Satria menatap pasta Bolognes buatan Roland di meja makan. “Makan dong, sayang. Om udah susah loh buatnya.” “Om Roland janji ‘kan bawa aku ketemu papa?” “Iya, om janji. Tapi Satria harus makan dulu.” “Emangnya papa ada di mana?” “Papa—ada di rumah om.” “Oh. Papa sembunyi ya karena tahu om Roland pasti bantu papa dari polisi?” Roland tersenyum. “Om, papa itu salah, gak perlu di belain. Papa harus dihukum karena udah pukul mama.” “Iya. Nanti om bicara sama papa biar papa mau ketemu om polisi ya biar dihukum.” Satria mengangguk. “Ya udah, dimakan dulu dong. Semakin cepet pastanya abis, semakin cepet kita ketemu papa.” Satria menarik piring itu dan mulai makan. “Enak gak?” “Enakan buatan mama, tapi mama bilang aku harus tetep makan untuk menghargai yang masak.” Roland tertawa, “Ya udah abisin ya pastanya.” “Iya, om.” Roland sibuk menyusun kalimat untuk dihapalkan Satria agar nanti ketika bertemu Alfi ditempat persembunyiannya, Satria bisa lancar bicara.
Rania berjalan mundar-mandir di ruangannya karena menunggu kabar dari Rian atau siapapun yang bisa memberikan kabar terbaru mengenai keberadaan Satria. Fira mengerahkan polisi karena mengira ada indikasi Satria diculik papanya yang buron. Ceklek. “Kak?” “Rian, gimana? Ada kabar terbaru apa soal Satria?” “Aku sama polisi udah ke rumah, kak. Mbak Anis bilang Satria tadi ada, sama kak Roland.” Rania menutup mulutnya, “Rian, gimana dong ini?’ “Mbak Anis bilang, dia gak tahu kalau Roland satu kubu sama kak Alfi, jadi dia biarin aja dan gak menaruh curiga sama sekali. Apalagi Satria juga gak menolak setiap kali Roland tuntun dia.” Rania menangis sambil berjongkok, “Kakak takut Satria—” “Kak, kita berdoa aja ya semoga Satria baik-baik aja.” Rania bangkit, “Gimana kalo Roland buang Satria?” “Kak, gak mungkin lah.” “Ian, Roland bisa aja kesel sama Satria yang sering curi waktu mas Alfi saat berduaan sama dia. Semua bisa terjadi. Rian gimana dong ini?” Pintu yang terbuka
Sudah dua hari ini Rania menolak bertemu siapapun. Ia tidak bicara, tidak mau makan dan melakukan aktivitas yang biasa ia lakukan untuk menghilangkan bosan. Mama sudah melakukan banyak hal, tapi tak berhasil. Psikiater utamanya bilang Rania mengalami depressi dan PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder akibat masalah yang sedang dihadapinya. Rania yang seharusnya tidak stress dan tertekan, malah menghadapi drama penculikkan Satria oleh suaminya yang melakukan KDRT padanya. “Ma, aku akan coba bicara sama Rania.” Arbi berusaha menenangkan mama. “Iya. Kamu masuk aja.” Arbi harus melalui perizinan ketat dari perawat jaga karena dari semalam, Rania dirawat di bangsal psikiatri karena terus mengamuk. Dokter mengatakan mereka tidak bisa terus memberikan obat penenang. Dosis yang diberikan pun harus terus naik, sehingga dikhawatirkan akan membahayakan tubuh Rania sendiri. Mereka hanya akan memberikan di waktu-waktu tertentu.
Satria memeluk Arbi ketika turun dari mobil Roland, “Om Arbi.” Alfi keluar dari mobil memakai masker dan topi, “Kak, jangan pernah ganggu Rania lagi. Kita gak jadi cerai.” “Kamu tenang aja. Kita baru putus. Rania bilang dia gak bisa membenci kamu gitu aja. Aku heran, kenapa dia selalu bisa maafin kamu.” “Karena dia cinta sama aku. Dulu atau sekarang, aku tetep jadi pemenangnya.” “Kamu gak mau jengukin Rania sebentar?” Alfi menggeleng, “Aku pulang. Tolong jaga Satria selama Rania belum pulang dari rumah sakit.” Alfi langsung masuk ke dalam mobil. Arbi sempat melirik wajah Roland yang cemberut. Ia pasti tidak suka kekasihnya tidak jadi cerai dari Rania. Seperginya mobil, Arbi berjongkok, “Satria baik-baik aja?” Satria mengangguk, “Aku cuma takut sama papa karena terus berantem sama om Roland.” “Ya udah kita ketemu mama sebentar terus pulang ya ke rumah tante Fira?” “Iya, om.”
