Sayup-sayup terdengar langkah kaki yang diseret di kedalaman hutan Lancah Darah. Dari arah timur, seorang pria tua tengah berjalan dengan berpegangan pada sebuah tongkat. Peluh membajiri hampir sekujur tubuhnya yang penuh luka. Di tengah cicitan burung yang bertengger di dahan pohon, nyatanya napas Ki Jalu terdengar terputus-putus.
Ki Jalu mengerang bak kerbau yang hendak disembelih. Tubuhnya bergetar beberapa kali hingga pada akhirnya ambruk ke tanah. Napasnya terengah bak ikan yang jauh dari air. Matanya perlahan tertutup seiring dengan langkah kaki yang terdengar mendekat.
“Badru,” lirih Ki Jalu yang tak lama kemudian tak sadarkan diri.
Dari arah markas, Badru tampak menuruni tangga batu ketika melihat sesuatu yang mencurigakan dari dalam hutan. Saat mendekat, ia dibuat terkejut ketika melihat Ki Jalu terbaring dengan kondisi tak sadarkan diri.
“Bapak.” Badru langsung memeriksa keadaan Ki Jalu. Pria paruh baya itu tercengang ket
Langit sudah bersolek mega ketika Ustaz Ahmad, Lukman, Ilham dan Asep mulai memasuki jantung Lancah Darah. Perjalanan mereka sempat terganggu karena kendaraan yang tiba-tiba mati di tengah jalan. Butuh waktu beberapa jam hingga mobil kembali bisa melaju.Ilham memimpin jalan di depan. Ketiga orang di belakangnya sempat disergap ketakutan ketika memasuki Lancah Darah. Tempat ini memang terkenal sebagai hutan angker, baik karena masalah gaibnya maupun perkara cerita mayat-mayat tanpa identitas yang dibuang di lokasi ini. Kengerian itu masih hinggap sampai saat ini, terlebih malam hampir saja tiba.Keempat pria itu tengah menyusuri sungai, berjalan dengan penuh kewaspadaan.“Tempat itu adalah markas Kalong Hideung.” Ilham menujuk bagunan yang tampak kecil dari jarak mereka saat ini. “Saya dan Rojali sempat memasukinya di saat Kalong Hideung berkumpul untuk merencakan ritual.”“Apa ada kemungkinan kalau Rojali ada di sana?”
Di pelataran puskesmas, Euis tiba-tiba menjerit karena melihat beberapa warga mulai terbangun, kemudian disusul oleh penduduk yang lain. Gadis itu duduk dengan wajah yang ditutup oleh kedua tangan. Pipinya sudah dibanjiri air mata karena tak kuasa menahan sedih dan bahagia. Sesaat setelah doa bersama yang diselenggarakan para santri selesai, kondisi warga Ciboeh mulai menunjukkan perubahan. Kabar mengenai masalah yang menimpa warga Ciboeh dengan cepat tersebar ke desa tetangga, bahkan kabupaten berbeda. Berita yang tersiar hanya merujuk pada bencana alam sesuai keterangan awal polisi, bukan pada ritual yang dilakukan Kalong Hideung. Bantuan mulai berdatangan. Pihak kepolisian, pemerintah kecamatan dan kabupaten serta beberapa media datang ke Ciboeh untuk melihat keadaan desa. Beberapa di antara mereka juga sempat menjenguk keadaan warga saat siang. Hanya saja untuk malam ini, kedatangan pihak kepolisian nyatanya terhalang cuaca ganas yang mengamuk semenjak sore.
Ketika pertanyaan itu terlontar, pintu ruangan kembali terbuka. Kiai Mukhsin muncul dari celah yang ada. Ustaz Ahmad segera menyalami sahabat sang bapak, kemudian membiarkan kursinya untuk diduduki.“Alhamdulillah, saya senang kamu sudah kembali, Ahmad. Bagaimana dengan Rojali?” tanya Kiai Mukhsin.“Atas pertolongan Allah dan doa dari semuanya, kami berhasil membawanya pulang, Kiai. Hanya saja kondisinya masih belum sadar.”Kiai Mukhsin mengangguk.“Bagaimana perjalanan kalian? Apa Kalong Hideung menyerang kalian?” ulang Kiai.“Kalong Hideung sama sekali tidak menyerang kami saat di Lancah Darah,” jawab Ustaz Ahmad, “menurut keterangan Asep, salah satu temannya yang bernama Ujang yang merupakan anggota Kalong Hideung tiba-tiba menghilang dan berubah jadi abu. Kemungkinan anggota Kalong Hideung yang lain ikut mengalami hal serupa.”“Astagfirullahaladzim,” ucap Kiai Rohmat
