Azan isya sudah satu jam yang lalu mengalun di Ciboeh. Beberapa anak muda tampak tengah memadati sebuah pos ronda. Canda tawa terdengar memenuhi bangunan kecil itu saat mereka tenggelam dalam keasyikan bermain kartu. Asap rokok dan kopi ikut andil memeriahkan suasana.
“Kamu sudah dengar belum kalau ada warga baru di desa ini, Za?” tanya seorang pemuda yang duduk di pinggiran pos.
Reza yang tengah asyik mengisap rokok seketika menoleh. “Belum. Memangnya siapa dia?”
Para pemuda yang tengah bermain kartu seketika menghentikan kegiatan. Mereka langsung menjadikan anak kepala desa itu sebagai pusat perhatian. Ada empat pemuda yang ada di pos ronda malam ini, termasuk Reza.
“Katanya dia santri lulusan dari pesantren di kabupaten. Baru seminggu tinggal di desa ini,” ucap pemuda bernama Wahyu.
“Oh.” Reza merespons santai, mengisap rokoknya kembali. Pandangannya berlabuh pada kumpulan bintang di langit. Ia sama sekali tidak tertarik dengan obrolan ters
Rojali hanya diam saat mendengar hinaan dari empat orang di depannya. Ia tidak akan membalas cercaan itu. “Saya harus pergi.”Rojali berusaha menerobos barikade keempat orang itu, tetapi aksinya dicegah oleh Wawan, Dedi dan Wahyu. “Saya harus pergi,” ulangnya.Reza berdecak, membuang puntung rokok ke arah Rojali. “Biarkan dia pergi!”“Tapi, Za.” Wahyu tidak setuju, begitupun dengan Dedi dan Wahyu.“Assalamualaikum.” Rojali kembali melangkah saat jalan terbuka untuknya. Ia sama sekali lagi tidak ingin berlagak di desa asing, apalagi mengotori tempat ini. Dugaan mereka sangat tidak beralasan.“Tidak untungnya buat kita berurusan dengan orang pengecut,” kata Reza sembari menatap Rojali, “pasti sebentar lagi dia akan mengadu ke Kiai di pesantren.”Rojali tiba-tiba berhenti ketika mendengar nama Kiai disebut. Siapa pun boleh saja menghinanya, tetapi ia tidak akan
Badru tengah berada di pinggiran markas Kalong Hideung, berdiri sembari menatap gelapnya hutan. Sudah hampir setengah jam ia berada di sana tanpa melakukan aktivitas berarti. Tawa dan obrolan dari dalam bangunan di belakangnya sama sekali tak menggerakkan keinginannya untuk bergabung. “Kang,” panggil Engkos dari belakang. “Kos, aing titip markas.” Badru bergerak menuruni tangga batu, meninggalkan Engkos yang masih tercenung di tempat yang sama. Pria paruh baya itu melewati jalanan hutan yang gelap. Tak ada raut ketakutan dalam parasnya. Sebagai orang yang besar dan lahir di Lancah Darah, Badru hafal seluk beluk mengenai tempat ini. Badru keluar dari pekatnya hutan, lalu meneruskan perjalanan melalui pinggiran sungai. Ia menuruni jalan setapak yang berbatu, lalu kembali melumat aliran sungai. Langkah terus membawanya hingga dirinya memasuki sebuah bekas perkampungan. Badru diam beberapa saat, mengamati area sekitar. Saat kembali berjalan, pria
“Hentikan, Badru!” teriak Kiai yang berhasil memecah hening Ciboeh. Suaranya menggelegar bak petir di siang bolong. “Rojali ... Rojali ... Rojali itu anak kamu!”Tubuh Kiai berguncang hebat ketika mengatakan rahasia yang sudah lama ia pendam. Raganya kembali ambruk karena tak kuat menahan ledakan emosi. Pria tua itu berderai air mata dengan bahu yang naik-turun.Ustaz Ahmad dan Lukman dengan cekatan segera menahan tubuh Kiai. Keduanya ikut terkejut meski fokus mereka saat ini tertuju pada kondisi Kiai. Pendarahan di tangan sang pemimpin pesantren itu belum juga surut.Di sisi lain, Badru seketika tercenung ketika mendengar penuturan Kiai. Pandangannya dengan segera berlabuh pada pria tua itu yang tengah dipapah oleh Ustaz Ahmad dan Lukman. Bola mata pemimpin Kalong Hideung itu membeliak penuh amarah. Rahangnya mengetat hingga urat-urat leher tampak menyembul laksana ingin terbebas dari kulit.“Naon nu maneh omongkeun
