Keluar darah bercampur cairan kental dari bagian bawah tubuh Rania. Ia pingsan karena tidak kuat menahan sakit disekujur tubuhnya. “Sayang?” Alfi menepuk kedua pipi istrinya yang tak berdaya dilantai. Dengan cepat Alfi merogoh ponselnya. Ia menangis ketika hendak mencari orang yang tepat untuk dimintai bantuan. Alfi kembali menepuk-nepuk pipi Rania, “Sayang, kamu gak papa ‘kan? Aku minta maaf, aku mohon maafin aku. Aku khilaf. Sayang?” Alfi memeluk tubuh Rania sambil menangis. Tak pernah ia semenyesal ini saat menghadapi masalah. Ia sudah keterlaluan karena membuat istrinya babak belur dan kini pingsan. “Aku harus bawa Rania ke rumah sakit. Aku gak mau terjadi apa-apa sama dia.” Dengan cepat Alfi menghubungi ambulance rumah sakit terdekat. Ia benar-benar takut kehilangan istrinya. Begitu sampai rumah sakit, Rania langsung diberi tindakan. Ia dibawa ke ruang Ponek atau IGD ruang bersalin. Semua dokter dan pe
Rania menatap kosong ke arah jendela sedari dipindahkan ke ruang rawat inap. Proses lahiran caesar berlangsung dramatis dan memakan waktu lebih lama dari lahiran caesar biasa. “Sayang, kalo kamu gak makan kamu gak akan punya tenaga.” Tak ada jawaban. Dari semua ucapan Alfi, Rania tak pernah menjawabnya. Alfi menyimpan wadah makan di nakas dan membungkuk untuk merapikan rambut Rania, tapi istrinya itu menghindarkan tubuhnya. “Pergiiiiii!” teriak Rania kencang. “Sayang?” Perawat yang berjaga masuk ke dalam ruangan, “Ada yang bisa saya bantu?” Alfi menggeleng, “Gak ada sus, istri saya cuma—” “Bawa dia pergi dari sini, sus!” “Ba--” “Sus, saya bisa menangani istri saya dengan baik.” Alfi sengaja menyelak ucapan suster. “Tapi, pak, lebih baik bapak tunggu diluar dulu, menunggu kondisi bu Rania lebih stabil.” Alfi melirik Rania, “Baik, sus.” Ia menghampiri Ra
Pukul tujuh malam mama dan papa baru sampai. Mama berteriak begitu masuk ke dalam ruang perawatan. Beliau tidak pernah menyangka akan menjenguk putrinya dalam kondisi seperti ini. Papa tak kalah terkejut. Papa terlihat merasa bersalah karena menjadi pihak yang tidak mendukung perceraian anaknya dengan Alfi. Rian sudah memberi tahu mereka, bahwa alasan kakaknya ingin bercerai bukanlah karena berselingkuh dengan Arbi, melainkan ada sesuatu pada diri menantu kesayangan mereka. Mama menghampiri Rania, di usapnya pelan bagian wajahnya yang lolos dari lebam yang dihasilkan Alfi. Tak ada kata. Mama terlalu lemas melihat kondisi putri tersayangnya seperti ini. Remuk hatinya menyaksikan semuanya di depan mata. “Ceraikan Alfi sekarang juga, Ran. Papa dukung kalian bercerai.” Rania hanya menatap papa nanar. Ada setitik air mata yang mengalir bahagia, “Makasih, pa.” “Ini bisa jadi bukti yang sangat kuat. Papa yakin prosesnya akan berjalan
“Apanya yang gak mungkin, ma?” “Kamu sama Alfi punya anak. Ada Satria. Kamu juga bisa hamil anak kedua. Itu anak Alfi ‘kan, Ran?” Rania tahu mama dan papa masih awam. Mereka mengira jika seorang Homoseksual menikah tidak akan menghasillkan seorang anak. Ia paham ketidak tahuan mereka. “Mas Alfi kemungkinan mengalami kelainan Biseksual, ma, pa. Dia bisa ngelakuin itu sama laki-laki dan perempuan. Aku gak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Karena untuk tahu kondisinya dia harus mau jalanin beberapa tes kesehatan mental. Tapi dia mana mau ngelakuin itu.” Mama dan papa menggeleng. Rania tahu tidak mudah untuk mereka menerima ini. Ia pun dulu butuh waktu berbulan-bulan untuk akhirnya yakin bahwa suaminya memang berbeda. “Tapi aku mohon jangan bahas ini ke mas Alfi ya, ma, pa. Biar aku yang bicara sama dia soal ini.” “Ran, berhenti jaga perasaan suami kamu yang gak berguna itu. Kamu terlalu baik makannya...”
