Rumah dan halaman sudah selesai dibersihkan tepat saat waktu zuhur tiba. Kiai mengajak warga dan para santri melaksanakan ibadah di masjid terdekat. Rojali diminta untuk menjadi imam salat berjemaah. Setelah selesai, mereka kembali ke halaman kediaman Rojali.
Di sebuah warung yang tak jauh dari kumpulan warga, seorang gadis dengan kerudung merah tengah menyiapkan beberapa hidangan. Setelah makanan tersaji di nampan bulat berukuran cukup besar, ia kemudian keluar dari warung.
“Kalian sedang apa?” tanya gadis itu. Ia cukup terkejut ketika melihat beberapa gadis yang sebaya dengannya tengah berkumpul di depan warung dengan pandangan terarah pada lokasi kerumunan warga.
“Kita sedang lihat Aa kasep,” jawab seorang gadis tanpa repot-repot menoleh.
“Aa Kasep siapa?” selidik Euis dengan nampan yang dipegang di tangan kiri dan secerek minuman di tangan kanan.
“Kamu liat saja nanti, Is,” sahut gadis lain
Sudah hampir satu minggu Rojali tinggal di Ciboeh. Namun, warga desa ini nyatanya masih menatapnya dengan penuh selidik. Beberapa kali pemuda itu mendengar mereka membicarakannya dari belakang. Meski begitu, ia memilih bersabar dan terus berusaha agar bisa berbaur.Setelah pulang dari kebun, Rojali mampir di sebuah warung untuk membeli beberapa keperluan. Ia bertemu degan Pak Juju dan berusaha membuka obrolan. Akan tetapi, pria paruh baya itu hanya menjawab seadanya seolah tak tertarik dengan perbincangan.“Saya ingin beli sampo dan sabun,” ujar Rojali dengan segaris senyum.“Sebentar,” sahut Pak Juju sembari membuka pintu warung.Rojali duduk di kursi panjang yang menghadap ke arah jalanan kampung. Pemuda itu melihat seorang anak kecil tengah berlari di sisi jalan tanpa pengawasan orang dewasa. Merasa hal itu berbahaya, ia melangkah ke jalan untuk memastikan keadaan anak itu. Tanpa dinyana, sebuah motor melaju kencang dari arah la
Azan isya sudah satu jam yang lalu mengalun di Ciboeh. Beberapa anak muda tampak tengah memadati sebuah pos ronda. Canda tawa terdengar memenuhi bangunan kecil itu saat mereka tenggelam dalam keasyikan bermain kartu. Asap rokok dan kopi ikut andil memeriahkan suasana. “Kamu sudah dengar belum kalau ada warga baru di desa ini, Za?” tanya seorang pemuda yang duduk di pinggiran pos. Reza yang tengah asyik mengisap rokok seketika menoleh. “Belum. Memangnya siapa dia?” Para pemuda yang tengah bermain kartu seketika menghentikan kegiatan. Mereka langsung menjadikan anak kepala desa itu sebagai pusat perhatian. Ada empat pemuda yang ada di pos ronda malam ini, termasuk Reza. “Katanya dia santri lulusan dari pesantren di kabupaten. Baru seminggu tinggal di desa ini,” ucap pemuda bernama Wahyu. “Oh.” Reza merespons santai, mengisap rokoknya kembali. Pandangannya berlabuh pada kumpulan bintang di langit. Ia sama sekali tidak tertarik dengan obrolan ters
Rojali hanya diam saat mendengar hinaan dari empat orang di depannya. Ia tidak akan membalas cercaan itu. “Saya harus pergi.”Rojali berusaha menerobos barikade keempat orang itu, tetapi aksinya dicegah oleh Wawan, Dedi dan Wahyu. “Saya harus pergi,” ulangnya.Reza berdecak, membuang puntung rokok ke arah Rojali. “Biarkan dia pergi!”“Tapi, Za.” Wahyu tidak setuju, begitupun dengan Dedi dan Wahyu.“Assalamualaikum.” Rojali kembali melangkah saat jalan terbuka untuknya. Ia sama sekali lagi tidak ingin berlagak di desa asing, apalagi mengotori tempat ini. Dugaan mereka sangat tidak beralasan.“Tidak untungnya buat kita berurusan dengan orang pengecut,” kata Reza sembari menatap Rojali, “pasti sebentar lagi dia akan mengadu ke Kiai di pesantren.”Rojali tiba-tiba berhenti ketika mendengar nama Kiai disebut. Siapa pun boleh saja menghinanya, tetapi ia tidak akan
Badru tengah berada di pinggiran markas Kalong Hideung, berdiri sembari menatap gelapnya hutan. Sudah hampir setengah jam ia berada di sana tanpa melakukan aktivitas berarti. Tawa dan obrolan dari dalam bangunan di belakangnya sama sekali tak menggerakkan keinginannya untuk bergabung. “Kang,” panggil Engkos dari belakang. “Kos, aing titip markas.” Badru bergerak menuruni tangga batu, meninggalkan Engkos yang masih tercenung di tempat yang sama. Pria paruh baya itu melewati jalanan hutan yang gelap. Tak ada raut ketakutan dalam parasnya. Sebagai orang yang besar dan lahir di Lancah Darah, Badru hafal seluk beluk mengenai tempat ini. Badru keluar dari pekatnya hutan, lalu meneruskan perjalanan melalui pinggiran sungai. Ia menuruni jalan setapak yang berbatu, lalu kembali melumat aliran sungai. Langkah terus membawanya hingga dirinya memasuki sebuah bekas perkampungan. Badru diam beberapa saat, mengamati area sekitar. Saat kembali berjalan, pria
