“Jadi, sejak awal mama sudah tahu kalau suami Kak Camila itu koma?”
Suara adiknya, Sovia, membuat gerakan Camila yang hendak mendorong pintu terhenti. Senyum yang awalnya bahagia pun perlahan menghilang. “Iya, karena itu mama memilih untuk mengorbankan dia. Mana mungkin mama mengizinkan kamu untuk menikah dengan pria koma itu kan?” Kini suara ibunya yang terdengar. Perempuan bergaun pengantin itu, Camila, baru saja menyelesaikan rangkaian upacara pernikahan dan berniat untuk mengajak ibu serta adiknya berfoto bersama. Namun, belum sempat Camila mengutarakan keinginannya, percakapan itu malah membuatnya mendengar sesuatu yang berusaha mereka tutup-tutupi.“Mama jahat banget!” Suara Sovia kembali mengudara, tertawa geli. Membuat tangan Camila bergetar.
“Katanya keadaan pria itu sangat parah kan? Jelek pula!” lanjut Sovia.
“Terus, bisa-bisanya Kak Camila percaya saat mama bilang calon suaminya sedang kunjungan bisnis, makanya nggak bisa ikut prosesi pernikahan.”
Rosa tertawa, detik itu juga menghancurkan hati Camila.
“Biarkan saja. Kalaupun dia nggak percaya, memangnya anak itu bisa menolak? Dia kan sudah dibesarkan keluarga kita. Jadi, sudah sepantasnya dia membalas budi!”
“Lagipula, sudah untung Mama menikahkan dia dengan pria koma yang kaya, bukan dengan pria miskin!”
Mendengar itu, Camila akhirnya tak tahan lagi.
Air matanya sudah mengalir keluar sejak perkataan-perkataan menyakitkan itu keluar dari mulut orang-orang yang selalu ia anggap sebagai keluarga. Camila memang merupakan anak yang sengaja diangkat oleh keluarga Milano sebagai anak pancingan, agar keluarga itu bisa memiliki bayi sendiri. Oleh karena itu, perlakuan Rosa, Nyonya di keluarga itu, tidak pernah baik pada Camila. Apalagi setelah Sovia lahir, perlakuan Rosa kepada keduanya terasa sangat berbeda. Saat menyadari itu, Camilla semakin menangisi dirinya yang selalu berpikir kalau usahanya untuk menarik perhatian Rosa akan membuahkan hasil. Dulu, setiap kali Camila akan menyerah untuk berjuang, ayah angkatnya, Rendra, akan terus menyemangatinya agar ia mau berusaha lebih keras lagi. Rendra selalu berkata bahwa suatu saat nanti Camila akan mendapatkan kasih sayang juga dari Rosa. Sama seperti Sovia. Oleh karena itu, Camila terus berusaha lebih keras. Sejak Sovia lahir, Camila dengan semangat ikut menjaga dan mencintai adiknya, ikut membantu para pelayan mengurus rumah, dan berhasil membuat sarapan yang enak. Bahkan, Camila belajar sangat keras agar orang tuanya dapat dengan bangga mengakuinya sebagai anak yang berprestasi. Namun, setelah semua itu, Rosa tetap memandangnya dengan benci dan tak pernah datang ke acara penghargaan apa pun. Hanya Rendra yang datang dan memberinya pelukan bangga. Hingga kemudian sebulan sebelum pernikahannya ditentukan, tepat di hari ulang tahun Camilla yang ke-25, Rosa mengelus punggung Camilla dengan lembut dan meremas pundaknya. Sovia pun turut menggenggam tangannya erat dengan pandangan penuh kasih sayang. Camila sangat senang. Setelah sekian lama menunggu, Camila akhirnya bisa merasakan kasih sayang yang seutuhnya. Namun, ternyata itu semua ibu dan adiknya lakukan karena dia ditumbalkan untuk menyelamatkan perusahaan keluarga yang hampir bangkrut. Kalau dipikir, sejak dulu semua sudah begitu jelas. Kenapa Camila tidak menyadarinya? “Sudah, tidak perlu dipikirkan.” Suara Rosa membuyarkan ingatan Camila. “Rencanakan saja pertunangan kamu dan Nathan. Bukannya kalian sudah menjalani hubungan sembunyi-sembunyi ini dari dulu? Memangnya kalian tidak capek?” Suara ibunya kembali membuat Camila tertegun, karena dia sangat kenal dengan pria yang baru saja disebut oleh Rosa. Nathan adalah kekasihnya yang terpaksa ia putuskan karena Rosa terus-terusan berkata kalau pria itu tidak baik bagi Camilla. Siapa sangka kalau alasan Rosa memaksanya putus adalah agar Sovia bisa menjalin hubungan dengan Nathan?! “Ternyata begitu.” Dengan suara begetar, Camila yang tak tahan lagi segera membuka pintu memperlihatkan dirinya di hadapan ibu dan adiknya. Dalam sekejap, wajah kedua orang itu berubah pucat karena terkejut.Namun, seakan sudah mempersiapkan diri, Sovia dengan cepat menetralkan ekspresinya dan mendekat ke arah Camila tanpa merasa bersalah.
