Rania, Alfi, dan Satria keluar dari mobil yang terparkir dipekarangan rumah ibu yang asri. Rumah sudah dihias sederhana oleh ayah. “Jiddy, jiddah.” teriak Satria sambil berlari. “Satria.” Ayah menerima pelukkan Satria dengan riang di teras. “Kamu masuk duluan aja, ini biar aku yang bawa.” “Iya, mas.” Rania berjalan perlahan menuju teras karena ada Arbi disana. Pipinya bersemu merah mengingat malam-malam panas yang mereka lakukan satu minggu berturut-turut demi menyimpan benih dalam perutnya. “Ran?” Arbi berusaha bersikap normal pada iparnya. “Hai, kak. Udah pulang dari kantor?” “Iya, sengaja. Ulang tahun ibu masa kakak gak pulang lebih cepet.” Rania manggut-manggut. “Ran,” ibu hati-hati memanggil anak mantunya dari dalam rumah. “Bu.” Rania mencium pipi kanan-kiri ibu, “Apa kabar? Maaf ya belum sempet kesini kemarin.” “Ibu baik. Kamu... udah gak marah sama—” “Bu, kita lupain semua masalah kemarin ya? Aku sama mas Alfi udah baik-baik aja kok.” “Syukurlah, ibu s
Satria berlari memasuki rumah. “Satria!” Rania berusaha mengejar Satria, tapi Alfi menahannya, “Apa, mas? Kamu bisa jelasin ke aku kenapa bisa Roland bilang itu sama Satria?” “Roland pasti gak sengaja.” “Gak sengaja apa? Dia keceplosan gitu? Dia tahu gak kelalaiannya bisa menghancurkan mental Satria?” “Sayang, udah lah jangan di besar-besarin. Aku yakin Roland gak sengaja kok.” “Apanya yang gak sengaja? Kalo dia keceplosan ngomong gitu waktu nemenin Satria waktu itu, omongan mana yang tiba-tiba nyambung kalo kamu pukul aku di rumah?” Alfi kehabisan kata. “Aku bersusah payah diem ya, mas, tapi—temen kesayangan kamu itu malah beberin semuanya sama Satria. Sekarang kamu mau apa? Kamu seneng anak kamu jadi tahu sifat asli papanya, hah?” “Sayang, aku mohon tenang dulu.” “Tenang? Kamu pikir aku bisa tenang, liat anakku, dimana aku besarin dia dengan sangat hati-hati, aku jaga mata dan pendengaran dia dari semua masalah yang kita punya, tapi dengan ringannya Roland bilang i
Hati Rania terasa lega setelah mengatakan kalau ia tahu mengenai Alfi yang ternyata adalah seorang homo. Keberanian itu muncul begitu saja karena terlalu marah pada Roland. Ia janji akan menghadang kekasih suaminya itu. Acara ulang tahun ibu berjalan berantakkan. Setelah Alfi pergi, ibu masuk kamar bersama ayah. Sedangkan Satria tidak mau melepas pelukan mbok Yem. Ia pasti ketakutan melihat orang tuanya bertengkar hebat tadi. Semoga Satria tidak mendengar isi pertengkarannya. Rania duduk sendiri di kursi besi belakang rumah, menghadap kolam ikan berukuran kecil yang menenangkan. Ia tak menangis. Air matanya sudah habis. Arbi yang ia pikir pulang ke apartemennya ternyata masih disini. Ia duduk disampingnya. “Mas?” “Rencana selanjutnya apa? Kamu akhirnya bilang ke Alfi kalau kamu udah tahu hubungannya sama Roland.” “Aku gak tahu, mas. Aku... lega. Tapi aku takut Satria denger.” “Enggak. Tadi aku udah pastiin kalo mbok Yem bawa Satria kesini, jadi mereka gak tahu sama sekal
Rania dan Satria turun dari mobil ayah yang mengantarkannya pulang. Hari ini Satria tidak sekolah karena mendadak ada pemberitahuan rapat di sekolah. “Kita kapan lagi, ma, nginep di rumah jiddy sama jiddah?” tanya Satria menuntun Rania menuju pintu rumah. “Kamu betah ya disana?” “Iya, meskipun takut karena papa sama mama berantem.” Rania tersenyum, “Semua orang pasti pernah berantem. Maaf ya kalo kamu takut. Tapi mama sama papa udah baikkan kok.” Satria mengangguk. Rania membuka pintu rumah dan berdiri terpaku melihat Alfi sedang duduk dengan wajah yang menyeramkan di sofa ruang tamu. Satria yang masih memegangi tangan mamanya, semakin mengeratkan tangan dan tubuhnya karena ketakutan. “Sayang, kamu main dulu ke rumah tante Anis ya?” Satria mengangguk. Ia berlari kencang seperti tahu sebentar lagi ada bom waktu yang akan meledak. Rania memasuki dalam rumah. Ia menaruh koper dipinggir sofa. Ia berusaha tenang meski jantungnya berdegup kencang. Ia pikir suaminya tidak a