Badru merangkak ke arah Rojali. Tangannya hendak menggapai sang putra, tetapi ia kembali menariknya saat melihat noda darah di tangan. Di sisi lain, Ki Jalu mengetahui perubahan pada diri Badru. Untuk itu, ia menarik kembali tongkatnya yang tengah menyerang Mbah Atim dan Mbah Jaja, kemudian melempar sebuah serangan hingga musuh mundur untuk sesaat. Ki Jalu berlari ke arah Badru dengan tergopoh-gopoh. “Badru, aya naon?” tanyanya. Tak mendapat jawaban, Ki Jalu segera menoleh ke arah Rojali. Ia terperangah saat melihat wajah pemuda itu. Apa yang menjadi pertanyaannya kini terjawab sudah. Titik gelap yang menaungi pikirannya mendadak lenyap. “Ra-raden Arya,” gumamnya dengan tangan yang mulai gemetar. Badru akhirnya merangkak ke arah Rojali. Ia memeluk pemuda itu dengan erat. Tangisnya turun dengan deras. Tubuhnya tak berhenti gemetar walau sesaat. “Maafkan, Bapak. Maafkan, Bapak. Maafkan ....” “Jaga anak kita, Kang,” kata Lina yang kemudi
Gulungan itu perlahan menutup dan memanggil kembali cahaya yang sudah dia ciptakan. Benda itu setelahnya menggelepar laksana ikan yang jauh dari air. Segala usaha yang Ki Jalu lakukan untuk mengeluarkan kujang pusaka itu nyatanya sia-sia.Gulungan berwarna emas itu melayang tinggi dan tak lama setelahnya menghilang. Bersamaan dengan hal itu, kubah gaib yang menaungi desa lenyap.Ki Jalu memelotot dengan amarah yang menggebu-gebu. Matanya nyaris keluar saking emosi melihat hal itu terjadi. Kujang pusaka yang dirinya cari selama ini, ditambah pengorbanannya untuk ritual ini gagal total karena gulungan tadi, padahal ini kesempatan bagus untuknya untuk menyingkirkan anggota terakhir dari Manuk Bodas tersebut.“Naon nu sabenerna geus terjadi (apa yang sebenarnya sudah terjadi)?” tanya Ki Jalu dengan tatapan dalam.Angin kian mengamuk. Beberapa pohon pisang tampak berjatuhan. Genting rumah tak luput dari amukan. Lenguhan hewan ternak terden
Matahari menggeliat dari ufuk timur. Malam yang terasa sangat panjang akhirnya terusir pagi. Di perkampungan Cimenyan, ratusan warga masih tak sadarkan diri, beberapa di antara mereka tak akan bangun kembali untuk selamanya.Kepulan asap masih menyelimuti ke sekeliling, laksana desa sudah ditelan kabut asap tak berkesudahan. Asap tampak mengelilingi Cimenyan atau mungkin keseluruhan Ciboeh, menyandera semua orang di dalam.Ustaz Ahmad adalah orang yang pertama kali sadar. “Astagfirullah,” ujarnya yang dengan segera melirik sekeliling. Ia menyadari bila Lukman dan Ilham masih belum sadarkan diri. “Man, Ilham.”Lukman dan Ilham menggeliat, lalu terbangun tak lama kemudian.Ketiganya menatap dengan pandangan putus asa, tak bergerak dari tempat untuk sementara waktu. Matahari kian bergerak ke sisi barat, tetapi ketiganya masih diam di tempat.“A-apa yang harus kita la-lakukan sekarang, Ustaz?” tanya Lukman.“Ki-
