Mbak Sani pamit pulang setelah menemani makan siang. Katanya ia juga ingin merasakan jadi ibu rumah tangga yang pergi mengantar Agil terapi. Rania tak bisa menahannya, karena sejujurnya ia juga butuh waktu untuk dirinya sendiri setelah kejadian satu minggu lalu.
“Ma,” Satria menghampiri Rania yang sedang mencuci buah. “Kenapa, sayang?” “Mama sama papa berantem ya?” Rania menaruh buah di sink dan berjongkok menatap anak tunggalnya, “Enggak, mama sama papa gak berantem.” “Ini kenapa?” Satria menunjuk lebam dilengan Rania. Rania menatap luka lebam itu. Sudah pudar, tapi siapapun masih bisa melihatnya, “Ini...” “Papa mukulin mama ya?” Rania tak bisa menjawab. Ia tak mau berbohong. Tapi kalau ia jujur dan mengatakan ia memang dipukuli oleh papanya, bagaimana Satria akan menilai Alfi nantinya? “Eng-enggak, ini mama jatoh, sayang.” “Mama bohong.” “Mama gak bohong.”Sudah dua hari berlalu, Rania masih memikirkan ucapan Fira tempo hari, yang memintanya untuk segera bercerai dari Alfi selama masih punya waktu. Ucapannya ada benarnya. Jika ia terus mengulur waktu, bukan tidak mungkin Alfi akan mencuci otaknya dengan memberikan perlakuan manis. Tapi ia tidak mau gegabah. Ia harus bisa bercerai diwaktu yang tepat. “Ma, om Arbi udah dateng.” Satria berlari ke teras begitu terdengar sebuah mobil berhenti. Rania ke depan untuk menemui iparnya itu. Saat menunggu Agil membawa tasnya, karena ia akan menginap disini, Arbi tidak bicara sama sekali pada Rania. Ia masih kecewa atas tidak jadinya gugatan cerai itu. “Agil baik-baik ya disini. Kalo kerjaan papa beres lebih cepet, papa jemput lagi kesini.” “Gak usah, kak. Kalo pekerjaan kakak selesai lebih cepet, kakak istirahat aja, biar Agil disini sama Satria.” Arbi melirik Rania. Ia hanya membuang nafasnya pelan. “Kalo aku mau beli apa-apa gima
Rania menutup pintu kamar Satria ketika anaknya itu sudah tidur dengan Agil. Ia mengunci pintu dari luar, karena kalau tidak, Agil yang hyperaktif akan keluar kamar dan berlari mengitari rumah sampai memecahkan barang seperti biasa. “Mas?” Rania melihat Alfi tengah mengganti sprei ranjang, padahal saat tadi membacakan dongeng untuk anak-anak suaminya itu belum pulang. “Sayang?” “Kamu udah pulang?” “Udah dong. Aku pulang waktu kamu sama Satria dan Agil lagi nyanyi.” “Aku siapin makan ya?” “Gak usah, aku udah makan kok.” “Oh, di resto?” Alfi diam sejenak, “Enggak, sama temen. Sama.... Aldo. Iya, Aldo.” Rania tersenyum. Ia tahu suaminya sedang berbohong, “Kalo kamu makan sama yang lain juga gak papa kok.” Rania menuruni tangga, Alfi langsung mengikutinya. “Aku gak mau kamu mikir aku selingkuh.” Rania menoleh, “Kamu gak mungkin selingkuh, mas. Aku tahu.”
“Terima kasih ya, pak.” Rania tersenyum ramah pada driver ojol yang mengantarkan Agil pulang sekolah. “Sama-sama, bu, mari.” “Gimana sekolahnya?” “Gak seru, tante. Tadi di sekolah aku berantem.” Rania menuntun Agil duduk di sofa ruang tamu, “Agil berantem di sekolah? Kenapa?” Agil tak menjawab. Rania mengambil sebelah tangan Agil, “Coba cerita sama tante.” “Dia bilang aku anak yang kekurangan kasih sayang, tante. Aku gak suka dengernya.” Rania diam sejenak. Kenapa teman Agil bisa bicara begitu? “Aku dorong aja dia, aku pukul, aku tendang kakinya.” “Agil, kenapa temen Agil bilang kayak gitu? Dia tahu dari mana Agil kurang kasih sayang?” Agil tak langsung menjawab. Ia terlihat enggan menceritakan lebih dalam masalah yang sedang ia hadapi. “Agil?” Agil menatap Rania, “Dia tahu dari mamanya. Mamanya katanya tahu kalo mama aku sibuk kerja, papa ju
Rania mengatur nafasnya beberapa kali ketika perawat terus keluar masuk di balik tirai dimana Agil sedang diberi penanganan. Agil tak terdengar menangis atau menjerit ketika dokter izin menjahit lukanya. Ia hanya terdengar berbincang dengan Arbi dengan santai. Agil memang sesering itu terluka, entah karena terjatuh atau bertengkar. Pernah ia kehabisan banyak darah karena dipukul kayu balok oleh kakak kelasnya di sekolah. Tapi ia terlihat baik-baik saja dan tak merasakan sakit dari bocornya kepala area bekas dipukul. “Ran,” Arbi keluar dari dalam tirai, “Agil kekurangan banyak darah, dan kebetulan di rumah sakit stoknya lagi habis. Jadi kakak mau titip Agil karena harus ke PMI langsung.” Rania mengangguk, “Iya, kak. Eh, tapi, bukannya kakak bisa jadi donor buat Agil?” Arbi memalingkan wajahnya tidak nyaman. “Kakak lagi sakit dan gak bisa jadi donor ya?” Arbi menunduk sambil merogoh ponselnya, “Kakak mau kabarin dulu mbak Sani.” “Biar aku yang kabarin, kakak ke PMI aja sek