“Jangan memasang ekspresi itu di depan kami ya, Camila.” Tidak ada lagi panggilan ‘kak’. Bersama dengan air mata yang sudah mengalir deras, Camila menatap keduanya penuh kekecewaan. Hatinya diremas sangat sakit. “Bagaimana bisa kamu dan ibu tega melakukan itu padaku? Selama ini aku selalu menyayangi kalian–” “Jangan banyak omong deh! Ingat dong, statusmu cuma anak angkat! Lagipula, kamu ini sudah menikah. Tidak pantas kamu bertengkar dengan Sovia soal Nathan!!” Rosa memotong pembicaraan Camila yang belum selesai sepenuhnya. Mengingatkan Camila akan statusnya yang sudah berubah menjadi seorang istri dari Daniel Wellington. “Tapi, kalau bukan karena Ibu memaksaku memutuskan Nathan, kami sudah berjanji untuk tidak pernah saling meninggalkan!” Camila menjawab lagi.. “Itu kan menurut kamu, tapi faktanya nggak begitu.” jawab Sovia. “Jauh sebelum pernikahan kamu dan si koma itu direncanakan, kami sudah pacaran. Nathan sendiri kok yang bilang. Dia nggak mau menikah dengan kamu yang hanya anak angkat!”Sovia menjawab lagi dengan ekspresi yang terlihat amat sinis.
“Apa?!” Camila mundur selangkah. “Iya! Sudahlah! Sebaiknya kamu lupakan Nathan dan fokus saja menjadi istri yang baik untuk Daniel!!”***
Pada malam itu juga, semua rencana Camila untuk melakukan girls talk dan farewell dengan ibu dan adiknya berakhir. Setelah membereskan barangnya, Gadis itu pergi meninggalkan rumah keluarga Milano dan berakhir di sofa di depan ruang rawat inap suaminya. Perasaan Camila yang sudah hancur semakin remuk setelah mendengar perkataan Nyonya Amber.Ibu Mertuanya itu baru saja pergi setelah membicarakan tentang kontrak melahirkan yang ditandatangani oleh keluarga Milano.
Ternyata, selain dibarter dengan investasi, Rosa dan Sovia juga menjaminkan Camila kepada keluarga Wellington untuk melahirkan pewaris. Jika Camila tak mau atau tak bisa melahirkan dalam tiga bulan, maka Nyonya Amber akan menarik investasi yang dikeluarkan Wellington kepada keluarganya. Tak hanya itu, Wellington pun akan memberi denda besar dan bunga yang melimpah. Mendengar itu, Camila merasa sangat terpuruk. Dia tidak tahu lagi harus bergantung pada siapa dan harus melakukan apa. Satu-satunya yang dia punya sekarang hanya Daniel, suami mendadaknya yang koma. Oleh karena itu, dia harap keberadaan Daniel bisa memberikannya harapan yang tak pernah dia gapai. Dengan sedikit ekspektasi yang tersisa, Camila bangkit dan menghapus air mata sebelum kembali memoles wajahnya menggunakan bedak.Meski Daniel tak bisa melihatnya dan bahkan tak bisa menyambutnya, Camila berusaha untuk terlihat maksimal di depan pria itu.
