Rania tengah membaca buku yang dipinjamkan Psikiater. Ia menunggu reaksi obat untuk membuatnya istirahat tenang. Kala itu tidak ada yang menunggunya di dalam. Rania yang minta. Ia hanya ingin memiliki waktu dengan dirinya sendiri. Pintu terbuka lebar. Rania yang menoleh tersenyum sumringah melihat siapa yang berdiri disana. “Satria?” “Ma-ma!” Satria berlari mendekati ranjang. Ia buru-buru naik dan memeluk mamanya, “Aku kangen sama mama.” “Mama juga, sayang.” Arbi yang membawa Satria kesini menutup pintu dari luar. Ia berniat memberikan waktu berduaan ibu dan anak yang terpisah satu malam ini. “Om Arbi!” pekik Satria. “Iya, sayang?” “Sini masuk.” Arbi ragu-ragu untuk masuk. Rania mengangguk mengizinkan masuk. Kini Rania dan Satria berpelukkan erat diranjang. Satria tidak bergerak sedikitpun seperti orang tidur. Padahal matanya terbuka lebar. Ia hanya tenang mendengar detak jantung mamanya dekat dengan telinganya. “Satria?” “Iya, ma?” “Mama pikir kamu tidur.” “Satria ga
Arbi membelikan ponsel baru untuk Rania. Kini ponsel itu berdering panjang di nakas. Rania yang sedang tidur karena efek obat, terbangun sekaligus. “Mama telpon? Ada apa ya?” Rania menaruh ponsel ditelinga kanannya, “Halo, ma?” “Ran, Satria, Ran.” suara mama sangat panik disebrang sana. “Satria kenapa, ma? Mama dimana sekarang? Mama di sekolahnya ‘kan?” “Iya, ini mama di sekolah. Tapi missnya bilang Satria udah pulang dari tadi.” Rania diam sejenak, “Ma, coba telpon Fira. Mungkin Fira yang jemput.” “Fira justru juga lagi disini, katanya takut mama repot di rumah sakit jadi dia yang mau jemput. Ran, ini gimana dong?” “Ma, tenang dulu ya. Aku tanya dulu ke kak Arbi.” “Iya.” Rania mengatur nafasnya sebelum menelpon Arbi. Ia berusaha berpikir jernih kemana kah perginya Satria. “Tenang, Ran, tenang. Satria pasti baik-baik aja.” Dengan tangan bergetar, Rania menelpon Arbi. Ia harap kakak iparnya itu sedang tidak rapat di kantornya. Setelah menunggu beberapa saat, “A
Satria menatap pasta Bolognes buatan Roland di meja makan. “Makan dong, sayang. Om udah susah loh buatnya.” “Om Roland janji ‘kan bawa aku ketemu papa?” “Iya, om janji. Tapi Satria harus makan dulu.” “Emangnya papa ada di mana?” “Papa—ada di rumah om.” “Oh. Papa sembunyi ya karena tahu om Roland pasti bantu papa dari polisi?” Roland tersenyum. “Om, papa itu salah, gak perlu di belain. Papa harus dihukum karena udah pukul mama.” “Iya. Nanti om bicara sama papa biar papa mau ketemu om polisi ya biar dihukum.” Satria mengangguk. “Ya udah, dimakan dulu dong. Semakin cepet pastanya abis, semakin cepet kita ketemu papa.” Satria menarik piring itu dan mulai makan. “Enak gak?” “Enakan buatan mama, tapi mama bilang aku harus tetep makan untuk menghargai yang masak.” Roland tertawa, “Ya udah abisin ya pastanya.” “Iya, om.” Roland sibuk menyusun kalimat untuk dihapalkan Satria agar nanti ketika bertemu Alfi ditempat persembunyiannya, Satria bisa lancar bicara.
Rania berjalan mundar-mandir di ruangannya karena menunggu kabar dari Rian atau siapapun yang bisa memberikan kabar terbaru mengenai keberadaan Satria. Fira mengerahkan polisi karena mengira ada indikasi Satria diculik papanya yang buron. Ceklek. “Kak?” “Rian, gimana? Ada kabar terbaru apa soal Satria?” “Aku sama polisi udah ke rumah, kak. Mbak Anis bilang Satria tadi ada, sama kak Roland.” Rania menutup mulutnya, “Rian, gimana dong ini?’ “Mbak Anis bilang, dia gak tahu kalau Roland satu kubu sama kak Alfi, jadi dia biarin aja dan gak menaruh curiga sama sekali. Apalagi Satria juga gak menolak setiap kali Roland tuntun dia.” Rania menangis sambil berjongkok, “Kakak takut Satria—” “Kak, kita berdoa aja ya semoga Satria baik-baik aja.” Rania bangkit, “Gimana kalo Roland buang Satria?” “Kak, gak mungkin lah.” “Ian, Roland bisa aja kesel sama Satria yang sering curi waktu mas Alfi saat berduaan sama dia. Semua bisa terjadi. Rian gimana dong ini?” Pintu yang terbuka
Sudah dua hari ini Rania menolak bertemu siapapun. Ia tidak bicara, tidak mau makan dan melakukan aktivitas yang biasa ia lakukan untuk menghilangkan bosan. Mama sudah melakukan banyak hal, tapi tak berhasil. Psikiater utamanya bilang Rania mengalami depressi dan PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder akibat masalah yang sedang dihadapinya. Rania yang seharusnya tidak stress dan tertekan, malah menghadapi drama penculikkan Satria oleh suaminya yang melakukan KDRT padanya. “Ma, aku akan coba bicara sama Rania.” Arbi berusaha menenangkan mama. “Iya. Kamu masuk aja.” Arbi harus melalui perizinan ketat dari perawat jaga karena dari semalam, Rania dirawat di bangsal psikiatri karena terus mengamuk. Dokter mengatakan mereka tidak bisa terus memberikan obat penenang. Dosis yang diberikan pun harus terus naik, sehingga dikhawatirkan akan membahayakan tubuh Rania sendiri. Mereka hanya akan memberikan di waktu-waktu tertentu.
