Share

160

Penulis: Ramdani Abdul
last update Terakhir Diperbarui: 2022-02-01 11:05:22

Ketika pertanyaan itu terlontar, pintu ruangan kembali terbuka. Kiai Mukhsin muncul dari celah yang ada. Ustaz Ahmad segera menyalami sahabat sang bapak, kemudian membiarkan kursinya untuk diduduki.

“Alhamdulillah, saya senang kamu sudah kembali, Ahmad. Bagaimana dengan Rojali?” tanya Kiai Mukhsin.

“Atas pertolongan Allah dan doa dari semuanya, kami berhasil membawanya pulang, Kiai. Hanya saja kondisinya masih belum sadar.”

Kiai Mukhsin mengangguk.

“Bagaimana perjalanan kalian? Apa Kalong Hideung menyerang kalian?” ulang Kiai.

“Kalong Hideung sama sekali tidak menyerang kami saat di Lancah Darah,” jawab Ustaz Ahmad, “menurut keterangan Asep, salah satu temannya yang bernama Ujang yang merupakan anggota Kalong Hideung tiba-tiba menghilang dan berubah jadi abu. Kemungkinan anggota Kalong Hideung yang lain ikut mengalami hal serupa.”

“Astagfirullahaladzim,” ucap Kiai Rohmat

Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Kafan Hitam   161

    “Bagaimana keadaan kamu sekarang, Rojali?” tanya Kiai sembari duduk di kursi, dibantu oleh Ustaz Ahmad dan Lukman. Deru napas pria tua itu terputus-putus layaknya baru saja berlari maraton.“Saya baik-baik saja, Kiai,” jawab Rojali seraya menunduk takzim. Pandangannya tertuju pada kepalan tangan yang berada di bawah selimut. Ia tahu ke mana pembicaraan ini akan bermuara.“Ahmad, Lukman,” ucap Kiai tanpa menoleh pada orang-orang yang disebut.Ustaz Ahmad dan Lukman serempak mengangguk, lalu memilih meninggalkan ruangan. Keduanya bisa tahu maksud Kiai hanya dengan ucapan tersebut.Kini, ruangan hanya diisi oleh Rojali dan Kiai. Keheningan lebih dahulu mendekap sebelum obrolan selanjutnya akan kembali terjadi. Hujan kian deras mengguyur bumi. Sesekali angin menerjang, menerbangkan dedaunan dan ranting. Sebagian di antaranya mengenai jendela kamar inap, menimbulkan suara yang tidak enak didengar.“Ada hal yang

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-02
  • Kafan Hitam   162

    Lukman dan Ustaz Ahmad tengah berada di pelataran masjid. Keduanya duduk bersebelahan, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hujan sudah mulai reda dan hanya meninggalkan titik-titik gerimis. “Saya ... benar-benar tidak menyangka kalau Rojali akan mengalami hal yang sesulit ini, Ustaz,” ujar Lukman dengan pandangan yang tertuju pancuran kecil di depannya. Ustaz Ahmad mengembus napas panjang. “Itu ... semua merupakan takdir yang sudah Allah gariskan untuk Rojali, Man.” “Kenapa Rojali harus terlahir dari benih orang sejahat Badru?” Lukman mengepal kedua tangannya kuat-kuat. Hatinya benar-benar panas dan sesak oleh kemarahan dan ketidakpercayaan. “Istigfar, Man. Allah sudah menggariskan hal demikian untuk Rojali dan mau tak mau dia harus menerimanya,” susul Ustaz Ahmad. “Bagaimana ... kalau misalnya Rojali memilih bergabung dengan bapaknya yang jahat, Ustaz? Saya benar-benar takut kalau sampai itu terjadi.” Ustaz Ahmad menghela napas pan

