Rania membuang nafasnya perlahan. Ia duduk di sofa berusaha menenangkan emosinya, “Aku tahu semuanya berat. Apa yang kamu alami bukan hal kecil.” Alfi menatap istrinya yang sudah mulai tenang. Ia menghampirinya di sofa, “Maafin aku, sayang. Aku janji akan putus dari Roland, dan kita akan melanjutkan kehidupan kita sama Satria.” “Hidup mana yang mau diterusin?” Rania bangkit menjauhi Alfi, “Hidup kita udah selesai sejak aku tahu dari Roland kalau kalian pacaran.” “Apa yang harus aku lakuin untuk memperbaiki semuanya?” Rania menatap suaminya dan tersenyum. Ia menunjuk tespek yang dihancurkan suaminya hingga hancur berantakkan, “Kamu bisa memperbaiki itu?” “Sayang, hidup kita gak kayak tespek itu.” “Hidup kita kayak tespek itu. Hati aku bukan hanya gelas yang bisa menampung. Hidup aku kayak tespek itu. Coba kamu benerin, kamu lem, atau apa terserah kamu. Apa tespek itu masih bisa nunjukkin hasil garis dua? Enggak ‘kan? Aku juga begitu, Satria juga.” “Satria—” “Satria tahu
Satria belum pulang. Padahal ini sudah jam tujuh malam. Rania ingin sekalil menyusul ke rumah tetangganya, tapi urung setiap kali mendengar larangan Alfi. “Udah, sayang, mungkin Satria lagi betah disana. Udah lama dia gak main sama Kenzo ‘kan?” Rania tak menjawab. Ia hanya khawatir Satria tidak mau pulang karena takut pada papanya. Alfi menghampiri Rania. Dipeluknya tubuh itu dari belakang, “Kita udah lama gak—“ Rania membalikkan badan, “Jangan malam ini.” “Kenapa?’ Rania membuang mukanya. Alfi mengelus perut rata istrinya, “Ini berapa minggu?” Rania menepis lengan itu. Alfi tersenyum. Matanya terus terpaku pada perut itu, “Apa kak Arbi harus ngelakuin itu berulang sampe harus menyimpan benihnya agar berhasil bertahan disana?” “Apa maksud kamu?” “Itu anak kak Arbi ‘kan?” “Si-apa yang bilang?” tanya Rania terbata. Alfi menyentuh pipi istrinya yang merah bekas tamparannya tadi, “Aku kenal kamu dengan baik, Rania Putri. Kamu bukan tipe perempuan nakal. Tapi gak
Suara Rania tak terdengar lagi. Ia hanya mampu menangis pelan menunggu suaminya puas. “Udah.” Alfi memakai lagi celana kolornya. Ia mengusap kepala Rania, “Makasih ya. Semuanya masih sama. Jadi, siapa pemenangnya? Aku atau kakak ipar selingkuhanmu itu? Hm?” Rania menutup matanya malu. Alfi meninggalkan kamar Satria, tapi tidak lama ia kembali dan membalikkan badan Rania yang memakai dress dengan rok yang terangkat dan mengekspos perutnya. Ia mengusap perut itu lembut. “Janin ini gak bersalah. Yang salah itu kamu dan kak Arbi. Tadinya aku berniat untuk mempertahankan bayi ini. Tapi sekarang aku berubah pikiran.” Rania berusaha bangkit dengan tubuhnya yang sakit, “Mas, jangan lakuin apapun. Kamu bisa bunuh aku.” Alfi keluar dari kamar. Saat itu Rania menggunakan kesempatannya untuk kabur. Dengan langkah pelan, ia menuruni tangga yang terasa panjang dari biasanya. Nahas, ia bertemu dengan Alfi di ujung tangga yang sedang tersenyum. “Aku bawain kamu minum. Kamu pasti haus.”