“Rania kehilangan anak keduanya. Itu semua gara-gara Alfi. Apa maksudnya dia menyiksa anakku dan membunuh cucuku? Dasar manusia Psikopat.” Ibu dan Ayah sama-sama mengucapkan istigfar. Mereka pasti tidak menyangka Alfi melakukan itu. “Bisa-bisanya aku punya besan kayak kalian. Mana mungkin kalian gak tahu sifat asli Alfi. Dia itu binatang, bukan manusia. Kemana akalnya kalau dia manusia?” Papa menahan mama yang sudah bicara keterlaluan meskipun itu faktanya. “Maafkan Alfi, besan. Aku gak nyangka Alfi yang melakukan semua ini. Enam tahun pernikahan ‘kan kalian tahu betapa baiknya Alfi pada Rania.” “Iya, karena dia belum capek nyembunyiin siapa dirinya.” “Maksud besan apa?” tanya ibu kebingungan. “Mana mungkin seorang ibu gak tahu anaknya mengalami kelainan Homoseksual.” Ibu menatap Ayah. Mereka terlihat sangat terkejut. “Aku yakin Rania di siksa begini karena anakku bahas soal anak kali
Mama dan papa tersenyum diluar ruangan. “Nak Arbi, tante titip Rania ya.” “Iya, tante.” Arbi masuk begitu saja dan menutup pintu dari dalam. Rania tersenyum menyambut kedatangan Arbi. Selagi Alfi pergi yang entah kemana, ia meminta pada perawat untuk mengubah status Alfi yang semula menjadi wali pasien. Perawat bertanya sesuai SOP, mengenai apakah ada hal darurat yang terjadi sehingga ia menggantinya tiba-tiba. Rania terpaksa bilang kalau ia adalah korban KDRT sehingga takut jika ditinggalkan berdua, suaminya akan melukainya kembali. Perawat itu sudah mengira dari awal di identifikasi dari jenis lebam yang di dapati sepanjang tubuh Rania. “Apakah saya perlu menelpon polisi, bu? Keselamatan ibu adalah segalanya. Apalagi anak kedua ibu baru saja meninggal. Tim medis kami bisa membantu memberikan bukti visum pada kepolisian sehingga pak Alfi bisa segara ditahan.” Rania tadi hanya diam. Ia tidak pernah berpikir sejauh itu. Ia kesal dan marah pada suaminya, tapi tak pernah in
Rania bangun dalam keadaan tidur sendiri di ranjang. Semalam ia terbangun dua kali karena visit dari perawat dan dokter utama. Waktu itu masih ada Arbi diranjang. Ia juga tidak peduli akan disebut perempuan macam apa karena tidur bersama iparnya, bukan suaminya. “Kak Arbi mana ya?” Ceklek. “Ran? Kamu udah bangun?” mama masuk membawa paper bag, “Makan dulu yuk. Semalem mama ketemu dokter utama kamu. Katanya kamu gak ada pantangan makan apa-apa dan boleh makan makanan dari luar. Jadi papa beliin kamu bolu kesukaan kamu.” “Ma, yang jadi wali pasien aku mama sekarang?” “Masih Arbi. Kenapa?” “Kok mama ada disini?” “Ini jam besuk. Perawat bilang mama boleh nemenin kamu. Papa lagi ke rumah mbak Sani, mau anterin Satria sekolah. Karena berantem sama Agil, papa bilang mau nyewa apartemen aja biar bisa nemenin Satria.” “Kenapa papa gak pulang aja ke rumah aku?” “Rumah si monster lebih tepatnya. Mama dan papa gak sudi ke rumah itu lagi. Kamu juga sebaiknya gak kesana. Begitu do
Kondisi Rania semakin membaik. Lebam diseluruh tubuhnya tentu masih membekas, tapi sedikit tersamar. Luka sayatan di perutnya juga. Ia hanya belum bisa menghilangkan rasa sakit di hatinya. Alfi belum juga kesini, padahal ia mau meminta kepastian perceraian. Entah karena ada orang tuanya ditambah Rian yang selalu berjaga, atau memang suaminya itu masih perlu waktu untuk menemuinya. “Habisin dong nasinya, Ran, katanya pengen cepet pulang.” desak mama yang sedang memotong buah Apel. “Aku udah kenyang, ma.” Mama memberikan ponsel milik Rania, “Dari tadi Satria nyariin kamu.” Rania menatap mama, “Aku gak mungkin video call dalam keadaan masih gini.” Mama tak menjawab. Beliau juga tidak tahu bagaimana caranya mengelabui Satria dengan keadaan wajah Rania yang masih begini. “Telpon aja.” “Setiap aku pergi, kita selalu video call. Satria bakal terus maksa biar bisa liat muka aku.” “Dia emang m