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-02
  • Kafan Hitam   163

    Rojali kontan mendongak ketika mendengar kabar tersebut. Ia hanya bisa mengucap kalimat istirja dalam gumaman. Asep mulai bercerita, “Sebagaimana yang Ustaz tahu, Ujang hilang secara misterius sekitar lima tahun yang lalu. Warga desa sudah mencarinya ke mana-mana, bahkan sampai berbulan-bulan. Tapi, Ujang sama sekali tidak ditemukan. Pada kenyataannya, Ujang ditemukan oleh Kalong Hideung di Lancah Darah sekitar lima tahun lalu. Ujang terpaksa bergabung dengan Kalong Hideung untuk menyelamatkan nyawanya yang terancam. Dia sama sekali tidak bisa kabur dari mereka karena sudah tersandera oleh ritual kafan hitam. Singkat Cerita, tiga tahun kemudian, Ujang bertemu dengan Mbah Atim. Mbah Atim membantu Ujang untuk melepaskan diri dari ritual kafan hitam. Hanya saja, hal itu harus dilakukan secara berulang-ulang hingga dua tahun lamanya sampai akhirnya Ujang bisa bergerak bebas selama satu minggu dari pengaruh ritual tersebut.” Rojali hanya diam dengan pandan

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-03
  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 1)

    Ciboeh, 1988“Ini ... tulisan Kang Ujang,” ujar Romlah dengan tatapan tak percaya.Romlah buru-buru mengambil tempat duduk senyaman mungkin. Wanita itu menoleh ke arah pintu yang hanya ditutup tirai lusuh, lalu kembali mengamati isi tulisan.*****Romlah, ini AkangMaafkan Akang kalau kepergian Akang membuat kamu khawatirAkang baik-baik saja sekarangAkang sekarang berada di tempat yang jauhAkang tidak bisa pulang sekarang Tolong jaga anak kita, RojakJangan beri tahu siapa pun soal Akang yang mengirimu kamu surat *****Romlah menangis setelah membaca surat tersebut. Bahunya berguncang kuat beberapa saat. Wanita itu dengan cepat menyimpan kertas tersebut ke dalam lemari, lalu segera berbaring di kasur. Ada senyum dan tangis di wajahnya saat ini.Romlah tertidur pulas dan terbangun saat pagi menjelan

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-04
  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 2)

    “Mbah Atim?” Mak Iyah tiba-tiba saja menjatuhkan buku dan surat Ujang.“Ka-kamu ... kamu yakin, Romlah?” tanya Mak Iyah setelah hening beberapa saat.Romlah mengangguk. “Malam tadi, Mbah Atim yang memberikan suarat itu pada saya. Mak.”“Ta-tapi apa hubungannya Ujang dengan Mbah Atim?” Mak Iyah beranjak menuju jendela, mengamati tetes hujan yang bejatuhan di halaman. Tampak di jalan Aep dan Asep tengah berlari.“Saya tidak bohong, Mak.” Romlah ikut berdiri, menyakinkan.Mak Iyah memijat kepala yang mendadak terasa pening. Embusan napasnya terdengar panjang dan lemah. Wanita paruh baya itu benar-benar bingung harus bertindak apa saat ini. Akan tetapi, ia tentu tidak boleh berdiam diri, harus ada sesuatu yang dirinya lakukan.“Kamu yakin?” tanya Mak Iyah lagi.“Yakin, Mak.”Mak Iyah tentu saja tidak langsung percaya dengan ucapan Romlah, terlebih d

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-04
  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 3)

    Mbah Atim duduk bersila, menatap Romlah dan Mak Iyah bergantian. “Apa yang ingin kalian tahu soal Ujang?”Mak Iyah melirik Romlah sekilas, lalu menjawab, “Romlah ... Romlah bilang kalau dia mendapat surat dari Mbah. Apa itu benar?”Mbah Atim menoleh pada Romlah beberapa saat. “Benar. Saya yang mengirimkan surat itu.”“Apa ... be-benar kalau surat itu dari ... Ujang?” selidik Mak Iyah sembari menyeka keringat.“Benar,” sahut Mbah Atim sembari menatap Romlah dan Mak Iyah bergantian.“Di mana Ujang sekarang, Mbah? Kenapa Ujang bisa me-menitipkan surat itu sama Mbah? Apa Ujang—”“Ujang berada di tempat yang sangat jauh,” potong Mbah Atim sambil memelotot. “Dia belum bisa pulang karena masih harus menyelesaikan sebuah tugas.”Mak Iyah dan Romlah saling melempar tatapan. Keduanya takut bukan main saat melihat pelototan itu. Akan tetapi, ras

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-05
  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 4)