Setelah dirasa cukup, Camila beranjak memasuki tempat di mana suaminya itu menjalani perawatan dengan tersenyum lebar. Setelah pintu ditutup, Camila mendekati Daniel untuk menatap wajah suaminya itu dari dekat. Namun, ia terkejut. Sebab, ternyata berbeda dengan yang rumor yang beredar, wajah Daniel sangatlah tampan.Rahangnya yang tegas, alisnya tebal, dan hidungnya mancung. Sempurna.
Hanya saja, banyaknya alat penunjang nyawa yang terpasang di tubuh Daniel membuat perasaannya bergetar karena kasihan. Camila lantas mengelus tangan suaminya dan bertekad untuk merawat Daniel dengan baik, walau tak tahu kapan pria itu akan membuka mata. Tiba-tiba saja, tanpa Camila duga, tangan Daniel yang sedang ia genggam bergerak.Perlahan, matanya pun terbuka dan menunjukkan aura dominan yang langsung membuat Camila terperanjat.
“Siapa kamu?!”
“Apa yang kamu lakukan di sini?!” Belum sempat Camila menjawab pertanyaan pertama, Daniel Wellington sudah lebih dulu melayangkan pertanyaan kedua dengan nada bicara yang sama.Tajam dan mengintimidasi.Kondisi itu membuat Camila tersadar dan buru-buru menekan tombol darurat sebelum berjalan mendekat ke arah pria itu.“Daniel, kamu sudah sadar? Sebaiknya kamu minum terlebih dulu karena suaramu serak dan perlu—”“Diam dan jawab!! Siapa kamu dan apa yang kamu lakukan di sini?!”Kali ini suara yang Daniel keluarkan begitu tinggi dan terkesan membentak sehingga membuat Camila terkejut. Namun, sekali lagi Camila berusaha mendekat untuk memberi pria itu minum. “Tenanglah, Daniel. Aku istrimu. Kita baru saja menikah tadi pagi.” “Tenang kamu bilang? Istri apa?!” tanya Daniel lagi. “Aku tidak punya istri! Jadi, segera enyah dari hadapanku!!” Bentakan Daniel kali ini sangat serius karena wajah pria itu yang sejak awal sudah pucat semakin tidak baik-baik saja. Apalagi Daniel membentak Camila
Penolakan kasar dari Daniel memang sempat membuat Camila down, tapi tidak membuat Camila menyerah untuk berusaha diterima.Karenanya, selama Daniel melakukan pemulihan di rumah sakit, Camila terus mencoba untuk mendekatkan diri dengan pria itu melalui tindakan-tindakan sederhana yang bisa ia lakukan.“Daniel, sudah waktunya untuk melakukan terapi.”Mendengar itu, Daniel mendengus dan menutup laptopnya dengan kasar sebelum kemudian bersiap untuk turun dari kasur.Setelah tangan dan kakinya dapat kembali digerakkan, Daniel memang telah kembali mengurusi urusan perusahaan dan mengambil alih tanggung jawabnya yang telah terbengkalai.Meski begitu, dokter masih menyarankan Daniel untuk menggunakan kursi roda sampai otot-ototnya benar-benar siap.“Berpeganglah pada pundakku.” Camila berkata sambil memeluk pinggang Daniel dengan satu tangan.Sementara tangan Daniel ia sampirkan pada pundaknya.Sejak Daniel bangun hingga saat ini, sudah menjadi tugasnya untuk membantu Daniel berpindah dari te
Setelah malam itu, dua bulan sudah Camila menjadi istri seorang Daniel Wellington.Sepanjang masa itu, Daniel tidak pernah mengingat apalagi meminta maaf atas apa yang telah terjadi. Sebab, setelah Daniel lagi-lagi melukai hatinya, wanita itu buru-buru membereskan kamar dan bertingkah seakan tak ada yang terjadi.Meski begitu, kenangan itu membekas seperti luka yang terus menggores setiap sudut ingatannya.Sikap Daniel malam itu membuat Camila trauma, sehingga ia tak lagi pernah merongrong Daniel dengan topik-topik pembicaraan seperti yang ia lakukan sebelumnya.Bahkan, wanita itu tak lagi berani memandang Daniel tepat di matanya dan memilih untuk berbicara dengan jarak minimal satu meter.Meski begitu, Camila tetap memilih menjadi istri yang baik dan menjalani hari-harinya tanpa keluhan.Setiap pagi, ia bangun lebih awal untuk memastikan Daniel tidak pernah melewatkan sarapan dan membuatkan beberapa menu sarapan yang ia bisa.Hari ini, dia turun ke dapur dan mulai memecahkan telur un
