“Terima kasih ya, pak.” Rania tersenyum ramah pada driver ojol yang mengantarkan Agil pulang sekolah.
“Sama-sama, bu, mari.” “Gimana sekolahnya?” “Gak seru, tante. Tadi di sekolah aku berantem.” Rania menuntun Agil duduk di sofa ruang tamu, “Agil berantem di sekolah? Kenapa?” Agil tak menjawab. Rania mengambil sebelah tangan Agil, “Coba cerita sama tante.” “Dia bilang aku anak yang kekurangan kasih sayang, tante. Aku gak suka dengernya.” Rania diam sejenak. Kenapa teman Agil bisa bicara begitu? “Aku dorong aja dia, aku pukul, aku tendang kakinya.” “Agil, kenapa temen Agil bilang kayak gitu? Dia tahu dari mana Agil kurang kasih sayang?” Agil tak langsung menjawab. Ia terlihat enggan menceritakan lebih dalam masalah yang sedang ia hadapi. “Agil?” Agil menatap Rania, “Dia tahu dari mamanya. Mamanya katanya tahu kalo mama aku sibuk kerja, papa juRania mengatur nafasnya beberapa kali ketika perawat terus keluar masuk di balik tirai dimana Agil sedang diberi penanganan. Agil tak terdengar menangis atau menjerit ketika dokter izin menjahit lukanya. Ia hanya terdengar berbincang dengan Arbi dengan santai. Agil memang sesering itu terluka, entah karena terjatuh atau bertengkar. Pernah ia kehabisan banyak darah karena dipukul kayu balok oleh kakak kelasnya di sekolah. Tapi ia terlihat baik-baik saja dan tak merasakan sakit dari bocornya kepala area bekas dipukul. “Ran,” Arbi keluar dari dalam tirai, “Agil kekurangan banyak darah, dan kebetulan di rumah sakit stoknya lagi habis. Jadi kakak mau titip Agil karena harus ke PMI langsung.” Rania mengangguk, “Iya, kak. Eh, tapi, bukannya kakak bisa jadi donor buat Agil?” Arbi memalingkan wajahnya tidak nyaman. “Kakak lagi sakit dan gak bisa jadi donor ya?” Arbi menunduk sambil merogoh ponselnya, “Kakak mau kabarin dulu mbak Sani.” “Biar aku yang kabarin, kakak ke PMI aja sek
“...karena Agil bukan anak kakak. Dia—ayahnya—gak tahu dimana.” Rania tak berani bertanya kenapa bisa Agil bukanlah anak Arbi. Ia takut salah bicara. Ia hanya sibuk menenangkan dirinya. Arbi tahu Rania terkejut mendengar ucapannya. Ia ingin memberi tahu iparnya dari dulu, tapi tak pernah menemukan waktu yang tepat. Dan kini karena Rania terus memaksa meminta Alfi memberikan donor pada Agil, ia terpaksa mengatakannya sekarang. “Mbak Sani... selingkuh dari kakak awal menikah dulu.” Rania masih diam. Ia tidak berniat bertanya tapi akan mendengarkan dengan baik setiap penjelasan Arbi. “Kakak tahu waktu usia Agil dua tahun. Kalo kamu masih ingat, dulu Agil jatuh dari box bayi dan kehilangan banyak darah kayak hari ini. Mbak Sani juga lagi kerja jadi kakak yang harus bawa ke rumah sakit. Kakak maksa dokter untuk mendonorkan darah, tapi dokter bilang harus diperiksa dulu. Golongan darah kita beda. Dokter bilang banyak kasus begitu. Saat itu... kakak ngerasa ada yang janggal. Kakak
Arbi tidak tahu harus memberikan respon seperti apa. Tapi hatinya menghangat. Ia tahu ini salah. Tapi dengan berselingkuh, itu bisa membantu Rania. Ia pun senang. Meski dengan cara yang salah, setidaknya ia bisa memiliki Rania dan Satria selayaknya istri dan anak sendiri. Rania menggenggam sebelah tangan Arbi. Jantungnya berdegup kencang percis seperti orang pacaran. “Permisi, pak, saya minta persetujuan Agil untuk di pindahkan ke ruang rawat inap.” Arbi berdiri, “Oh iya, sus.” Ia melirik Rania, “Aku urus administrasinya dulu ya.” Rania tersenyum, ia melepaskan genggaman tangannya, “Aku tunggu disini.” Mereka seperti sepasang kekasih. Rania merasakan risau ketika Arbi tak kunjung kembali setelah pamit ke meja resepsionis. “Ran,” “Kamu lama banget sih.” rajuk Rania. Arbi tertawa, “Kamu—” Rania melendot manja pada lengan Arbi, “Aku kangen tahu.” Arbi bergerak memeluk Rania. Jantungnya dan jantung Rania sama-sama berdegup kencang seru. Sudah lama mereka tak merasaka
Rania mengeringkan rambutnya di kamar. Setelah mbak Sani pulang, ia yang menunggu Agil dan menjadi wali pasien. Sebenarnya Agil sudah boleh pulang malam ini, tapi mbak Sani keukeuh meminta dokter untuk membiarkan anaknya menginap satu malam lagi karena takut luka jahitnya akan kenapa-napa. “Sayang, kamu udah pulang?” Alfi menaruh tas kerjanya di sofa kamar. “Udah. Satria mana?” “Dia lagi cuci kaki di bawah.” “Satria main dimana selama di hotel, mas?” “Di playground.” “Ada anak temen-temen kamu yang lain?” Alfi menggeleng pelan. Rania menyisir rambutnya dan menatap Alfi yang sedikit diam dari cermin, “Kenapa?” “Satria tadi di temenin main sama... Roland.” “Oh.” Alfi mendekati Rania, “Kamu gak marah ‘kan?” Rania tak menjawab. “Sebenernya aku bingung kenapa kamu gak suka sama Roland. Jadi tadi begitu Roland nawarin bantuan untuk nemenin Satria main, ya aku iyain aja.” “Terserah.” “Sayang, aku janji ini yang terakhir. Aku gak akan biarin Roland nemenin Satria
