Aep sontak berontak saat dirinya secara tiba-tiba ditarik mundur. Suaranya tertahan karena bekapan lawan di mulutnya begitu kuat. Dua tangannya yang beberapa detik lalu diarahkan untuk membuka kuncian lawan, kini difungsikan untuk menahan tubuh agar tak terus diseret musuh dengan cara menggapai batu dan memegang tanaman padi. Akan tetapi, usahanya tampak sia-sia.
“Ini saya, Ep,” bisik orang yang membekap Aep. Pegangan tangannya perlahan mengendur.
“Sep?” Aep perlahan menoleh. Begitu memastikan bahwa orang yang menariknya barusan adalah sahabatnya, ia tiba-tiba saja menangis saat melihat wajah Asep tampak babak belur, bahkan di bagian pelipisnya terdapat luka sobekan. “Sep, saya minta maaf. Saya—”
“Dengarkan saya, Ep!” potong Asep seraya memindai sekeleliling. “Segera pergi ke rumah Pak Dede dan katakan sama dia kalau Kalong Hideung akan melaksanakan ritualnya malam ini. Kamu pasti sudah lihat sesejen it
Aep mengayuh sepeda dengan cepat. Ia buru-buru turun saat tiba di depan gerbang. Saat akan menginjakkan kaki ke dalam, Pak Dede terlihat sedang membanting pintu belakang agak keras, kemudian memutar untuk sampai ke kursi kemudi. “Pak Dede,” panggil Aep sembari mendekat. Ia mencegat si kepala desa di pintu kemudi. Saat mengintip ke belakang, ia melihat Reza sudah dibaringkan di kursi belakang. “Saya harus memberitahu Pak Dede sesuatu. Ada kabar—” “Minggir kamu, Ep!” Pak Dede mendorong Aep menjauh. Wajahnya tampak dipenuhi keringat. Pandangannya sama sekali tak diarahkan pada pria itu, di mana setiap kali bicara ia hanya akan memandang ke depan. “Pak Dede mau ke mana?” tanya Aep yang kini menahan pintu mobil saat Pak Dede akan masuk, “saya baru saja lihat Kalong Hideung di sekitar persawahan. Mereka akan mengadakan ritual sekarang, Pak Dede. Kita harus mengungsikan warga selagi sempat. Ini keadaan darurat.” “Lepas!” Pak Dede kembali mendorong Aep.
Rojali tengah duduk di pinggiran kolam seorang diri. Matanya memandang pantulan rembulan di air. Sesekali tangannya melempar kerikil hingga menciptakan cipratan kecil dan riak air yang ebrgelombang. Kiai dan Ustaz Ahmad sudah pergi semenjak isya, dan sama sekali tak memberitahu tujuan mereka serta kapan keduanya akan kembali.Rojali sontak menoleh begitu mendengar suara langkah kaki mendekat. Saat mendapati Lukman berjalan ke arahnya, dengan segera ia kembali memandangi permukaan air kolam. Sejak pertemuannya dengan Lukman sore tadi, Rojali lebih banyak diam, menjawab singkat jika pria itu bertanya, dan saat berbicara pun, ia akan mengalihkan pandangan ke arah lain.“Kita harus segera berangkat, Jali,” ujar Lukman.Rojali seketika berdiri, mengangguk kecil saat bersitatap dengan Lukman. Ia lantas melewati pria itu tanpa bicara satu patah kata pun.“Kamu marah sama saya?” tanya Lukman pada akhirnya, “sejak tadi kam
“Jali,” lirih Lukman yang akhirnya memberanikan diri mendongak, menatap kedua bola mata Rojali yang masih diselimuti bening air mata. “Maafkan saya. Saya tidak tahu kalau kejadiannya akan seperti ini. Saya menceritakan hal itu pada Aep karena ... kamu percaya sama dia. Jadi, saya pikir ... saya benar-benar minta maaf.”Rojali membuang pandangan ke arah lain. Bahunya yang menegang akhirnya tenang seiring dengan kepalan tangannya yang mengendur. Ada jeda sejenak sebelum ia berbicara, “Saya yang harusnya minta maaf, Man. Tak seharusnya saya marah, apalagi sampai membenci kamu. Kebaikan kamu sudah membantu saya selama ini.”“Jali,” gumam Lukman.“Kita sebaiknya pergi, Man,” ucap Rojali seraya menepuk pundak Lukman, kemudian berjalan lebih dahulu meninggalkan kolam.Kedua pemuda itu lantas berjalan ke arah pekarangan depan pesantren, di mana mobil terparkir. Tak ada obrolan hingga keduanya berada di k
