Rania dan Satria turun dari mobil ayah yang mengantarkannya pulang. Hari ini Satria tidak sekolah karena mendadak ada pemberitahuan rapat di sekolah. “Kita kapan lagi, ma, nginep di rumah jiddy sama jiddah?” tanya Satria menuntun Rania menuju pintu rumah. “Kamu betah ya disana?” “Iya, meskipun takut karena papa sama mama berantem.” Rania tersenyum, “Semua orang pasti pernah berantem. Maaf ya kalo kamu takut. Tapi mama sama papa udah baikkan kok.” Satria mengangguk. Rania membuka pintu rumah dan berdiri terpaku melihat Alfi sedang duduk dengan wajah yang menyeramkan di sofa ruang tamu. Satria yang masih memegangi tangan mamanya, semakin mengeratkan tangan dan tubuhnya karena ketakutan. “Sayang, kamu main dulu ke rumah tante Anis ya?” Satria mengangguk. Ia berlari kencang seperti tahu sebentar lagi ada bom waktu yang akan meledak. Rania memasuki dalam rumah. Ia menaruh koper dipinggir sofa. Ia berusaha tenang meski jantungnya berdegup kencang. Ia pikir suaminya tidak a
Rania membuang nafasnya perlahan. Ia duduk di sofa berusaha menenangkan emosinya, “Aku tahu semuanya berat. Apa yang kamu alami bukan hal kecil.” Alfi menatap istrinya yang sudah mulai tenang. Ia menghampirinya di sofa, “Maafin aku, sayang. Aku janji akan putus dari Roland, dan kita akan melanjutkan kehidupan kita sama Satria.” “Hidup mana yang mau diterusin?” Rania bangkit menjauhi Alfi, “Hidup kita udah selesai sejak aku tahu dari Roland kalau kalian pacaran.” “Apa yang harus aku lakuin untuk memperbaiki semuanya?” Rania menatap suaminya dan tersenyum. Ia menunjuk tespek yang dihancurkan suaminya hingga hancur berantakkan, “Kamu bisa memperbaiki itu?” “Sayang, hidup kita gak kayak tespek itu.” “Hidup kita kayak tespek itu. Hati aku bukan hanya gelas yang bisa menampung. Hidup aku kayak tespek itu. Coba kamu benerin, kamu lem, atau apa terserah kamu. Apa tespek itu masih bisa nunjukkin hasil garis dua? Enggak ‘kan? Aku juga begitu, Satria juga.” “Satria—” “Satria tahu
Satria belum pulang. Padahal ini sudah jam tujuh malam. Rania ingin sekalil menyusul ke rumah tetangganya, tapi urung setiap kali mendengar larangan Alfi. “Udah, sayang, mungkin Satria lagi betah disana. Udah lama dia gak main sama Kenzo ‘kan?” Rania tak menjawab. Ia hanya khawatir Satria tidak mau pulang karena takut pada papanya. Alfi menghampiri Rania. Dipeluknya tubuh itu dari belakang, “Kita udah lama gak—“ Rania membalikkan badan, “Jangan malam ini.” “Kenapa?’ Rania membuang mukanya. Alfi mengelus perut rata istrinya, “Ini berapa minggu?” Rania menepis lengan itu. Alfi tersenyum. Matanya terus terpaku pada perut itu, “Apa kak Arbi harus ngelakuin itu berulang sampe harus menyimpan benihnya agar berhasil bertahan disana?” “Apa maksud kamu?” “Itu anak kak Arbi ‘kan?” “Si-apa yang bilang?” tanya Rania terbata. Alfi menyentuh pipi istrinya yang merah bekas tamparannya tadi, “Aku kenal kamu dengan baik, Rania Putri. Kamu bukan tipe perempuan nakal. Tapi gak
Suara Rania tak terdengar lagi. Ia hanya mampu menangis pelan menunggu suaminya puas. “Udah.” Alfi memakai lagi celana kolornya. Ia mengusap kepala Rania, “Makasih ya. Semuanya masih sama. Jadi, siapa pemenangnya? Aku atau kakak ipar selingkuhanmu itu? Hm?” Rania menutup matanya malu. Alfi meninggalkan kamar Satria, tapi tidak lama ia kembali dan membalikkan badan Rania yang memakai dress dengan rok yang terangkat dan mengekspos perutnya. Ia mengusap perut itu lembut. “Janin ini gak bersalah. Yang salah itu kamu dan kak Arbi. Tadinya aku berniat untuk mempertahankan bayi ini. Tapi sekarang aku berubah pikiran.” Rania berusaha bangkit dengan tubuhnya yang sakit, “Mas, jangan lakuin apapun. Kamu bisa bunuh aku.” Alfi keluar dari kamar. Saat itu Rania menggunakan kesempatannya untuk kabur. Dengan langkah pelan, ia menuruni tangga yang terasa panjang dari biasanya. Nahas, ia bertemu dengan Alfi di ujung tangga yang sedang tersenyum. “Aku bawain kamu minum. Kamu pasti haus.”
