Kereta kencana berhenti di depan reruntuhan rumah Rojali. Raden Arya segera keluar, kemudian disusul oleh Rojali. Ki Jalu dan Badru sampai beberapa detik kemudian, lantas berlutut kembali meski dipenuhi tanda tanya.
Raden Arya menggumamkan sesuatu, dan tak lama kemudian muncul sebuah tiang cahaya yang seukuran dengan rumah Rojali. Ki Jalu dan Badru terperangah ketika melihat hal itu. Akan tetapi, tak ada yang bisa mereka lakukan selain berlutut dan memelotot penuh kekaguman.
Raden Arya kemudian mendekat ke arah tiang cahaya, kemudian lenyap seperti menembus benda itu. Tak lama setelahnya, Rojali yang sudah ada dalam pengaruh, mengikuti jejak sosok itu, dan hal serupa juga terjadi padanya.
Ketika Raden Arya dan Rojali memasuki tiang cahaya, tiba-tiba muncul tangga dengan jalan memutar. Keduanya berjalan dengan langkah pasti. Sementara itu, Badru segera bangkit, lalu mendekat ke arah tiang cahaya. Namun, aksinya langsung dihalangi para prajurit. Ia terpaksa mundur
Rojali menarik kujang pusaka dengan satu tarikan. Amarah yang sudah menguasai dirinya membuat kujang itu langsung tunduk. Rojali bergerak dengan sangat cepat ke arah Badru. Langkahnya terasa ringan.Badru segera berbalik ketika mendengar teriakan Rojali. Namun, ia tak menyangka jika Rojali sudah ada di dekatnya bersama kujang pusaka. Badru merasakan ketakutan di sekujur tubuh, tetapi ia dengan cepat menahan serangan Rojali dengan kujang miliknya.Akan tetapi, kujang miliknya tidak sebanding dengan kujang emas itu. Badru terlempar karena benturan serangan tersebut. Tubuhnya sempat menabrak pohon, berguling-guling hingga harus rebah di tanah. Ia merasakan dorongan yang amat kuat dari sana.“Kiai,” ujar Rojali seraya mendekat.“Ka-kamu harus pergi, Rojali,” sahut Kiai, “jangan sampai mereka mendapat kujang itu.”“Tapi ....” Rojali tiba-tiba ditarik mundur oleh kujangnya, menjauh dari Kiai. Kujang i
Tahun 1988Aula kantor Desa Ciboeh sudah ramai disesaki warga. Mereka duduk melingkar di hadapan hidangan yang tersaji di piring. Asap rokok tampak beradu dengan obrolan. Sesuai dengan informasi yang diberikan pihak desa, hari ini mereka berkumpul untuk menyambut salah satu utusan pesantren dari kabupaten yang akan menetap di desa.Dari arah luar, seorang hansip berlari ke dalam aula dengan tergesa-gesa. Pria kurus berbaju hijau itu segera mendekat ke arah Pak Dede, kemudian membisikkan sesuatu.Pak Dede mengangguk singkat, lantas meminta hansip tadi untuk kembali berjaga di luar. “Kiai Rohmat dan utusan dari pesantren sudah datang,” ujarnya.Pak Dede serta orang-orang yang berada di aula dengan berduyun-duyun keluar dari aula desa. Mereka lantas berjajar di depan pintu dengan rapi. Terlihat di halaman depan kantor, sebuah mobil baru saja menepi. Tak lama setelahnya, Kiai Rohmat dan beberapa santri keluar dari kendaraan.