Rojali segera masuk ke mobil. Tatapannya tertuju pada dua anggota Kalong Hideung yang rebah di tanah. Ia dapat bernapas lega sekarang. “Nuhun, Man,” ucapnya.Lukman segera memutar arah mobil, melajukan kendaraan dengan cepat. “Sudah kewajiban kita untuk saling membantu. Sebaiknya kita segera pergi ke tempat para santri yang lain.”Rojali mengangguk meski sejujurnya ia masih mengkhawatirkan kondisi Kiai sekarang. Namun, saat mengingat bila beliau bersama Ustaz Ahmad, ia bisa agak tenang.Lelah setelah pertarungan, membuat Rojali diserang kantuk. Pemuda itu melepas beberapa kancing pakaian untuk mengusir panas. Ia mulai terpejam, dan tanpa sadar baju kokonya terlepas hingga dada bidangnya terekspos.Melihat Rojali yang sudah menutup mata, Lukman mempercepat laju mobil. Pria itu menyeka keringat yang menumpuk di dahi dengan punggung tangan. Ia mengembus napas panjang seraya melirik Rojali. Alisnya mendadak menukik begit
Cahaya rembulan menerobos celah-celah rerimbunan pohon di Legok Kiara. Di puncak bukit, tepatnya di dekat bangunan tua berada, Kalong Hideung bersiap untuk melancarkan misi. Tampak Ki Jalu dan Badru tengah berdiri di depan hampir semua anggota.“Persiapannya sudah selesai, Kos?” tanya Ki Jalu seraya menatap Engkos yang tengah berjongkok paling depan.“Sudah, Ki,” jawab Engkos, “kita hanya tinggal menunggu Ujang.”Sesudah Engkos berbicara, pandangan semua orang seketika teralih pada seseorang yang tiba-tiba muncul dari arah belakang. Ujang yang baru saja tiba segera berjalan ke arah Ki Jalu, kemudian memberikan sebuah kain pada kakek tua itu. Setelahnya, Ujang mundur dan berjongkok di samping Engkos.Ki Jalu tak serta merta langsung bahagia saat membuka benda yang diselimuti kain itu. Selama beberapa detik lamanya, ia mengamati kunci berkepala naga itu untuk memastikan keasliannya. Begitu menyadari benda itu memanglah be
Semua anggota Kalong Hideung terpana saat melihat hal itu terjadi. Tak sedikit yang menelan ludah, bahkan melebarkan matanya bulat-bulat, tak terkecuali Badru yang notabenenya sudah dekat hal seperti ini semenjak kecil. Namun, hal sehebat ini baru saja ia saksikan sekarang.Kubah merah itu perlahan menghilang, tetapi guntur dan kilat masih terdengar dan tampak di langit malam. Saat bibir kembali terkatup, Ki Jalu mulai membuka mata. Kakek tua berikat kepala merah tua itu kemudian berdiri, kemudian membentangkan kedua tangan lebar-lebar. Tongkatnya yang bersinar kembali ke keadaan semula.Guntur kembali bersahutan, membawa angin yang lebih kencang dibanding semula. Di sisi lain, awan hitam kian bengis menutupi cahaya rembulan. Siapa pun akan mengira bila hujan sebentar lagi tiba, dan memang kenyataan itulah yang terjadi selanjutnya. Akan tetapi, bukan hujan air yang akan turun dari langit seperti dugaan, melainkan hujan pocong berkafan hitam yang siap menjamur ke