"Ya Tuhan. Aku harus apa?" Camila membalik badannya dan berlari pergi dengan air mata yang tertahan. Percakapan Daniel itu menghancurkannya. Gracia adalah nama wanita yang disebutkan oleh Daniel di malam penyatuan mereka, dan kini… wanita itu hamil. Camila menggigit bibirnya, mencoba meredam tangis. Di sana, ia jatuh terduduk di sisi tempat tidur dan memeluk tubuhnya sendiri sembari menahan rasa sakit yang kian menyiksa. Sedetik kemudian, tangis Camila akhirnya pecah dan setiap isakannya terdengar putus asa. Menyakitkan dan miris. Hatinya berperang antara keinginan untuk berteriak dan dorongan untuk bersembunyi dari semua ini. Bagaimana ia bisa mengungkapkan kehamilannya pada pria yang dengan tenang berjanji akan membesarkan anak dari wanita lain? Bagaimana ia bisa meminta Daniel untuk menerima anak-anaknya kalau hatinya pria itu sudah sepenuhnya diberikan kepada Gracia? Camila menangis hingga dadanya terasa sangat sesak. Namun, perlahan ia beranjak karena sebentar lagi aka
Sepeninggal Daniel, Camila yang masih berdiri di tangga perlahan merosot ke lantai. Kakinya bergetar dan napasnya tersengal. Beberapa kali Camila berusaha untuk menelepon Daniel, tapi sama sekali tak diangkat.Camila lantas memukul-mukul dadanya yang makin terasa sakit dan air matanya jatuh berguguran. Terhitung hari ini, sudah tiga bulan lamanya dia berjuang dan hasilnya masih nol besar. Ia memang berhasil hamil, tapi apa Daniel akan menerimanya?Dari perlakuan pria itu kepada Gracia, Camila sangat yakin kalau anak yang dikandung wanita itu adalah anak suaminya.Kalau sudah begitu, apa kehamilannya masih ada artinya? Apalagi anak-anak ini lahir dari wanita yang pria itu benci–dirinya.Memikirkan itu, Camila bertekad untuk tidak tinggal dirumah ini lagi. Ia akan pergi jauh membawa anak-anaknya. Ia sangat bersyukur karena tidak sempat memberitahukan kehamilannya kepada Daniel. Sebab, kenyataan pasti akan menempatkan anak-anaknya menjadi yang kedua di mata pria itu.Camila tidak mau
Daniel terhenyak. Camila merawatnya?Selama ini, dia pikir Justin lah yang membopongnya ke kamar dan membuatkannya minuman anti pengar. Sebab, asisten pribadinya itu memang selalu melakukan hal yang sama apabila dirinya pulang dalam kondisi mabuk.Diam-diam Daniel menggeram dan tiba-tiba saja suatu ingatan muncul di kepalanya.Pagi itu, selain pengar, Daniel memang terbangun dengan tubuh yang terasa rileks karena aroma yang menempel di tubuhnya terasa sangat menenangkan.Namun, rasa perih yang di punggungnya membuat Daniel terpaksa bangun. Saat itu, Daniel pikir punggungnya membentur sesuatu dan terluka saat mabuk, sehingga ia tak mau memeriksanya lebih jauh.Namun, bagaimana kalau luka itu sebenarnya adalah cakaran dari Camila?Apalagi setelah memikirkan semua yang dikatakan oleh Justin tadi, kemungkinan Camila memang naik ke ranjangnya malam itu sangat besar.Meski begitu, Daniel menggeleng. “Tidak mungkin. Jangan mengada-ngada, Justin. Tidak terjadi apa pun antara aku dan wanita i