Satria memeluk Arbi ketika turun dari mobil Roland, “Om Arbi.” Alfi keluar dari mobil memakai masker dan topi, “Kak, jangan pernah ganggu Rania lagi. Kita gak jadi cerai.” “Kamu tenang aja. Kita baru putus. Rania bilang dia gak bisa membenci kamu gitu aja. Aku heran, kenapa dia selalu bisa maafin kamu.” “Karena dia cinta sama aku. Dulu atau sekarang, aku tetep jadi pemenangnya.” “Kamu gak mau jengukin Rania sebentar?” Alfi menggeleng, “Aku pulang. Tolong jaga Satria selama Rania belum pulang dari rumah sakit.” Alfi langsung masuk ke dalam mobil. Arbi sempat melirik wajah Roland yang cemberut. Ia pasti tidak suka kekasihnya tidak jadi cerai dari Rania. Seperginya mobil, Arbi berjongkok, “Satria baik-baik aja?” Satria mengangguk, “Aku cuma takut sama papa karena terus berantem sama om Roland.” “Ya udah kita ketemu mama sebentar terus pulang ya ke rumah tante Fira?” “Iya, om.”
Alfi tertawa, “Bertahan sama kamu?” “Aku akan kasih semuaaa yang kamu mau. Setelah kalian bercerai, rumah itu biar aja jadi milik Rania. Aku akan ganti dengan rumah yang lebih besar. Kamu setuju?” Alfi tertawa miring, “Rumah yang lebih besar?” “Iya. Kita juga bisa pergi ke luar negeri buat rayain semuanya.” “Jangan harap itu akan terjadi.” Alfi mencekik Roland sekencangnya berharap ia mati seketika. “Uhuk, Alfi!” “Mati lo bajingan!” Roland berusaha melepaskan lengan Alfi dilehernya. “Gue terpaksa melayani lo karena uang. Gue hanya mencintai Rania. Gue hanya memanfaatkan lo selama ini.” Tubuh tinggi Roland yang melebihi Alfi akhirnya menjadi penolongnya dari cekikkan Alfi. Roland balas mencekik Alfi. “Aku gak akan sampe bunuh kamu. Aku seneng kejar Tikus kehausan kayak kamu.” “Lepas!” “Mau lepas?” Roland melepaskan kedua tangannya, tapi satu layangan tinju diberikan di sisi wajah Alfi, “Mampus lo! Lo pikir gampang kabur dari gue atau bunuh gue?!” Alfi memegang
Alfi berhasil kabur dari apartemen. Ia pulang ke rumah berharap Rania dan Satria ada disana. Ternyata rumahnya kosong. Bahkan semua barang pribadi mereka sudah tidak ada. Yang ada hanya tetangganya meliriknya sinis. Mereke berbisik-bisik tak menyangka, orang sebaik Alfi bisa menjadi pelaku KDRT. Padahal ia dikenal sebagai suami yang baik dan lemah lembut. “Apa aku harus ke rumah mama? Mungkin Rania sama Satria pindah ke sana.” Alfi langsung tancap gas ke Tangerang. Begitu sampai pagar, ia melihat asisten rumah tangga paruh waktu yang bekerja di rumah mertuanya kaget melihat dirinya. “Mas Alfi ada barang yang ketinggalan?” “Mbok, mama ada di dalem ‘kan?” “Loh. Ibu ‘kan sudah berapa hari ini nginep di Jakarta. Katanya ada urusan. Mbok pikir ibu nginep di rumah mas.” “Mama gak pulang-pulang?” “Cuma bapak yang pulang bawa baju kemarin. Ibu tuh sebenernya ada urusan apa, mas? Ada acara keluarga ya di Jakarta?” “Eum—” “Tumben ibu gak kasih tahu saya.” “Ya udah mbok ka