“Hentikan, Badru!” teriak Kiai yang berhasil memecah hening Ciboeh. Suaranya menggelegar bak petir di siang bolong. “Rojali ... Rojali ... Rojali itu anak kamu!”Tubuh Kiai berguncang hebat ketika mengatakan rahasia yang sudah lama ia pendam. Raganya kembali ambruk karena tak kuat menahan ledakan emosi. Pria tua itu berderai air mata dengan bahu yang naik-turun.Ustaz Ahmad dan Lukman dengan cekatan segera menahan tubuh Kiai. Keduanya ikut terkejut meski fokus mereka saat ini tertuju pada kondisi Kiai. Pendarahan di tangan sang pemimpin pesantren itu belum juga surut.Di sisi lain, Badru seketika tercenung ketika mendengar penuturan Kiai. Pandangannya dengan segera berlabuh pada pria tua itu yang tengah dipapah oleh Ustaz Ahmad dan Lukman. Bola mata pemimpin Kalong Hideung itu membeliak penuh amarah. Rahangnya mengetat hingga urat-urat leher tampak menyembul laksana ingin terbebas dari kulit.“Naon nu maneh omongkeun
Badru merangkak ke arah Rojali. Tangannya hendak menggapai sang putra, tetapi ia kembali menariknya saat melihat noda darah di tangan. Di sisi lain, Ki Jalu mengetahui perubahan pada diri Badru. Untuk itu, ia menarik kembali tongkatnya yang tengah menyerang Mbah Atim dan Mbah Jaja, kemudian melempar sebuah serangan hingga musuh mundur untuk sesaat. Ki Jalu berlari ke arah Badru dengan tergopoh-gopoh. “Badru, aya naon?” tanyanya. Tak mendapat jawaban, Ki Jalu segera menoleh ke arah Rojali. Ia terperangah saat melihat wajah pemuda itu. Apa yang menjadi pertanyaannya kini terjawab sudah. Titik gelap yang menaungi pikirannya mendadak lenyap. “Ra-raden Arya,” gumamnya dengan tangan yang mulai gemetar. Badru akhirnya merangkak ke arah Rojali. Ia memeluk pemuda itu dengan erat. Tangisnya turun dengan deras. Tubuhnya tak berhenti gemetar walau sesaat. “Maafkan, Bapak. Maafkan, Bapak. Maafkan ....” “Jaga anak kita, Kang,” kata Lina yang kemudi
Gulungan itu perlahan menutup dan memanggil kembali cahaya yang sudah dia ciptakan. Benda itu setelahnya menggelepar laksana ikan yang jauh dari air. Segala usaha yang Ki Jalu lakukan untuk mengeluarkan kujang pusaka itu nyatanya sia-sia.Gulungan berwarna emas itu melayang tinggi dan tak lama setelahnya menghilang. Bersamaan dengan hal itu, kubah gaib yang menaungi desa lenyap.Ki Jalu memelotot dengan amarah yang menggebu-gebu. Matanya nyaris keluar saking emosi melihat hal itu terjadi. Kujang pusaka yang dirinya cari selama ini, ditambah pengorbanannya untuk ritual ini gagal total karena gulungan tadi, padahal ini kesempatan bagus untuknya untuk menyingkirkan anggota terakhir dari Manuk Bodas tersebut.“Naon nu sabenerna geus terjadi (apa yang sebenarnya sudah terjadi)?” tanya Ki Jalu dengan tatapan dalam.Angin kian mengamuk. Beberapa pohon pisang tampak berjatuhan. Genting rumah tak luput dari amukan. Lenguhan hewan ternak terden
Matahari menggeliat dari ufuk timur. Malam yang terasa sangat panjang akhirnya terusir pagi. Di perkampungan Cimenyan, ratusan warga masih tak sadarkan diri, beberapa di antara mereka tak akan bangun kembali untuk selamanya.Kepulan asap masih menyelimuti ke sekeliling, laksana desa sudah ditelan kabut asap tak berkesudahan. Asap tampak mengelilingi Cimenyan atau mungkin keseluruhan Ciboeh, menyandera semua orang di dalam.Ustaz Ahmad adalah orang yang pertama kali sadar. “Astagfirullah,” ujarnya yang dengan segera melirik sekeliling. Ia menyadari bila Lukman dan Ilham masih belum sadarkan diri. “Man, Ilham.”Lukman dan Ilham menggeliat, lalu terbangun tak lama kemudian.Ketiganya menatap dengan pandangan putus asa, tak bergerak dari tempat untuk sementara waktu. Matahari kian bergerak ke sisi barat, tetapi ketiganya masih diam di tempat.“A-apa yang harus kita la-lakukan sekarang, Ustaz?” tanya Lukman.“Ki-