Rojali yang memahami kode tersebut kemudian memperkenalkan diri pada para warga yang hadir. Tak banyak yang ia sebutkan, hanya nama dan permohonan agar warga bisa menerimanya dengan baik.“Apa tidak salah Kiai Rohmat mengirim pemuda itu?” bisik Pak Harun di telinga Pak Yayat. Ucapannya juga terdengar oleh Pak Dede dan beberapa orang di sampingnya. Jarak yang agak jauh dari pihak pesantren memungkinnya untuk berani berkata demikian.“Hus ... tidak mungkin atuh Kiai salah pilih orang,” jawab Pak Yayat.“Apa mungkin pemuda itu mualaf?” terka Pak Iwan, “dilihat dari ciri-cirinya, dia seperti ... ya seperti yang kita lihat sekarang.”“Kita bisa tanya pemuda itu ketika Kiai Rohmat sudah tidak ada,” sambung Pak Dede, “jangan berisik dan jangan sampai bikin malu.”Begitu acara ramah tamah selesai, Rojali bangkit bersama dengan para warga. Ia akan diajak untuk melihat rumahnya
Rumah dan halaman sudah selesai dibersihkan tepat saat waktu zuhur tiba. Kiai mengajak warga dan para santri melaksanakan ibadah di masjid terdekat. Rojali diminta untuk menjadi imam salat berjemaah. Setelah selesai, mereka kembali ke halaman kediaman Rojali.Di sebuah warung yang tak jauh dari kumpulan warga, seorang gadis dengan kerudung merah tengah menyiapkan beberapa hidangan. Setelah makanan tersaji di nampan bulat berukuran cukup besar, ia kemudian keluar dari warung.“Kalian sedang apa?” tanya gadis itu. Ia cukup terkejut ketika melihat beberapa gadis yang sebaya dengannya tengah berkumpul di depan warung dengan pandangan terarah pada lokasi kerumunan warga.“Kita sedang lihat Aa kasep,” jawab seorang gadis tanpa repot-repot menoleh.“Aa Kasep siapa?” selidik Euis dengan nampan yang dipegang di tangan kiri dan secerek minuman di tangan kanan. “Kamu liat saja nanti, Is,” sahut gadis lain
Sudah hampir satu minggu Rojali tinggal di Ciboeh. Namun, warga desa ini nyatanya masih menatapnya dengan penuh selidik. Beberapa kali pemuda itu mendengar mereka membicarakannya dari belakang. Meski begitu, ia memilih bersabar dan terus berusaha agar bisa berbaur.Setelah pulang dari kebun, Rojali mampir di sebuah warung untuk membeli beberapa keperluan. Ia bertemu degan Pak Juju dan berusaha membuka obrolan. Akan tetapi, pria paruh baya itu hanya menjawab seadanya seolah tak tertarik dengan perbincangan.“Saya ingin beli sampo dan sabun,” ujar Rojali dengan segaris senyum.“Sebentar,” sahut Pak Juju sembari membuka pintu warung.Rojali duduk di kursi panjang yang menghadap ke arah jalanan kampung. Pemuda itu melihat seorang anak kecil tengah berlari di sisi jalan tanpa pengawasan orang dewasa. Merasa hal itu berbahaya, ia melangkah ke jalan untuk memastikan keadaan anak itu. Tanpa dinyana, sebuah motor melaju kencang dari arah la
Azan isya sudah satu jam yang lalu mengalun di Ciboeh. Beberapa anak muda tampak tengah memadati sebuah pos ronda. Canda tawa terdengar memenuhi bangunan kecil itu saat mereka tenggelam dalam keasyikan bermain kartu. Asap rokok dan kopi ikut andil memeriahkan suasana. “Kamu sudah dengar belum kalau ada warga baru di desa ini, Za?” tanya seorang pemuda yang duduk di pinggiran pos. Reza yang tengah asyik mengisap rokok seketika menoleh. “Belum. Memangnya siapa dia?” Para pemuda yang tengah bermain kartu seketika menghentikan kegiatan. Mereka langsung menjadikan anak kepala desa itu sebagai pusat perhatian. Ada empat pemuda yang ada di pos ronda malam ini, termasuk Reza. “Katanya dia santri lulusan dari pesantren di kabupaten. Baru seminggu tinggal di desa ini,” ucap pemuda bernama Wahyu. “Oh.” Reza merespons santai, mengisap rokoknya kembali. Pandangannya berlabuh pada kumpulan bintang di langit. Ia sama sekali tidak tertarik dengan obrolan ters
