Ciboeh, 1988
“Ini ... tulisan Kang Ujang,” ujar Romlah dengan tatapan tak percaya.
Romlah buru-buru mengambil tempat duduk senyaman mungkin. Wanita itu menoleh ke arah pintu yang hanya ditutup tirai lusuh, lalu kembali mengamati isi tulisan.
*****
Romlah, ini Akang
Maafkan Akang kalau kepergian Akang membuat kamu khawatir
Akang baik-baik saja sekarang
Akang sekarang berada di tempat yang jauh
Akang tidak bisa pulang sekarang
Tolong jaga anak kita, Rojak
Jangan beri tahu siapa pun soal Akang yang mengirimu kamu surat
*****
Romlah menangis setelah membaca surat tersebut. Bahunya berguncang kuat beberapa saat. Wanita itu dengan cepat menyimpan kertas tersebut ke dalam lemari, lalu segera berbaring di kasur. Ada senyum dan tangis di wajahnya saat ini.
Romlah tertidur pulas dan terbangun saat pagi menjelan
“Mbah Atim?” Mak Iyah tiba-tiba saja menjatuhkan buku dan surat Ujang.“Ka-kamu ... kamu yakin, Romlah?” tanya Mak Iyah setelah hening beberapa saat.Romlah mengangguk. “Malam tadi, Mbah Atim yang memberikan suarat itu pada saya. Mak.”“Ta-tapi apa hubungannya Ujang dengan Mbah Atim?” Mak Iyah beranjak menuju jendela, mengamati tetes hujan yang bejatuhan di halaman. Tampak di jalan Aep dan Asep tengah berlari.“Saya tidak bohong, Mak.” Romlah ikut berdiri, menyakinkan.Mak Iyah memijat kepala yang mendadak terasa pening. Embusan napasnya terdengar panjang dan lemah. Wanita paruh baya itu benar-benar bingung harus bertindak apa saat ini. Akan tetapi, ia tentu tidak boleh berdiam diri, harus ada sesuatu yang dirinya lakukan.“Kamu yakin?” tanya Mak Iyah lagi.“Yakin, Mak.”Mak Iyah tentu saja tidak langsung percaya dengan ucapan Romlah, terlebih d
Mbah Atim duduk bersila, menatap Romlah dan Mak Iyah bergantian. “Apa yang ingin kalian tahu soal Ujang?”Mak Iyah melirik Romlah sekilas, lalu menjawab, “Romlah ... Romlah bilang kalau dia mendapat surat dari Mbah. Apa itu benar?”Mbah Atim menoleh pada Romlah beberapa saat. “Benar. Saya yang mengirimkan surat itu.”“Apa ... be-benar kalau surat itu dari ... Ujang?” selidik Mak Iyah sembari menyeka keringat.“Benar,” sahut Mbah Atim sembari menatap Romlah dan Mak Iyah bergantian.“Di mana Ujang sekarang, Mbah? Kenapa Ujang bisa me-menitipkan surat itu sama Mbah? Apa Ujang—”“Ujang berada di tempat yang sangat jauh,” potong Mbah Atim sambil memelotot. “Dia belum bisa pulang karena masih harus menyelesaikan sebuah tugas.”Mak Iyah dan Romlah saling melempar tatapan. Keduanya takut bukan main saat melihat pelototan itu. Akan tetapi, ras
Bulan sabit tampak menggantung di langit malam. Pekatnya Lancah Darah, sedikit berbanding terbalik dengan sebuah bangunan yang berada di atas bukit yang kini diterangi oleh cahaya obor.Anggota Kalong Hideung tengah berkumpul di markas utama saat ini.“Bagaimana hasil pencariannya, Kos?” tanya Ki Jalu.Engkos yang berdiri paling di antara anggota Kalong Hideung yang lain segera menjawab, “Kami tidak menemukan kotak itu di Desa Batu Belah, Ki.”“Kamu yakin, Kos?” selidik Ki Jalu.“Kami sudah mencari selama tiga tahun di sana, Ki. Dari mulai hutan, sawah, sampai perumahan warga,” terang Engkos, “kami bahkan mengulang pencarian hingga lima kali. Namun, hasilnya tetap sama.”Ki Jalu mengembus napas panjang, lalu mencoret satu titik dengan tanda silang di kertas yang tengah dipegangnya. Pandangan kakek tua itu seketika tertuju salah satu titik yang tersisa. “Kalau begitu, kita akan
Sebuah motor tampak melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Kampung Cigeutih. Gerimis tak lama kemudian berubah menjadi hujan lebat. Reza yang berada di atas kendaraan mencibir dengan penuh sumpah serapah. Ia mempercepat laju motor hingga kendaraan bergetar beberapa kali karena menorobos jalan berbatu dan berlubang.Reza berdecak, melempar rokok sembarang. Saat menoleh pada pos ronda, ia sama sekali tidak melihat teman-temannya berkumpul. Dengan terpaksa pemuda itu harus pulang ke rumah, padahal siang tadi ia bersitegang dengan bapaknya. Malas sebenarnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.“Ah, any*ng!” maki Reza dengan badan yang sudah mulai kedinginan. Seluruh pakaiannya basah kuyup, bahkan sampai ke dalam-dalam. Karena emosi, ia sampai melewatkan kediamannya sendiri.“Tol*l!” maki Reza setelah tahu kalau dirinya melewatkan rumahnya sendiri. Ia mendadak abai dengan keadaan di depan hingga tak bisa menghindari sebuah lubang. Alhasil,
