Rojali menggeleng, dan secara tiba-tiba kilasan kejadian tadi malam mendadak bermunculan. Dimulai dari kujang pusaka yang ia terima, pertarungannya dengan Badru, aksi Badru yang mencelakai Kiai, hingga ia tertusuk kujang pusaka.
Rojali buru-buru membuka bajunya. Anehnya, tidak ada bekas luka di sana. Ketika menoleh ke arah Badru, secara tiba-tiba runtutan peristiwa kembali hadir.
‘Hentikan, Badru! Rojali ... Rojali ... Rojali itu anak kamu.’
Rojali memegangi kepalanya dengan kuat. Kalimat itu terdengar nyaring di kepalanya saat ini, terlebih ketika yang berbicara adalah Kiai. Rojali mengingat hal itu sebelum dirinya tak sadarkan diri.
“Arya,” kata Badru dengan tatapan khawatir, “kamu tidak apa-apa, Nak?”
“Jangan mendekat!” pinta Rojali. Tangannya tiba-tiba gemetar ketika mengingat jika ada seseorang yang mengelus rambutnya. Ia sama sekali kesulitan untuk mengenali sosok itu karena wajah orang itu dihalangi cahaya terang.
“Arya,” panggi
Ustaz Ahmad dan Lukman kembali ke Ciboeh tiga jam kemudian. Mereka datang dengan rombongan santri laki-laki. Dari kejauhan, mobil dan motor melewati jalan Ciboeh secara beriringan.Ustaz Ahmad sengaja hanya mengajak santri laki-laki saja. Hal ini sebagai antisipasi jika musuh kembali melancarkan serangan. Selama Ustaz Ahmad dan Lukman kembali ke pesantren, hanya Asep dan Ilham yang berjaga di sekitar desa. Keduanya berada di area persawahan.Ketika seluruh santri sudah tiba di desa, Ustaz Ahmad kemudian memimpin doa bersama. Mereka membentuk barisan yang menyesaki jalan hingga ke arah persawahan. Tubuh mereka memang menempel di tanah, tetapi doa dan harapan mereka terbang ke langit.Susana khuysuk mendekap jemaah yang hadir. Bibir mereka menggumamkan ayat suci dan doa pada Sang Mahakuasa. Awan-awan didorong angin untuk menjadi payung guna menghadang panas matahari yang saat ini berusaha merangkak ke puncak.Dengan kekuasan Tuhan, bersamaan dengan doa yang
Kondisi Kiai cukup buruk hingga harus dibawa ke rumah sakit di kabupaten. Setelah melewati masa kritis, sang pemimpin pesantren itu perlahan sadar. Ustaz Ahmad dan Lukman sontak bersujud ketika Kiai mulai membuka mata. Tak lupa ucapan syukur langsung memenuhi ruangan.Ustaz Ahmad segera memeluk sang bapak dengan begitu erat. Air matanya tumpah ruah membasahi pipi, baju dan seprai kasur. Dokter dan Lukman menjauhkan tubuh Ustaz Ahmad untuk memberi ruang bagi Kiai.Bulan tampak menggelayut di langit yang terbungkus gelap. Serangga kecil terlihat mengerubungi lampu di teras ruangan. Tak lama kemudian, terdengar azan subuh saling menyahut di moncong speaker.Ustaz Ahmad dan Lukman membantu Kiai untuk duduk di kasur. Pria tua itu bertayamum, kemudian melaksanakan salat seorang diri di kamar, sedang ustaz Ahmad dan Lukman pergi ke musala untuk menunaikan salat berjemaah.Selesai menunaikan ibadah, Ustaz Ahmad dan Lukman kembali ke ruangan Kiai. Keduany
