Lukman dan Ustaz Ahmad tengah berada di pelataran masjid. Keduanya duduk bersebelahan, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hujan sudah mulai reda dan hanya meninggalkan titik-titik gerimis.
“Saya ... benar-benar tidak menyangka kalau Rojali akan mengalami hal yang sesulit ini, Ustaz,” ujar Lukman dengan pandangan yang tertuju pancuran kecil di depannya.
Ustaz Ahmad mengembus napas panjang. “Itu ... semua merupakan takdir yang sudah Allah gariskan untuk Rojali, Man.”
“Kenapa Rojali harus terlahir dari benih orang sejahat Badru?” Lukman mengepal kedua tangannya kuat-kuat. Hatinya benar-benar panas dan sesak oleh kemarahan dan ketidakpercayaan.
“Istigfar, Man. Allah sudah menggariskan hal demikian untuk Rojali dan mau tak mau dia harus menerimanya,” susul Ustaz Ahmad.
“Bagaimana ... kalau misalnya Rojali memilih bergabung dengan bapaknya yang jahat, Ustaz? Saya benar-benar takut kalau sampai itu terjadi.”
Ustaz Ahmad menghela napas pan
Rojali kontan mendongak ketika mendengar kabar tersebut. Ia hanya bisa mengucap kalimat istirja dalam gumaman. Asep mulai bercerita, “Sebagaimana yang Ustaz tahu, Ujang hilang secara misterius sekitar lima tahun yang lalu. Warga desa sudah mencarinya ke mana-mana, bahkan sampai berbulan-bulan. Tapi, Ujang sama sekali tidak ditemukan. Pada kenyataannya, Ujang ditemukan oleh Kalong Hideung di Lancah Darah sekitar lima tahun lalu. Ujang terpaksa bergabung dengan Kalong Hideung untuk menyelamatkan nyawanya yang terancam. Dia sama sekali tidak bisa kabur dari mereka karena sudah tersandera oleh ritual kafan hitam. Singkat Cerita, tiga tahun kemudian, Ujang bertemu dengan Mbah Atim. Mbah Atim membantu Ujang untuk melepaskan diri dari ritual kafan hitam. Hanya saja, hal itu harus dilakukan secara berulang-ulang hingga dua tahun lamanya sampai akhirnya Ujang bisa bergerak bebas selama satu minggu dari pengaruh ritual tersebut.” Rojali hanya diam dengan pandan
Ciboeh, 1988“Ini ... tulisan Kang Ujang,” ujar Romlah dengan tatapan tak percaya.Romlah buru-buru mengambil tempat duduk senyaman mungkin. Wanita itu menoleh ke arah pintu yang hanya ditutup tirai lusuh, lalu kembali mengamati isi tulisan.*****Romlah, ini AkangMaafkan Akang kalau kepergian Akang membuat kamu khawatirAkang baik-baik saja sekarangAkang sekarang berada di tempat yang jauhAkang tidak bisa pulang sekarang Tolong jaga anak kita, RojakJangan beri tahu siapa pun soal Akang yang mengirimu kamu surat *****Romlah menangis setelah membaca surat tersebut. Bahunya berguncang kuat beberapa saat. Wanita itu dengan cepat menyimpan kertas tersebut ke dalam lemari, lalu segera berbaring di kasur. Ada senyum dan tangis di wajahnya saat ini.Romlah tertidur pulas dan terbangun saat pagi menjelan
“Mbah Atim?” Mak Iyah tiba-tiba saja menjatuhkan buku dan surat Ujang.“Ka-kamu ... kamu yakin, Romlah?” tanya Mak Iyah setelah hening beberapa saat.Romlah mengangguk. “Malam tadi, Mbah Atim yang memberikan suarat itu pada saya. Mak.”“Ta-tapi apa hubungannya Ujang dengan Mbah Atim?” Mak Iyah beranjak menuju jendela, mengamati tetes hujan yang bejatuhan di halaman. Tampak di jalan Aep dan Asep tengah berlari.“Saya tidak bohong, Mak.” Romlah ikut berdiri, menyakinkan.Mak Iyah memijat kepala yang mendadak terasa pening. Embusan napasnya terdengar panjang dan lemah. Wanita paruh baya itu benar-benar bingung harus bertindak apa saat ini. Akan tetapi, ia tentu tidak boleh berdiam diri, harus ada sesuatu yang dirinya lakukan.“Kamu yakin?” tanya Mak Iyah lagi.“Yakin, Mak.”Mak Iyah tentu saja tidak langsung percaya dengan ucapan Romlah, terlebih d
Mbah Atim duduk bersila, menatap Romlah dan Mak Iyah bergantian. “Apa yang ingin kalian tahu soal Ujang?”Mak Iyah melirik Romlah sekilas, lalu menjawab, “Romlah ... Romlah bilang kalau dia mendapat surat dari Mbah. Apa itu benar?”Mbah Atim menoleh pada Romlah beberapa saat. “Benar. Saya yang mengirimkan surat itu.”“Apa ... be-benar kalau surat itu dari ... Ujang?” selidik Mak Iyah sembari menyeka keringat.“Benar,” sahut Mbah Atim sembari menatap Romlah dan Mak Iyah bergantian.“Di mana Ujang sekarang, Mbah? Kenapa Ujang bisa me-menitipkan surat itu sama Mbah? Apa Ujang—”“Ujang berada di tempat yang sangat jauh,” potong Mbah Atim sambil memelotot. “Dia belum bisa pulang karena masih harus menyelesaikan sebuah tugas.”Mak Iyah dan Romlah saling melempar tatapan. Keduanya takut bukan main saat melihat pelototan itu. Akan tetapi, ras