Rojali menggeleng, dan secara tiba-tiba kilasan kejadian tadi malam mendadak bermunculan. Dimulai dari kujang pusaka yang ia terima, pertarungannya dengan Badru, aksi Badru yang mencelakai Kiai, hingga ia tertusuk kujang pusaka. Rojali buru-buru membuka bajunya. Anehnya, tidak ada bekas luka di sana. Ketika menoleh ke arah Badru, secara tiba-tiba runtutan peristiwa kembali hadir. ‘Hentikan, Badru! Rojali ... Rojali ... Rojali itu anak kamu.’ Rojali memegangi kepalanya dengan kuat. Kalimat itu terdengar nyaring di kepalanya saat ini, terlebih ketika yang berbicara adalah Kiai. Rojali mengingat hal itu sebelum dirinya tak sadarkan diri. “Arya,” kata Badru dengan tatapan khawatir, “kamu tidak apa-apa, Nak?” “Jangan mendekat!” pinta Rojali. Tangannya tiba-tiba gemetar ketika mengingat jika ada seseorang yang mengelus rambutnya. Ia sama sekali kesulitan untuk mengenali sosok itu karena wajah orang itu dihalangi cahaya terang. “Arya,” panggi
Ustaz Ahmad dan Lukman kembali ke Ciboeh tiga jam kemudian. Mereka datang dengan rombongan santri laki-laki. Dari kejauhan, mobil dan motor melewati jalan Ciboeh secara beriringan.Ustaz Ahmad sengaja hanya mengajak santri laki-laki saja. Hal ini sebagai antisipasi jika musuh kembali melancarkan serangan. Selama Ustaz Ahmad dan Lukman kembali ke pesantren, hanya Asep dan Ilham yang berjaga di sekitar desa. Keduanya berada di area persawahan.Ketika seluruh santri sudah tiba di desa, Ustaz Ahmad kemudian memimpin doa bersama. Mereka membentuk barisan yang menyesaki jalan hingga ke arah persawahan. Tubuh mereka memang menempel di tanah, tetapi doa dan harapan mereka terbang ke langit.Susana khuysuk mendekap jemaah yang hadir. Bibir mereka menggumamkan ayat suci dan doa pada Sang Mahakuasa. Awan-awan didorong angin untuk menjadi payung guna menghadang panas matahari yang saat ini berusaha merangkak ke puncak.Dengan kekuasan Tuhan, bersamaan dengan doa yang
“Ini satu-satunya cara, Kang. Kita tidak punya pilihan lain.”Mbah Jaja akhirnya setuju setelah agak lama berpikir. “Aing bakal pasang pagar gaib lebih dulu.”Sebuah kubah segera melingkupi seluruh gubuk. Di pandangan orang biasa, bangunan itu akan tampak seperti halaman kosong.Mbah Atim dan Mbah Jaja dengan cepat duduk bersila di depan dan belakang orang gila itu. Mulut mereka mulai berkomat-kamit membaca mantra. Butuh kekuatan dan konsentrasi tinggi untuk bisa menggunakan ajian pengubah raga.Tubuh orang gila itu secara tiba-tiba bergetar beberapa kali. Mulutnya terbuka dengan kondisi bola mata memelotot seperti hendak meloncat. Raganya kemudian berguling-guling di lantai, dan tidak lama setelahnya, fisik pria edan itu persis menyerupai Mbah Atim.“Semoga saja si Jalu tidak sadar,” ujar Mbah Atim yang berdiri dengan wajah pucat. Keringat mulai membanjiri keningnya. Tenaganya benar-benar terkuras habis
1990Sehari sebelum kejadian penemuan jenazah tanpa kepalaCiboeh sangat panas siang ini. Debu-debu berterbangan ketika kaki melangkah dan roda kendaraan menggerus jalan. Beberapa warga tampak menyiram air ke halaman untuk mengusir panas. Meski begitu, tawa anak-anak terdengar bersahutan ketika mereka tengah mengerumuni seorang pria berpakaian kumal.“Nugelo (orang gila)! Nugelo!” Anak-anak kompak meneriaki seorang pria yang tengah berjongkok di tengah mereka.Orang gila itu melirik ke kanan dan ke kiri. Sesekali tangannya menepis ranting yang disodorkan anak-anak padanya. Bibirnya bergerak seperti menggumamkan sesuatu.Seorang anak laki-laki tiba-tiba saja melempar ranting ke sembarang arah ketika melihat Rojali dan Reza tengah berjalan ke arah mereka.“Ada Ustaz Rojali,” ujar Uden, “ayo kabur sebelum kita dihukum.”“H
