Ustaz Ahmad dan Lukman kembali ke Ciboeh tiga jam kemudian. Mereka datang dengan rombongan santri laki-laki. Dari kejauhan, mobil dan motor melewati jalan Ciboeh secara beriringan.
Ustaz Ahmad sengaja hanya mengajak santri laki-laki saja. Hal ini sebagai antisipasi jika musuh kembali melancarkan serangan. Selama Ustaz Ahmad dan Lukman kembali ke pesantren, hanya Asep dan Ilham yang berjaga di sekitar desa. Keduanya berada di area persawahan.
Ketika seluruh santri sudah tiba di desa, Ustaz Ahmad kemudian memimpin doa bersama. Mereka membentuk barisan yang menyesaki jalan hingga ke arah persawahan. Tubuh mereka memang menempel di tanah, tetapi doa dan harapan mereka terbang ke langit.
Susana khuysuk mendekap jemaah yang hadir. Bibir mereka menggumamkan ayat suci dan doa pada Sang Mahakuasa. Awan-awan didorong angin untuk menjadi payung guna menghadang panas matahari yang saat ini berusaha merangkak ke puncak.
Dengan kekuasan Tuhan, bersamaan dengan doa yang
Kondisi Kiai cukup buruk hingga harus dibawa ke rumah sakit di kabupaten. Setelah melewati masa kritis, sang pemimpin pesantren itu perlahan sadar. Ustaz Ahmad dan Lukman sontak bersujud ketika Kiai mulai membuka mata. Tak lupa ucapan syukur langsung memenuhi ruangan.Ustaz Ahmad segera memeluk sang bapak dengan begitu erat. Air matanya tumpah ruah membasahi pipi, baju dan seprai kasur. Dokter dan Lukman menjauhkan tubuh Ustaz Ahmad untuk memberi ruang bagi Kiai.Bulan tampak menggelayut di langit yang terbungkus gelap. Serangga kecil terlihat mengerubungi lampu di teras ruangan. Tak lama kemudian, terdengar azan subuh saling menyahut di moncong speaker.Ustaz Ahmad dan Lukman membantu Kiai untuk duduk di kasur. Pria tua itu bertayamum, kemudian melaksanakan salat seorang diri di kamar, sedang ustaz Ahmad dan Lukman pergi ke musala untuk menunaikan salat berjemaah.Selesai menunaikan ibadah, Ustaz Ahmad dan Lukman kembali ke ruangan Kiai. Keduany
Rojali dengan cepat menggeleng. Pemuda itu harus segera kembali ke Ciboeh untuk mengetahui keadaan penduduk, terutama Kiai. Ia ingin mengetahui semua kebenarannya dari pemimpin pesantren tersebut.Rojali mulai berjalan di pinggiran sungai. Jika tidak salah, sungai ini akan membawanya ke markas Kalong Hideung. Akan tetapi, dengan kondisinya yang kelaparan dan keletihan, tak mudah untuk mencapai lokasi itu.Matahari mulai mengusir gelap. Pemandangan sekeliling dengan cepat terpampang jelas dalam pandangan. Ketika sibuk menyisir pandangan ke sekeliling, Rojali melihat sebuah gubuk tua yang berada di seberang sungai.“Apa … itu gubuk yang pernah dikatakan Ilham?” tanyanya pada diri sendiri.Rojali memutuskan untuk menyebrangi sungai. Ia melompati satu per satu batu untuk sampai ke seberang. Karena suasana pagi, bangunan tua di depannya saat ini tampak tidak terlalu menyeramkan.Rojali memutuskan untuk masuk. Ia langsung disambut deng
Sayup-sayup terdengar langkah kaki yang diseret di kedalaman hutan Lancah Darah. Dari arah timur, seorang pria tua tengah berjalan dengan berpegangan pada sebuah tongkat. Peluh membajiri hampir sekujur tubuhnya yang penuh luka. Di tengah cicitan burung yang bertengger di dahan pohon, nyatanya napas Ki Jalu terdengar terputus-putus.Ki Jalu mengerang bak kerbau yang hendak disembelih. Tubuhnya bergetar beberapa kali hingga pada akhirnya ambruk ke tanah. Napasnya terengah bak ikan yang jauh dari air. Matanya perlahan tertutup seiring dengan langkah kaki yang terdengar mendekat.“Badru,” lirih Ki Jalu yang tak lama kemudian tak sadarkan diri.Dari arah markas, Badru tampak menuruni tangga batu ketika melihat sesuatu yang mencurigakan dari dalam hutan. Saat mendekat, ia dibuat terkejut ketika melihat Ki Jalu terbaring dengan kondisi tak sadarkan diri.“Bapak.” Badru langsung memeriksa keadaan Ki Jalu. Pria paruh baya itu tercengang ket
Langit sudah bersolek mega ketika Ustaz Ahmad, Lukman, Ilham dan Asep mulai memasuki jantung Lancah Darah. Perjalanan mereka sempat terganggu karena kendaraan yang tiba-tiba mati di tengah jalan. Butuh waktu beberapa jam hingga mobil kembali bisa melaju.Ilham memimpin jalan di depan. Ketiga orang di belakangnya sempat disergap ketakutan ketika memasuki Lancah Darah. Tempat ini memang terkenal sebagai hutan angker, baik karena masalah gaibnya maupun perkara cerita mayat-mayat tanpa identitas yang dibuang di lokasi ini. Kengerian itu masih hinggap sampai saat ini, terlebih malam hampir saja tiba.Keempat pria itu tengah menyusuri sungai, berjalan dengan penuh kewaspadaan.“Tempat itu adalah markas Kalong Hideung.” Ilham menujuk bagunan yang tampak kecil dari jarak mereka saat ini. “Saya dan Rojali sempat memasukinya di saat Kalong Hideung berkumpul untuk merencakan ritual.”“Apa ada kemungkinan kalau Rojali ada di sana?”