“Bagaimana keadaan kamu sekarang, Rojali?” tanya Kiai sembari duduk di kursi, dibantu oleh Ustaz Ahmad dan Lukman. Deru napas pria tua itu terputus-putus layaknya baru saja berlari maraton.“Saya baik-baik saja, Kiai,” jawab Rojali seraya menunduk takzim. Pandangannya tertuju pada kepalan tangan yang berada di bawah selimut. Ia tahu ke mana pembicaraan ini akan bermuara.“Ahmad, Lukman,” ucap Kiai tanpa menoleh pada orang-orang yang disebut.Ustaz Ahmad dan Lukman serempak mengangguk, lalu memilih meninggalkan ruangan. Keduanya bisa tahu maksud Kiai hanya dengan ucapan tersebut.Kini, ruangan hanya diisi oleh Rojali dan Kiai. Keheningan lebih dahulu mendekap sebelum obrolan selanjutnya akan kembali terjadi. Hujan kian deras mengguyur bumi. Sesekali angin menerjang, menerbangkan dedaunan dan ranting. Sebagian di antaranya mengenai jendela kamar inap, menimbulkan suara yang tidak enak didengar.“Ada hal yang
Lukman dan Ustaz Ahmad tengah berada di pelataran masjid. Keduanya duduk bersebelahan, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hujan sudah mulai reda dan hanya meninggalkan titik-titik gerimis. “Saya ... benar-benar tidak menyangka kalau Rojali akan mengalami hal yang sesulit ini, Ustaz,” ujar Lukman dengan pandangan yang tertuju pancuran kecil di depannya. Ustaz Ahmad mengembus napas panjang. “Itu ... semua merupakan takdir yang sudah Allah gariskan untuk Rojali, Man.” “Kenapa Rojali harus terlahir dari benih orang sejahat Badru?” Lukman mengepal kedua tangannya kuat-kuat. Hatinya benar-benar panas dan sesak oleh kemarahan dan ketidakpercayaan. “Istigfar, Man. Allah sudah menggariskan hal demikian untuk Rojali dan mau tak mau dia harus menerimanya,” susul Ustaz Ahmad. “Bagaimana ... kalau misalnya Rojali memilih bergabung dengan bapaknya yang jahat, Ustaz? Saya benar-benar takut kalau sampai itu terjadi.” Ustaz Ahmad menghela napas pan
Rojali kontan mendongak ketika mendengar kabar tersebut. Ia hanya bisa mengucap kalimat istirja dalam gumaman. Asep mulai bercerita, “Sebagaimana yang Ustaz tahu, Ujang hilang secara misterius sekitar lima tahun yang lalu. Warga desa sudah mencarinya ke mana-mana, bahkan sampai berbulan-bulan. Tapi, Ujang sama sekali tidak ditemukan. Pada kenyataannya, Ujang ditemukan oleh Kalong Hideung di Lancah Darah sekitar lima tahun lalu. Ujang terpaksa bergabung dengan Kalong Hideung untuk menyelamatkan nyawanya yang terancam. Dia sama sekali tidak bisa kabur dari mereka karena sudah tersandera oleh ritual kafan hitam. Singkat Cerita, tiga tahun kemudian, Ujang bertemu dengan Mbah Atim. Mbah Atim membantu Ujang untuk melepaskan diri dari ritual kafan hitam. Hanya saja, hal itu harus dilakukan secara berulang-ulang hingga dua tahun lamanya sampai akhirnya Ujang bisa bergerak bebas selama satu minggu dari pengaruh ritual tersebut.” Rojali hanya diam dengan pandan
Ciboeh, 1988“Ini ... tulisan Kang Ujang,” ujar Romlah dengan tatapan tak percaya.Romlah buru-buru mengambil tempat duduk senyaman mungkin. Wanita itu menoleh ke arah pintu yang hanya ditutup tirai lusuh, lalu kembali mengamati isi tulisan.*****Romlah, ini AkangMaafkan Akang kalau kepergian Akang membuat kamu khawatirAkang baik-baik saja sekarangAkang sekarang berada di tempat yang jauhAkang tidak bisa pulang sekarang Tolong jaga anak kita, RojakJangan beri tahu siapa pun soal Akang yang mengirimu kamu surat *****Romlah menangis setelah membaca surat tersebut. Bahunya berguncang kuat beberapa saat. Wanita itu dengan cepat menyimpan kertas tersebut ke dalam lemari, lalu segera berbaring di kasur. Ada senyum dan tangis di wajahnya saat ini.Romlah tertidur pulas dan terbangun saat pagi menjelan
“Mbah Atim?” Mak Iyah tiba-tiba saja menjatuhkan buku dan surat Ujang.“Ka-kamu ... kamu yakin, Romlah?” tanya Mak Iyah setelah hening beberapa saat.Romlah mengangguk. “Malam tadi, Mbah Atim yang memberikan suarat itu pada saya. Mak.”“Ta-tapi apa hubungannya Ujang dengan Mbah Atim?” Mak Iyah beranjak menuju jendela, mengamati tetes hujan yang bejatuhan di halaman. Tampak di jalan Aep dan Asep tengah berlari.“Saya tidak bohong, Mak.” Romlah ikut berdiri, menyakinkan.Mak Iyah memijat kepala yang mendadak terasa pening. Embusan napasnya terdengar panjang dan lemah. Wanita paruh baya itu benar-benar bingung harus bertindak apa saat ini. Akan tetapi, ia tentu tidak boleh berdiam diri, harus ada sesuatu yang dirinya lakukan.“Kamu yakin?” tanya Mak Iyah lagi.“Yakin, Mak.”Mak Iyah tentu saja tidak langsung percaya dengan ucapan Romlah, terlebih d