Ketika baru menutup pintu mobil setelah Satria masuk, Fira melihat mobil Arbi berhenti dibelakang mobilnya. Untungnya ia ingat baik dengan mobil itu. “Kak Arbi?” Arbi keluar dari mobil, “Fir? Kamu ngapain disini? Kamu mau ketemu Rania?” Fira mengangguk, “Di mobil ada Satria. Dia bilang... Rania dipukul lagi sama papanya.” Arbi melotot, “Apa? Kita harus segera kesana.” “Iya, kak. Ayo.” Dua mobil terparkir di depan rumah Alfi. Fira menuntun Satria untuk masuk ke dalam rumah dengan jantung yang berdetak tak karuan. Belum mereka sampai pintu, Rania berjalan bak zombie dengan penampilan yang sudah tak karuan. Fira menutup matanya dan menangis melihat itu. “Ma-ma?” Rania tak memberi respon. Ia terus berjalan seperti hilang kesadaran. Fira terus menyeka air matanya ketika melihat darah ada diseluruh tubuh sahabatnya. Hidung dan ujung bibirnya berdarah sedikit, kakinya yang jenjang juga dilumuri darah. Rania pasti keguguran. Arbi memegangi kedua bahu Rania, “Ra, kita ke ru
Rania sudah dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Ia sudah melakukan kuretase dan serangkaian pengecekan lain. Ia juga sudah melakukan visum yang dikawal kepolisian yang datang ke rumah karena laporan dugaan KDRT. Mama terus memegangi tangan Rania, “Maafin mama ya, sayang. Mama harusnya masukkin gugatan diam-diam ke pengadilan.” “Ma, aku gak papa.” “Jawaban kamu selalu begitu. Mama yang kenapa-napa. Coba kalo keadaannya dibalik, Satria yang di hajar orang, kamu terima?” Rania diam. “Kamu harusnya bilang kalo ternyata lagi hamil.” “Hamil dari hubungan haram, ma.” “Arbi pasti tanggung jawab.” Rania membuang muka. Bukan itu yang ia mau. Ia hanya butuh janin itu untuk menggugat cerai suaminya. “Mama keluar dulu, Fira katanya pingin masuk juga.” Fira dan mama bergantian masuk. Fira yang Rania kenal kuat beberapa kali menyeka air matanya. Ia melihat sekujur tubuh sahabatnya penuh sekali dengan lebam, lebih parah dari penyiksaan pertama. “Fir, akhirnya aku punya laporan
Rania tengah membaca buku yang dipinjamkan Psikiater. Ia menunggu reaksi obat untuk membuatnya istirahat tenang. Kala itu tidak ada yang menunggunya di dalam. Rania yang minta. Ia hanya ingin memiliki waktu dengan dirinya sendiri. Pintu terbuka lebar. Rania yang menoleh tersenyum sumringah melihat siapa yang berdiri disana. “Satria?” “Ma-ma!” Satria berlari mendekati ranjang. Ia buru-buru naik dan memeluk mamanya, “Aku kangen sama mama.” “Mama juga, sayang.” Arbi yang membawa Satria kesini menutup pintu dari luar. Ia berniat memberikan waktu berduaan ibu dan anak yang terpisah satu malam ini. “Om Arbi!” pekik Satria. “Iya, sayang?” “Sini masuk.” Arbi ragu-ragu untuk masuk. Rania mengangguk mengizinkan masuk. Kini Rania dan Satria berpelukkan erat diranjang. Satria tidak bergerak sedikitpun seperti orang tidur. Padahal matanya terbuka lebar. Ia hanya tenang mendengar detak jantung mamanya dekat dengan telinganya. “Satria?” “Iya, ma?” “Mama pikir kamu tidur.” “Satria ga