Lima Tahun Kemudian."Mommy!! Lihat tasku tidak?" "Mommy!! Tolong ikat rambutku!!" Suara teriakan dua anak kecil di ruang keluarga membuat wanita yang tengah memasak menoleh dengan khawatir. “Chris? Bisa bantu Mommy mencari tas Clayton? Sebentar lagi masakan Mommy matang. Tolong yaa?” Suara wanita itu membuat Christopher, anak lelaki yang dimintai tolong, menatap ke arah dua anak kecil lain yang ribut sendiri di ruang keluarga. Pandangan matanya tajam dan berjalan dalam diam ke arah kamar Clayton. Beberapa saat kemudian, Christopher kembali dengan tas yang ditenteng. “Ini apa?” katanya. Melihat itu, Clayton menekukkan pipinya. “Tadi tidak ketemu loh!” “Lain kali, jangan cari pakai hidung.” kata Christopher lagi sebelum kembali melanjutkan aktivitasnya yang tertunda. Sikap Christopher yang datar membuat Clayton kesal dan melempar kakaknya dengan pulpen. “Rasakan! Muka tembok!!” “Sudah! Jangan berkelahi!” wanita itu datang sembari membawa tiga tas bekal yang sudah diisi de
Setelah Heinrich dan Triplet pergi kesekolah, Camila juga bergegas bersiap untuk pergi kelokasi yang kelak akan menjadi cabang butik pribadinya.Selesai bersiap Camila bergegas turun lalu berjalan menuju depan gedung apartemen, karena sopir pribadi utusan Heinrich sudah menunggunya sedari tadi.Camila segera masuk kedalam mobil lalu meminta sopir tersebut untuk segera melajukan mobilnya menuju lokasi tempat yang akan ia jadikan butik pribadinya."Antarkan ke Jalan Bougenvile pak". Pinta Camila pada sang sopir."Baik nona". Sopir itu menyahutnya lalu segera melajukan mobilnya menuju lokasi yang disebutkan oleh Camila.Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Camila membuka butik, karena sebelumnya ia juga sudah memiliki dua butik di negara Amerika. Semua usaha butiknya bisa berkembang sepesat ini juga karena bantuan sang kakak Heinrich. Selama dalam perjalanan menuju lokasi, pandangan mata Camila selalu tertuju kearah luar jendela. Ia tatap jalanan yang dulu pernah menjadi kenangan diriny
Tanpa pikir panjang Camila langsung menuju ke sekolah triplets. Dia berpikir tentang bagaimana bisa salah satu dari anak itu memukul orang. Sesampainya di ruang guru, Camila melihat sudah banyak orang di sana. Triplet dan dua anak laki-laki lain. Satu berwajah murung dan satunya anak lelaki yang sedang menangis dengan hidung disumbat tisu. Tanpa diduga, triplet duduk bertiga dengan tenang. Bahkan chloe duduk sambil makan eskrim yang entah anak itu dapat dari mana. Camila buru-buru menghampiri mereka dan mengecek kondisi mereka. Tidak ada yang luka. Baru kemudian dia bertanya apa yg sebenernya terjadi. "Apa yang terjadi sayang?" Ujar Camila bertanya "Begini mommy-" Chris dan Clayton berusaha menjawab, tapi bu guru sudah lebih dulu menjelaskan kalau Clayton memukul anak yg mimisan itu- Aksel tanpa alasan. "Clayton memukul Aksel duluan nyonya, padahal kami sudah melerainya tapi Clayton tetap saja memukuli Aksel tanpa ampun". Ucap Ibu guru itu terus menyudutkan clayton dan me
Setelah Heinrich dan Triplet pergi kesekolah, Camila juga bergegas bersiap untuk pergi kelokasi yang kelak akan menjadi cabang butik pribadinya.Selesai bersiap Camila bergegas turun lalu berjalan menuju depan gedung apartemen, karena sopir pribadi utusan Heinrich sudah menunggunya sedari tadi.Camila segera masuk kedalam mobil lalu meminta sopir tersebut untuk segera melajukan mobilnya menuju lokasi tempat yang akan ia jadikan butik pribadinya."Antarkan ke Jalan Bougenvile pak". Pinta Camila pada sang sopir."Baik nona". Sopir itu menyahutnya lalu segera melajukan mobilnya menuju lokasi yang disebutkan oleh Camila.Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Camila membuka butik, karena sebelumnya ia juga sudah memiliki dua butik di negara Amerika. Semua usaha butiknya bisa berkembang sepesat ini juga karena bantuan sang kakak Heinrich. Selama dalam perjalanan menuju lokasi, pandangan mata Camila selalu tertuju kearah luar jendela. Ia tatap jalanan yang dulu pernah menjadi kenangan diriny