Dua hari setelah kepergian Kiai, Rojali berkunjung ke Ciboeh bersama Lukman dan Ustaz Ahmad. Pemuda itu sudah mendengar kondisi desa dari keduanya yang porak poranda akibat ritual. Akan tetapi, ia berhasil dibuat terkejut ketika melihat keadaan Ciboeh secara langsung.Saat melewati gerbang desa, ia melihat gapura hancur sebagian. Lebih dekat ke arah utara, banyak rumah roboh dan hancur seperti baru diterjang badai. Kondisi lebih mengerikan tersaji ketika mobil melewati Kampung Cimenyan. Beberapa rumah tampak rata dengan tanah. Tak heran jika berita yang ditayangkan di televisi dan radio menunjukkan bahwa desa ini diserang bencana alam.Mobil menepi di depan reruntuhan kediaman Rojali. Pemuda bermata sipit itu turun bersama Ustaz Ahmad dan Lukman. Ketiganya menatap tanah kosong di mana beberapa puing bangunan masih berada di sana.“Kang Rojali,” ujar Euis yang muncul dari arah samping rumah, “apa itu benar Kang Rojali?” Rojal
Ustaz Ahmad benar-benar merasa gelisah sepanjang waktu. Pikirannya tertuju pada kondisi sang bapak yang masih berada di rumah sakit. Ia hanya duduk memandang perapian di depan, sama sekali belum menyentuh air atau makanan.“Ustaz,” panggil Lukman yang duduk di sampingnya, “sebaiknya Ustaz mengisi tenaga lebih dahulu. Setelahnya, Ustaz bisa berisitirahat.”Ustaz Ahmad mengembus napas panjang, mengangguk pelan. Ia menghabiskan makanan dengan cepat, lalu berbaring di bangku panjang yang berada tak jauh dari tempat dirinya dan Lukman duduk.Sepinya keadaan Cimayit, berbanding terbalik dengan situasi yang ada di pesantren. Tangis kesedihan begitu mendominasi para santri dan tamu yang hadir. Meninggalnya Kiai Rohmat dengan cepat tersebar. Sayang, di saat seperti ini, sang putra justru berada jauh dan belum tahu mengenai kondisi sang bapak.Para pelayat tengah mengerumuni jenazah Kiai Rohmat. Bacaan surat Yasin saling bersahutan dari mulu
Rojali, Ustaz Ahmad, Ilham dan Lukman tiba di Lancah Darah saat siang menjelang. Mobil menepi di tempat terakhir kali mereka memarkirkan kendaraan.“Sebaiknya kita berangkat sekarang,” ujar Ilham dengan pandangan menelisik sekeliling, “jika tidak bergegas, mungkin saja kita akan tiba malam hari.”Setelah memastikan kendaraan aman, keempat pria itu memulai perjalanan memasuki hutan Lancah Darah. Pemandangan indah yang ditawarkan kawasan ini tidak akan berlangsung lama ketika matahari tenggelam.Seperti apa yang dikatakan orang-orang, Lancah Darah menjadi tempat yang “haram” untuk dikunjungi orang. Tak hanya kisah mistis yang melekat, tetapi tentang sekelompok orang yang susah disentuh, termasuk aparat sekalipun.Rombongan beristirahat di pinggiran sungai untuk melaksanakan salat, juga untuk menyantap bekal. Mereka sudah mencapai setengah perlajanan saat langit mulai bersolek lembayung. Kumpulan burung-burung terban