Ketika baru menutup pintu mobil setelah Satria masuk, Fira melihat mobil Arbi berhenti dibelakang mobilnya. Untungnya ia ingat baik dengan mobil itu. “Kak Arbi?” Arbi keluar dari mobil, “Fir? Kamu ngapain disini? Kamu mau ketemu Rania?” Fira mengangguk, “Di mobil ada Satria. Dia bilang... Rania dipukul lagi sama papanya.” Arbi melotot, “Apa? Kita harus segera kesana.” “Iya, kak. Ayo.” Dua mobil terparkir di depan rumah Alfi. Fira menuntun Satria untuk masuk ke dalam rumah dengan jantung yang berdetak tak karuan. Belum mereka sampai pintu, Rania berjalan bak zombie dengan penampilan yang sudah tak karuan. Fira menutup matanya dan menangis melihat itu. “Ma-ma?” Rania tak memberi respon. Ia terus berjalan seperti hilang kesadaran. Fira terus menyeka air matanya ketika melihat darah ada diseluruh tubuh sahabatnya. Hidung dan ujung bibirnya berdarah sedikit, kakinya yang jenjang juga dilumuri darah. Rania pasti keguguran. Arbi memegangi kedua bahu Rania, “Ra, kita ke ru
Rania sudah dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Ia sudah melakukan kuretase dan serangkaian pengecekan lain. Ia juga sudah melakukan visum yang dikawal kepolisian yang datang ke rumah karena laporan dugaan KDRT. Mama terus memegangi tangan Rania, “Maafin mama ya, sayang. Mama harusnya masukkin gugatan diam-diam ke pengadilan.” “Ma, aku gak papa.” “Jawaban kamu selalu begitu. Mama yang kenapa-napa. Coba kalo keadaannya dibalik, Satria yang di hajar orang, kamu terima?” Rania diam. “Kamu harusnya bilang kalo ternyata lagi hamil.” “Hamil dari hubungan haram, ma.” “Arbi pasti tanggung jawab.” Rania membuang muka. Bukan itu yang ia mau. Ia hanya butuh janin itu untuk menggugat cerai suaminya. “Mama keluar dulu, Fira katanya pingin masuk juga.” Fira dan mama bergantian masuk. Fira yang Rania kenal kuat beberapa kali menyeka air matanya. Ia melihat sekujur tubuh sahabatnya penuh sekali dengan lebam, lebih parah dari penyiksaan pertama. “Fir, akhirnya aku punya laporan
Rania tengah membaca buku yang dipinjamkan Psikiater. Ia menunggu reaksi obat untuk membuatnya istirahat tenang. Kala itu tidak ada yang menunggunya di dalam. Rania yang minta. Ia hanya ingin memiliki waktu dengan dirinya sendiri. Pintu terbuka lebar. Rania yang menoleh tersenyum sumringah melihat siapa yang berdiri disana. “Satria?” “Ma-ma!” Satria berlari mendekati ranjang. Ia buru-buru naik dan memeluk mamanya, “Aku kangen sama mama.” “Mama juga, sayang.” Arbi yang membawa Satria kesini menutup pintu dari luar. Ia berniat memberikan waktu berduaan ibu dan anak yang terpisah satu malam ini. “Om Arbi!” pekik Satria. “Iya, sayang?” “Sini masuk.” Arbi ragu-ragu untuk masuk. Rania mengangguk mengizinkan masuk. Kini Rania dan Satria berpelukkan erat diranjang. Satria tidak bergerak sedikitpun seperti orang tidur. Padahal matanya terbuka lebar. Ia hanya tenang mendengar detak jantung mamanya dekat dengan telinganya. “Satria?” “Iya, ma?” “Mama pikir kamu tidur.” “Satria ga
Arbi membelikan ponsel baru untuk Rania. Kini ponsel itu berdering panjang di nakas. Rania yang sedang tidur karena efek obat, terbangun sekaligus. “Mama telpon? Ada apa ya?” Rania menaruh ponsel ditelinga kanannya, “Halo, ma?” “Ran, Satria, Ran.” suara mama sangat panik disebrang sana. “Satria kenapa, ma? Mama dimana sekarang? Mama di sekolahnya ‘kan?” “Iya, ini mama di sekolah. Tapi missnya bilang Satria udah pulang dari tadi.” Rania diam sejenak, “Ma, coba telpon Fira. Mungkin Fira yang jemput.” “Fira justru juga lagi disini, katanya takut mama repot di rumah sakit jadi dia yang mau jemput. Ran, ini gimana dong?” “Ma, tenang dulu ya. Aku tanya dulu ke kak Arbi.” “Iya.” Rania mengatur nafasnya sebelum menelpon Arbi. Ia berusaha berpikir jernih kemana kah perginya Satria. “Tenang, Ran, tenang. Satria pasti baik-baik aja.” Dengan tangan bergetar, Rania menelpon Arbi. Ia harap kakak iparnya itu sedang tidak rapat di kantornya. Setelah menunggu beberapa saat, “A
Satria menatap pasta Bolognes buatan Roland di meja makan. “Makan dong, sayang. Om udah susah loh buatnya.” “Om Roland janji ‘kan bawa aku ketemu papa?” “Iya, om janji. Tapi Satria harus makan dulu.” “Emangnya papa ada di mana?” “Papa—ada di rumah om.” “Oh. Papa sembunyi ya karena tahu om Roland pasti bantu papa dari polisi?” Roland tersenyum. “Om, papa itu salah, gak perlu di belain. Papa harus dihukum karena udah pukul mama.” “Iya. Nanti om bicara sama papa biar papa mau ketemu om polisi ya biar dihukum.” Satria mengangguk. “Ya udah, dimakan dulu dong. Semakin cepet pastanya abis, semakin cepet kita ketemu papa.” Satria menarik piring itu dan mulai makan. “Enak gak?” “Enakan buatan mama, tapi mama bilang aku harus tetep makan untuk menghargai yang masak.” Roland tertawa, “Ya udah abisin ya pastanya.” “Iya, om.” Roland sibuk menyusun kalimat untuk dihapalkan Satria agar nanti ketika bertemu Alfi ditempat persembunyiannya, Satria bisa lancar bicara.