Angin kencang tiba-tiba berembus dari arah Ciboeh, membuat hamparan tanaman padi yang berada di sisi kiri dan kanan meliuk-liuk bak tengah menari. Alira udara itu dengan nakal menjatuhkan peci hitam Ustaz Ahmad, menyebabkan ia harus berhenti untuk mengambilnya.Ustaz Ahmad secara tiba-tiba membeku di tempat saat mendengar suara teriakan di mana-mana. Bulu kuduknya mendadak meremang seiring dengan jantungnya yang berdegup berkali-kali lebih cepat. Akan tetapi, saat memindai sekeliling, ia sama sekali tak menemukan siapa pun. Keadaan masih normal seperti tadi.“Astagfirullah,” ucap Kiai yang ikut berhenti. Matanya membulat saat melihat pemandangan di depannya, menyebabkan jemarinya berhenti menggulir tasbih untuk sesaat.“Aya naon¸ Pak?” tanya Ustaz Ahmad sembari memakai kembali pecinya. Ia dengan jelas bisa melihat keterkejutan sang bapak. Tak mendapat jawaban, pria itu lantas ikut mengarahkan pandangan ke arah y
Pak Dede memukul-mukul kemudi seiring mobil membelah jalanan desa. Sekujur tubuhnya gemetar dengan keringat dingin yang sudah membanjiri badan. Di sisi lain, wajahnya yang pucat tampak frustrasi karena sudah hampir setengah jam ia mengendarai mobil, tetapi kendaraan masih berada di jalan Cigeutih. Setiap kali mobil melewati gerbang desa, entah mengapa kendaraan akan kembali ke jembatan perbatasan antara Cimenyan dan Cigeutih.Pak Dede melirik Reza yang terbaring di kursi belakang. Raut cemasnya sangat kentara saat melihat putranya itu hanya bisa menatap kosong langit-langit mobil. Tujuannya untuk keluar dari desa lebih awal nyatanya malah gagal total. Keduanya malah terjebak di situasi yang tak pernah sekalipun diterka.“Sabar, Za. Bapak pasti bawa kamu pergi dari desa,” ucap Pak Dede yang berusaha tenang.Pak Dede mengerem mendadak saat mendengar suara guntur yang tiba-tiba. Tubuhnya terdorong ke depan lumayan kencang. Saat menoleh ke belakang, Pak
“Ini satu-satunya cara, Kang. Kita tidak punya pilihan lain.”Mbah Jaja akhirnya setuju setelah agak lama berpikir. “Aing bakal pasang pagar gaib lebih dulu.”Sebuah kubah segera melingkupi seluruh gubuk. Di pandangan orang biasa, bangunan itu akan tampak seperti halaman kosong.Mbah Atim dan Mbah Jaja dengan cepat duduk bersila di depan dan belakang orang gila itu. Mulut mereka mulai berkomat-kamit membaca mantra. Butuh kekuatan dan konsentrasi tinggi untuk bisa menggunakan ajian pengubah raga.Tubuh orang gila itu secara tiba-tiba bergetar beberapa kali. Mulutnya terbuka dengan kondisi bola mata memelotot seperti hendak meloncat. Raganya kemudian berguling-guling di lantai, dan tidak lama setelahnya, fisik pria edan itu persis menyerupai Mbah Atim.“Semoga saja si Jalu tidak sadar,” ujar Mbah Atim yang berdiri dengan wajah pucat. Keringat mulai membanjiri keningnya. Tenaganya benar-benar terkuras habis
1990Sehari sebelum kejadian penemuan jenazah tanpa kepalaCiboeh sangat panas siang ini. Debu-debu berterbangan ketika kaki melangkah dan roda kendaraan menggerus jalan. Beberapa warga tampak menyiram air ke halaman untuk mengusir panas. Meski begitu, tawa anak-anak terdengar bersahutan ketika mereka tengah mengerumuni seorang pria berpakaian kumal.“Nugelo (orang gila)! Nugelo!” Anak-anak kompak meneriaki seorang pria yang tengah berjongkok di tengah mereka.Orang gila itu melirik ke kanan dan ke kiri. Sesekali tangannya menepis ranting yang disodorkan anak-anak padanya. Bibirnya bergerak seperti menggumamkan sesuatu.Seorang anak laki-laki tiba-tiba saja melempar ranting ke sembarang arah ketika melihat Rojali dan Reza tengah berjalan ke arah mereka.“Ada Ustaz Rojali,” ujar Uden, “ayo kabur sebelum kita dihukum.”“H
