“Apanya yang gak mungkin, ma?”
“Kamu sama Alfi punya anak. Ada Satria. Kamu juga bisa hamil anak kedua. Itu anak Alfi ‘kan, Ran?” Rania tahu mama dan papa masih awam. Mereka mengira jika seorang Homoseksual menikah tidak akan menghasillkan seorang anak. Ia paham ketidak tahuan mereka. “Mas Alfi kemungkinan mengalami kelainan Biseksual, ma, pa. Dia bisa ngelakuin itu sama laki-laki dan perempuan. Aku gak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Karena untuk tahu kondisinya dia harus mau jalanin beberapa tes kesehatan mental. Tapi dia mana mau ngelakuin itu.” Mama dan papa menggeleng. Rania tahu tidak mudah untuk mereka menerima ini. Ia pun dulu butuh waktu berbulan-bulan untuk akhirnya yakin bahwa suaminya memang berbeda. “Tapi aku mohon jangan bahas ini ke mas Alfi ya, ma, pa. Biar aku yang bicara sama dia soal ini.” “Ran, berhenti jaga perasaan suami kamu yang gak berguna itu. Kamu terlalu baik makannya...”“Rania kehilangan anak keduanya. Itu semua gara-gara Alfi. Apa maksudnya dia menyiksa anakku dan membunuh cucuku? Dasar manusia Psikopat.” Ibu dan Ayah sama-sama mengucapkan istigfar. Mereka pasti tidak menyangka Alfi melakukan itu. “Bisa-bisanya aku punya besan kayak kalian. Mana mungkin kalian gak tahu sifat asli Alfi. Dia itu binatang, bukan manusia. Kemana akalnya kalau dia manusia?” Papa menahan mama yang sudah bicara keterlaluan meskipun itu faktanya. “Maafkan Alfi, besan. Aku gak nyangka Alfi yang melakukan semua ini. Enam tahun pernikahan ‘kan kalian tahu betapa baiknya Alfi pada Rania.” “Iya, karena dia belum capek nyembunyiin siapa dirinya.” “Maksud besan apa?” tanya ibu kebingungan. “Mana mungkin seorang ibu gak tahu anaknya mengalami kelainan Homoseksual.” Ibu menatap Ayah. Mereka terlihat sangat terkejut. “Aku yakin Rania di siksa begini karena anakku bahas soal anak kali
Mama dan papa tersenyum diluar ruangan. “Nak Arbi, tante titip Rania ya.” “Iya, tante.” Arbi masuk begitu saja dan menutup pintu dari dalam. Rania tersenyum menyambut kedatangan Arbi. Selagi Alfi pergi yang entah kemana, ia meminta pada perawat untuk mengubah status Alfi yang semula menjadi wali pasien. Perawat bertanya sesuai SOP, mengenai apakah ada hal darurat yang terjadi sehingga ia menggantinya tiba-tiba. Rania terpaksa bilang kalau ia adalah korban KDRT sehingga takut jika ditinggalkan berdua, suaminya akan melukainya kembali. Perawat itu sudah mengira dari awal di identifikasi dari jenis lebam yang di dapati sepanjang tubuh Rania. “Apakah saya perlu menelpon polisi, bu? Keselamatan ibu adalah segalanya. Apalagi anak kedua ibu baru saja meninggal. Tim medis kami bisa membantu memberikan bukti visum pada kepolisian sehingga pak Alfi bisa segara ditahan.” Rania tadi hanya diam. Ia tidak pernah berpikir sejauh itu. Ia kesal dan marah pada suaminya, tapi tak pernah in
Rania bangun dalam keadaan tidur sendiri di ranjang. Semalam ia terbangun dua kali karena visit dari perawat dan dokter utama. Waktu itu masih ada Arbi diranjang. Ia juga tidak peduli akan disebut perempuan macam apa karena tidur bersama iparnya, bukan suaminya. “Kak Arbi mana ya?” Ceklek. “Ran? Kamu udah bangun?” mama masuk membawa paper bag, “Makan dulu yuk. Semalem mama ketemu dokter utama kamu. Katanya kamu gak ada pantangan makan apa-apa dan boleh makan makanan dari luar. Jadi papa beliin kamu bolu kesukaan kamu.” “Ma, yang jadi wali pasien aku mama sekarang?” “Masih Arbi. Kenapa?” “Kok mama ada disini?” “Ini jam besuk. Perawat bilang mama boleh nemenin kamu. Papa lagi ke rumah mbak Sani, mau anterin Satria sekolah. Karena berantem sama Agil, papa bilang mau nyewa apartemen aja biar bisa nemenin Satria.” “Kenapa papa gak pulang aja ke rumah aku?” “Rumah si monster lebih tepatnya. Mama dan papa gak sudi ke rumah itu lagi. Kamu juga sebaiknya gak kesana. Begitu do
