Rojali tengah duduk di pinggiran kolam seorang diri. Matanya memandang pantulan rembulan di air. Sesekali tangannya melempar kerikil hingga menciptakan cipratan kecil dan riak air yang ebrgelombang. Kiai dan Ustaz Ahmad sudah pergi semenjak isya, dan sama sekali tak memberitahu tujuan mereka serta kapan keduanya akan kembali.
Rojali sontak menoleh begitu mendengar suara langkah kaki mendekat. Saat mendapati Lukman berjalan ke arahnya, dengan segera ia kembali memandangi permukaan air kolam. Sejak pertemuannya dengan Lukman sore tadi, Rojali lebih banyak diam, menjawab singkat jika pria itu bertanya, dan saat berbicara pun, ia akan mengalihkan pandangan ke arah lain.
“Kita harus segera berangkat, Jali,” ujar Lukman.
Rojali seketika berdiri, mengangguk kecil saat bersitatap dengan Lukman. Ia lantas melewati pria itu tanpa bicara satu patah kata pun.
“Kamu marah sama saya?” tanya Lukman pada akhirnya, “sejak tadi kam
“Jali,” lirih Lukman yang akhirnya memberanikan diri mendongak, menatap kedua bola mata Rojali yang masih diselimuti bening air mata. “Maafkan saya. Saya tidak tahu kalau kejadiannya akan seperti ini. Saya menceritakan hal itu pada Aep karena ... kamu percaya sama dia. Jadi, saya pikir ... saya benar-benar minta maaf.”Rojali membuang pandangan ke arah lain. Bahunya yang menegang akhirnya tenang seiring dengan kepalan tangannya yang mengendur. Ada jeda sejenak sebelum ia berbicara, “Saya yang harusnya minta maaf, Man. Tak seharusnya saya marah, apalagi sampai membenci kamu. Kebaikan kamu sudah membantu saya selama ini.”“Jali,” gumam Lukman.“Kita sebaiknya pergi, Man,” ucap Rojali seraya menepuk pundak Lukman, kemudian berjalan lebih dahulu meninggalkan kolam.Kedua pemuda itu lantas berjalan ke arah pekarangan depan pesantren, di mana mobil terparkir. Tak ada obrolan hingga keduanya berada di k
Rojali segera masuk ke mobil. Tatapannya tertuju pada dua anggota Kalong Hideung yang rebah di tanah. Ia dapat bernapas lega sekarang. “Nuhun, Man,” ucapnya.Lukman segera memutar arah mobil, melajukan kendaraan dengan cepat. “Sudah kewajiban kita untuk saling membantu. Sebaiknya kita segera pergi ke tempat para santri yang lain.”Rojali mengangguk meski sejujurnya ia masih mengkhawatirkan kondisi Kiai sekarang. Namun, saat mengingat bila beliau bersama Ustaz Ahmad, ia bisa agak tenang.Lelah setelah pertarungan, membuat Rojali diserang kantuk. Pemuda itu melepas beberapa kancing pakaian untuk mengusir panas. Ia mulai terpejam, dan tanpa sadar baju kokonya terlepas hingga dada bidangnya terekspos.Melihat Rojali yang sudah menutup mata, Lukman mempercepat laju mobil. Pria itu menyeka keringat yang menumpuk di dahi dengan punggung tangan. Ia mengembus napas panjang seraya melirik Rojali. Alisnya mendadak menukik begit
Cahaya rembulan menerobos celah-celah rerimbunan pohon di Legok Kiara. Di puncak bukit, tepatnya di dekat bangunan tua berada, Kalong Hideung bersiap untuk melancarkan misi. Tampak Ki Jalu dan Badru tengah berdiri di depan hampir semua anggota.“Persiapannya sudah selesai, Kos?” tanya Ki Jalu seraya menatap Engkos yang tengah berjongkok paling depan.“Sudah, Ki,” jawab Engkos, “kita hanya tinggal menunggu Ujang.”Sesudah Engkos berbicara, pandangan semua orang seketika teralih pada seseorang yang tiba-tiba muncul dari arah belakang. Ujang yang baru saja tiba segera berjalan ke arah Ki Jalu, kemudian memberikan sebuah kain pada kakek tua itu. Setelahnya, Ujang mundur dan berjongkok di samping Engkos.Ki Jalu tak serta merta langsung bahagia saat membuka benda yang diselimuti kain itu. Selama beberapa detik lamanya, ia mengamati kunci berkepala naga itu untuk memastikan keasliannya. Begitu menyadari benda itu memanglah be
Semua anggota Kalong Hideung terpana saat melihat hal itu terjadi. Tak sedikit yang menelan ludah, bahkan melebarkan matanya bulat-bulat, tak terkecuali Badru yang notabenenya sudah dekat hal seperti ini semenjak kecil. Namun, hal sehebat ini baru saja ia saksikan sekarang.Kubah merah itu perlahan menghilang, tetapi guntur dan kilat masih terdengar dan tampak di langit malam. Saat bibir kembali terkatup, Ki Jalu mulai membuka mata. Kakek tua berikat kepala merah tua itu kemudian berdiri, kemudian membentangkan kedua tangan lebar-lebar. Tongkatnya yang bersinar kembali ke keadaan semula.Guntur kembali bersahutan, membawa angin yang lebih kencang dibanding semula. Di sisi lain, awan hitam kian bengis menutupi cahaya rembulan. Siapa pun akan mengira bila hujan sebentar lagi tiba, dan memang kenyataan itulah yang terjadi selanjutnya. Akan tetapi, bukan hujan air yang akan turun dari langit seperti dugaan, melainkan hujan pocong berkafan hitam yang siap menjamur ke