    Bulan sabit tampak menggantung di langit malam. Pekatnya Lancah Darah, sedikit berbanding terbalik dengan sebuah bangunan yang berada di atas bukit yang kini diterangi oleh cahaya obor.Anggota Kalong Hideung tengah berkumpul di markas utama saat ini.“Bagaimana hasil pencariannya, Kos?” tanya Ki Jalu.Engkos yang berdiri paling di antara anggota Kalong Hideung yang lain segera menjawab, “Kami tidak menemukan kotak itu di Desa Batu Belah, Ki.”“Kamu yakin, Kos?” selidik Ki Jalu.“Kami sudah mencari selama tiga tahun di sana, Ki. Dari mulai hutan, sawah, sampai perumahan warga,” terang Engkos, “kami bahkan mengulang pencarian hingga lima kali. Namun, hasilnya tetap sama.”Ki Jalu mengembus napas panjang, lalu mencoret satu titik dengan tanda silang di kertas yang tengah dipegangnya. Pandangan kakek tua itu seketika tertuju salah satu titik yang tersisa. “Kalau begitu, kita akan

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-06
  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 5)

    Sebuah motor tampak melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Kampung Cigeutih. Gerimis tak lama kemudian berubah menjadi hujan lebat. Reza yang berada di atas kendaraan mencibir dengan penuh sumpah serapah. Ia mempercepat laju motor hingga kendaraan bergetar beberapa kali karena menorobos jalan berbatu dan berlubang.Reza berdecak, melempar rokok sembarang. Saat menoleh pada pos ronda, ia sama sekali tidak melihat teman-temannya berkumpul. Dengan terpaksa pemuda itu harus pulang ke rumah, padahal siang tadi ia bersitegang dengan bapaknya. Malas sebenarnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.“Ah, any*ng!” maki Reza dengan badan yang sudah mulai kedinginan. Seluruh pakaiannya basah kuyup, bahkan sampai ke dalam-dalam. Karena emosi, ia sampai melewatkan kediamannya sendiri.“Tol*l!” maki Reza setelah tahu kalau dirinya melewatkan rumahnya sendiri. Ia mendadak abai dengan keadaan di depan hingga tak bisa menghindari sebuah lubang. Alhasil,

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-07

Bab terbaru

  • Kafan Hitam   09 - Kafan Hitam (Ending)

    “Ini satu-satunya cara, Kang. Kita tidak punya pilihan lain.”Mbah Jaja akhirnya setuju setelah agak lama berpikir. “Aing bakal pasang pagar gaib lebih dulu.”Sebuah kubah segera melingkupi seluruh gubuk. Di pandangan orang biasa, bangunan itu akan tampak seperti halaman kosong.Mbah Atim dan Mbah Jaja dengan cepat duduk bersila di depan dan belakang orang gila itu. Mulut mereka mulai berkomat-kamit membaca mantra. Butuh kekuatan dan konsentrasi tinggi untuk bisa menggunakan ajian pengubah raga.Tubuh orang gila itu secara tiba-tiba bergetar beberapa kali. Mulutnya terbuka dengan kondisi bola mata memelotot seperti hendak meloncat. Raganya kemudian berguling-guling di lantai, dan tidak lama setelahnya, fisik pria edan itu persis menyerupai Mbah Atim.“Semoga saja si Jalu tidak sadar,” ujar Mbah Atim yang berdiri dengan wajah pucat. Keringat mulai membanjiri keningnya. Tenaganya benar-benar terkuras habis

  • Kafan Hitam   09 - Kafan Hitam (Part 1)

    1990Sehari sebelum kejadian penemuan jenazah tanpa kepalaCiboeh sangat panas siang ini. Debu-debu berterbangan ketika kaki melangkah dan roda kendaraan menggerus jalan. Beberapa warga tampak menyiram air ke halaman untuk mengusir panas. Meski begitu, tawa anak-anak terdengar bersahutan ketika mereka tengah mengerumuni seorang pria berpakaian kumal.“Nugelo (orang gila)! Nugelo!” Anak-anak kompak meneriaki seorang pria yang tengah berjongkok di tengah mereka.Orang gila itu melirik ke kanan dan ke kiri. Sesekali tangannya menepis ranting yang disodorkan anak-anak padanya. Bibirnya bergerak seperti menggumamkan sesuatu.Seorang anak laki-laki tiba-tiba saja melempar ranting ke sembarang arah ketika melihat Rojali dan Reza tengah berjalan ke arah mereka.“Ada Ustaz Rojali,” ujar Uden, “ayo kabur sebelum kita dihukum.”“H