“Dia udah pergi, ma.” Rania menutup telpon ketika sudah memberi tahu mama. Tidak lama taksi mama berhenti didepan rumah. Mama turun dan langsung memeluk anak sulungnya. Mama mengedarkan matanya ke sekeliling rumah, “Mama sebenernya gak mau kesini lagi.” “Ma, sabar ya. Yuk, masuk.” Mereka duduk di sofa ruang tamu. “Mama harus nunggu berapa lama lagi sih, Ran? Mama mau kamu sama si monster itu cerai.” “Tunggu, ma. Aku janji akan cerai dari dia.” Mama memeriksa tubuh Rania, “Dia gak mukul kamu lagi ‘kan?” “Dia gak akan berani, ma, ada Satria di rumah.” “Dia bisa lupa sama Satria kalo lagi kerasa. Kamu buruan dong urus surat-suratnya sekarang. Soal uang, papamu pasti bakal bantu kamu. Uang sekolah Satria semuanya aman. Kamu gak perlu lagi bantuan si monster itu. Setelah putusan cerai pokoknya kalian harus putus hubungan.” “Ma, gak bisa gitu dong. Satria gimana? Seorang anak yang tumbuh tanpa ayah tuh akan beda perkembangannya.” “Halah, papanya juga modelan si Alfi gi
Rania keluar dari taksi di depan gedung kantor tempat Arbi bekerja. Ia menenteng tas makan. Ia ingin makan berdua dengan selingkuhannya. Karena tidak tahu letak ruangan Arbi, dan ingin memberikannya kejutan sehingga tidak bertanya langsung, Rania menghampiri meja resepsionis. “Selamat siang, ada yang bisa dibantu, bu?” “Saya mau tanya ruangan pak Arbiansyah Khan bagian keuangan, mbak.” “Oh, pak Arbi. Ruangannya ada di lantai tiga. Begitu keluar lift ibu belok kiri, disitu ruangannya bu. Kebetulan pak Arbi baru saja selesai rapat.” “Oh begitu. Baik, terima kasih informasinya.” Rania memasuki lift dengan senang. Ia benar-benar tidak menyangka, selingkuh dengan iparnya sendiri bisa terasa semenyenangkan ini. Ia merasa seperti muda lagi dan menikmati setiap degupan jantung seru itu. Ketika keluar lift, ia mengikuti petunjuk yang diberikan petugas resepsionis tadi. “Kak Arbi pasti kaget aku ada disini.” Beberapa langkah menuju ruangannya yang terbuka, langkah Rania terh
“Fir, aku titip Satria ya. Semua keperluan sekolahnya ada di tas kok. Baju ganti, mainan, buku, semuanya lengkap.” Rania membawakan dua tas berukuran sedang milik Satria. “Beres. Lo tenang aja, gue pasti jaga Satria dengan sangat baik.” “Kalo gak titip sama kamu, aku gak tahu harus titip Satria ke siapa. Aku mau titip ke mama, tapi—terlalu jauh. Aku yakin keperluan aku gak ngabisin waktu lama kok.” Fira melirik Satria yang sedang melihat puluhan tanaman miliknya yang tersebar di teras rumah, “Satria sayang, tante punya makanan banyak loh. Satria masuk aja gih, cobain masakan tante.” “Nanti aja tante. Aku masih ingin liat ini.” Fira melirik Rania, ia ingin bicara serius padanya sehingga tidak mau Satria dengar. Rania mengelus kepala Satria, “Sayang, tante Fira baru belajar masak loh. Kalo masakannya di cobain sekarang, pasti jadi makin semangat masaknya. Satria cobain sekarang gih.” “Gitu ya, ma? Oke deh. Tante, aku masuk ya.” “Iya, sayang.” Fira melipat kedua tangannya
Rania menjalani hari-hari seperti biasanya. Ia tak terlihat berubah sama sekali. Kegiatannya malah makin padat. Mengantarkan Satria sekolah, belanja, mengikuti seminar-seminar parenting dan kini menyibukkan diri merawat tanaman yang Fira banyak berikan padanya. Ia kini memiliki mobil sendiri. Akhirnya Alfi memberikan mobil baru untuknya. Rania tak lagi acuh tak acuh pada Alfi. Ia terlihat lembut seperti dulu, membuat suaminya itu tenang dan merasa badai pernikahannya sudah usai. “Sayang, paket kalungnya dateng hari ini. Kamu tunggu aja.” Rania diam sejenak. Ia menghentikan kegiatannya menumis sayur untuk sarapan Satria, “Paket apa, mas?” Alfi memeluknya dari belakang, “Kamu ‘kan mau kalung berlian. Kamu lupa ya?” Rania tersenyum dipaksakan, “Makasih ya, mas. Padahal kamu gak perlu maksain. Aku gak mau tabungan buat sekolah Satria kepotong.” “Enggak dong. Aku cari kerja sampingan dan untungnya bisa aku tabung. Ya... lumayan lah, sayang.” Rania membalikkan badan, “Kamu ke