Rojali dengan cepat menggeleng. Pemuda itu harus segera kembali ke Ciboeh untuk mengetahui keadaan penduduk, terutama Kiai. Ia ingin mengetahui semua kebenarannya dari pemimpin pesantren tersebut.Rojali mulai berjalan di pinggiran sungai. Jika tidak salah, sungai ini akan membawanya ke markas Kalong Hideung. Akan tetapi, dengan kondisinya yang kelaparan dan keletihan, tak mudah untuk mencapai lokasi itu.Matahari mulai mengusir gelap. Pemandangan sekeliling dengan cepat terpampang jelas dalam pandangan. Ketika sibuk menyisir pandangan ke sekeliling, Rojali melihat sebuah gubuk tua yang berada di seberang sungai.“Apa … itu gubuk yang pernah dikatakan Ilham?” tanyanya pada diri sendiri.Rojali memutuskan untuk menyebrangi sungai. Ia melompati satu per satu batu untuk sampai ke seberang. Karena suasana pagi, bangunan tua di depannya saat ini tampak tidak terlalu menyeramkan.Rojali memutuskan untuk masuk. Ia langsung disambut deng
Sayup-sayup terdengar langkah kaki yang diseret di kedalaman hutan Lancah Darah. Dari arah timur, seorang pria tua tengah berjalan dengan berpegangan pada sebuah tongkat. Peluh membajiri hampir sekujur tubuhnya yang penuh luka. Di tengah cicitan burung yang bertengger di dahan pohon, nyatanya napas Ki Jalu terdengar terputus-putus.Ki Jalu mengerang bak kerbau yang hendak disembelih. Tubuhnya bergetar beberapa kali hingga pada akhirnya ambruk ke tanah. Napasnya terengah bak ikan yang jauh dari air. Matanya perlahan tertutup seiring dengan langkah kaki yang terdengar mendekat.“Badru,” lirih Ki Jalu yang tak lama kemudian tak sadarkan diri.Dari arah markas, Badru tampak menuruni tangga batu ketika melihat sesuatu yang mencurigakan dari dalam hutan. Saat mendekat, ia dibuat terkejut ketika melihat Ki Jalu terbaring dengan kondisi tak sadarkan diri.“Bapak.” Badru langsung memeriksa keadaan Ki Jalu. Pria paruh baya itu tercengang ket
Langit sudah bersolek mega ketika Ustaz Ahmad, Lukman, Ilham dan Asep mulai memasuki jantung Lancah Darah. Perjalanan mereka sempat terganggu karena kendaraan yang tiba-tiba mati di tengah jalan. Butuh waktu beberapa jam hingga mobil kembali bisa melaju.Ilham memimpin jalan di depan. Ketiga orang di belakangnya sempat disergap ketakutan ketika memasuki Lancah Darah. Tempat ini memang terkenal sebagai hutan angker, baik karena masalah gaibnya maupun perkara cerita mayat-mayat tanpa identitas yang dibuang di lokasi ini. Kengerian itu masih hinggap sampai saat ini, terlebih malam hampir saja tiba.Keempat pria itu tengah menyusuri sungai, berjalan dengan penuh kewaspadaan.“Tempat itu adalah markas Kalong Hideung.” Ilham menujuk bagunan yang tampak kecil dari jarak mereka saat ini. “Saya dan Rojali sempat memasukinya di saat Kalong Hideung berkumpul untuk merencakan ritual.”“Apa ada kemungkinan kalau Rojali ada di sana?”
Di pelataran puskesmas, Euis tiba-tiba menjerit karena melihat beberapa warga mulai terbangun, kemudian disusul oleh penduduk yang lain. Gadis itu duduk dengan wajah yang ditutup oleh kedua tangan. Pipinya sudah dibanjiri air mata karena tak kuasa menahan sedih dan bahagia. Sesaat setelah doa bersama yang diselenggarakan para santri selesai, kondisi warga Ciboeh mulai menunjukkan perubahan. Kabar mengenai masalah yang menimpa warga Ciboeh dengan cepat tersebar ke desa tetangga, bahkan kabupaten berbeda. Berita yang tersiar hanya merujuk pada bencana alam sesuai keterangan awal polisi, bukan pada ritual yang dilakukan Kalong Hideung. Bantuan mulai berdatangan. Pihak kepolisian, pemerintah kecamatan dan kabupaten serta beberapa media datang ke Ciboeh untuk melihat keadaan desa. Beberapa di antara mereka juga sempat menjenguk keadaan warga saat siang. Hanya saja untuk malam ini, kedatangan pihak kepolisian nyatanya terhalang cuaca ganas yang mengamuk semenjak sore.