Rojali hanya diam saat mendengar hinaan dari empat orang di depannya. Ia tidak akan membalas cercaan itu. “Saya harus pergi.”Rojali berusaha menerobos barikade keempat orang itu, tetapi aksinya dicegah oleh Wawan, Dedi dan Wahyu. “Saya harus pergi,” ulangnya.Reza berdecak, membuang puntung rokok ke arah Rojali. “Biarkan dia pergi!”“Tapi, Za.” Wahyu tidak setuju, begitupun dengan Dedi dan Wahyu.“Assalamualaikum.” Rojali kembali melangkah saat jalan terbuka untuknya. Ia sama sekali lagi tidak ingin berlagak di desa asing, apalagi mengotori tempat ini. Dugaan mereka sangat tidak beralasan.“Tidak untungnya buat kita berurusan dengan orang pengecut,” kata Reza sembari menatap Rojali, “pasti sebentar lagi dia akan mengadu ke Kiai di pesantren.”Rojali tiba-tiba berhenti ketika mendengar nama Kiai disebut. Siapa pun boleh saja menghinanya, tetapi ia tidak akan
Badru tengah berada di pinggiran markas Kalong Hideung, berdiri sembari menatap gelapnya hutan. Sudah hampir setengah jam ia berada di sana tanpa melakukan aktivitas berarti. Tawa dan obrolan dari dalam bangunan di belakangnya sama sekali tak menggerakkan keinginannya untuk bergabung. “Kang,” panggil Engkos dari belakang. “Kos, aing titip markas.” Badru bergerak menuruni tangga batu, meninggalkan Engkos yang masih tercenung di tempat yang sama. Pria paruh baya itu melewati jalanan hutan yang gelap. Tak ada raut ketakutan dalam parasnya. Sebagai orang yang besar dan lahir di Lancah Darah, Badru hafal seluk beluk mengenai tempat ini. Badru keluar dari pekatnya hutan, lalu meneruskan perjalanan melalui pinggiran sungai. Ia menuruni jalan setapak yang berbatu, lalu kembali melumat aliran sungai. Langkah terus membawanya hingga dirinya memasuki sebuah bekas perkampungan. Badru diam beberapa saat, mengamati area sekitar. Saat kembali berjalan, pria
“Ini satu-satunya cara, Kang. Kita tidak punya pilihan lain.”Mbah Jaja akhirnya setuju setelah agak lama berpikir. “Aing bakal pasang pagar gaib lebih dulu.”Sebuah kubah segera melingkupi seluruh gubuk. Di pandangan orang biasa, bangunan itu akan tampak seperti halaman kosong.Mbah Atim dan Mbah Jaja dengan cepat duduk bersila di depan dan belakang orang gila itu. Mulut mereka mulai berkomat-kamit membaca mantra. Butuh kekuatan dan konsentrasi tinggi untuk bisa menggunakan ajian pengubah raga.Tubuh orang gila itu secara tiba-tiba bergetar beberapa kali. Mulutnya terbuka dengan kondisi bola mata memelotot seperti hendak meloncat. Raganya kemudian berguling-guling di lantai, dan tidak lama setelahnya, fisik pria edan itu persis menyerupai Mbah Atim.“Semoga saja si Jalu tidak sadar,” ujar Mbah Atim yang berdiri dengan wajah pucat. Keringat mulai membanjiri keningnya. Tenaganya benar-benar terkuras habis
1990Sehari sebelum kejadian penemuan jenazah tanpa kepalaCiboeh sangat panas siang ini. Debu-debu berterbangan ketika kaki melangkah dan roda kendaraan menggerus jalan. Beberapa warga tampak menyiram air ke halaman untuk mengusir panas. Meski begitu, tawa anak-anak terdengar bersahutan ketika mereka tengah mengerumuni seorang pria berpakaian kumal.“Nugelo (orang gila)! Nugelo!” Anak-anak kompak meneriaki seorang pria yang tengah berjongkok di tengah mereka.Orang gila itu melirik ke kanan dan ke kiri. Sesekali tangannya menepis ranting yang disodorkan anak-anak padanya. Bibirnya bergerak seperti menggumamkan sesuatu.Seorang anak laki-laki tiba-tiba saja melempar ranting ke sembarang arah ketika melihat Rojali dan Reza tengah berjalan ke arah mereka.“Ada Ustaz Rojali,” ujar Uden, “ayo kabur sebelum kita dihukum.”“H