Dua hari setelah kepergian Kiai, Rojali berkunjung ke Ciboeh bersama Lukman dan Ustaz Ahmad. Pemuda itu sudah mendengar kondisi desa dari keduanya yang porak poranda akibat ritual. Akan tetapi, ia berhasil dibuat terkejut ketika melihat keadaan Ciboeh secara langsung.Saat melewati gerbang desa, ia melihat gapura hancur sebagian. Lebih dekat ke arah utara, banyak rumah roboh dan hancur seperti baru diterjang badai. Kondisi lebih mengerikan tersaji ketika mobil melewati Kampung Cimenyan. Beberapa rumah tampak rata dengan tanah. Tak heran jika berita yang ditayangkan di televisi dan radio menunjukkan bahwa desa ini diserang bencana alam.Mobil menepi di depan reruntuhan kediaman Rojali. Pemuda bermata sipit itu turun bersama Ustaz Ahmad dan Lukman. Ketiganya menatap tanah kosong di mana beberapa puing bangunan masih berada di sana.“Kang Rojali,” ujar Euis yang muncul dari arah samping rumah, “apa itu benar Kang Rojali?” Rojal
Ustaz Ahmad benar-benar merasa gelisah sepanjang waktu. Pikirannya tertuju pada kondisi sang bapak yang masih berada di rumah sakit. Ia hanya duduk memandang perapian di depan, sama sekali belum menyentuh air atau makanan.“Ustaz,” panggil Lukman yang duduk di sampingnya, “sebaiknya Ustaz mengisi tenaga lebih dahulu. Setelahnya, Ustaz bisa berisitirahat.”Ustaz Ahmad mengembus napas panjang, mengangguk pelan. Ia menghabiskan makanan dengan cepat, lalu berbaring di bangku panjang yang berada tak jauh dari tempat dirinya dan Lukman duduk.Sepinya keadaan Cimayit, berbanding terbalik dengan situasi yang ada di pesantren. Tangis kesedihan begitu mendominasi para santri dan tamu yang hadir. Meninggalnya Kiai Rohmat dengan cepat tersebar. Sayang, di saat seperti ini, sang putra justru berada jauh dan belum tahu mengenai kondisi sang bapak.Para pelayat tengah mengerumuni jenazah Kiai Rohmat. Bacaan surat Yasin saling bersahutan dari mulu
Rojali, Ustaz Ahmad, Ilham dan Lukman tiba di Lancah Darah saat siang menjelang. Mobil menepi di tempat terakhir kali mereka memarkirkan kendaraan.“Sebaiknya kita berangkat sekarang,” ujar Ilham dengan pandangan menelisik sekeliling, “jika tidak bergegas, mungkin saja kita akan tiba malam hari.”Setelah memastikan kendaraan aman, keempat pria itu memulai perjalanan memasuki hutan Lancah Darah. Pemandangan indah yang ditawarkan kawasan ini tidak akan berlangsung lama ketika matahari tenggelam.Seperti apa yang dikatakan orang-orang, Lancah Darah menjadi tempat yang “haram” untuk dikunjungi orang. Tak hanya kisah mistis yang melekat, tetapi tentang sekelompok orang yang susah disentuh, termasuk aparat sekalipun.Rombongan beristirahat di pinggiran sungai untuk melaksanakan salat, juga untuk menyantap bekal. Mereka sudah mencapai setengah perlajanan saat langit mulai bersolek lembayung. Kumpulan burung-burung terban