Ketika pertanyaan itu terlontar, pintu ruangan kembali terbuka. Kiai Mukhsin muncul dari celah yang ada. Ustaz Ahmad segera menyalami sahabat sang bapak, kemudian membiarkan kursinya untuk diduduki.“Alhamdulillah, saya senang kamu sudah kembali, Ahmad. Bagaimana dengan Rojali?” tanya Kiai Mukhsin.“Atas pertolongan Allah dan doa dari semuanya, kami berhasil membawanya pulang, Kiai. Hanya saja kondisinya masih belum sadar.”Kiai Mukhsin mengangguk.“Bagaimana perjalanan kalian? Apa Kalong Hideung menyerang kalian?” ulang Kiai.“Kalong Hideung sama sekali tidak menyerang kami saat di Lancah Darah,” jawab Ustaz Ahmad, “menurut keterangan Asep, salah satu temannya yang bernama Ujang yang merupakan anggota Kalong Hideung tiba-tiba menghilang dan berubah jadi abu. Kemungkinan anggota Kalong Hideung yang lain ikut mengalami hal serupa.”“Astagfirullahaladzim,” ucap Kiai Rohmat
“Bagaimana keadaan kamu sekarang, Rojali?” tanya Kiai sembari duduk di kursi, dibantu oleh Ustaz Ahmad dan Lukman. Deru napas pria tua itu terputus-putus layaknya baru saja berlari maraton.“Saya baik-baik saja, Kiai,” jawab Rojali seraya menunduk takzim. Pandangannya tertuju pada kepalan tangan yang berada di bawah selimut. Ia tahu ke mana pembicaraan ini akan bermuara.“Ahmad, Lukman,” ucap Kiai tanpa menoleh pada orang-orang yang disebut.Ustaz Ahmad dan Lukman serempak mengangguk, lalu memilih meninggalkan ruangan. Keduanya bisa tahu maksud Kiai hanya dengan ucapan tersebut.Kini, ruangan hanya diisi oleh Rojali dan Kiai. Keheningan lebih dahulu mendekap sebelum obrolan selanjutnya akan kembali terjadi. Hujan kian deras mengguyur bumi. Sesekali angin menerjang, menerbangkan dedaunan dan ranting. Sebagian di antaranya mengenai jendela kamar inap, menimbulkan suara yang tidak enak didengar.“Ada hal yang
“Ini satu-satunya cara, Kang. Kita tidak punya pilihan lain.”Mbah Jaja akhirnya setuju setelah agak lama berpikir. “Aing bakal pasang pagar gaib lebih dulu.”Sebuah kubah segera melingkupi seluruh gubuk. Di pandangan orang biasa, bangunan itu akan tampak seperti halaman kosong.Mbah Atim dan Mbah Jaja dengan cepat duduk bersila di depan dan belakang orang gila itu. Mulut mereka mulai berkomat-kamit membaca mantra. Butuh kekuatan dan konsentrasi tinggi untuk bisa menggunakan ajian pengubah raga.Tubuh orang gila itu secara tiba-tiba bergetar beberapa kali. Mulutnya terbuka dengan kondisi bola mata memelotot seperti hendak meloncat. Raganya kemudian berguling-guling di lantai, dan tidak lama setelahnya, fisik pria edan itu persis menyerupai Mbah Atim.“Semoga saja si Jalu tidak sadar,” ujar Mbah Atim yang berdiri dengan wajah pucat. Keringat mulai membanjiri keningnya. Tenaganya benar-benar terkuras habis
1990Sehari sebelum kejadian penemuan jenazah tanpa kepalaCiboeh sangat panas siang ini. Debu-debu berterbangan ketika kaki melangkah dan roda kendaraan menggerus jalan. Beberapa warga tampak menyiram air ke halaman untuk mengusir panas. Meski begitu, tawa anak-anak terdengar bersahutan ketika mereka tengah mengerumuni seorang pria berpakaian kumal.“Nugelo (orang gila)! Nugelo!” Anak-anak kompak meneriaki seorang pria yang tengah berjongkok di tengah mereka.Orang gila itu melirik ke kanan dan ke kiri. Sesekali tangannya menepis ranting yang disodorkan anak-anak padanya. Bibirnya bergerak seperti menggumamkan sesuatu.Seorang anak laki-laki tiba-tiba saja melempar ranting ke sembarang arah ketika melihat Rojali dan Reza tengah berjalan ke arah mereka.“Ada Ustaz Rojali,” ujar Uden, “ayo kabur sebelum kita dihukum.”“H