Lima Tahun Kemudian."Mommy!! Lihat tasku tidak?" "Mommy!! Tolong ikat rambutku!!" Suara teriakan dua anak kecil di ruang keluarga membuat wanita yang tengah memasak menoleh dengan khawatir. “Chris? Bisa bantu Mommy mencari tas Clayton? Sebentar lagi masakan Mommy matang. Tolong yaa?” Suara wanita itu membuat Christopher, anak lelaki yang dimintai tolong, menatap ke arah dua anak kecil lain yang ribut sendiri di ruang keluarga. Pandangan matanya tajam dan berjalan dalam diam ke arah kamar Clayton. Beberapa saat kemudian, Christopher kembali dengan tas yang ditenteng. “Ini apa?” katanya. Melihat itu, Clayton menekukkan pipinya. “Tadi tidak ketemu loh!” “Lain kali, jangan cari pakai hidung.” kata Christopher lagi sebelum kembali melanjutkan aktivitasnya yang tertunda. Sikap Christopher yang datar membuat Clayton kesal dan melempar kakaknya dengan pulpen. “Rasakan! Muka tembok!!” “Sudah! Jangan berkelahi!” wanita itu datang sembari membawa tiga tas bekal yang sudah diisi de
Daniel terhenyak. Camila merawatnya?Selama ini, dia pikir Justin lah yang membopongnya ke kamar dan membuatkannya minuman anti pengar. Sebab, asisten pribadinya itu memang selalu melakukan hal yang sama apabila dirinya pulang dalam kondisi mabuk.Diam-diam Daniel menggeram dan tiba-tiba saja suatu ingatan muncul di kepalanya.Pagi itu, selain pengar, Daniel memang terbangun dengan tubuh yang terasa rileks karena aroma yang menempel di tubuhnya terasa sangat menenangkan.Namun, rasa perih yang di punggungnya membuat Daniel terpaksa bangun. Saat itu, Daniel pikir punggungnya membentur sesuatu dan terluka saat mabuk, sehingga ia tak mau memeriksanya lebih jauh.Namun, bagaimana kalau luka itu sebenarnya adalah cakaran dari Camila?Apalagi setelah memikirkan semua yang dikatakan oleh Justin tadi, kemungkinan Camila memang naik ke ranjangnya malam itu sangat besar.Meski begitu, Daniel menggeleng. “Tidak mungkin. Jangan mengada-ngada, Justin. Tidak terjadi apa pun antara aku dan wanita i
Sepeninggal Daniel, Camila yang masih berdiri di tangga perlahan merosot ke lantai. Kakinya bergetar dan napasnya tersengal. Beberapa kali Camila berusaha untuk menelepon Daniel, tapi sama sekali tak diangkat.Camila lantas memukul-mukul dadanya yang makin terasa sakit dan air matanya jatuh berguguran. Terhitung hari ini, sudah tiga bulan lamanya dia berjuang dan hasilnya masih nol besar. Ia memang berhasil hamil, tapi apa Daniel akan menerimanya?Dari perlakuan pria itu kepada Gracia, Camila sangat yakin kalau anak yang dikandung wanita itu adalah anak suaminya.Kalau sudah begitu, apa kehamilannya masih ada artinya? Apalagi anak-anak ini lahir dari wanita yang pria itu benci–dirinya.Memikirkan itu, Camila bertekad untuk tidak tinggal dirumah ini lagi. Ia akan pergi jauh membawa anak-anaknya. Ia sangat bersyukur karena tidak sempat memberitahukan kehamilannya kepada Daniel. Sebab, kenyataan pasti akan menempatkan anak-anaknya menjadi yang kedua di mata pria itu.Camila tidak mau