Angin kencang tiba-tiba berembus dari arah Ciboeh, membuat hamparan tanaman padi yang berada di sisi kiri dan kanan meliuk-liuk bak tengah menari. Alira udara itu dengan nakal menjatuhkan peci hitam Ustaz Ahmad, menyebabkan ia harus berhenti untuk mengambilnya.Ustaz Ahmad secara tiba-tiba membeku di tempat saat mendengar suara teriakan di mana-mana. Bulu kuduknya mendadak meremang seiring dengan jantungnya yang berdegup berkali-kali lebih cepat. Akan tetapi, saat memindai sekeliling, ia sama sekali tak menemukan siapa pun. Keadaan masih normal seperti tadi.“Astagfirullah,” ucap Kiai yang ikut berhenti. Matanya membulat saat melihat pemandangan di depannya, menyebabkan jemarinya berhenti menggulir tasbih untuk sesaat.“Aya naon¸ Pak?” tanya Ustaz Ahmad sembari memakai kembali pecinya. Ia dengan jelas bisa melihat keterkejutan sang bapak. Tak mendapat jawaban, pria itu lantas ikut mengarahkan pandangan ke arah y
Pak Dede memukul-mukul kemudi seiring mobil membelah jalanan desa. Sekujur tubuhnya gemetar dengan keringat dingin yang sudah membanjiri badan. Di sisi lain, wajahnya yang pucat tampak frustrasi karena sudah hampir setengah jam ia mengendarai mobil, tetapi kendaraan masih berada di jalan Cigeutih. Setiap kali mobil melewati gerbang desa, entah mengapa kendaraan akan kembali ke jembatan perbatasan antara Cimenyan dan Cigeutih.Pak Dede melirik Reza yang terbaring di kursi belakang. Raut cemasnya sangat kentara saat melihat putranya itu hanya bisa menatap kosong langit-langit mobil. Tujuannya untuk keluar dari desa lebih awal nyatanya malah gagal total. Keduanya malah terjebak di situasi yang tak pernah sekalipun diterka.“Sabar, Za. Bapak pasti bawa kamu pergi dari desa,” ucap Pak Dede yang berusaha tenang.Pak Dede mengerem mendadak saat mendengar suara guntur yang tiba-tiba. Tubuhnya terdorong ke depan lumayan kencang. Saat menoleh ke belakang, Pak
Aep tengah berjalan menuruni perkebunan sayur dengan hati-hati. Perjalanannya hanya ditemani obor di tangan kiri, sedang tangan kanannya sesekali menyeka bulir keringat dengan kain sarung yang tersampir di bahu.Wajahnya tampak penat sekaligus ketakutan di saat bersamaan. Saat memasuki perkebunan tadi, ia dikejutkan dengan amukan guntur yang tiba-tiba. Ia juga melihat bila listrik mendadak mati total, menyebabkan keadaan desa menjadi gelap gulita.“Siapa di sana?” tanya seseorang dari perkebunan bagian bawah.Mendengar hal itu, Aep mempercepat langkah meski tetap berhati-hati. “Aep, saya Aep,” sahutnya.Tak berselang lama, cahaya obor mulai bermunculan, memperlihatkan beberapa warga yang tengah berkumpul di dekat saung milik Rojali. Aep segera berlari saat melihat bapaknya tebaring di teras saung yang dikelilingi oleh para wanita dan juga anak-anak yang sebagian besar tengah menangis.“Bapak kamu teu nanaon
“Kalian semua yang salah karena sudah berbuat zalim sama Kang Rojali!”Ucapan Euis barusan nyatanya mampu membungkam perdebatan dan ketegangan yang terjadi di antara para warga. Untuk beberapa detik kemudian, keheningan mengambil alih dan berhasil memotong obrolan. Tak hanya itu, Euis mendadak menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di sekitar saung Rojali, termasuk anak-anak kecil yang tengah berusaha menahan kantuk dan ketakutan di waktu bersamaan.Euis sendiri langsung tertunduk begitu tatapan sinis tertuju padanya. Kedua tangannya mengerat kuat di ujung baju. Sekujur tubuhnya gemetar karena perasaan takut dan ledakan amarah.Mendengar perkataan mengejutkan itu, Pak Juju seketika mendekat, menarik pergelangan tangan putrinya dengan kencang, kemudian menarik Euis ke tengah-tengah para warga. Wajah pria paruh baya itu merah padam karena menahan emosi, pasalnya Euis menyebut nama Rojali, sosok yang sudah menjadi musuh bersama para warga. Jelas s