  • Kafan Hitam   166

    Dua hari setelah kepergian Kiai, Rojali berkunjung ke Ciboeh bersama Lukman dan Ustaz Ahmad. Pemuda itu sudah mendengar kondisi desa dari keduanya yang porak poranda akibat ritual. Akan tetapi, ia berhasil dibuat terkejut ketika melihat keadaan Ciboeh secara langsung.Saat melewati gerbang desa, ia melihat gapura hancur sebagian. Lebih dekat ke arah utara, banyak rumah roboh dan hancur seperti baru diterjang badai. Kondisi lebih mengerikan tersaji ketika mobil melewati Kampung Cimenyan. Beberapa rumah tampak rata dengan tanah. Tak heran jika berita yang ditayangkan di televisi dan radio menunjukkan bahwa desa ini diserang bencana alam.Mobil menepi di depan reruntuhan kediaman Rojali. Pemuda bermata sipit itu turun bersama Ustaz Ahmad dan Lukman. Ketiganya menatap tanah kosong di mana beberapa puing bangunan masih berada di sana.“Kang Rojali,” ujar Euis yang muncul dari arah samping rumah, “apa itu benar Kang Rojali?” Rojal

  • Kafan Hitam   165

    Ustaz Ahmad benar-benar merasa gelisah sepanjang waktu. Pikirannya tertuju pada kondisi sang bapak yang masih berada di rumah sakit. Ia hanya duduk memandang perapian di depan, sama sekali belum menyentuh air atau makanan.“Ustaz,” panggil Lukman yang duduk di sampingnya, “sebaiknya Ustaz mengisi tenaga lebih dahulu. Setelahnya, Ustaz bisa berisitirahat.”Ustaz Ahmad mengembus napas panjang, mengangguk pelan. Ia menghabiskan makanan dengan cepat, lalu berbaring di bangku panjang yang berada tak jauh dari tempat dirinya dan Lukman duduk.Sepinya keadaan Cimayit, berbanding terbalik dengan situasi yang ada di pesantren. Tangis kesedihan begitu mendominasi para santri dan tamu yang hadir. Meninggalnya Kiai Rohmat dengan cepat tersebar. Sayang, di saat seperti ini, sang putra justru berada jauh dan belum tahu mengenai kondisi sang bapak.Para pelayat tengah mengerumuni jenazah Kiai Rohmat. Bacaan surat Yasin saling bersahutan dari mulu

  • Kafan Hitam   164

    Rojali, Ustaz Ahmad, Ilham dan Lukman tiba di Lancah Darah saat siang menjelang. Mobil menepi di tempat terakhir kali mereka memarkirkan kendaraan.“Sebaiknya kita berangkat sekarang,” ujar Ilham dengan pandangan menelisik sekeliling, “jika tidak bergegas, mungkin saja kita akan tiba malam hari.”Setelah memastikan kendaraan aman, keempat pria itu memulai perjalanan memasuki hutan Lancah Darah. Pemandangan indah yang ditawarkan kawasan ini tidak akan berlangsung lama ketika matahari tenggelam.Seperti apa yang dikatakan orang-orang, Lancah Darah menjadi tempat yang “haram” untuk dikunjungi orang. Tak hanya kisah mistis yang melekat, tetapi tentang sekelompok orang yang susah disentuh, termasuk aparat sekalipun.Rombongan beristirahat di pinggiran sungai untuk melaksanakan salat, juga untuk menyantap bekal. Mereka sudah mencapai setengah perlajanan saat langit mulai bersolek lembayung. Kumpulan burung-burung terban

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 8)