Kondisi Rania semakin membaik. Lebam diseluruh tubuhnya tentu masih membekas, tapi sedikit tersamar. Luka sayatan di perutnya juga. Ia hanya belum bisa menghilangkan rasa sakit di hatinya. Alfi belum juga kesini, padahal ia mau meminta kepastian perceraian. Entah karena ada orang tuanya ditambah Rian yang selalu berjaga, atau memang suaminya itu masih perlu waktu untuk menemuinya. “Habisin dong nasinya, Ran, katanya pengen cepet pulang.” desak mama yang sedang memotong buah Apel. “Aku udah kenyang, ma.” Mama memberikan ponsel milik Rania, “Dari tadi Satria nyariin kamu.” Rania menatap mama, “Aku gak mungkin video call dalam keadaan masih gini.” Mama tak menjawab. Beliau juga tidak tahu bagaimana caranya mengelabui Satria dengan keadaan wajah Rania yang masih begini. “Telpon aja.” “Setiap aku pergi, kita selalu video call. Satria bakal terus maksa biar bisa liat muka aku.” “Dia emang m
Ibu menunduk, begitu juga dengan ayah. Keterlaluan mereka. Tahu anaknya tidak sama dengan lelaki lain, tapi mereka diam saja? “Aku... gak bisa, bu, aku akan tetep gugat cerai mas Alfi.” “Tolong ibu, Rania. Kalo kamu tetep cerai sama Alfi, dia akan—dia akan marah sama ibu dan ayah.” Rania menatap ibu tak percaya, “Ibu takut mas Alfi marah kalo aku cerai dari dia? Bu, ibu bayangin gak rasanya jadi aku yang punya suami—berbeda dari suami lainnya? Aku diselingkuhi, aku di khianati dengan selingkuhan yang gak sama dengan aku.” Rania membuang nafas pelan, “Ibu tahu siapa pacar mas Alfi selama sepuluh tahun terakhir?” Ibu tak menjawab, beliau malah menangis semakin dalam. “Ayah?” Rania melirik ayah. Rania tersenyum, “Hebat banget keluarga kalian, yang tega bohongin satu mangsa lemah kayak aku untuk melindungi harga diri anaknya.” “Ran, kita terpaksa.” Ayah angkat bicara, “Alfi yang bilang jangan sampe k
Rania terduduk menyesal ketika Alfi kini berani duduk disampingnya. Mama menyusulnya begitu mendengar kabar menantunya akan bunuh diri. Mama tak bicara banyak. Mama malah langsung keluar lagi dengan wajah kecewa. “Sayang, dokter bilang kamu boleh pulang besok pagi, sisanya cukup rawat jalan. Aku seneng kamu recovery dengan cepet.” Rania meliriknya, “Aku gak mau pulang, mas.” “Loh, kenapa? Satria kangen banget loh sama kamu.” “Aku tahu.” “Terus kenapa kamu gak mau pulang?” “Kamu gak liat seluruh badan aku masih penuh sama lebam ini?” Alfi tak langsung menjawab. Ia menunduk lalu mengusap pelan punggung tangan istrinya, “Maafin aku.” “Kalo Satria tanya, aku mau jawab apa? Kamu mau jawab apa?” Alfi menatap Rania, “Semua salah aku.” “Aku gak lagi bahas siapa yang salah, mas.” nada bicara Rania meninggi, membuat Alfi sedikit tersentak. Alfi bangkit dari ranjang, ia meng
Empat hari kemudian, dokter utama Rania memberi tahu bahwa ia sudah boleh pulang hari ini. Bukannya senang, ia malah murung. Bagaimana ia harus menghadapi Satria. Luka lebam ditubuhnya masih tersisa sedikit. Sudah pasti lah anak tunggalnya itu akan bertanya. “Aku udah bawa semua baju-baju kamu ke mobil. Udah gak ada yang ketinggalan lagi ‘kan?” tanya Alfi setelah mengecek laci nakas samping ranjang. Rania mengangguk. Ia membuang nafas beberapa kali karena merasa lebih baik ia terus tinggal disini. Mama dan papa sangat marah ketika ia mengatakan akan batal cerai dari Alfi. Mereka bilang Rania bodoh dan sangat tidak berperasaan, karena membiarkan dirinya dan Satria terus berada dalam kungkungan mahluk kasar seperti suaminya. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ketika menjelaskan mungkin saja Alfi akan belajar dari kesalahannya, mama dan papa langsung pergi, dan Satria dititipkan pada mbak Sani. “Kalo udah gak ada yang ketinggalan, yuk, kita pulang sekarang.” Rania mendongak, m
Mbak Sani pamit pulang setelah menemani makan siang. Katanya ia juga ingin merasakan jadi ibu rumah tangga yang pergi mengantar Agil terapi. Rania tak bisa menahannya, karena sejujurnya ia juga butuh waktu untuk dirinya sendiri setelah kejadian satu minggu lalu. “Ma,” Satria menghampiri Rania yang sedang mencuci buah. “Kenapa, sayang?” “Mama sama papa berantem ya?” Rania menaruh buah di sink dan berjongkok menatap anak tunggalnya, “Enggak, mama sama papa gak berantem.” “Ini kenapa?” Satria menunjuk lebam dilengan Rania. Rania menatap luka lebam itu. Sudah pudar, tapi siapapun masih bisa melihatnya, “Ini...” “Papa mukulin mama ya?” Rania tak bisa menjawab. Ia tak mau berbohong. Tapi kalau ia jujur dan mengatakan ia memang dipukuli oleh papanya, bagaimana Satria akan menilai Alfi nantinya? “Eng-enggak, ini mama jatoh, sayang.” “Mama bohong.” “Mama gak bohong.”