Arbi membelikan ponsel baru untuk Rania. Kini ponsel itu berdering panjang di nakas. Rania yang sedang tidur karena efek obat, terbangun sekaligus. “Mama telpon? Ada apa ya?” Rania menaruh ponsel ditelinga kanannya, “Halo, ma?” “Ran, Satria, Ran.” suara mama sangat panik disebrang sana. “Satria kenapa, ma? Mama dimana sekarang? Mama di sekolahnya ‘kan?” “Iya, ini mama di sekolah. Tapi missnya bilang Satria udah pulang dari tadi.” Rania diam sejenak, “Ma, coba telpon Fira. Mungkin Fira yang jemput.” “Fira justru juga lagi disini, katanya takut mama repot di rumah sakit jadi dia yang mau jemput. Ran, ini gimana dong?” “Ma, tenang dulu ya. Aku tanya dulu ke kak Arbi.” “Iya.” Rania mengatur nafasnya sebelum menelpon Arbi. Ia berusaha berpikir jernih kemana kah perginya Satria. “Tenang, Ran, tenang. Satria pasti baik-baik aja.” Dengan tangan bergetar, Rania menelpon Arbi. Ia harap kakak iparnya itu sedang tidak rapat di kantornya. Setelah menunggu beberapa saat, “A
“Kamu kuat gak jalannya? Mau aku pinjemin kursi roda aja?” Rania menggeleng, “Aku kuat ko, mas. Aku ‘kan kuat kayak Satria.” Arbi tertawa, “Satria paling kuat sedunia, disusul kamu, disusul sama calon adik Satria.” Ia mengelus perut yang sudah mulai membesar itu. Rania tersenyum, “Satria mana ya, mas? Kok lama banget.” “Aku susul deh, kamu duduk dulu.” “Ya udah, aku tunggu disini.” Sesaat sebelum Arbi membantu Rania duduk dikursi tunggu lobi rumah sakit, sepasang kaki yang berhenti didepan mereka. Rania dan Arbi sontak mendongak menatap siapa pemilik sepatu yang mereka kenal baik. Senyuman itu tidak berubah. Rania melihatnya senang. Kedua matanya mendadak panas, “Mas Alfi?” “Rania, apa kabar?” Bukan jawaban yang Rania berikan, tapi sebuah tangisan yang sudah lama ia pendam. Seluruh hatinya dipenuhi rindu untuk kekasih lamanya yang baru terlihat lagi. Arbi menelisik wajah istrinya. Ia takut sekali hatinya kembali memihak Alfi seperti dulu. “Mama, papa, maaf ya ak
Enam bulan kemudian... PRANG! “Rania?” Fira yang baru sampai dan berniat akan mengantarkan Rania ke kampus karena ia juga ada urusan disana, menutup pintu mobil dengan kencang dan berlari menerobos rumah yang pintunya tertutup rapat. Ia berlari mencari sumber suara dimana mungkin Rania sedang membutuhkan bantuannya, “Ran? Ran, lo dimana?” “Fir, tolong.” Fira mendengar suara itu dibelakang rumah. Ia menemukan setumpuk piring pecah dan aliran darah dari bagian bawah sahabatnya, “Ran?” “Fir, aku—aku gak kuat. Ini sakit banget.” “Ya ampun, Ran, sini kita ke mobil pelan-pelan ya.” Di depan ruang Ponek, nafas Fira naik turun menunggu hasil pemeriksaan dokter. Wajahnya pucat, tubuhnya bergetar. Ia mengingat dengan jelas rumah sangat berantakkan tadi. Barang berterbangan, dan ada noda merah dibeberapa bagian sofa. Rania juga hanya sendiri di rumah. Seharusnya ada Arbi disana. Kemana ya dia? Satria jelas sedang sekolah. Tunggu, apakah Satria baik-baik saja? “Dengan wa
Rania dan Arbi berkeliling mendatangi tamu. Acara akad dan resepsi berjalan lancar tanpa kendala. Acara yang disiapkan Fira begitu sempurna. Ia berharap sahabatnya itu akan segera menyusul menikah. Rania tak menemukan orang yang sedari tadi dicarinya. Dari pihak keluarga suaminya, ia tidak melihat Alfi. “Sayang, kamu capek ya?” “Hm?” “Kamu agak pucet. Kamu gak enak badan ya?” “Enggak kok, mas.” “Kamu duduk aja, nanti aku nyusul.” “Gak papa, mas.” Arbi mencolek hidung