Dua hari setelah kepergian Kiai, Rojali berkunjung ke Ciboeh bersama Lukman dan Ustaz Ahmad. Pemuda itu sudah mendengar kondisi desa dari keduanya yang porak poranda akibat ritual. Akan tetapi, ia berhasil dibuat terkejut ketika melihat keadaan Ciboeh secara langsung.Saat melewati gerbang desa, ia melihat gapura hancur sebagian. Lebih dekat ke arah utara, banyak rumah roboh dan hancur seperti baru diterjang badai. Kondisi lebih mengerikan tersaji ketika mobil melewati Kampung Cimenyan. Beberapa rumah tampak rata dengan tanah. Tak heran jika berita yang ditayangkan di televisi dan radio menunjukkan bahwa desa ini diserang bencana alam.Mobil menepi di depan reruntuhan kediaman Rojali. Pemuda bermata sipit itu turun bersama Ustaz Ahmad dan Lukman. Ketiganya menatap tanah kosong di mana beberapa puing bangunan masih berada di sana.“Kang Rojali,” ujar Euis yang muncul dari arah samping rumah, “apa itu benar Kang Rojali?” Rojal
Ustaz Ahmad benar-benar merasa gelisah sepanjang waktu. Pikirannya tertuju pada kondisi sang bapak yang masih berada di rumah sakit. Ia hanya duduk memandang perapian di depan, sama sekali belum menyentuh air atau makanan.“Ustaz,” panggil Lukman yang duduk di sampingnya, “sebaiknya Ustaz mengisi tenaga lebih dahulu. Setelahnya, Ustaz bisa berisitirahat.”Ustaz Ahmad mengembus napas panjang, mengangguk pelan. Ia menghabiskan makanan dengan cepat, lalu berbaring di bangku panjang yang berada tak jauh dari tempat dirinya dan Lukman duduk.Sepinya keadaan Cimayit, berbanding terbalik dengan situasi yang ada di pesantren. Tangis kesedihan begitu mendominasi para santri dan tamu yang hadir. Meninggalnya Kiai Rohmat dengan cepat tersebar. Sayang, di saat seperti ini, sang putra justru berada jauh dan belum tahu mengenai kondisi sang bapak.Para pelayat tengah mengerumuni jenazah Kiai Rohmat. Bacaan surat Yasin saling bersahutan dari mulu
Rojali, Ustaz Ahmad, Ilham dan Lukman tiba di Lancah Darah saat siang menjelang. Mobil menepi di tempat terakhir kali mereka memarkirkan kendaraan.“Sebaiknya kita berangkat sekarang,” ujar Ilham dengan pandangan menelisik sekeliling, “jika tidak bergegas, mungkin saja kita akan tiba malam hari.”Setelah memastikan kendaraan aman, keempat pria itu memulai perjalanan memasuki hutan Lancah Darah. Pemandangan indah yang ditawarkan kawasan ini tidak akan berlangsung lama ketika matahari tenggelam.Seperti apa yang dikatakan orang-orang, Lancah Darah menjadi tempat yang “haram” untuk dikunjungi orang. Tak hanya kisah mistis yang melekat, tetapi tentang sekelompok orang yang susah disentuh, termasuk aparat sekalipun.Rombongan beristirahat di pinggiran sungai untuk melaksanakan salat, juga untuk menyantap bekal. Mereka sudah mencapai setengah perlajanan saat langit mulai bersolek lembayung. Kumpulan burung-burung terban
