpah serapah. Ia mempercepat laju motor hingga kendaraan bergetar beberapa kali karena menorobos jalan berbatu dan berlubang.Reza berdecak, melempar rokok sembarang. Saat menoleh pada pos ronda, ia sama sekali tidak melihat teman-temannya berkumpul. Dengan terpaksa pemuda itu harus pulang ke rumah, padahal siang tadi ia bersitegang dengan bapaknya. Malas sebenarnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.“Ah, any*ng!” maki Reza dengan badan yang sudah mulai kedinginan. Seluruh pakaiannya basah kuyup, bahkan sampai ke dalam-dalam. Karena emosi, ia sampai melewatkan kediamannya sendiri.“Tol*l!” maki Reza setelah tahu kalau dirinya melewatkan rumahnya sendiri. Ia mendadak abai dengan keadaan di depan hingga tak bisa menghindari sebuah lubang. Alhasil,