Rania, “Nanti malem kamu harus bugar loh. Jadi sekarang jangan terlalu capek. Gih, duduk dulu. Aku keliling sebentar. Ada beberapa temen yang baru dateng.” Rania mengangguk, “Aku duduk ya, mas.” Rania berjalan dengan langkah pelan menuju pelaminan. Ia berharap Alfi datang agar bisa melihat kondisi terbarunya. Ia ingin tahu apakah mantan suaminya itu sehat. Fira yang sedang berbincang dengan teman-teman kuliah melihat Rania duduk lemas. Ia menghampirinya, “Ran, lo haus? Gue ambilin minum ya?” Ra
Papa dan mama sedang bicara santai di ayunan belakang rumah. Rania yang haus tengah malam, tidak sengaja diam lebih lama mendengar obrolan mereka di dapur. “Tabungan papa semakin tipis, ma. Kita harus bayar kuliah profesi Rian. Kita juga harus bayar uang pangkal SD nya Satria.” “Mama bisa kok jual semua perhiasan mama, pa.” “Jangan, ma. Kehidupan kita masih panjang.” “Ya terus papa mau apa? Papa gak mungkin kerja lagi.” “Kita jual aja mobil pertama kita.” “Papa yakin? Papa sayang banget loh sama mobil itu.” “Demi Satria. Mana Rania juga mau kuliah profesi. Kemarin biayanya lumayan ‘kan pas disebutin? Kasian kalau dia harus mengubur mimpinya lagi.” Mama membuang nafas pelan, “Andai aja Rania mau terima Arbi langsung, dia pasti bahagia. Arbi bilang dia bersedia menanggung semua biaya kuliah Rania, bayar uang pangkal SD Satria juga. Sayang, Rania masih mikirin si Alfi.” “Ma, kasih aja Rania waktu.” “Mama cuma takut dia gak mau nikah lagi, pa. Apalagi dia gak mencintai
Empat bulan kemudian... Rania menyirami bunga di halaman rumah mama. Ia tertawa melihat Satria bermain lempar bola dengan Agil. Sudah empat bulan ia dan Satria tinggal disini. Kehidupannya setelah bercerai terjadi baik dan lancar. Mama memintanya bergabung mengikuti organisasi pemberdayaan perempuan yang baru bercerai. Disana terdapat banyak kegiatan sehingga hal tersebut cocok sekali untuknya. “Mama, aku capek.” “Aku juga capek, tante.” “Ya udah kita istirahat dulu ya. Kalian tunggu aja di teras, mama bawain dulu minuman seger buat kalian.” “Yeee!” Satria dan Agil berteriak kegirangan. Rania menaruh poci siram dipinggir dan berjalan menaiki tangga. “Mau kemana? Minumannya udah mbak bikinin.” “Makasih ya, mbak.” “Iya. Minuman dataaaang.” Satria dan Agil berlari untuk mengambil jus tomat itu. “Abisin jusnya, biar mainnya makin semangat.” “Makasih ya, tante.” “Sama-sama, Satria.” Mereka duduk bersama di teras rumah mama yang asri. Mama dan papa ikut keluar
Rania melirik ke belakang untuk melihat ekspresi semua keluarganya. Mama dan Fira mengangguk untuk ia mengatakan ada alasan selain KDRT itu sehingga ia menggugat cerai suaminya. “Saya ulangi, di berkas perkara gugatan saudari pada suami adalah karena adanya hal lain. Kami ingin mendengar langsung apa yang terjadi selain KDRT itu? Silakan.” Rania menutup matanya. Ia memegangi mikrofon dengan tangan bergetar. Di belakang, mama dan Fira saling berpegangan tangan, berharap Rania tak bodoh seperti biasanya demi menjaga harkat dan martabat calon mantan suaminya. “Alasan saya meminta cerai dari suami saya selain KDRT itu, karena rahasia suami saya yang terbongkar, yang mulia.” “Rahasia apa itu?” “Suami saya—” Roland yang sedari pagi sibuk mengelilingi semua tempat untuk menemukan Alfi, akhirnya menemukan tempat ini setelah berpikir keras buah dari informasi singkat dari petugas resepsionis rumah sakit. Kini ia berdiri sejajar dengan tempat duduk mama dan yang lain, “Mohon izin