Ciboeh, 1989Selesai salat subuh berjemaah, para tetua desa yang dipimpin Pak Dede memasuki kantor desa. Mereka duduk melingkar beralas tikar tanpa camilan atau air segelas pun. Dilihat dari wajah dan gestur mereka, tampak ada hal penting yang harus segera mereka diskusikan.Hujan mendadak mengguyur deras. Angin tampak menerobos di sela-sela lubang pintu dan jendela, membawa udara dingin. “Jangan sampai ada yang masuk ke kantor, Man,” ucap Pak Dede pada Eman yang berjaga di pintu.“Siap, Pak Kades.” Eman mengacungkan jempol.Ruangan hanya diterangi lampu kecil sehingga cahaya hanya menyinari tengah ruangan, sedang gelap memeluk keadaaan sekelililing. “Kalian sudah memastikan kalau Rojali tidak ada di desa?” tanya Pak Dede sembari mengamati satu per satu orang yang hadir.“Sudah, Pak Dede,” jawab Pak Yayat, “Ustaz Rojali mengabari kalau selama dua hari
Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memamerkan bulatan sempurna bercahaya keperakan. Di sisi sungai, Mbah Atim dan Mbah Jaja tampak berdiri menunggu kedatangan Ujang. Sudah lewat beberapa menit dari waktu perjanjian.“Awas saja kalau si Ujang mengkhianati kita, Juned,” ucap Mbah Jaja penuh amarah, “aing tidak segan bunuh istri, mertua dan anaknya sekaligus.”“Kita tunggu sebentar lagi, Kang,” sahut Mbah Atim menenangkan. Pandangannya tertuju pada seberang sungai, di mana pekatnya hutan hanya bisa menampilkan kegelapan. Ia mulai tak enak berdiri, pasalnya Mbah Jaja bisa saja nekat, dan saat itu terjadi ia tidak bisa melakukan banyak hal.“Sampai kapan kita harus menunggu si Ujang, Juned?” tanya Mbah Jaja sembari mengeluarkan pisau kecil, memandanginya dengan lekat-lekat. “Bisa saja dia berubah pikiran dan mengkhianati perjanjian kita.”“Saya yakin Ujang pasti datang ke si
Hujan deras yang mengguyur Ciboeh beberapa hari terakhir mengakibatkan bencana longsor. Peristiwa itu terjadi bakda subuh saat para warga sudah mulai bersiap menyambut hari. Lokasi terjadinya bencana berada di perbatasan Cigeutih dan Cimenyan. Hal itu menyebabkan beberapa rumah di dua kampung rusak karena tertimbun. Untungnya tidak ada korban jiwa.Para korban yang berhasil selamat diungsikan di rumah-rumah saudara. Warga saling bergotong royong membantu membersihkan tanah yang menghalangi jalan dan menutup akses jembatan yang menghubungkan kedua kampung.Setelah jembatan dapat kembali dibuka, Rojali berinisiatif meminta bantuan pada pesantren. Syukur dipanjatkan, Kiai mengirim bantuan dengan menerjunkan lima puluh santri ke Ciboeh. Dalam waktu sehari, lokasi sekitar bencana kembali normal meski rumah tampak ambruk.Hari berikutnya, warga masih berjibaku dengan sisa tanah longsor yang masih tertimbun di beberapa bagian sudut desa. Tanpa disangka-sangka, se
Sebuah motor tampak melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Kampung Cigeutih. Gerimis tak lama kemudian berubah menjadi hujan lebat. Reza yang berada di atas kendaraan mencibir dengan penuh sumpah serapah. Ia mempercepat laju motor hingga kendaraan bergetar beberapa kali karena menorobos jalan berbatu dan berlubang.Reza berdecak, melempar rokok sembarang. Saat menoleh pada pos ronda, ia sama sekali tidak melihat teman-temannya berkumpul. Dengan terpaksa pemuda itu harus pulang ke rumah, padahal siang tadi ia bersitegang dengan bapaknya. Malas sebenarnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.“Ah, any*ng!” maki Reza dengan badan yang sudah mulai kedinginan. Seluruh pakaiannya basah kuyup, bahkan sampai ke dalam-dalam. Karena emosi, ia sampai melewatkan kediamannya sendiri.“Tol*l!” maki Reza setelah tahu kalau dirinya melewatkan rumahnya sendiri. Ia mendadak abai dengan keadaan di depan hingga tak bisa menghindari sebuah lubang. Alhasil,