Bulan sabit tampak menggantung di langit malam. Pekatnya Lancah Darah, sedikit berbanding terbalik dengan sebuah bangunan yang berada di atas bukit yang kini diterangi oleh cahaya obor.Anggota Kalong Hideung tengah berkumpul di markas utama saat ini.“Bagaimana hasil pencariannya, Kos?” tanya Ki Jalu.Engkos yang berdiri paling di antara anggota Kalong Hideung yang lain segera menjawab, “Kami tidak menemukan kotak itu di Desa Batu Belah, Ki.”“Kamu yakin, Kos?” selidik Ki Jalu.“Kami sudah mencari selama tiga tahun di sana, Ki. Dari mulai hutan, sawah, sampai perumahan warga,” terang Engkos, “kami bahkan mengulang pencarian hingga lima kali. Namun, hasilnya tetap sama.”Ki Jalu mengembus napas panjang, lalu mencoret satu titik dengan tanda silang di kertas yang tengah dipegangnya. Pandangan kakek tua itu seketika tertuju salah satu titik yang tersisa. “Kalau begitu, kita akan
Sebuah motor tampak melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Kampung Cigeutih. Gerimis tak lama kemudian berubah menjadi hujan lebat. Reza yang berada di atas kendaraan mencibir dengan penuh sumpah serapah. Ia mempercepat laju motor hingga kendaraan bergetar beberapa kali karena menorobos jalan berbatu dan berlubang.Reza berdecak, melempar rokok sembarang. Saat menoleh pada pos ronda, ia sama sekali tidak melihat teman-temannya berkumpul. Dengan terpaksa pemuda itu harus pulang ke rumah, padahal siang tadi ia bersitegang dengan bapaknya. Malas sebenarnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.“Ah, any*ng!” maki Reza dengan badan yang sudah mulai kedinginan. Seluruh pakaiannya basah kuyup, bahkan sampai ke dalam-dalam. Karena emosi, ia sampai melewatkan kediamannya sendiri.“Tol*l!” maki Reza setelah tahu kalau dirinya melewatkan rumahnya sendiri. Ia mendadak abai dengan keadaan di depan hingga tak bisa menghindari sebuah lubang. Alhasil,
Hujan deras yang mengguyur Ciboeh beberapa hari terakhir mengakibatkan bencana longsor. Peristiwa itu terjadi bakda subuh saat para warga sudah mulai bersiap menyambut hari. Lokasi terjadinya bencana berada di perbatasan Cigeutih dan Cimenyan. Hal itu menyebabkan beberapa rumah di dua kampung rusak karena tertimbun. Untungnya tidak ada korban jiwa.Para korban yang berhasil selamat diungsikan di rumah-rumah saudara. Warga saling bergotong royong membantu membersihkan tanah yang menghalangi jalan dan menutup akses jembatan yang menghubungkan kedua kampung.Setelah jembatan dapat kembali dibuka, Rojali berinisiatif meminta bantuan pada pesantren. Syukur dipanjatkan, Kiai mengirim bantuan dengan menerjunkan lima puluh santri ke Ciboeh. Dalam waktu sehari, lokasi sekitar bencana kembali normal meski rumah tampak ambruk.Hari berikutnya, warga masih berjibaku dengan sisa tanah longsor yang masih tertimbun di beberapa bagian sudut desa. Tanpa disangka-sangka, se
Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memamerkan bulatan sempurna bercahaya keperakan. Di sisi sungai, Mbah Atim dan Mbah Jaja tampak berdiri menunggu kedatangan Ujang. Sudah lewat beberapa menit dari waktu perjanjian.“Awas saja kalau si Ujang mengkhianati kita, Juned,” ucap Mbah Jaja penuh amarah, “aing tidak segan bunuh istri, mertua dan anaknya sekaligus.”“Kita tunggu sebentar lagi, Kang,” sahut Mbah Atim menenangkan. Pandangannya tertuju pada seberang sungai, di mana pekatnya hutan hanya bisa menampilkan kegelapan. Ia mulai tak enak berdiri, pasalnya Mbah Jaja bisa saja nekat, dan saat itu terjadi ia tidak bisa melakukan banyak hal.“Sampai kapan kita harus menunggu si Ujang, Juned?” tanya Mbah Jaja sembari mengeluarkan pisau kecil, memandanginya dengan lekat-lekat. “Bisa saja dia berubah pikiran dan mengkhianati perjanjian kita.”“Saya yakin Ujang pasti datang ke si