Hujan deras yang mengguyur Ciboeh beberapa hari terakhir mengakibatkan bencana longsor. Peristiwa itu terjadi bakda subuh saat para warga sudah mulai bersiap menyambut hari. Lokasi terjadinya bencana berada di perbatasan Cigeutih dan Cimenyan. Hal itu menyebabkan beberapa rumah di dua kampung rusak karena tertimbun. Untungnya tidak ada korban jiwa.Para korban yang berhasil selamat diungsikan di rumah-rumah saudara. Warga saling bergotong royong membantu membersihkan tanah yang menghalangi jalan dan menutup akses jembatan yang menghubungkan kedua kampung.Setelah jembatan dapat kembali dibuka, Rojali berinisiatif meminta bantuan pada pesantren. Syukur dipanjatkan, Kiai mengirim bantuan dengan menerjunkan lima puluh santri ke Ciboeh. Dalam waktu sehari, lokasi sekitar bencana kembali normal meski rumah tampak ambruk.Hari berikutnya, warga masih berjibaku dengan sisa tanah longsor yang masih tertimbun di beberapa bagian sudut desa. Tanpa disangka-sangka, se
Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memamerkan bulatan sempurna bercahaya keperakan. Di sisi sungai, Mbah Atim dan Mbah Jaja tampak berdiri menunggu kedatangan Ujang. Sudah lewat beberapa menit dari waktu perjanjian.“Awas saja kalau si Ujang mengkhianati kita, Juned,” ucap Mbah Jaja penuh amarah, “aing tidak segan bunuh istri, mertua dan anaknya sekaligus.”“Kita tunggu sebentar lagi, Kang,” sahut Mbah Atim menenangkan. Pandangannya tertuju pada seberang sungai, di mana pekatnya hutan hanya bisa menampilkan kegelapan. Ia mulai tak enak berdiri, pasalnya Mbah Jaja bisa saja nekat, dan saat itu terjadi ia tidak bisa melakukan banyak hal.“Sampai kapan kita harus menunggu si Ujang, Juned?” tanya Mbah Jaja sembari mengeluarkan pisau kecil, memandanginya dengan lekat-lekat. “Bisa saja dia berubah pikiran dan mengkhianati perjanjian kita.”“Saya yakin Ujang pasti datang ke si
Ciboeh, 1989Selesai salat subuh berjemaah, para tetua desa yang dipimpin Pak Dede memasuki kantor desa. Mereka duduk melingkar beralas tikar tanpa camilan atau air segelas pun. Dilihat dari wajah dan gestur mereka, tampak ada hal penting yang harus segera mereka diskusikan.Hujan mendadak mengguyur deras. Angin tampak menerobos di sela-sela lubang pintu dan jendela, membawa udara dingin. “Jangan sampai ada yang masuk ke kantor, Man,” ucap Pak Dede pada Eman yang berjaga di pintu.“Siap, Pak Kades.” Eman mengacungkan jempol.Ruangan hanya diterangi lampu kecil sehingga cahaya hanya menyinari tengah ruangan, sedang gelap memeluk keadaaan sekelililing. “Kalian sudah memastikan kalau Rojali tidak ada di desa?” tanya Pak Dede sembari mengamati satu per satu orang yang hadir.“Sudah, Pak Dede,” jawab Pak Yayat, “Ustaz Rojali mengabari kalau selama dua hari
Rojali, Ustaz Ahmad, Ilham dan Lukman tiba di Lancah Darah saat siang menjelang. Mobil menepi di tempat terakhir kali mereka memarkirkan kendaraan.“Sebaiknya kita berangkat sekarang,” ujar Ilham dengan pandangan menelisik sekeliling, “jika tidak bergegas, mungkin saja kita akan tiba malam hari.”Setelah memastikan kendaraan aman, keempat pria itu memulai perjalanan memasuki hutan Lancah Darah. Pemandangan indah yang ditawarkan kawasan ini tidak akan berlangsung lama ketika matahari tenggelam.Seperti apa yang dikatakan orang-orang, Lancah Darah menjadi tempat yang “haram” untuk dikunjungi orang. Tak hanya kisah mistis yang melekat, tetapi tentang sekelompok orang yang susah disentuh, termasuk aparat sekalipun.Rombongan beristirahat di pinggiran sungai untuk melaksanakan salat, juga untuk menyantap bekal. Mereka sudah mencapai setengah perlajanan saat langit mulai bersolek lembayung. Kumpulan burung-burung terban