Rania mengeringkan rambutnya di kamar. Setelah mbak Sani pulang, ia yang menunggu Agil dan menjadi wali pasien. Sebenarnya Agil sudah boleh pulang malam ini, tapi mbak Sani keukeuh meminta dokter untuk membiarkan anaknya menginap satu malam lagi karena takut luka jahitnya akan kenapa-napa. “Sayang, kamu udah pulang?” Alfi menaruh tas kerjanya di sofa kamar. “Udah. Satria mana?” “Dia lagi cuci kaki di bawah.” “Satria main dimana selama di hotel, mas?” “Di playground.” “Ada anak temen-temen kamu yang lain?” Alfi menggeleng pelan. Rania menyisir rambutnya dan menatap Alfi yang sedikit diam dari cermin, “Kenapa?” “Satria tadi di temenin main sama... Roland.” “Oh.” Alfi mendekati Rania, “Kamu gak marah ‘kan?” Rania tak menjawab. “Sebenernya aku bingung kenapa kamu gak suka sama Roland. Jadi tadi begitu Roland nawarin bantuan untuk nemenin Satria main, ya aku iyain aja.” “Terserah.” “Sayang, aku janji ini yang terakhir. Aku gak akan biarin Roland nemenin Satria
“Dia udah pergi, ma.” Rania menutup telpon ketika sudah memberi tahu mama. Tidak lama taksi mama berhenti didepan rumah. Mama turun dan langsung memeluk anak sulungnya. Mama mengedarkan matanya ke sekeliling rumah, “Mama sebenernya gak mau kesini lagi.” “Ma, sabar ya. Yuk, masuk.” Mereka duduk di sofa ruang tamu. “Mama harus nunggu berapa lama lagi sih, Ran? Mama mau kamu sama si monster itu cerai.” “Tunggu, ma. Aku janji akan cerai dari dia.” Mama memeriksa tubuh Rania, “Dia gak mukul kamu lagi ‘kan?” “Dia gak akan berani, ma, ada Satria di rumah.” “Dia bisa lupa sama Satria kalo lagi kerasa. Kamu buruan dong urus surat-suratnya sekarang. Soal uang, papamu pasti bakal bantu kamu. Uang sekolah Satria semuanya aman. Kamu gak perlu lagi bantuan si monster itu. Setelah putusan cerai pokoknya kalian harus putus hubungan.” “Ma, gak bisa gitu dong. Satria gimana? Seorang anak yang tumbuh tanpa ayah tuh akan beda perkembangannya.” “Halah, papanya juga modelan si Alfi gi
Rania keluar dari taksi di depan gedung kantor tempat Arbi bekerja. Ia menenteng tas makan. Ia ingin makan berdua dengan selingkuhannya. Karena tidak tahu letak ruangan Arbi, dan ingin memberikannya kejutan sehingga tidak bertanya langsung, Rania menghampiri meja resepsionis. “Selamat siang, ada yang bisa dibantu, bu?” “Saya mau tanya ruangan pak Arbiansyah Khan bagian keuangan, mbak.” “Oh, pak Arbi. Ruangannya ada di lantai tiga. Begitu keluar lift ibu belok kiri, disitu ruangannya bu. Kebetulan pak Arbi baru saja selesai rapat.” “Oh begitu. Baik, terima kasih informasinya.” Rania memasuki lift dengan senang. Ia benar-benar tidak menyangka, selingkuh dengan iparnya sendiri bisa terasa semenyenangkan ini. Ia merasa seperti muda lagi dan menikmati setiap degupan jantung seru itu. Ketika keluar lift, ia mengikuti petunjuk yang diberikan petugas resepsionis tadi. “Kak Arbi pasti kaget aku ada disini.” Beberapa langkah menuju ruangannya yang terbuka, langkah Rania terh
“Fir, aku titip Satria ya. Semua keperluan sekolahnya ada di tas kok. Baju ganti, mainan, buku, semuanya lengkap.” Rania membawakan dua tas berukuran sedang milik Satria. “Beres. Lo tenang aja, gue pasti jaga Satria dengan sangat baik.” “Kalo gak titip sama kamu, aku gak tahu harus titip Satria ke siapa. Aku mau titip ke mama, tapi—terlalu jauh. Aku yakin keperluan aku gak ngabisin waktu lama kok.” Fira melirik Satria yang sedang melihat puluhan tanaman miliknya yang tersebar di teras rumah, “Satria sayang, tante punya makanan banyak loh. Satria masuk aja gih, cobain masakan tante.” “Nanti aja tante. Aku masih ingin liat ini.” Fira melirik Rania, ia ingin bicara serius padanya sehingga tidak mau Satria dengar. Rania mengelus kepala Satria, “Sayang, tante Fira baru belajar masak loh. Kalo masakannya di cobain sekarang, pasti jadi makin semangat masaknya. Satria cobain sekarang gih.” “Gitu ya, ma? Oke deh. Tante, aku masuk ya.” “Iya, sayang.” Fira melipat kedua tangannya