Dua hari setelah kepergian Kiai, Rojali berkunjung ke Ciboeh bersama Lukman dan Ustaz Ahmad. Pemuda itu sudah mendengar kondisi desa dari keduanya yang porak poranda akibat ritual. Akan tetapi, ia berhasil dibuat terkejut ketika melihat keadaan Ciboeh secara langsung.Saat melewati gerbang desa, ia melihat gapura hancur sebagian. Lebih dekat ke arah utara, banyak rumah roboh dan hancur seperti baru diterjang badai. Kondisi lebih mengerikan tersaji ketika mobil melewati Kampung Cimenyan. Beberapa rumah tampak rata dengan tanah. Tak heran jika berita yang ditayangkan di televisi dan radio menunjukkan bahwa desa ini diserang bencana alam.Mobil menepi di depan reruntuhan kediaman Rojali. Pemuda bermata sipit itu turun bersama Ustaz Ahmad dan Lukman. Ketiganya menatap tanah kosong di mana beberapa puing bangunan masih berada di sana.“Kang Rojali,” ujar Euis yang muncul dari arah samping rumah, “apa itu benar Kang Rojali?” Rojal
Ustaz Ahmad benar-benar merasa gelisah sepanjang waktu. Pikirannya tertuju pada kondisi sang bapak yang masih berada di rumah sakit. Ia hanya duduk memandang perapian di depan, sama sekali belum menyentuh air atau makanan.“Ustaz,” panggil Lukman yang duduk di sampingnya, “sebaiknya Ustaz mengisi tenaga lebih dahulu. Setelahnya, Ustaz bisa berisitirahat.”Ustaz Ahmad mengembus napas panjang, mengangguk pelan. Ia menghabiskan makanan dengan cepat, lalu berbaring di bangku panjang yang berada tak jauh dari tempat dirinya dan Lukman duduk.Sepinya keadaan Cimayit, berbanding terbalik dengan situasi yang ada di pesantren. Tangis kesedihan begitu mendominasi para santri dan tamu yang hadir. Meninggalnya Kiai Rohmat dengan cepat tersebar. Sayang, di saat seperti ini, sang putra justru berada jauh dan belum tahu mengenai kondisi sang bapak.Para pelayat tengah mengerumuni jenazah Kiai Rohmat. Bacaan surat Yasin saling bersahutan dari mulu
Rojali, Ustaz Ahmad, Ilham dan Lukman tiba di Lancah Darah saat siang menjelang. Mobil menepi di tempat terakhir kali mereka memarkirkan kendaraan.“Sebaiknya kita berangkat sekarang,” ujar Ilham dengan pandangan menelisik sekeliling, “jika tidak bergegas, mungkin saja kita akan tiba malam hari.”Setelah memastikan kendaraan aman, keempat pria itu memulai perjalanan memasuki hutan Lancah Darah. Pemandangan indah yang ditawarkan kawasan ini tidak akan berlangsung lama ketika matahari tenggelam.Seperti apa yang dikatakan orang-orang, Lancah Darah menjadi tempat yang “haram” untuk dikunjungi orang. Tak hanya kisah mistis yang melekat, tetapi tentang sekelompok orang yang susah disentuh, termasuk aparat sekalipun.Rombongan beristirahat di pinggiran sungai untuk melaksanakan salat, juga untuk menyantap bekal. Mereka sudah mencapai setengah perlajanan saat langit mulai bersolek lembayung. Kumpulan burung-burung terban