"Ya Tuhan. Aku harus apa?" Camila membalik badannya dan berlari pergi dengan air mata yang tertahan. Percakapan Daniel itu menghancurkannya. Gracia adalah nama wanita yang disebutkan oleh Daniel di malam penyatuan mereka, dan kini… wanita itu hamil. Camila menggigit bibirnya, mencoba meredam tangis. Di sana, ia jatuh terduduk di sisi tempat tidur dan memeluk tubuhnya sendiri sembari menahan rasa sakit yang kian menyiksa. Sedetik kemudian, tangis Camila akhirnya pecah dan setiap isakannya terdengar putus asa. Menyakitkan dan miris. Hatinya berperang antara keinginan untuk berteriak dan dorongan untuk bersembunyi dari semua ini. Bagaimana ia bisa mengungkapkan kehamilannya pada pria yang dengan tenang berjanji akan membesarkan anak dari wanita lain? Bagaimana ia bisa meminta Daniel untuk menerima anak-anaknya kalau hatinya pria itu sudah sepenuhnya diberikan kepada Gracia? Camila menangis hingga dadanya terasa sangat sesak. Namun, perlahan ia beranjak karena sebentar lagi aka
Setelah malam itu, dua bulan sudah Camila menjadi istri seorang Daniel Wellington.Sepanjang masa itu, Daniel tidak pernah mengingat apalagi meminta maaf atas apa yang telah terjadi. Sebab, setelah Daniel lagi-lagi melukai hatinya, wanita itu buru-buru membereskan kamar dan bertingkah seakan tak ada yang terjadi.Meski begitu, kenangan itu membekas seperti luka yang terus menggores setiap sudut ingatannya.Sikap Daniel malam itu membuat Camila trauma, sehingga ia tak lagi pernah merongrong Daniel dengan topik-topik pembicaraan seperti yang ia lakukan sebelumnya.Bahkan, wanita itu tak lagi berani memandang Daniel tepat di matanya dan memilih untuk berbicara dengan jarak minimal satu meter.Meski begitu, Camila tetap memilih menjadi istri yang baik dan menjalani hari-harinya tanpa keluhan.Setiap pagi, ia bangun lebih awal untuk memastikan Daniel tidak pernah melewatkan sarapan dan membuatkan beberapa menu sarapan yang ia bisa.Hari ini, dia turun ke dapur dan mulai memecahkan telur un
Penolakan kasar dari Daniel memang sempat membuat Camila down, tapi tidak membuat Camila menyerah untuk berusaha diterima.Karenanya, selama Daniel melakukan pemulihan di rumah sakit, Camila terus mencoba untuk mendekatkan diri dengan pria itu melalui tindakan-tindakan sederhana yang bisa ia lakukan.“Daniel, sudah waktunya untuk melakukan terapi.”Mendengar itu, Daniel mendengus dan menutup laptopnya dengan kasar sebelum kemudian bersiap untuk turun dari kasur.Setelah tangan dan kakinya dapat kembali digerakkan, Daniel memang telah kembali mengurusi urusan perusahaan dan mengambil alih tanggung jawabnya yang telah terbengkalai.Meski begitu, dokter masih menyarankan Daniel untuk menggunakan kursi roda sampai otot-ototnya benar-benar siap.“Berpeganglah pada pundakku.” Camila berkata sambil memeluk pinggang Daniel dengan satu tangan.Sementara tangan Daniel ia sampirkan pada pundaknya.Sejak Daniel bangun hingga saat ini, sudah menjadi tugasnya untuk membantu Daniel berpindah dari te
“Apa yang kamu lakukan di sini?!” Belum sempat Camila menjawab pertanyaan pertama, Daniel Wellington sudah lebih dulu melayangkan pertanyaan kedua dengan nada bicara yang sama.Tajam dan mengintimidasi.Kondisi itu membuat Camila tersadar dan buru-buru menekan tombol darurat sebelum berjalan mendekat ke arah pria itu.“Daniel, kamu sudah sadar? Sebaiknya kamu minum terlebih dulu karena suaramu serak dan perlu—”“Diam dan jawab!! Siapa kamu dan apa yang kamu lakukan di sini?!”Kali ini suara yang Daniel keluarkan begitu tinggi dan terkesan membentak sehingga membuat Camila terkejut. Namun, sekali lagi Camila berusaha mendekat untuk memberi pria itu minum. “Tenanglah, Daniel. Aku istrimu. Kita baru saja menikah tadi pagi.” “Tenang kamu bilang? Istri apa?!” tanya Daniel lagi. “Aku tidak punya istri! Jadi, segera enyah dari hadapanku!!” Bentakan Daniel kali ini sangat serius karena wajah pria itu yang sejak awal sudah pucat semakin tidak baik-baik saja. Apalagi Daniel membentak Camila