Rania menjalani hari-hari seperti biasanya. Ia tak terlihat berubah sama sekali. Kegiatannya malah makin padat. Mengantarkan Satria sekolah, belanja, mengikuti seminar-seminar parenting dan kini menyibukkan diri merawat tanaman yang Fira banyak berikan padanya. Ia kini memiliki mobil sendiri. Akhirnya Alfi memberikan mobil baru untuknya. Rania tak lagi acuh tak acuh pada Alfi. Ia terlihat lembut seperti dulu, membuat suaminya itu tenang dan merasa badai pernikahannya sudah usai. “Sayang, paket kalungnya dateng hari ini. Kamu tunggu aja.” Rania diam sejenak. Ia menghentikan kegiatannya menumis sayur untuk sarapan Satria, “Paket apa, mas?” Alfi memeluknya dari belakang, “Kamu ‘kan mau kalung berlian. Kamu lupa ya?” Rania tersenyum dipaksakan, “Makasih ya, mas. Padahal kamu gak perlu maksain. Aku gak mau tabungan buat sekolah Satria kepotong.” “Enggak dong. Aku cari kerja sampingan dan untungnya bisa aku tabung. Ya... lumayan lah, sayang.” Rania membalikkan badan, “Kamu ke
Fira membalikkan tespek yang Rania berikan terbalik di ruang tamu. “Fir, kalo hasilnya negatif gimana?” Fira hanya menatap Rania tanpa bicara. Fira melihat hasil tespek dan kembali menatap sahabatnya, “Ran, hasilnya...” “Fir, aku gak siap kalo harus mengulang dosa itu lagi sama kak Arbi. Dia... dia sampe gak mau nemuin aku setelah kejadian itu karena malu. Fir, aku... aku nyesel pake cara ini. Sejak saat itu aku gak bisa tidur dengan tenang. Aku sering kebangun tengah malem dan...” “Ran, tenang ya. Gue belum kasih tahu hasilnya loh.” Rania menunduk menunggu hasil yang akan Fira berikan. Fira menyerahkan tespek itu secara terbuka, “Hasilnya...” Kepala Rania perlahan menatap area kotak kecil tempat dimana ia bisa melihat garisnya. Ia melotot tak percaya, “Fir!” Fira tersenyum. Mereka berpelukkan. “Fir, akhirnya... Fir, aku gak nyangka kalo... aku hamil anak kak Arbi sekarang. Ya ampun, aku berdosa banget. Gimana ini?” Fira melepaskan pelukkan Rania, “Lo tuh plin
Rania, Alfi, dan Satria keluar dari mobil yang terparkir dipekarangan rumah ibu yang asri. Rumah sudah dihias sederhana oleh ayah. “Jiddy, jiddah.” teriak Satria sambil berlari. “Satria.” Ayah menerima pelukkan Satria dengan riang di teras. “Kamu masuk duluan aja, ini biar aku yang bawa.” “Iya, mas.” Rania berjalan perlahan menuju teras karena ada Arbi disana. Pipinya bersemu merah mengingat malam-malam panas yang mereka lakukan satu minggu berturut-turut demi menyimpan benih dalam perutnya. “Ran?” Arbi berusaha bersikap normal pada iparnya. “Hai, kak. Udah pulang dari kantor?” “Iya, sengaja. Ulang tahun ibu masa kakak gak pulang lebih cepet.” Rania manggut-manggut. “Ran,” ibu hati-hati memanggil anak mantunya dari dalam rumah. “Bu.” Rania mencium pipi kanan-kiri ibu, “Apa kabar? Maaf ya belum sempet kesini kemarin.” “Ibu baik. Kamu... udah gak marah sama—” “Bu, kita lupain semua masalah kemarin ya? Aku sama mas Alfi udah baik-baik aja kok.” “Syukurlah, ibu s
Satria berlari memasuki rumah. “Satria!” Rania berusaha mengejar Satria, tapi Alfi menahannya, “Apa, mas? Kamu bisa jelasin ke aku kenapa bisa Roland bilang itu sama Satria?” “Roland pasti gak sengaja.” “Gak sengaja apa? Dia keceplosan gitu? Dia tahu gak kelalaiannya bisa menghancurkan mental Satria?” “Sayang, udah lah jangan di besar-besarin. Aku yakin Roland gak sengaja kok.” “Apanya yang gak sengaja? Kalo dia keceplosan ngomong gitu waktu nemenin Satria waktu itu, omongan mana yang tiba-tiba nyambung kalo kamu pukul aku di rumah?” Alfi kehabisan kata. “Aku bersusah payah diem ya, mas, tapi—temen kesayangan kamu itu malah beberin semuanya sama Satria. Sekarang kamu mau apa? Kamu seneng anak kamu jadi tahu sifat asli papanya, hah?” “Sayang, aku mohon tenang dulu.” “Tenang? Kamu pikir aku bisa tenang, liat anakku, dimana aku besarin dia dengan sangat hati-hati, aku jaga mata dan pendengaran dia dari semua masalah yang kita punya, tapi dengan ringannya Roland bilang i