Alfi tertawa, “Bertahan sama kamu?” “Aku akan kasih semuaaa yang kamu mau. Setelah kalian bercerai, rumah itu biar aja jadi milik Rania. Aku akan ganti dengan rumah yang lebih besar. Kamu setuju?” Alfi tertawa miring, “Rumah yang lebih besar?” “Iya. Kita juga bisa pergi ke luar negeri buat rayain semuanya.” “Jangan harap itu akan terjadi.” Alfi mencekik Roland sekencangnya berharap ia mati seketika. “Uhuk, Alfi!” “Mati lo bajingan!” Roland berusaha melepaskan lengan Alfi dilehernya. “Gue terpaksa melayani lo karena uang. Gue hanya mencintai Rania. Gue hanya memanfaatkan lo selama ini.” Tubuh tinggi Roland yang melebihi Alfi akhirnya menjadi penolongnya dari cekikkan Alfi. Roland balas mencekik Alfi. “Aku gak akan sampe bunuh kamu. Aku seneng kejar Tikus kehausan kayak kamu.” “Lepas!” “Mau lepas?” Roland melepaskan kedua tangannya, tapi satu layangan tinju diberikan di sisi wajah Alfi, “Mampus lo! Lo pikir gampang kabur dari gue atau bunuh gue?!” Alfi memegang
Alfi berhasil kabur dari apartemen. Ia pulang ke rumah berharap Rania dan Satria ada disana. Ternyata rumahnya kosong. Bahkan semua barang pribadi mereka sudah tidak ada. Yang ada hanya tetangganya meliriknya sinis. Mereke berbisik-bisik tak menyangka, orang sebaik Alfi bisa menjadi pelaku KDRT. Padahal ia dikenal sebagai suami yang baik dan lemah lembut. “Apa aku harus ke rumah mama? Mungkin Rania sama Satria pindah ke sana.” Alfi langsung tancap gas ke Tangerang. Begitu sampai pagar, ia melihat asisten rumah tangga paruh waktu yang bekerja di rumah mertuanya kaget melihat dirinya. “Mas Alfi ada barang yang ketinggalan?” “Mbok, mama ada di dalem ‘kan?” “Loh. Ibu ‘kan sudah berapa hari ini nginep di Jakarta. Katanya ada urusan. Mbok pikir ibu nginep di rumah mas.” “Mama gak pulang-pulang?” “Cuma bapak yang pulang bawa baju kemarin. Ibu tuh sebenernya ada urusan apa, mas? Ada acara keluarga ya di Jakarta?” “Eum—” “Tumben ibu gak kasih tahu saya.” “Ya udah mbok ka
Jam sepuluh pagi sidang digelar. Rania dan Alfi duduk di kursi depan yang menghadap langsung dengan ketiga hakim yang akan memutuskan, apakah gugatan akan dikabulkan atau tidak. Sejauh ini semua berjalan lancar. Mereka bisa kooperatif menyampaikan apa yang terjadi sesuai perkataan saksi. “Untuk saudari Rania, apakah anda memberikan kesempatan untuk suami anda, saudara Alfi agar kalian bisa rujuk?” “Tidak, yang mulia.” “Kenapa anda memasukkan gugatan ini?” “Seperti yang sudah dikatakan oleh para saksi, para ahli forensik, dokter jiwa dan kandungan, saya mendapatkan penyiksaan verbal dan non verbal selama beberapa bulan terakhir ini.” “Apa saja yang saudari dapatkan dalam penyiksaan tersebut?” “Untuk verbal ada cacian, untuk non verbal, pelaku menampar, memukul, menjambak rambut saya, hingga menendang perut saya sampai bayi saya meninggal dalam kandungan, yang mulia.” Mama dan Fira menangis mendengar semua perkataan Rania di depan. Mereka sangat dekat dengan Rania tapi t
Rania melirik ke belakang untuk melihat ekspresi semua keluarganya. Mama dan Fira mengangguk untuk ia mengatakan ada alasan selain KDRT itu sehingga ia menggugat cerai suaminya. “Saya ulangi, di berkas perkara gugatan saudari pada suami adalah karena adanya hal lain. Kami ingin mendengar langsung apa yang terjadi selain KDRT itu? Silakan.” Rania menutup matanya. Ia memegangi mikrofon dengan tangan bergetar. Di belakang, mama dan Fira saling berpegangan tangan, berharap Rania tak bodoh seperti biasanya demi menjaga harkat dan martabat calon mantan suaminya. “Alasan saya meminta cerai dari suami saya selain KDRT itu, karena rahasia suami saya yang terbongkar, yang mulia.” “Rahasia apa itu?” “Suami saya—” Roland yang sedari pagi sibuk mengelilingi semua tempat untuk menemukan Alfi, akhirnya menemukan tempat ini setelah berpikir keras buah dari informasi singkat dari petugas resepsionis rumah sakit. Kini ia berdiri sejajar dengan tempat duduk mama dan yang lain, “Mohon izin