Rojali menoleh ke tempat yang baru saja ia lewati. Lukman sama sekali tak menyusulnya, dan itu menjadi pertanda bahwa kubah gaib ini masih bekerja. Hal ini cukup aneh karena dirinya sama sekali tak melakukan apa pun untuk bisa menerobos pelindung musuh.
Rojali menyisir keadaan sekeliling. Pemuda itu baru ingat bila sosok serupa dirinya itu mengatakan akan membantunya. Tentu ia percaya jika semua terjadi atas kuasa Allah, bukan dari makhluk lain. Kemampuan untuk bisa keluar-masuk kubah ini dengan bebas akan digunakan olehnya untuk bisa menolong orang-orang yang bernasib sama dengan Reza dan Pak Dede.
Rojali kembali berlari sepanjang jalan. Penampakan pocong yang melompat di sekitarnya tak lagi menjadi ancaman atau sumber ketakutan. Makhluk-makhluk itu nyatanya menjauh dengan sendirinya.
“Itu ... Kang Mahmud,” ucap Rojali saat melihat pria itu menelungkup tak sadarkan diri. Saat berada dalam jarak dekat, ia melihat genangan darah.
Rojali memindai sekeli
Asep keluar dari persembunyian setelah merasa kondisi aman. Meski begitu, ia sama sekali tak menurunkan kewaspadaan. Agar tak menimbulkan kecurigaan, pria itu terpaksa merangkak untuk mendekati objek yang dituju. “Ep, Ep,” panggil Asep sembari menepuk pipi Aep beberapa kali. “Ini saya ... Asep.” Asep mengawasi sekeliling, kemudian menepuk kembali pipi sahabatnya dengan agak keras. Ia menoleh ke arah sungai di mana dua pria berbusana hitam berada. Aep mengerjap beberapa kali. Saat membuka mata, kepalanya terasa pening seakan dihantam batu besar. Objek yang ia lihat masih berupa tampilan blur. Namun, ia masih bisa mendengar suara yang dikenalnya dengan jelas. “Ep, bangun,” ujar Asep dengan pandangan masih tertuju pada dua orang di sekitar sungai. “Sep,” lirih Aep yang kemudian disusul batuk yang mengeluarkan darah. Asep membantu Aep untuk mendudukkan tubuh. Kondisi sahabatnya benar-benar babak belur. “Ep,” gumamnya cemas, “kamu tidak apa
Aep tertegun seketika. Ia melihat keseriusan di wajah Asep. Tak ada juga kebohongan di sana. Meski begitu, tetap saja ia tidak terima dikhianati.“Ep,” panggil Asep dengan suara lemah.Aep berbalik menunggungi Asep.“Kalau saja Ujang serius dengan ucapannya tadi, sudah pasti Ujang tidak segan-segan membunuh kamu,” jelas Asep, “tapi nyatanya kamu masih hidup, Ep.”Asep mundur beberapa langkah, mengamati punggung Aep yang tampak bergetar. Semua hal ini mungkin berat untuk langsung diterima oleh Aep, pikirnya.“Kita harus tolong Ujang, Ep,” ujar Asep, “kita harus bantu dia agar bisa menggagalkan ritual ini.”Aep menenggelamkan wajah. Kedua tangannya terkepal kuat. “Saya ... tidak peduli lagi, Sep. Lagi pula untuk apa saya harus nolong Ujang? Dia itu penjahat. Dia ... yang sudah bunuh Mbah Atim. Dia juga yang sudah bunuh Ki Udin.”“Ep,” ucap Asep tak
Kiai, Mbah Atim dan Mbah Jaja dari tempat berbeda menyadari bila kubah gaib menghilang. Anggota Kalong Hideung yang menyerang mereka pun mundur dan berlari ke arah desa.“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Kiai seraya menyimpan kembali serbannya. Pandangannya menyisir sekeliling, kemudian terhenti saat menyadari sesuatu. “Rojali.”Raut wajah Kiai berubah cemas. Ia yang tersudut sampai di persawahan buru-buru bergerak ke arah desa, berjalan melalui jalan setapak. Aksinya juga diikuti oleh Mbah Jaja dan Mbah Atim di lokasi berbeda.Di luar desa, Lukman ikut menyadari kalau penghalang gaib menghilang saat tangannya lolos ketika menyentuh batas di mana tubuhnya terpental. Merasa ini adalah kesempatan, ia segera meminta para santri yang tersisa untuk berkumpul.“Kita akan masuk ke desa dan menyelamatkan warga yang terluka. Untuk warga yang masih bisa bergerak, suruh mereka untuk segera keluar dari desa secepatnya,” perintah
Badru baru saja tiba di tengah jembatan. Pandangannya segera menyisir sekeliling saat tak melihat keberadaan Ki Jalu di sana. Wajahnya kian meraut cemas sekaligus ketakutan di waktu bersamaan.Tak lama setelah kedatangannya, anggota Kalong Hideung yang lain ikut berkumpul di jembatan. Mereka menyadari jika kubah gaib itu sudah menghilang.“Cari Ki Jalu!” perintah Badru tanpa menoleh sedikit pun pada anggotanya.Secara serempak, lima orang itu segera mencari keberadaan Ki Jalu. Penyisiran mereka terhenti ketika Engkos berhasil menemukan kakek tua itu di bawah pohon.“Kang,” panggil Engkos.Badru segera mendekat. Saat mendapati sang bapak terbaring di tanah, ia segera membawa tubuh Ki Jalu ke dalam pangkuannya. “Saha nu geus ngalakukeun ieu (Siapa yang sudah melakukan ini), Pak?” tanya dengan ray geramKi Jalu berusaha untuk duduk. Pandangannya segera memindai anggota Kalong Hideung yang ad