Jam sepuluh pagi sidang digelar. Rania dan Alfi duduk di kursi depan yang menghadap langsung dengan ketiga hakim yang akan memutuskan, apakah gugatan akan dikabulkan atau tidak. Sejauh ini semua berjalan lancar. Mereka bisa kooperatif menyampaikan apa yang terjadi sesuai perkataan saksi. “Untuk saudari Rania, apakah anda memberikan kesempatan untuk suami anda, saudara Alfi agar kalian bisa rujuk?” “Tidak, yang mulia.” “Kenapa anda memasukkan gugatan ini?” “Seperti yang sudah dikatakan oleh para saksi, para ahli forensik, dokter jiwa dan kandungan, saya mendapatkan penyiksaan verbal dan non verbal selama beberapa bulan terakhir ini.” “Apa saja yang saudari dapatkan dalam penyiksaan tersebut?” “Untuk verbal ada cacian, untuk non verbal, pelaku menampar, memukul, menjambak rambut saya, hingga menendang perut saya sampai bayi saya meninggal dalam kandungan, yang mulia.” Mama dan Fira menangis mendengar semua perkataan Rania di depan. Mereka sangat dekat dengan Rania tapi t
Alfi berhasil kabur dari apartemen. Ia pulang ke rumah berharap Rania dan Satria ada disana. Ternyata rumahnya kosong. Bahkan semua barang pribadi mereka sudah tidak ada. Yang ada hanya tetangganya meliriknya sinis. Mereke berbisik-bisik tak menyangka, orang sebaik Alfi bisa menjadi pelaku KDRT. Padahal ia dikenal sebagai suami yang baik dan lemah lembut. “Apa aku harus ke rumah mama? Mungkin Rania sama Satria pindah ke sana.” Alfi langsung tancap gas ke Tangerang. Begitu sampai pagar, ia melihat asisten rumah tangga paruh waktu yang bekerja di rumah mertuanya kaget melihat dirinya. “Mas Alfi ada barang yang ketinggalan?” “Mbok, mama ada di dalem ‘kan?” “Loh. Ibu ‘kan sudah berapa hari ini nginep di Jakarta. Katanya ada urusan. Mbok pikir ibu nginep di rumah mas.” “Mama gak pulang-pulang?” “Cuma bapak yang pulang bawa baju kemarin. Ibu tuh sebenernya ada urusan apa, mas? Ada acara keluarga ya di Jakarta?” “Eum—” “Tumben ibu gak kasih tahu saya.” “Ya udah mbok ka
Alfi tertawa, “Bertahan sama kamu?” “Aku akan kasih semuaaa yang kamu mau. Setelah kalian bercerai, rumah itu biar aja jadi milik Rania. Aku akan ganti dengan rumah yang lebih besar. Kamu setuju?” Alfi tertawa miring, “Rumah yang lebih besar?” “Iya. Kita juga bisa pergi ke luar negeri buat rayain semuanya.” “Jangan harap itu akan terjadi.” Alfi mencekik Roland sekencangnya berharap ia mati seketika. “Uhuk, Alfi!” “Mati lo bajingan!” Roland berusaha melepaskan lengan Alfi dilehernya. “Gue terpaksa melayani lo karena uang. Gue hanya mencintai Rania. Gue hanya memanfaatkan lo selama ini.” Tubuh tinggi Roland yang melebihi Alfi akhirnya menjadi penolongnya dari cekikkan Alfi. Roland balas mencekik Alfi. “Aku gak akan sampe bunuh kamu. Aku seneng kejar Tikus kehausan kayak kamu.” “Lepas!” “Mau lepas?” Roland melepaskan kedua tangannya, tapi satu layangan tinju diberikan di sisi wajah Alfi, “Mampus lo! Lo pikir gampang kabur dari gue atau bunuh gue?!” Alfi memegang