Ciboeh, 1989Selesai salat subuh berjemaah, para tetua desa yang dipimpin Pak Dede memasuki kantor desa. Mereka duduk melingkar beralas tikar tanpa camilan atau air segelas pun. Dilihat dari wajah dan gestur mereka, tampak ada hal penting yang harus segera mereka diskusikan.Hujan mendadak mengguyur deras. Angin tampak menerobos di sela-sela lubang pintu dan jendela, membawa udara dingin. “Jangan sampai ada yang masuk ke kantor, Man,” ucap Pak Dede pada Eman yang berjaga di pintu.“Siap, Pak Kades.” Eman mengacungkan jempol.Ruangan hanya diterangi lampu kecil sehingga cahaya hanya menyinari tengah ruangan, sedang gelap memeluk keadaaan sekelililing. “Kalian sudah memastikan kalau Rojali tidak ada di desa?” tanya Pak Dede sembari mengamati satu per satu orang yang hadir.“Sudah, Pak Dede,” jawab Pak Yayat, “Ustaz Rojali mengabari kalau selama dua hari
Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memamerkan bulatan sempurna bercahaya keperakan. Di sisi sungai, Mbah Atim dan Mbah Jaja tampak berdiri menunggu kedatangan Ujang. Sudah lewat beberapa menit dari waktu perjanjian.“Awas saja kalau si Ujang mengkhianati kita, Juned,” ucap Mbah Jaja penuh amarah, “aing tidak segan bunuh istri, mertua dan anaknya sekaligus.”“Kita tunggu sebentar lagi, Kang,” sahut Mbah Atim menenangkan. Pandangannya tertuju pada seberang sungai, di mana pekatnya hutan hanya bisa menampilkan kegelapan. Ia mulai tak enak berdiri, pasalnya Mbah Jaja bisa saja nekat, dan saat itu terjadi ia tidak bisa melakukan banyak hal.“Sampai kapan kita harus menunggu si Ujang, Juned?” tanya Mbah Jaja sembari mengeluarkan pisau kecil, memandanginya dengan lekat-lekat. “Bisa saja dia berubah pikiran dan mengkhianati perjanjian kita.”“Saya yakin Ujang pasti datang ke si
Hujan deras yang mengguyur Ciboeh beberapa hari terakhir mengakibatkan bencana longsor. Peristiwa itu terjadi bakda subuh saat para warga sudah mulai bersiap menyambut hari. Lokasi terjadinya bencana berada di perbatasan Cigeutih dan Cimenyan. Hal itu menyebabkan beberapa rumah di dua kampung rusak karena tertimbun. Untungnya tidak ada korban jiwa.Para korban yang berhasil selamat diungsikan di rumah-rumah saudara. Warga saling bergotong royong membantu membersihkan tanah yang menghalangi jalan dan menutup akses jembatan yang menghubungkan kedua kampung.Setelah jembatan dapat kembali dibuka, Rojali berinisiatif meminta bantuan pada pesantren. Syukur dipanjatkan, Kiai mengirim bantuan dengan menerjunkan lima puluh santri ke Ciboeh. Dalam waktu sehari, lokasi sekitar bencana kembali normal meski rumah tampak ambruk.Hari berikutnya, warga masih berjibaku dengan sisa tanah longsor yang masih tertimbun di beberapa bagian sudut desa. Tanpa disangka-sangka, se
Sebuah motor tampak melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Kampung Cigeutih. Gerimis tak lama kemudian berubah menjadi hujan lebat. Reza yang berada di atas kendaraan mencibir dengan penuh sumpah serapah. Ia mempercepat laju motor hingga kendaraan bergetar beberapa kali karena menorobos jalan berbatu dan berlubang.Reza berdecak, melempar rokok sembarang. Saat menoleh pada pos ronda, ia sama sekali tidak melihat teman-temannya berkumpul. Dengan terpaksa pemuda itu harus pulang ke rumah, padahal siang tadi ia bersitegang dengan bapaknya. Malas sebenarnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.“Ah, any*ng!” maki Reza dengan badan yang sudah mulai kedinginan. Seluruh pakaiannya basah kuyup, bahkan sampai ke dalam-dalam. Karena emosi, ia sampai melewatkan kediamannya sendiri.“Tol*l!” maki Reza setelah tahu kalau dirinya melewatkan rumahnya sendiri. Ia mendadak abai dengan keadaan di depan hingga tak bisa menghindari sebuah lubang. Alhasil,