Rania membuang nafasnya perlahan. Ia duduk di sofa berusaha menenangkan emosinya, “Aku tahu semuanya berat. Apa yang kamu alami bukan hal kecil.” Alfi menatap istrinya yang sudah mulai tenang. Ia menghampirinya di sofa, “Maafin aku, sayang. Aku janji akan putus dari Roland, dan kita akan melanjutkan kehidupan kita sama Satria.” “Hidup mana yang mau diterusin?” Rania bangkit menjauhi Alfi, “Hidup kita udah selesai sejak aku tahu dari Roland kalau kalian pacaran.” “Apa yang harus aku lakuin untuk memperbaiki semuanya?” Rania menatap suaminya dan tersenyum. Ia menunjuk tespek yang dihancurkan suaminya hingga hancur berantakkan, “Kamu bisa memperbaiki itu?” “Sayang, hidup kita gak kayak tespek itu.” “Hidup kita kayak tespek itu. Hati aku bukan hanya gelas yang bisa menampung. Hidup aku kayak tespek itu. Coba kamu benerin, kamu lem, atau apa terserah kamu. Apa tespek itu masih bisa nunjukkin hasil garis dua? Enggak ‘kan? Aku juga begitu, Satria juga.” “Satria—” “Satria tahu
Satria belum pulang. Padahal ini sudah jam tujuh malam. Rania ingin sekalil menyusul ke rumah tetangganya, tapi urung setiap kali mendengar larangan Alfi. “Udah, sayang, mungkin Satria lagi betah disana. Udah lama dia gak main sama Kenzo ‘kan?” Rania tak menjawab. Ia hanya khawatir Satria tidak mau pulang karena takut pada papanya. Alfi menghampiri Rania. Dipeluknya tubuh itu dari belakang, “Kita udah lama gak—“ Rania membalikkan badan, “Jangan malam ini.” “Kenapa?’ Rania membuang mukanya. Alfi mengelus perut rata istrinya, “Ini berapa minggu?” Rania menepis lengan itu. Alfi tersenyum. Matanya terus terpaku pada perut itu, “Apa kak Arbi harus ngelakuin itu berulang sampe harus menyimpan benihnya agar berhasil bertahan disana?” “Apa maksud kamu?” “Itu anak kak Arbi ‘kan?” “Si-apa yang bilang?” tanya Rania terbata. Alfi menyentuh pipi istrinya yang merah bekas tamparannya tadi, “Aku kenal kamu dengan baik, Rania Putri. Kamu bukan tipe perempuan nakal. Tapi gak
Suara Rania tak terdengar lagi. Ia hanya mampu menangis pelan menunggu suaminya puas. “Udah.” Alfi memakai lagi celana kolornya. Ia mengusap kepala Rania, “Makasih ya. Semuanya masih sama. Jadi, siapa pemenangnya? Aku atau kakak ipar selingkuhanmu itu? Hm?” Rania menutup matanya malu. Alfi meninggalkan kamar Satria, tapi tidak lama ia kembali dan membalikkan badan Rania yang memakai dress dengan rok yang terangkat dan mengekspos perutnya. Ia mengusap perut itu lembut. “Janin ini gak bersalah. Yang salah itu kamu dan kak Arbi. Tadinya aku berniat untuk mempertahankan bayi ini. Tapi sekarang aku berubah pikiran.” Rania berusaha bangkit dengan tubuhnya yang sakit, “Mas, jangan lakuin apapun. Kamu bisa bunuh aku.” Alfi keluar dari kamar. Saat itu Rania menggunakan kesempatannya untuk kabur. Dengan langkah pelan, ia menuruni tangga yang terasa panjang dari biasanya. Nahas, ia bertemu dengan Alfi di ujung tangga yang sedang tersenyum. “Aku bawain kamu minum. Kamu pasti haus.”
Ketika baru menutup pintu mobil setelah Satria masuk, Fira melihat mobil Arbi berhenti dibelakang mobilnya. Untungnya ia ingat baik dengan mobil itu. “Kak Arbi?” Arbi keluar dari mobil, “Fir? Kamu ngapain disini? Kamu mau ketemu Rania?” Fira mengangguk, “Di mobil ada Satria. Dia bilang... Rania dipukul lagi sama papanya.” Arbi melotot, “Apa? Kita harus segera kesana.” “Iya, kak. Ayo.” Dua mobil terparkir di depan rumah Alfi. Fira menuntun Satria untuk masuk ke dalam rumah dengan jantung yang berdetak tak karuan. Belum mereka sampai pintu, Rania berjalan bak zombie dengan penampilan yang sudah tak karuan. Fira menutup matanya dan menangis melihat itu. “Ma-ma?” Rania tak memberi respon. Ia terus berjalan seperti hilang kesadaran. Fira terus menyeka air matanya ketika melihat darah ada diseluruh tubuh sahabatnya. Hidung dan ujung bibirnya berdarah sedikit, kakinya yang jenjang juga dilumuri darah. Rania pasti keguguran. Arbi memegangi kedua bahu Rania, “Ra, kita ke ru