    Ciboeh, 1989Selesai salat subuh berjemaah, para tetua desa yang dipimpin Pak Dede memasuki kantor desa. Mereka duduk melingkar beralas tikar tanpa camilan atau air segelas pun. Dilihat dari wajah dan gestur mereka, tampak ada hal penting yang harus segera mereka diskusikan.Hujan mendadak mengguyur deras. Angin tampak menerobos di sela-sela lubang pintu dan jendela, membawa udara dingin. “Jangan sampai ada yang masuk ke kantor, Man,” ucap Pak Dede pada Eman yang berjaga di pintu.“Siap, Pak Kades.” Eman mengacungkan jempol.Ruangan hanya diterangi lampu kecil sehingga cahaya hanya menyinari tengah ruangan, sedang gelap memeluk keadaaan sekelililing. “Kalian sudah memastikan kalau Rojali tidak ada di desa?” tanya Pak Dede sembari mengamati satu per satu orang yang hadir.“Sudah, Pak Dede,” jawab Pak Yayat, “Ustaz Rojali mengabari kalau selama dua hari

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 8)

    Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memamerkan bulatan sempurna bercahaya keperakan. Di sisi sungai, Mbah Atim dan Mbah Jaja tampak berdiri menunggu kedatangan Ujang. Sudah lewat beberapa menit dari waktu perjanjian.“Awas saja kalau si Ujang mengkhianati kita, Juned,” ucap Mbah Jaja penuh amarah, “aing tidak segan bunuh istri, mertua dan anaknya sekaligus.”“Kita tunggu sebentar lagi, Kang,” sahut Mbah Atim menenangkan. Pandangannya tertuju pada seberang sungai, di mana pekatnya hutan hanya bisa menampilkan kegelapan. Ia mulai tak enak berdiri, pasalnya Mbah Jaja bisa saja nekat, dan saat itu terjadi ia tidak bisa melakukan banyak hal.“Sampai kapan kita harus menunggu si Ujang, Juned?” tanya Mbah Jaja sembari mengeluarkan pisau kecil, memandanginya dengan lekat-lekat. “Bisa saja dia berubah pikiran dan mengkhianati perjanjian kita.”“Saya yakin Ujang pasti datang ke si

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 6)

    Hujan deras yang mengguyur Ciboeh beberapa hari terakhir mengakibatkan bencana longsor. Peristiwa itu terjadi bakda subuh saat para warga sudah mulai bersiap menyambut hari. Lokasi terjadinya bencana berada di perbatasan Cigeutih dan Cimenyan. Hal itu menyebabkan beberapa rumah di dua kampung rusak karena tertimbun. Untungnya tidak ada korban jiwa.Para korban yang berhasil selamat diungsikan di rumah-rumah saudara. Warga saling bergotong royong membantu membersihkan tanah yang menghalangi jalan dan menutup akses jembatan yang menghubungkan kedua kampung.Setelah jembatan dapat kembali dibuka, Rojali berinisiatif meminta bantuan pada pesantren. Syukur dipanjatkan, Kiai mengirim bantuan dengan menerjunkan lima puluh santri ke Ciboeh. Dalam waktu sehari, lokasi sekitar bencana kembali normal meski rumah tampak ambruk.Hari berikutnya, warga masih berjibaku dengan sisa tanah longsor yang masih tertimbun di beberapa bagian sudut desa. Tanpa disangka-sangka, se

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 5)

    Sebuah motor tampak melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Kampung Cigeutih. Gerimis tak lama kemudian berubah menjadi hujan lebat. Reza yang berada di atas kendaraan mencibir dengan penuh sumpah serapah. Ia mempercepat laju motor hingga kendaraan bergetar beberapa kali karena menorobos jalan berbatu dan berlubang.Reza berdecak, melempar rokok sembarang. Saat menoleh pada pos ronda, ia sama sekali tidak melihat teman-temannya berkumpul. Dengan terpaksa pemuda itu harus pulang ke rumah, padahal siang tadi ia bersitegang dengan bapaknya. Malas sebenarnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.“Ah, any*ng!” maki Reza dengan badan yang sudah mulai kedinginan. Seluruh pakaiannya basah kuyup, bahkan sampai ke dalam-dalam. Karena emosi, ia sampai melewatkan kediamannya sendiri.“Tol*l!” maki Reza setelah tahu kalau dirinya melewatkan rumahnya sendiri. Ia mendadak abai dengan keadaan di depan hingga tak bisa menghindari sebuah lubang. Alhasil,

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status