Ciboeh, 1989Selesai salat subuh berjemaah, para tetua desa yang dipimpin Pak Dede memasuki kantor desa. Mereka duduk melingkar beralas tikar tanpa camilan atau air segelas pun. Dilihat dari wajah dan gestur mereka, tampak ada hal penting yang harus segera mereka diskusikan.Hujan mendadak mengguyur deras. Angin tampak menerobos di sela-sela lubang pintu dan jendela, membawa udara dingin. “Jangan sampai ada yang masuk ke kantor, Man,” ucap Pak Dede pada Eman yang berjaga di pintu.“Siap, Pak Kades.” Eman mengacungkan jempol.Ruangan hanya diterangi lampu kecil sehingga cahaya hanya menyinari tengah ruangan, sedang gelap memeluk keadaaan sekelililing. “Kalian sudah memastikan kalau Rojali tidak ada di desa?” tanya Pak Dede sembari mengamati satu per satu orang yang hadir.“Sudah, Pak Dede,” jawab Pak Yayat, “Ustaz Rojali mengabari kalau selama dua hari
Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memamerkan bulatan sempurna bercahaya keperakan. Di sisi sungai, Mbah Atim dan Mbah Jaja tampak berdiri menunggu kedatangan Ujang. Sudah lewat beberapa menit dari waktu perjanjian.“Awas saja kalau si Ujang mengkhianati kita, Juned,” ucap Mbah Jaja penuh amarah, “aing tidak segan bunuh istri, mertua dan anaknya sekaligus.”“Kita tunggu sebentar lagi, Kang,” sahut Mbah Atim menenangkan. Pandangannya tertuju pada seberang sungai, di mana pekatnya hutan hanya bisa menampilkan kegelapan. Ia mulai tak enak berdiri, pasalnya Mbah Jaja bisa saja nekat, dan saat itu terjadi ia tidak bisa melakukan banyak hal.“Sampai kapan kita harus menunggu si Ujang, Juned?” tanya Mbah Jaja sembari mengeluarkan pisau kecil, memandanginya dengan lekat-lekat. “Bisa saja dia berubah pikiran dan mengkhianati perjanjian kita.”“Saya yakin Ujang pasti datang ke si
Hujan deras yang mengguyur Ciboeh beberapa hari terakhir mengakibatkan bencana longsor. Peristiwa itu terjadi bakda subuh saat para warga sudah mulai bersiap menyambut hari. Lokasi terjadinya bencana berada di perbatasan Cigeutih dan Cimenyan. Hal itu menyebabkan beberapa rumah di dua kampung rusak karena tertimbun. Untungnya tidak ada korban jiwa.Para korban yang berhasil selamat diungsikan di rumah-rumah saudara. Warga saling bergotong royong membantu membersihkan tanah yang menghalangi jalan dan menutup akses jembatan yang menghubungkan kedua kampung.Setelah jembatan dapat kembali dibuka, Rojali berinisiatif meminta bantuan pada pesantren. Syukur dipanjatkan, Kiai mengirim bantuan dengan menerjunkan lima puluh santri ke Ciboeh. Dalam waktu sehari, lokasi sekitar bencana kembali normal meski rumah tampak ambruk.Hari berikutnya, warga masih berjibaku dengan sisa tanah longsor yang masih tertimbun di beberapa bagian sudut desa. Tanpa disangka-sangka, se
Sebuah motor tampak melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Kampung Cigeutih. Gerimis tak lama kemudian berubah menjadi hujan lebat. Reza yang berada di atas kendaraan mencibir dengan penuh sumpah serapah. Ia mempercepat laju motor hingga kendaraan bergetar beberapa kali karena menorobos jalan berbatu dan berlubang.Reza berdecak, melempar rokok sembarang. Saat menoleh pada pos ronda, ia sama sekali tidak melihat teman-temannya berkumpul. Dengan terpaksa pemuda itu harus pulang ke rumah, padahal siang tadi ia bersitegang dengan bapaknya. Malas sebenarnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.“Ah, any*ng!” maki Reza dengan badan yang sudah mulai kedinginan. Seluruh pakaiannya basah kuyup, bahkan sampai ke dalam-dalam. Karena emosi, ia sampai melewatkan kediamannya sendiri.“Tol*l!” maki Reza setelah tahu kalau dirinya melewatkan rumahnya sendiri. Ia mendadak abai dengan keadaan di depan hingga tak bisa menghindari sebuah lubang. Alhasil,