Ustaz Ahmad dan Ilham segera mendekat ke arah orang tua mereka masing-masing. Baik Kiai maupun Mbah Atim masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Di tengah kepanikan, Ustaz Ahmad melihat sosok Rojali dari jarak agak jauh tengah memunggunginya.“Rojali!” panggil Ustaz Ahmad sembari melambaikan tangan. “Bantu saya, cepat! Kiai pingsan.”Di sisi lain, Ilham memapah Mbah Atim keluar dari rumah warga. Ia mendudukan pria tua itu di bawah pohon. Saat menoleh ke rumah samping, pria itu melihat jika dinding bangunannya ikut berlubang.“Pak.” Ilham menepuk bahu Mbah Atim beberapa kali. Setelah memeriksa kondisi sang bapak, ia segera memindai sekeliling, kemudian menemukan sosok Rojali tengah berada di sebuah tanah lapang. Ketika menoleh ke arah Ustaz Ahmad, Ilham bisa melihat dan mendengar kalau pria itu terus-menerus memanggil nama Rojali.Ilham paham akan situasi yang terjadi. Untuk itu, ia kembali memapah Mbah Atim, lalu mendeka
Engkos dan komplotan Kalong Hideung berhenti saat menemukan seseorang yang tengah berdiri di depan reruntuhan sebuah rumah. Ia kemudian memberi kode pada anggota yang lain untuk mengepung pria itu. “Rojali,” gumam Engkos sembari memberi aba-aba untuk menyerang. Dengan perbedaan jumlah yang sangat kentara, ustaz muda itu tidak mungkin bisa selamat maupun meloloskan diri, pikirnya. Para anggota Kalong Hideung mendekat dengan gerakan senyap. Ketika jarak sudah menipis, tiba-tiba saja mereka dibuat kebingungan saat sosok pria itu menghilang dari pandangan. “Tong wani-wani ngahalangan kaula (Jangan berani menghalangi saya),” ucap Raden Arya melalui sosok Rojali. Mendengar ucapan tersebut, sontak saja Engkos dan anggota Kalong Hideung yang lain terkejut. Pandangan mereka segera menyisir sekeliling. Komplotan itu dibuat terperanjat saat menemukan Rojali sudah berada di di belakang mereka. “Rojali,” geram Engkos meski sosok di depannya masih
Aep menarik napas panjang sebelum melompat ke sungai. Pria itu berenang untuk sampai di tempat seberang. Ia bergegas naik meski sekujur tubuhnya terasa sakit dan kedinginan. Untuk kedua kalinya, raganya harus basah oleh air sungai.Aep menoleh ke arah seberang, tepatnya pada Asep yang tengah memapah Ujang. Walau ia belum mengetahui misteri di balik semua peristiwa yang terjadi, ia tak punya pilihan lain selain menurut pada perkataan Ujang dan Asep.Dengan kondisi tubuh yang sudah dilanda kelelahan, Aep berlari sepanjang perkebunan bersama senter kecil yang tengah ia pegang. Syukurlah benda ini tidak mati saat dirinya terjun ke sungai. Pria itu mendapati jejak roda gerobak di sepanjang lokasi yang dilaluinya. Kemungkinan besar Euis dan yang lain terus berjalan sesuai dengan perintahnya. Melihat kondisi yang ada, Aep menduga jika mereka tidak mungkin bisa bergerak dengan cepat.Aep berhenti sesaat untuk menstabilkan napas. Saat menyisir keadaan, hanya ada kegelapa
Badru tersentak kaget saat melihat tubuh seseorang melewatinya dengan cepat. Tak lama setelahnya, terdengar suara nyaring dari belakang. Pria paruh baya itu memilih memutar arah untuk mengecek sumber suara barusan. Matanya sontak membulat saat menemukan Engkos tergolek tak berdaya di bawah pohon. “Kos, siapa yang melakukan ini?” tanyanya geram.Engkos berusaha untuk duduk, tetapi gagal karena seluruh tubuhnya terasa patah. Di sisi lain, dadanya seperti terbakar. “Ro-Rojali,” ucapnya terbata.Badru menoleh ke arah perkampungan Cimenyan. Kepalan tangannya menguat, tetapi bibirnya justru menyunggingkan senyuman. Saat ia hendak bertanya kembali, Engkos sudah kehilangan kesadaran.Badru kembali berlari ke arah Cimenyan setelah memastikan jika Engkos masih dalam keadaan hidup. Memasuki perkampungan lebih dalam, pria paruh baya itu menjumpai beberapa anggota Kalong Hideung dalam kondisi yang sama seperti Engkos. “Rojali,” geramnya de