“...karena Agil bukan anak kakak. Dia—ayahnya—gak tahu dimana.” Rania tak berani bertanya kenapa bisa Agil bukanlah anak Arbi. Ia takut salah bicara. Ia hanya sibuk menenangkan dirinya. Arbi tahu Rania terkejut mendengar ucapannya. Ia ingin memberi tahu iparnya dari dulu, tapi tak pernah menemukan waktu yang tepat. Dan kini karena Rania terus memaksa meminta Alfi memberikan donor pada Agil, ia terpaksa mengatakannya sekarang. “Mbak Sani... selingkuh dari kakak awal menikah dulu.” Rania masih diam. Ia tidak berniat bertanya tapi akan mendengarkan dengan baik setiap penjelasan Arbi. “Kakak tahu waktu usia Agil dua tahun. Kalo kamu masih ingat, dulu Agil jatuh dari box bayi dan kehilangan banyak darah kayak hari ini. Mbak Sani juga lagi kerja jadi kakak yang harus bawa ke rumah sakit. Kakak maksa dokter untuk mendonorkan darah, tapi dokter bilang harus diperiksa dulu. Golongan darah kita beda. Dokter bilang banyak kasus begitu. Saat itu... kakak ngerasa ada yang janggal. Kakak
Arbi tidak tahu harus memberikan respon seperti apa. Tapi hatinya menghangat. Ia tahu ini salah. Tapi dengan berselingkuh, itu bisa membantu Rania. Ia pun senang. Meski dengan cara yang salah, setidaknya ia bisa memiliki Rania dan Satria selayaknya istri dan anak sendiri. Rania menggenggam sebelah tangan Arbi. Jantungnya berdegup kencang percis seperti orang pacaran. “Permisi, pak, saya minta persetujuan Agil untuk di pindahkan ke ruang rawat inap.” Arbi berdiri, “Oh iya, sus.” Ia melirik Rania, “Aku urus administrasinya dulu ya.” Rania tersenyum, ia melepaskan genggaman tangannya, “Aku tunggu disini.” Mereka seperti sepasang kekasih. Rania merasakan risau ketika Arbi tak kunjung kembali setelah pamit ke meja resepsionis. “Ran,” “Kamu lama banget sih.” rajuk Rania. Arbi tertawa, “Kamu—” Rania melendot manja pada lengan Arbi, “Aku kangen tahu.” Arbi bergerak memeluk Rania. Jantungnya dan jantung Rania sama-sama berdegup kencang seru. Sudah lama mereka tak merasaka
Rania mengeringkan rambutnya di kamar. Setelah mbak Sani pulang, ia yang menunggu Agil dan menjadi wali pasien. Sebenarnya Agil sudah boleh pulang malam ini, tapi mbak Sani keukeuh meminta dokter untuk membiarkan anaknya menginap satu malam lagi karena takut luka jahitnya akan kenapa-napa. “Sayang, kamu udah pulang?” Alfi menaruh tas kerjanya di sofa kamar. “Udah. Satria mana?” “Dia lagi cuci kaki di bawah.” “Satria main dimana selama di hotel, mas?” “Di playground.” “Ada anak temen-temen kamu yang lain?” Alfi menggeleng pelan. Rania menyisir rambutnya dan menatap Alfi yang sedikit diam dari cermin, “Kenapa?” “Satria tadi di temenin main sama... Roland.” “Oh.” Alfi mendekati Rania, “Kamu gak marah ‘kan?” Rania tak menjawab. “Sebenernya aku bingung kenapa kamu gak suka sama Roland. Jadi tadi begitu Roland nawarin bantuan untuk nemenin Satria main, ya aku iyain aja.” “Terserah.” “Sayang, aku janji ini yang terakhir. Aku gak akan biarin Roland nemenin Satria
“Dia udah pergi, ma.” Rania menutup telpon ketika sudah memberi tahu mama. Tidak lama taksi mama berhenti didepan rumah. Mama turun dan langsung memeluk anak sulungnya. Mama mengedarkan matanya ke sekeliling rumah, “Mama sebenernya gak mau kesini lagi.” “Ma, sabar ya. Yuk, masuk.” Mereka duduk di sofa ruang tamu. “Mama harus nunggu berapa lama lagi sih, Ran? Mama mau kamu sama si monster itu cerai.” “Tunggu, ma. Aku janji akan cerai dari dia.” Mama memeriksa tubuh Rania, “Dia gak mukul kamu lagi ‘kan?” “Dia gak akan berani, ma, ada Satria di rumah.” “Dia bisa lupa sama Satria kalo lagi kerasa. Kamu buruan dong urus surat-suratnya sekarang. Soal uang, papamu pasti bakal bantu kamu. Uang sekolah Satria semuanya aman. Kamu gak perlu lagi bantuan si monster itu. Setelah putusan cerai pokoknya kalian harus putus hubungan.” “Ma, gak bisa gitu dong. Satria gimana? Seorang anak yang tumbuh tanpa ayah tuh akan beda perkembangannya.” “Halah, papanya juga modelan si Alfi gi