Ciboeh, 1989Selesai salat subuh berjemaah, para tetua desa yang dipimpin Pak Dede memasuki kantor desa. Mereka duduk melingkar beralas tikar tanpa camilan atau air segelas pun. Dilihat dari wajah dan gestur mereka, tampak ada hal penting yang harus segera mereka diskusikan.Hujan mendadak mengguyur deras. Angin tampak menerobos di sela-sela lubang pintu dan jendela, membawa udara dingin. “Jangan sampai ada yang masuk ke kantor, Man,” ucap Pak Dede pada Eman yang berjaga di pintu.“Siap, Pak Kades.” Eman mengacungkan jempol.Ruangan hanya diterangi lampu kecil sehingga cahaya hanya menyinari tengah ruangan, sedang gelap memeluk keadaaan sekelililing. “Kalian sudah memastikan kalau Rojali tidak ada di desa?” tanya Pak Dede sembari mengamati satu per satu orang yang hadir.“Sudah, Pak Dede,” jawab Pak Yayat, “Ustaz Rojali mengabari kalau selama dua hari
Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memamerkan bulatan sempurna bercahaya keperakan. Di sisi sungai, Mbah Atim dan Mbah Jaja tampak berdiri menunggu kedatangan Ujang. Sudah lewat beberapa menit dari waktu perjanjian.“Awas saja kalau si Ujang mengkhianati kita, Juned,” ucap Mbah Jaja penuh amarah, “aing tidak segan bunuh istri, mertua dan anaknya sekaligus.”“Kita tunggu sebentar lagi, Kang,” sahut Mbah Atim menenangkan. Pandangannya tertuju pada seberang sungai, di mana pekatnya hutan hanya bisa menampilkan kegelapan. Ia mulai tak enak berdiri, pasalnya Mbah Jaja bisa saja nekat, dan saat itu terjadi ia tidak bisa melakukan banyak hal.“Sampai kapan kita harus menunggu si Ujang, Juned?” tanya Mbah Jaja sembari mengeluarkan pisau kecil, memandanginya dengan lekat-lekat. “Bisa saja dia berubah pikiran dan mengkhianati perjanjian kita.”“Saya yakin Ujang pasti datang ke si
Hujan deras yang mengguyur Ciboeh beberapa hari terakhir mengakibatkan bencana longsor. Peristiwa itu terjadi bakda subuh saat para warga sudah mulai bersiap menyambut hari. Lokasi terjadinya bencana berada di perbatasan Cigeutih dan Cimenyan. Hal itu menyebabkan beberapa rumah di dua kampung rusak karena tertimbun. Untungnya tidak ada korban jiwa.Para korban yang berhasil selamat diungsikan di rumah-rumah saudara. Warga saling bergotong royong membantu membersihkan tanah yang menghalangi jalan dan menutup akses jembatan yang menghubungkan kedua kampung.Setelah jembatan dapat kembali dibuka, Rojali berinisiatif meminta bantuan pada pesantren. Syukur dipanjatkan, Kiai mengirim bantuan dengan menerjunkan lima puluh santri ke Ciboeh. Dalam waktu sehari, lokasi sekitar bencana kembali normal meski rumah tampak ambruk.Hari berikutnya, warga masih berjibaku dengan sisa tanah longsor yang masih tertimbun di beberapa bagian sudut desa. Tanpa disangka-sangka, se
Sebuah motor tampak melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Kampung Cigeutih. Gerimis tak lama kemudian berubah menjadi hujan lebat. Reza yang berada di atas kendaraan mencibir dengan penuh sumpah serapah. Ia mempercepat laju motor hingga kendaraan bergetar beberapa kali karena menorobos jalan berbatu dan berlubang.Reza berdecak, melempar rokok sembarang. Saat menoleh pada pos ronda, ia sama sekali tidak melihat teman-temannya berkumpul. Dengan terpaksa pemuda itu harus pulang ke rumah, padahal siang tadi ia bersitegang dengan bapaknya. Malas sebenarnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.“Ah, any*ng!” maki Reza dengan badan yang sudah mulai kedinginan. Seluruh pakaiannya basah kuyup, bahkan sampai ke dalam-dalam. Karena emosi, ia sampai melewatkan kediamannya sendiri.“Tol*l!” maki Reza setelah tahu kalau dirinya melewatkan rumahnya sendiri. Ia mendadak abai dengan keadaan di depan hingga tak bisa menghindari sebuah lubang. Alhasil,