Di pelataran puskesmas, Euis tiba-tiba menjerit karena melihat beberapa warga mulai terbangun, kemudian disusul oleh penduduk yang lain. Gadis itu duduk dengan wajah yang ditutup oleh kedua tangan. Pipinya sudah dibanjiri air mata karena tak kuasa menahan sedih dan bahagia. Sesaat setelah doa bersama yang diselenggarakan para santri selesai, kondisi warga Ciboeh mulai menunjukkan perubahan. Kabar mengenai masalah yang menimpa warga Ciboeh dengan cepat tersebar ke desa tetangga, bahkan kabupaten berbeda. Berita yang tersiar hanya merujuk pada bencana alam sesuai keterangan awal polisi, bukan pada ritual yang dilakukan Kalong Hideung. Bantuan mulai berdatangan. Pihak kepolisian, pemerintah kecamatan dan kabupaten serta beberapa media datang ke Ciboeh untuk melihat keadaan desa. Beberapa di antara mereka juga sempat menjenguk keadaan warga saat siang. Hanya saja untuk malam ini, kedatangan pihak kepolisian nyatanya terhalang cuaca ganas yang mengamuk semenjak sore.
Ketika pertanyaan itu terlontar, pintu ruangan kembali terbuka. Kiai Mukhsin muncul dari celah yang ada. Ustaz Ahmad segera menyalami sahabat sang bapak, kemudian membiarkan kursinya untuk diduduki.“Alhamdulillah, saya senang kamu sudah kembali, Ahmad. Bagaimana dengan Rojali?” tanya Kiai Mukhsin.“Atas pertolongan Allah dan doa dari semuanya, kami berhasil membawanya pulang, Kiai. Hanya saja kondisinya masih belum sadar.”Kiai Mukhsin mengangguk.“Bagaimana perjalanan kalian? Apa Kalong Hideung menyerang kalian?” ulang Kiai.“Kalong Hideung sama sekali tidak menyerang kami saat di Lancah Darah,” jawab Ustaz Ahmad, “menurut keterangan Asep, salah satu temannya yang bernama Ujang yang merupakan anggota Kalong Hideung tiba-tiba menghilang dan berubah jadi abu. Kemungkinan anggota Kalong Hideung yang lain ikut mengalami hal serupa.”“Astagfirullahaladzim,” ucap Kiai Rohmat
“Bagaimana keadaan kamu sekarang, Rojali?” tanya Kiai sembari duduk di kursi, dibantu oleh Ustaz Ahmad dan Lukman. Deru napas pria tua itu terputus-putus layaknya baru saja berlari maraton.“Saya baik-baik saja, Kiai,” jawab Rojali seraya menunduk takzim. Pandangannya tertuju pada kepalan tangan yang berada di bawah selimut. Ia tahu ke mana pembicaraan ini akan bermuara.“Ahmad, Lukman,” ucap Kiai tanpa menoleh pada orang-orang yang disebut.Ustaz Ahmad dan Lukman serempak mengangguk, lalu memilih meninggalkan ruangan. Keduanya bisa tahu maksud Kiai hanya dengan ucapan tersebut.Kini, ruangan hanya diisi oleh Rojali dan Kiai. Keheningan lebih dahulu mendekap sebelum obrolan selanjutnya akan kembali terjadi. Hujan kian deras mengguyur bumi. Sesekali angin menerjang, menerbangkan dedaunan dan ranting. Sebagian di antaranya mengenai jendela kamar inap, menimbulkan suara yang tidak enak didengar.“Ada hal yang
Lukman dan Ustaz Ahmad tengah berada di pelataran masjid. Keduanya duduk bersebelahan, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hujan sudah mulai reda dan hanya meninggalkan titik-titik gerimis. “Saya ... benar-benar tidak menyangka kalau Rojali akan mengalami hal yang sesulit ini, Ustaz,” ujar Lukman dengan pandangan yang tertuju pancuran kecil di depannya. Ustaz Ahmad mengembus napas panjang. “Itu ... semua merupakan takdir yang sudah Allah gariskan untuk Rojali, Man.” “Kenapa Rojali harus terlahir dari benih orang sejahat Badru?” Lukman mengepal kedua tangannya kuat-kuat. Hatinya benar-benar panas dan sesak oleh kemarahan dan ketidakpercayaan. “Istigfar, Man. Allah sudah menggariskan hal demikian untuk Rojali dan mau tak mau dia harus menerimanya,” susul Ustaz Ahmad. “Bagaimana ... kalau misalnya Rojali memilih bergabung dengan bapaknya yang jahat, Ustaz? Saya benar-benar takut kalau sampai itu terjadi.” Ustaz Ahmad menghela napas pan